• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan

Dari hasil analisis data dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan siswa/i SMA/K diwilayah Palaran Samarinda mengenai infeksi menular seksual berada dalam kategori kurang. Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa kebanyakan responden mengetahui jenis infeksi menular. Ini dikarenakan jenis-jenis infeksi menular seksual sudah terdapat dalam kurikulum pembelajaran responden yaitu dalam mata pelajaran biologi dalam topik sistem reproduksi manusia sejak SMP. Pada penelitian ini juga memperlihatkan bahwa kebanyakan responden tidak mengerti secara konkrit pengurangan resiko seorang penderita infeksi menular seksual. Para responden hanya mempunyai pengetahuan mengenai pengertian infeksi menular seksual secara etimologis, yaitu pengertian bahwa infeksi menular seksual adalah infeksi yang hanya bisa ditularkan melalui hubungan seksual, padahal sebenarnya infeksi menular seksual bisa ditularkan melalui cara lain selain hubungan seksual.

Berdasarkan hasil penelitian Sarwanto dan Ajik (2004) dan data BKKBN (2009), pengetahuan remaja mengenai infeksi menular seksual masih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di atas. Hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Notobroto (1999) yang mengemukakan bahwa pengetahuan siswa SMA mengenai infeksi menular seksual masih dikategorikan dalam tingkat pengetahuan yang cukup baik, meskipun masih ada yang kurang baik.

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan usia, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan responden berdasarkan usia. Ditemukan bahwa proporsi responden yang memiliki pengetahuan baik paling besar pada usia 15 tahun, yaitu 17,4%, dibandingkan dengan usia 16 tahun yaitu 11,9%. Untuk pengetahuan cukup, paling banyak ditemukan pada usia 16 tahun yaitu sebesar 52,4%. Pengetahuan kurang terbanyak ditemukan pada usia 17 tahun, yaitu 62,1%, dan pengetahuan buruk pada usia 16 tahun yaitu sebesar 4,8%.

Hasil ini tidak sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hadi, et al (2008), bahwa pertambahan usia seseorang akan berhubungan dengan perkembangan kognitif, penalaran moral, perkembangan psiko seksual dan perkembangan sosial yang artinya semakin dewasa seseorang seharusnya pengetahuan dan pengalamannya semakin bertambah. Hasil ini juga tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prihyugiarto (2008), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang mengenai infeksi menular seksual adalah usia, yaitu pada kelompok usia yang lebih tua akan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik dibandingkan pada kelompok usia yang muda.

Menurut Hanifah (2007) di masyarakat, gender menentukan bagaimana dan apa yang harus diketahui oleh laki-laki dan perempuan mengenai masalah seksualitas, termasuk perilaku seksual, kehamilan dan penyakit menular seksual (PMS). Konstruksi sosial mengenai atribut dan peran feminin ideal menekankan bahwa ketidaktahuan seksual, keperawanan, dan ketidaktahuan perempuan mengenai masalah seksual merupakan tanda kesucian sehingga dikatakan bahwa laki-laki lebih mengetahui masalah seksualitas daripada perempuan, karena perempuan dianggap lebih pasif sedangkan laki-laki lebih aktif dalam mencari informasi mengenai seksualitas.

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan jenis kelamin, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan responden berdasarkan jenis kelamin. Pada responden dengan jenis kelamin laki-laki didapatkan pengetahuan kurang sebanyak 42,6%, dibandingkan dengan perempuan sebesar 50%. Namun hal ini tidak bermakna karena memang pada penelitian ini proporsi responden laki-laki lebih besar (52,4%), dibandingkan dengan responden perempuan (47,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Prihyugiarto (2008), bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan asal kelas, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan responden berdasarkan jenis kelamin. Pada responden dengan jenis kelamin laki-laki didapatkan pengetahuan kurang sebanyak 42,6%, dibandingkan dengan perempuan sebesar 50%. Namun hal ini tidak bermakna karena memang pada penelitian ini proporsi responden laki-laki lebih besar (52,4%), dibandingkan dengan responden perempuan (47,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Prihyugiarto (2008), bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap pengetahuan mengenai infeksi menular seksual.

