• Tidak ada hasil yang ditemukan

THEORY OF POVERTY

LIBERAL AND NEO LIBERAL

5.2. Karakteristik Rumah Tangga Miskin Menurut Wilayah di Kabupaten Barru

5.2.3. Tingkat Pendidikan

Hubungan antara kemiskinan dan pendidikan sangat penting, karena pendidikan sangat berperan dalam memengaruhi angka kemiskinan. Orang yang berpendidikan lebih baik akan mempunyai peluang yang lebih kecil untuk menjadi miskin. Karakteristik pendidikan yang diuraikan disini adalah tingkat pendidikan kepala rumah tangga, rata-rata lama sekolah anggota keluarga, dan akses ke pelayanan pendidikan.

Status pendidikan kepala rumah tangga miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, menunjukkan perbedaan antara wilayah. Proporsi kepala rumah tangga miskin yang tidak tamat SD tertinggi pada wilayah pegunungan dengan persentase 40.00 persen, kemudian pada wilayah dataran rendah dengan persentase 28.97 persen dan terkecil pada wilayah pesisir yaitu 23.20 persen. Selanjutnya kepala rumah tangga miskin yang tamat SD tertinggi pada wilayah dataran rendah yaitu sekitar 63.55 persen, kemudian pada wilayah pesisir yaitu sekitar 58.76 persen dan yang terkecil pada wilayah pegunungan yaitu 49.41 persen.

Untuk kepala rumah tangga miskin dengan tingkat pendidikan SMP, tertinggi berada pada wilayah pesisir, yaitu 13.92 persen, kemudian pada wilayah dataran rendah 9.41 persen dan terkecil pada wilayah pegunungan yaitu hanya sebesar 5.61 persen. Demikian halnya dengan kepala rumah tangga miskin yang memiliki tingkat pendidikan SMA ke atas tertinggi pada wilayah pesisir yaitu 4.12 persen, disusul wilayah dataran rendah yaitu 1.87 persen dan terendah pada wilayah pegunungan yaitu 1.18 persen (Grafik 10).

Dari gambaran karakteristik pendidikan rumah tangga miskin berdasarkan wilayah menunjukkan perbedaan antar wilayah, dimana rumah tangga yang berpendidikan tidak tamat SD terbesar pada wilayah pegunungan, kemudian wilayah dataran rendah, dan terkecil pada wilayah pesisir. Selanjutnya, untuk rumah tangga berpendidikan tamat SD terbesar pada wilayah dataran rendah, kemudian pada wilayah pesisir dan terkecil pada wilayah pegunungan. Sedangkan untuk pendidikan menengah (SMP dan SMA) tertinggi pada wilayah dataran rendah, kemudian pada wilayah pesisir, dan terendah pada wilayah pegunungan.

117 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin di Kabupaten Barru terburuk pada wilayah pegunungan dibandingkan dengan tingkat pendidikan pada wilayah dataran rendah dan pesisir. Grafik 10. Perkembangan Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga Miskin di

Kabupaten Barru, Tahun 2009.

Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga di Kabupaten Barru Tahun 2009

Secara tegas perbedaan karakteristik pendidikan kepala rumah tangga berdasarkan wilayah dapat dibuktikan dari hasil analisis Anova. Dari hasil Anova diperoleh bahwa, pendidikan kepala rumah tangga yang berada pada wilayah dataran rendah (0) berbeda secara nyata terhadap wilayah pegunungan (1), namun sama karakteristiknya dengan wilayah pesisir (2). Sedangkan karakteristik pendidikan kepala rumah tangga pada wilayah pegunungan (1) berbeda nyata dengan karakteristik pendidikan pada wilayah dataran rendah (0) dan pada wilayah pesisir (2), lihat lampiran 1.

