• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur kimia yang terkandung dalam makanan yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh secara normal. Manusia memerlukan zat gizi agar dapat hidup dengan sehat dan mempertahankankan kesehatannya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang

diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan internal dan eksternal, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan, serta untuk aktivitas khususnya untuk orang dewasa dan lanjut usia. Kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein pada tahap awal menimbulkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu dapat menurunkan berat badan disertai dengan menurunnya kemampuan (produktivitas) kerja (Hardinsyah & Martianto 1992). Sehingga penting untuk mengetahui angka kecukupan dan tingkat konsumsi zat gizi.

Penilaian untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Secara umum, tingkat konsumsi dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):

Angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Namun, angka kecukupan ini digunakan untuk berbagai keperluan yang sifatnya menyangkut populasi seperti merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk (Almatsier 2003). Sehingga jika akan digunakan untuk penaksiran angka kecukupan individu, untuk energi dan protein perlu dilakukan koreksi dengan menggunakan berat badan aktual sehat dengan rumus sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):

Energi

Energi dalam tubuh manusia dapat dihasilkan karena adanya pembakaran karbohidrat, protein, dan lemak sehingga manusia memerlukan makanan yang cukup bagi tubuhnya (Marsetyo & Kartasapoetra 1991). Manusia membutuhkan energi dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Energi berfungsi sebagai input bagi kegiatan produktif manusia. Tanpa energi yang cukup

manusia tidak dapat hidup dan bekerja secara optimal. Hal ini berpengaruh pada kesehatan dan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas (Pergizi pangan 1999).

Energi yang diperlukan diperoleh dari energi potensial yang tersimpan dalam pangan yang berupa energi kimia. Energi kimia ini dilepaskan waktu terjadi pembakaran ikatan kimia dalam tubuh (dalam proses metabolik). Energi diukur dalam satuan kalori (Karsin 2004). Angka kecukupan energi untuk kelompok pria dewasa usia 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-64 tahun berturut- turut dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 2515 kkal, 2315 kkal, 2307 kkal per hari (WNPG 2004).

Pada umumnya kebutuhan energi orang dewasa didasarkan pada produksi energi dalam tubuh yang berfungsi untuk melakukan kerja internal, melakukan kerja eksternal (aktivitas fisik), dan menutup pengaruh aksi dinamik spesifik (SDA) makanan. Oleh karena itu dalam perhitungan kebutuhan energi orang dewasa terlebih dahulu dihitung angka metabolisme basal (AMB). Selain itu, jumlah energi untuk melakukan aktivitas fisik juga turut diperhitungkan (Suhardjo & Kusharto 1992).  

Angka metabolisme basal dapat dihitung dengan banyak persamaan termasuk diantaranya adalah perhitungan AMB berdasarkan Schofield equation dalam FAO/WHO/UNU (2001) dan Oxford equation dalam (WNPG 2004). Schofield equation merupakan persamaan yang didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Utara dan Eropa Barat. WNPG (2004) menyatakan bahwa dalam penggunaannya Schofield equation menghasilkan nilai pengeluaran energi yang overestimate sekitar 10-15% jika digunakan untuk menaksir angka pengeluaran energi ras ASIA. Oxford equation merupakan persamaan yang didapatkan dari hasil metaanalysis yang dilakukan di Filipina, sehingga Oxford equation dianggap lebih sesuai untuk perhitungan pengeluaran energi komunitas ras Asia.

