• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Kepulauan Riau

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Kepulauan Riau

Untuk mengetahui perkembangan suatu wilayah diperlukan suatu analisis mengenai pencapaian pembangunan melalui indikator-indikator kinerja bidang ekonomi sosial dan bidang lain yang mempunyai keterkaitan. Pengembangan wilayah bertujuan untuk memacu perkembangan ekonomi dan sosial serta berperan dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Dalam penelitan ini, sebagai pendekatan untuk melihat tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau digunakan metode analisis entropi terhadap sektor perekonomian (aspek pendapatan wilayah) dan analisis skalogram (aspek sarana prasarana wilayah).

58 5.3.1. Perkembangan Diversifikasi Aktifitas Perekonomian

Tingkat perkembangan wilayah dengan aspek ekonomi berdasarkan hasil indeks entropi pada tahun 2006 hingga 2010 menunjukkan bahwa baik pada tingkat kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi memiliki nilai yang relatif tetap. Terjadi peningkatan nilai entropi total pada tahun 2008, dari 2,27 menjadi 2,35. Namun sampai tahun 2010 nilai entropi total tidak mengalami peningkatan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa selama kurun waktu tersebut proporsi keragaman sektor-sektor perekonomian tiap kabupaten/kota relatif stabil sehingga komposisi sektor-sektor perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau cenderung kurang berkembang.

Pada tahun 2006 hasil analisis entropi total dari data aktifitas tiap sektor perekonomian di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, menunjukan bahwa nilai entropi sebesar 2,27. Nilai entropi tersebut belum mencapai nilai entropi maksimum karena dengan 9 (sembilan) komponen dari sektor-sektor perekonomian yang ada seharusnya dapat dicapai nilai entropi maksimum sebesar 4,14 Nilai entropi total Provinsi Kepulauan Riau tahun 2006 relatif belum mendekati nilai entropi maksimum sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat penyebaran aktifitas di seluruh wilayah Provinsi Kepulauan Riau relatif belum merata dan aktifitas sektor-sektor perekonomian yang relatif belum seragam. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2008 dan 2010 walaupun nilai entropi total meningkat menjadi 2,35 tetapi masih jauh dibawah nilai entropi maksimum (4,14).

Sebaran intensitas aktifitas tiap sektor perekonomian paling merata (peluang perkembangan seluruh aktifitas), secara proporsi terhadap perkembangan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2006 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 27 adalah di Kota Batam (1,06) atau sekitar 46.81 persen. Apabila dilihat berdasarkan nilai rataan dan standar deviasi indeks entropinya maka wilayah Kota Batam dapat diklasifikasikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang tinggi. Sedangkan untuk Kota Tanjungpinang dengan nilai entropi total (0,33) atau 14,55 persen, Kabupaten Bintan (0,32) atau 14,03 persen dan Kabupaten Karimun (0,31) atau 13,60 persen, tingkat perkembangan ketiga wilayah tersebut dikategorikan sedang. Adapun wilayah Kabupaten Lingga,

59

Natuna dan Kepulauan Anambas hanya memiliki kontribusi di bawah 10 persen (tingkat perkembangannya rendah).

Tabel 27. Perkembangan indeks entropi (PDRB sektoral) tiap Kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2006, 2008, 2010.

Kabupaten/Kota Perkembangan Wilayah 2006 2008 2010 Entropi Total Indeks Entropi Entropi Total Indeks Entropi Entropi Total Indeks Entropi Batam 1,06 0,26 1,07 0,26 1,09 0,26 Bintan 0,32 0,08 0,29 0,07 0,28 0,07 Tanjungpinang 0,33 0,08 0,34 0,08 0,34 0,08 Karimun 0,31 0,07 0,29 0,07 0,30 0,07 Natuna 0,15 0,04 0,09 0,02 0,09 0,02 Lingga 0,10 0,02 0,09 0,02 0,09 0,02 Kepulauan Anambas 0,00 0,00 0,18 0,04 0,17 0,04 Provinsi Kepulauan Riau 2,27 0,55 2,35 0,57 2,35 0,57 Maks 1,06 0,26 1,07 0,26 1,09 0,26 Min 0,00 0,00 0,09 0,02 0,09 0,02 Rataan 0,32 0,08 0,34 0,08 0,34 0,08 Standar Deviasi 0,35 0,08 0,34 0,08 0,35 0,08