Demikian halnya dengan akses penduduk miskin terhadap pelayanan pendidikan baik untuk SMP maupun SMA memiliki perbedaan yang nyata antar wilayah. Dari hasil analisis Anova, menunjukkan bahwa akses ke pelayanan SMP memiliki perbedaan karakteristik yang nyata antara wilayah dataran rendah (0) dengan wilayah pegunungan (1) dan wilayah pesisir (2), namun magnitudnya berbeda, dimana perbedaan antara wilayah dataran rendah dan pegunungan memiliki nilai pembeda yang lebih tinggi (3.006) dibanding dengan wilayah dataran rendah dan pegunungan (-6.887). Sedangkan wilayah pegunungan karakteristiknya sangat berbeda nyata dengan wilayah pesisir dengan nilai mean

23.20 58.76 13.92 4.12 28.97 63.55 9.41 1.87 34.4 49.41 5.61 1.18 -10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 TTSD (%) SD (%) SMP (%) SMA (%)

118 difference-nya sebesar -9.894 (lihat lampiran 1). Selain itu, tingkat aksesibilitas rumah tangga terhadap pelayanan SMA memiliki perbedaan yang sangat nyata, dimana akses penduduk pada wilayah pegunungan (1) dengan wilayah dataran rendah (0) dengan nilai mean-difference sebesar -31.137 dan antara dataran rendah dengan wilayah pesisir (2) nilai mean-difference sebesar 2,414.

Pada wilayah pegunungan dua dari tiga desa yang menjadi lokus penelitian, akses masyarakat ke sekolah lanjutan (SMP) relatif bagus, kecuali pada Desa Pujananting yang memiliki jarak tempuh ke SMP di atas 40 menit dengan biaya transportasi yang tinggi sehingga banyak tamatan SD yang tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Berbeda dengan dua desa lainnya, yaitu Desa Pattappa dan Desa Paccekke, fasilitas pendidikan menengah (SMP) sudah tersedia di desa masing-masing, sehingga partisipasi dalam pendidikan lanjutan (SMP) lebih tinggi dibanding dengan Desa Pujananting. Di sisi lain, ketiga desa lokus penelitian yang berada pada wilayah pegunungan memiliki akses ke pelayanan pendidikan menengah atas (SMA) sangat rendah, yang berakibat banyaknya tamatan SMP yang tidak melanjutkan sekolah. Hal ini disebabkan oleh jarak tempuh dan biaya transportasi yang mahal, serta kurang tersedianya moda transportasi yang memadai setiap hari.

Sedangkan rata-rata lama sekolah anggota rumah tangga tertinggi adalah pada wilayah pesisir dengan rata-rata 5.4 tahun, disusul oleh wilayah dataran rendah yaitu rata-rata 4.4 tahun dan terendah pada wilayah pegunungan dengan rata-rata 3.9 tahun. Namun demikian, kalau dilihat rata-rata lama sekolah anggota keluarga di tingkat kabupaten juga relatif rendah yaitu hanya mencapai 4,8 tahun. Perbedaan karakteristik rata-rata lama sekolah anggota rumah tangga miskin dipertegas dengan hasil analisis Anova yang menunjukkan bahwa karakteristik rata-rata lama sekolah anggota rumah tangga berbeda secara nyata antara wilayah dataran rendah (0) dengan karakteristik rumah tangga pada wilayah pesisir (2), namun karakteristiknya sama dengan wilayah pegunungan (1). Sedangkan karakteristik rata-rata lama sekolah anggota keluarga pada wilayah pegunungan (1) berbeda dengan wilayah pesisir (2), akan tetapi sama karakteristiknya pada

119 wilayah dataran rendah (0). Selanjutnya, karakteristik rata-rata lama sekolah anggota keluarga berbeda secara nyata antara kedua wilayah lainnya.

Implikasi dari hasil temuan ini, bahwa penyediaan pelayanan publik di bidang pendidikan di Kabupaten Barru masih mengalami ketimpangan berdasarkan wilayah, terutama pelayanan pendidikan menengah. Dengan demikian, maka diperlukan kebijakan yang dapat meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan menengah ke atas, khususnya pada wilayah pegunungan. Meningkatnya akses masyarakat ke pelayanan pendidikan menengah ke atas, akan berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Dengan meningkatnya kualitas sumberdaya manusia khususnya bagi masyarakat miskin maka terbuka peluang untuk memperoleh lapangan pekerjaan pada sektor formal yang menjamin meningkatnya pendapatan mereka.