Tabel 3 Rumus Schofield equation dan Oxford Equation bagi pria dewasa Nama persamaan Rentang Usia (tahun) Persamaan

Schofield equation*) 18 – 30 15.057 (BB) + 692.2 30 – 60 11.472 (BB) + 873.1

Oxford equation**) 19 – 29 16.8 (BB) + 498

30 – 64 16.0 (BB) + 462

keterangan : BB : berat badan (kg)

Sumber : *) FAO/WHO/UNU (2001) **) WNPG (2004)

Protein

Protein merupakan molekul makro yang terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Terdapat dua puluh jenis asam amino yang telah diketahui, yang terdiri dari sembilan asam amino esensial dan sebelas asam amino nonesensial (Almatsier 2003). Berdasarkan sumbernya, protein diklasifikasikan menjadi protein hewani dan protein nabati. Protein hewani yaitu protein dalam bahan makanan yang berasal dari binatang, seperti dari daging, susu, dan ikan. Protein nabati adalah protein yang berasal dari tumbuhan seperti jagung dan kacang-kacangan (Sediaoetama 2006)

Almatsier (2003) menyatakan bahwa protein memiliki peran yang sangat penting bagi tubuh yaitu sumber energi, pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, membentuk antibodi, dan mengangkut zat-zat gizi. Protein berfungsi dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang mati, dan habis terpakai sebagai protein struktural. Protein juga berfungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh melawan berbagai mikroba dan zat toksin lain yang datang dari luar dan masuk ke dalam tubuh. Sebagai zat-zat pengatur, protein mengatur proses-proses metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon.

Angka kecukupan protein untuk pria dewasa usia 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-64 tahun dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 60 g per hari (WNPG 2004). Defisiensi protein umumnya terjadi pada masa anak-anak dan jarang ditemukan pada orang dewasa. Namun demikian, defisiensi protein dalam waktu yang lama akan mengekibatkan ketidakseimbangan kondisi tubuh mengingat protein merupakan zat gizi yang sangat substansial bagi tubuh (Sediaoetama 2006)

Fe (Zat besi)

Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia (Almatsier 2003). Bahan makanan yang banyak mengandung zat besi antara lain adalah hati, dan daging dari bahan pangan sumber hewani dan kacang kedelai, kacang tanah, kacang panjang, serta sayuran hijau. Zat besi yang berasal dari tumbuhan yang dapat diabsorpsi hanya sedikit bila dibandingkan dngan bahan makanan asal hewani yang dapat dibsorpsi cukup tinggi (Anwar 1998).

Zat besi (Fe) merupakan elemen mikro yang essensial bagi tubuh. Zat ini terutama diperlukan dalam hemopoesis (pembentukan darah), yaitu dalam sintesa hemoglobin (Hb). Di samping itu, beberapa enzim memerlukan Fe sebagai faktor penggiat (Sediaoetama 2006). Zat besi (Fe) dalam tubuh juga berperan dalam transportasi dan penyimpanan oksigen (Guthrie & Picciano 1995).

Angka kecukupan zat besi (Fe) untuk pria dewasa usia 19-29 tahun, 30- 49 tahun, dan 50-64 tahun dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 13 mg per hari (WNPG 2004). Defisiensi besi merupakan defisiensi yang paling umum terjadi karena daya serap tubuh manusia terhadap Fe relatif sulit. Defisiensi terutama menyerang golongan rentan, seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan rendah (Almatsier 2003). Rendahnya kemampuan kerja jasmani pada umumnya berhubungan dengan defisiensi besi (Anwar 1998). Defisiensi besi dapat berakibat menurunkan produktivitas dan kapasitas fisik saat bekerja dan menurunkan imunitas seluler dan meningkatkan kesakitan (Widayani 2004). Produktivitas pekerja yang kekurangan zat besi menurun 10-30% daripada pekerja yang sehat (Baliwati et al. 2004).

Defisiensi zat gizi besi dapat menimbulkan anemia gizi besi. Salah satu gejala fisik yang terjadi pada anemia gizi besi adalah penurunan kemampuan kerja. Efek fisik lainnya adalah peningkatan sensitivitas terhadap penyakit flu, gangguan gastrointestinal, konstipasi, dan diare (Guthrie & Picciano 1995). Pekerja yang membutuhkan tenaga besar akan merasa cepat lelah karena anemia gizi besi menyebabkan tenaga berkurang. Dengan demikian hasil kerjanya akan rendah karena produktivitas kerja menurun. Kekurangan zat besi akan menurunkan ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Kelebihan zat besi bisa mengakibatkan mikroorganisme memanfaatkannya untuk pertumbuhan sehingga penyakit yang diderita semakin parah (Wirakusumah 1999).