Selanjutnya pada tahun 2008 sebaran terbesar intensitas aktivitas tersebut masih terdapat di Kota Batam (1,07), sedangkan Kota Tanjungpinang (0,34), Kabupaten Bintan (0,29) dan Kabupaten Karimun (0,29) tingkat perkembangan wilayahnya masih tetap dalam kategori sedang. Kabupaten yang memiliki nilai entropi dengan kontribusi dibawah 10 persen yaitu Kabupaten Natuna (0,09), Kabupaten Lingga (0,09) dan Kabupaten Kepulauan Anambas (0,18) sebaran intensitas aktifitas perekonomiannya paling tidak merata atau tingkat perkembangannya rendah. Pada tahun 2010 kondisi tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti sehingga bisa dikatakan perkembangan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau bersifat stabil dan dan kabupaten/kota dengan aktivitas perekonomian yang beragam atau aktivitas sektor yang konsentrasi memiliki tingkat perkembangan wilayah yang berkisar sedang-tinggi apabila dilihat berdasarkan nilai entropi total masing-masing kabupaten/kota antara 0,28 sampai dengan 1,09.

Berdasarkan jumlah aktivitasnya, nilai entropi tertinggi secara berturut-turut terjadi pada aktivitas sektor perindustrian (0,58), dan sektor perdagangan (0,58). Sedangkan aktivitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan

60 lokasi dan tidak mengalami perubahan, yakni aktifitas sektor listrik gas dan air bersih (0,04). Pada tahun 2010, aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi antara lain terjadi pada sektor jasa (0,13), pertambangan (0,18) dan keuangan (0,19) seperti yang disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Perkembangan indeks entropi (PDRB sektoral) tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2010

Kabupaten / Kota Entropi Aktifitas Perekonomian Tiap Sektor Tahun 2010

Tani Tmb Ind Ligas Bang Dag Akt Keu Jasa

Batam 0,039 0,006 0,364 0,029 0,077 0,316 0,077 0,131 0,048 Bintan 0,022 0,036 0,115 0,002 0,015 0,058 0,015 0,007 0,012 Tanjungpinang 0,009 0,000 0,054 0,005 0,063 0,087 0,057 0,031 0,035 Karimun 0,070 0,025 0,029 0,002 0,031 0,070 0,041 0,013 0,019 Natuna 0,046 0,001 0,003 0,000 0,007 0,016 0,005 0,004 0,007 Lingga 0,029 0,002 0,010 0,000 0,010 0,020 0,010 0,005 0,006 Kepulauan Anambas 0,031 0,108 0,001 0,000 0,003 0,013 0,004 0,002 0,004 Provinsi Kepulauan Riau 0,246 0,178 0,577 0,038 0,204 0,579 0,208 0,192 0,131

Hasil analisis LQ dan entropi menunjukkan bahwa tingkat perkembangan wilayah berdasarkan pendapatan wilayah mencerminkan diversitas dan sektor- sektor perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau dan apabila dikaitkan dengan banyaknya jumlah sektor unggulan tingkat perkembangan wilayah menjadi lebih tinggi, seperti yang dimiliki oleh Kota Batam. Sedangkan nilai entropi total dari sektor-sektor unggulan tertentu, seperti yang dimiliki oleh Kab. Bintan, Kota Tanjungpinang dan Kab. Karimun relatif mengindikasikan pertumbuhan ekonomi wilayahnya meningkat sehingga dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan wilayah yang sedang.

Sektor pertanian khususnya sub sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor yang memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar di Provinsi Kepulauan Riau cenderung memiliki keterkaitan hubungan yang relatif kecil dengan sektor produksi atau sektor ekonomi lainnya walaupun memberikan kontribusi yang dominan. Sektor industri dan sektor perdagangan (termasuk hotel dan restoran yang sangat berkaitan dengan pariwisata) diharapkan memiliki peranan yang penting dalam memberikan multiplier effect terhadap kinerja perekonomian sehingga untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi, pemerintah daerah perlu memperhatikan sektor unggulan wilayah dalam menentukan arah

61

kebijakannya yang bertujuan untuk memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian Provinsi Kepulauan Riau secara keseluruhan. Pemerintah hendaknya perlu mengembangkan sub sektor perikanan ke arah industri yang cenderung memacu sub sektor perikanan untuk bekerja lebih optimal, selain tingkat penyerapan tenaga kerja akan meningkat secara signifikan pada kedua sektor tersebut. Dengan peningkatan lapangan kerja maka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau.