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan asal kelas, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan responden berdasarkan asal kelas. Ditemukan bahwa proporsi responden yang memiliki pengetahuan baik paling besar pada kelas 1, yaitu 16,7%, dibandingkan dengan kelas 2 yaitu 12,2%. Untuk pengetahuan cukup, paling banyak ditemukan pada kelas 2 yaitu sebesar 53,7%. Pengetahuan kurang terbanyak ditemukan pada kelas 1, yaitu 54,2%, dan pengetahuan buruk pada kelas 2 yaitu sebesar 4,9%.

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan asal sekolah, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan responden berdasarkan asal sekolah. Ditemukan bahwa proporsi responden yang memiliki pengetahuan baik paling besar di SMAN 6, yaitu 12,8%, dibandingkan dengan dari SMKN 19 yaitu 12%. Untuk pengetahuan cukup, paling banyak ditemukan pada SMKN 19 yaitu sebesar 48%. Pengetahuan kurang terbanyak ditemukan pada SMKN 11, yaitu 60%, dan pengetahuan buruk pada SMAN 6 yaitu sebesar 5,1%.

Menurut asumsi peneliti, usia, jenis kelamin, asal kelas dan asal sekolah tidak berpengaruh terhadap pengetahuan remaja karena saat ini, remaja mempunyai kesempatan yang sama untuk mengakses informasi mengenai infeksi menular seksual.

5.2.2. Sikap

Dari hasil analisis data dapat dilihat bahwa sikap siswa/i SMA/K diwilayah Palaran Samarinda terhadap infeksi menular seksual adalah netral. Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa kebanyakan remaja mempunyai sikap yang netral dalam menanggapi masalah seks bebas

dan pencegahan infeksi menular seksual. Namun, beberapa remaja masih mempunyai sikap yang kurang dalam mengahadapi seseorang yang menderita infeksi menular seksual. Para remaja lebih cenderung untuk manjauhi penderita infeksi menular seksual oleh karena takut tertular. Hal ini sesuai dengan hasil analisis pengetahuan sebelumnya yang mendapatkan bahwa pengetahuan remaja SMA/K diwilayah Palaran Samarinda masih buruk, terutama dalam hal pengertian dan cara penularan infeksi menular seksual. Berdasarkan hasil penelitian Sarwanto dan Ajik (2004) dan data BKKBN (2009), sikap remaja terhadap infeksi menular seksual masih rendah. Hasil penelitian mengenai sikap remaja ini juga sejalan dengan hasil penelitian peneliti.

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan usia, dapat dilihat bahwa seiring dengan pertambahan usia, sikap responden terhadap infeksi menular seksual tidak mengalami perubahan. Ditemukan bahwa proporsi responden yang memiliki sikap baik paling besar pada usia 17 tahun (3,4%), dibandingkan dengan usia 16 tahun (2,4%). Responden dengan sikap cukup paling banyak terdapat pada usia 16 tahun (21,4%). Responden dengan sikap netral paling banyak terdapat pada usia 17 tahun, dan responden dengan sikap kurang paling banyak pada usia 15 tahun (26,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Prihyugiarto (2008), bahwa usia tidak berpengaruh terhadap sikap seseorang terhadap infeksi menular seksual.

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan jenis kelamin, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari sikap responden berdasarkan jenis kelamin. Pada jenis kelamin laki-laki didapatkan sikap responden yang cukup sebanyak 14,8%, lebih banyak dibanding perempuan 12,5% sedangkan sikap kurang pada laki-laki (24,1%) lebih banyak dibandingkan pada perempuan (7,5%). Peneliti berasumsi bahwa pengetahuan remaja yang seragam pada setiap umur dan jenis kelamin dapat menyebabkan sikap yang seragam juga terhadap infeksi menular seksual, tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Dari data distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan tingkat pengetahuan, dapat dilihat bahwa responden dengan tingkat pengetahuan baik, cukup, kurang, dan buruk cenderung mempunyai sikap yang cukup yaitu sebesar 50%, 64,3%, 50%, dan 75%. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Notoatmodjo (2007), bahwa pengetahuan lebih banyak bergantung pada paparan informasi mengenai suatu hal. Dengan demikian, tingkat pengetahuan seseoarang

yang ada. Sedangkan sikap adalah tanggapan berdasarkan hasil penalaran atau pengolahan terhadap informasi serta keyakinan yang ada. Jadi hubungan antara pengetahuan dan sikap ditentukan oleh seberapa baik penalaran responden untuk memilah informasi mana yang benar dan mana yang tidak.