Vitamin A

Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam). Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Secara luas, vitamin A merupakan nama generik

yang menyatakan semua retinoid dan prekursor/provitamin A/karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol (Almatsier 2003).

Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karoten terutama di dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, lemak susu, dan mentega. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-buahan yang berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, daun kacang, wortel, jeruk dan lain-lain. Vitamin A essensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup dan berbagai fungsi faali tubuh. Vitamin A berperan dalam fungsi penglihatan, diferensia sel, kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan dan reproduksi (Almatsier 2003).

Defisiensi vitamin A dapat merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi, atau kekurangan sekunder karena gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat, ataupun karena gangguan pada konversi karoten menjadi vitamin A. Organ tubuh yang mengalami degradasi fungsi akibat defisiensi vitamin A adalah mata. Buta senja adalah salah satu tanda awal kekurangan vitamin A, selain itu juga dapat terjadi perubahan pada mata berupa xeroftalmia. WHO (1982) dalam Almatsier (2003) mengklasifikasikan tingkat xeroftalmia sebagai berikut :

- XN : buta senja

- X1A : xerosis konjungtiva

- X1B : bercak bitot

- X2 : xerosis kornea

- X3A : ulkus kornea dengan xerosis

- X3B : keratomalasia

- XS : parut kornea

- XF : xeroftalmia fundus

Angka kecukupan vitamin A bagi pria dewasa dalam daftar AKG 2004 adalah sebesar 600 RE per hari (WNPG 2004). Defisiensi vitamin A menurunkan fungsi kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lendir, sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau bakteri atau virus dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Perubahan pada kulit juga dapat terjadi, disebut hiperkeratosis folikular. Pertumbuhan sel-sel terhambat pada kondisi defisiensi vitamin A. Fungsi sel-sel yang membentuk email pada gigi

terganggu dan terjadi atrofi sel-sel yang membentuk dentin, sehingga gigi mudah rusak (Almatsier 2003).

Vitamin C

Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Pada keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut, vitamin C mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Vitamin C tidak stabil dalam larutan alkali, namun cukup stabil dalam larutan asam. Bila dibandingkan dengan vitamin lainnya, vitamin C merupakan vitamin yang paling labil. Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu buah terutama yang memiliki rasa asam seperti jeruk dan tomat. Selain dalam buah, vitamin C juga banyak terdapat dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2003).

Fungsi vitamin C di dalam tubuh bersangkutan dengan sifat alamiahnya sebagai antioksidan. Meskipun mekanismenya belum diketahui, tapi tampaknya vitamin C berperan serta di dalam banyak proses metabolisme yang berlangsung di dalam jaringan tubuh. Fungsi fisiologis yang membutuhkan vitamin C ialah :

- Kesehatan substansi matrix jaringan ikat

- Integritas epitel melalui kesehatan zat perekat antar sel

- Mekanisme imunitas dalam rangka daya tahan tubuh terhadap berbagai serangan penyakit dan toksin

- Kesehatan epitel pembuluh darah

- Penurunan kadar kolesterol, dan

- Pertumbuhan tulang dan gigi geligi

Vitamin C mempunyai banyak fungsi bagi tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Asam askorbat memiliki kemampuan mereduksi yang kuat dan bertindak sebagai antioksidan dalam reaksi-reaksi hidroksilasi. Vitamin C dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hal ini mungkin karena kemampuan pemeliharaan terhadap membran mukosa dan pengaruhnya terhadap fungsi kekebalan. (Almatsier 2003).

Angka kecukupan vitamin C untuk pria dewasa usia 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-64 tahun dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 90 mg per hari (WNPG 2004). Defisiensi vitamin C memberi gejala penyakit skorbut dengan kerusakan terutama terjadi pada rongga mulut, pembuluh darah kapiler dan jaringan tulang (Sediaoetama 2006).

Dokumen terkait