5.3.2. Hirarki Wilayah

Dalam rangka melihat tingkat perkembangan hirarki di suatu wilayah terhadap wilayah lain yang dibatasi oleh administrasi kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau, terutama dalam hal sarana infrastruktur maka digunakan analisis skalogram. Analisis skalogram mengidentifikasikan wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah hinterlandnya, dilihat dari tersedianya kapasitas pelayanan umum, seperti sarana dan prasarana bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian di masing-masing kabupaten/kota.

Tingkat perkembangan suatu wilayah berdasarkan analisis skalogram dicerminkan oleh nilai indeks perkembangan wilayah (IPW) masing-masing kabupaten/kota sehingga semakin tinggi nilai IPW maka wilayah tersebut semakin berkembang dengan fasilitas pelayanan umum yang memadai. Jumlah Jenis Fasilitas sarana dan prasarana juga menjadi ukuran dalam penentuan hiraki wilayah.

Hasil analisis skalogram dengan menggunakan data Potensi Desa (PODES) tahun 2011 diperoleh nilai IPW berkisar antara 7,89 (Kabupaten Kepulauan Anambas) sampai dengan 112,38 (Kota Batam). Selain itu Kota Batam juga memiliki jumlah jenis fasilitas yang paling besar yaitu sejumlah 61 jenis. Hal ini dikarenakan proses pembangunan di Kota Batam sangat masif sejak masa Otorita Batam untuk mendukung industri yang menjadi kebijakan nasional pemerintah pusat dan semakin meningkat setelah Kota Batam termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau. sedangkan Kabupaten Kepulauan Anambas sebagai kabupaten baru hanya memiliki 26 jenis fasilitas sehingga menempati urutan

62 terakhir dalam hirarki wilayah di Provinsi Kepulauan Riau seperti yang terlihat pada Tabel 29.

Tabel 29. Indeks perkembangan wilayah, jumlah jenis fasilitas dan hirarki wilayah di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2010

Kota/Kabupaten Luas Wilayah Daratan (Ha) Jumlah Penduduk Indeks Perkembangan Wilayah (IPW) Jumlah Jenis Fasilitas Hirarki Batam 770,27 917.124 112,384 61 1 Tanjungpinang 239,50 216.910 105,845 58 1 Bintan 1.946,13 132.313 77,078 57 2 Karimun 2.873,20 242.692 70,540 59 2 Natuna 2.058,45 68.875 44,843 54 3 Lingga 2.117,72 90.519 19,177 38 3 Kepulauan Anambas 590,14 39.588 7,889 26 3

Hirarki wilayah menurut ketersediaan fasilitas pelayanan umum tersebut dapat di definisikan sebagai berikut :

1. Wilayah yang termasuk hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya dengan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan umum yang memadai, terutama di bidang pendidikan menengah (SLTP dan SLTA), bidang kesehatan (Rumah Sakit, RS Bersalin, tempat praktek dokter dan apotik); bidang perekonomian/perdagangan (hotel, restoran, lembaga keuangan dan mall) serta aksesibilitas terhadap informasi dan telekomunikasi (warnet dan warpostel). Kota Batam dengan IPW (112,38) dan Kota Tanjungpinang (105,85) menempati hirarki I di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.

2. Pada hirarki II ditempati oleh kabupaten /kota dengan tingkat perkembangan wilayah sedang, yakni Kabupaten Bintan dengan IPW 77,08, dan Kabupaten Karimun (70,54) dan memiliki ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan umum relatif lebih rendah dibanding Kota Batam dan Tanjungpinang.

3. Wilayah yang termasuk pada hirarki III merupakan kota/kabupaten dengan tingkat perkembangan rendah/kurang berkembang apabila dibandingkan dengan hirarki I, sehingga wilayah ini cenderung dikategorikan sebagai wilayah yang masih mengandalkan pada sektor pertanian atau cenderung lebih

63

memperhatikan sektor yang terkonsentrasi terutama pertambangan dan penggalian dengan migas, seperti yang dialami oleh Kabupaten Natuna dengan IPW 44,84, Kabupaten Lingga (19,18) dan dan Kabupaten Kepulauan Anambas (7,89).