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan asal kelas, dapat dilihat terhadap infeksi menular seksual tidak mengalami perubahan. Ditemukan bahwa proporsi responden yang memiliki sikap baik paling besar pada kelas 3 (3,4%), dibandingkan dengan kelas 2 (2,4%). Responden dengan sikap cukup paling banyak terdapat pada kelas 2 (17,1%). Responden dengan sikap netral paling banyak terdapat pada kelas 3 (75,9%), dan responden dengan sikap kurang paling banyak pada kelas 1 (25%). Peneliti berasumsi bahwa pengetahuan remaja yang seragam pada setiap asal kelas dapat menyebabkan sikap yang seragam juga terhadap infeksi menular seksual.

Berdasarkan hasil analisis data distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan asal sekolah, dapat dilihat terhadap infeksi menular seksual tidak mengalami perubahan. Ditemukan bahwa proporsi responden yang memiliki sikap baik paling besar pada SMKN 11 (3,3%), dibandingkan dengan SMAN 6 (2,6%). Responden dengan sikap cukup paling banyak terdapat pada SMKN 19 (24%). Responden dengan sikap netral paling banyak terdapat pada SMAN 6 (69,2%), dan responden dengan sikap kurang paling banyak pada SMAN 6 (20,8%). Peneliti berasumsi bahwa pengetahuan remaja yang seragam pada setiap asal sekolah adalah sama dimana menyebabkan sikap yang seragam juga terhadap infeksi menular seksual.

Pentingnya remaja mempuyai pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi bertujuan agar remaja memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada di sekitarnya (Muhammad, 2006). Pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja bukan hanya memberikan pengetahuan tentang organ reproduksi, tetapi juga mengenai bahaya akibat pergaulan bebas, seperti penyakit menular seksual dan kehamilan yang belum diharapkan atau kehamilan berisiko tinggi (BKKBN, 2005).

Permasalahan utama kesehatan reproduksi di Indonesia adalah kurangnya informasi mengenai kesehatan reproduksi, pergeseran perilaku remaja, pelayanan kesehatan yang buruk, dan perundang-undangan yang tidak mendukung. Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi sangat tergantung pada informasi yang diterimanya melalui penyuluhan, media massa maupun orang tua serta kemampuan seseorang untuk menyerap dan menginterpretasikan

informasi tersebut (Muhammad, 2006).

Dalam upaya untuk menurunkan angka kejadian infeksi menular seksual, promosi kesehatan dengan metode peer education terbukti efektif meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja terhadap infeksi menular seksual (Mau, 2007).

BAB 6

KESIMPULAN & SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat diambil kesimpulan:

1. Tingkat pengetahuan siswa atau siswi SMA 6 SMK 11 SMK 19 diwilayah Palaran Samarinda mengenai infeksi menular seksual mayoritas berada dalam kategori kurang baik, yaitu sebesar 4,7%.

2. Sikap siswa dan siswi SMA 6 SMK 11 SMK 19 diwilayah Palaran Samarinda terhadap infeksi menular seksual mayoritas berada dalam kategori netral, yaitu sebesar 67%.

6.2. Saran

Pengetahuan dan sikap siswa dan siswi SMA 6 SMK 11 SMK 19 diwilayah Palaran Samarinda terhadap infeksi menular seksual masih relatif rendah, untuk itu perlu dilakukan pemberian pengetahuan kepada remaja secara merata, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Melalui jalur sekolah, disarankan kepada pihak sekolah untuk memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi pada siswa dan siswinya yang bekerja sama langsung dengan dinas Kesehatan yang berada di Palaran. Sedangkan melalui jalur diluar sekolah disarankan kepada para orang tua dalam meningkatkan kepedulian mereka terhadap pendidikan seksual anak yang dimulai pada usia remaja.

Dokumen terkait