Sebaran hirarki wilayah berdasarkan hasil analisis skalogram di Provinsi Kepulauan Riau secara spasial disajikan dalam Gambar 8 dan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketimpangan infrastruktur wilayah akibat terpusatnya pembangunan sarana dan prasarana serta pelayanan umum di Kota Batam dan Kota Tanjungpinang sebagai wilayah inti terhadap kabupaten/kota lain.

Oleh karena itu, pemerintah daerah hendaknya lebih menggiatkan pembangunan prasarana dasar, seperti sekolah, fasiltas pelayan kesehatan dan fasiltas perekonomian terutama memperbanyak dan memperbaiki pembangunan jumlah fasilitas pendidikan dasar, jumlah rumah sakit, jumlah lembaga keuangan. Secara umum pembangunan pusat perbelanjaan dan lembaga keuangan bertujuan agar peredaran uang di suatu wilayah diharapkan dapat lebih lama dan berfungsi sebagai tabungan yang diharapkan dapat memacu investasi domestik sehingga penyerapan sumberdaya (Backwash) oleh Kota Batam dan Kota Tanjungpinang sebagai pusat wilayah pembangunan dan perekonomian selama ini, tidak terus terjadi.

Gambar 8. Peta hirarki wilayah di Provinsi Kepulauan Riau

KARIMUN BATAM BINTAN TANJUNGPINANG NATUNA KEPULAUAN ANAMBAS LINGGA

64 5.4. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Kepulauan Riau

Disparitas pembangunan menurut Chaniago et al. (2000) dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak berimbang, sehingga apabila dikaitkan dengan pembangunan suatu sektor atau wilayah maka disparitas pembangunan merupakan suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor maupun antar wilayah yang ditandai dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah.

Hasil analisis Indeks Williamson dengan menggunakan PDRB per kapita dan jumlah penduduk tiap kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2006 sampai dengan 2010 disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Perkembangan Indeks Williamson tahun 2006-2010 di wilayah Provinsi Kepulauan Riau

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu tahun 2006 sampai dengan 2010, tingkat disparitas di Provinsi Kepulauan Riau mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan dengan Indeks Williamson sebesar 0,84574 pada tahun 2006 turun berturut-turut tahun 2007 menjadi sebesar 0,82984, tahun 2008 menjadi sebesar 0,60698, tahun 2009 menjadi sebesar 0,57870, dan tahun 2010 menjadi sebesar menjadi 0,49580. Secara rinci, perkembangan tingkat disparitas di Provinsi Kepulauan Riau atas dasar PDRB perkapita dari tahun 2006 sampai tahun 2010 disajikan pada Tabel 30.

In d e k s W il lia m s on

65

Tabel 30. Indeks Williamson menggunakan PDRB atas dasar harga berlaku perkapita tahun 2006-2010 di Provinsi Kepulauan Riau

Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw PDRB per kapita (juta Rupiah) Iw Batam 30,95 0,845 34,97 0,829 40,52 0,606 43,39 0,578 50,09 0,495 Bintan 22,62 24,62 26,65 28,46 31,10 Tanjungpinang 16,05 18,55 22,14 24,35 27,63 Karimun 12,88 14,34 16,21 17,97 20,17 Natuna 19,71 21,65 12,97 14,17 15,61 Lingga 7,86 8,60 9,72 10,68 11,85 Kepulauan Anambas - - 65,45 67,75 72,30

Keterangan : Iw : Indeks Williamson

Hasil analisis Indeks Williamson menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan pembangunan di wilayah Provinsi Kepulauan Riau dengan tingkat sangat tinggi (Iw : 0,5 – 1) dari tahun 2006 sampai tahun 2009, dimana kesenjangan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan nilai Indeks Williamson sebesar 0,8457. Tren positif pembangunan terlihat dari menurunnya tingkat kesenjangan pembangunan setiap tahunnya. Akhirnya pada tahun 2010 kesenjangan pembangunan di wilayah Provinsi Kepulauan Riau menurun dari tingkat sangat tinggi menjadi sedang yaitu 0,49580 (Iw : 0,3 – 0,5). Hal ini menunjukkan keberhasilan pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau, dimana PDRB yang semakin meningkat dari tahun ke tahun mengindikasikan setiap wilayah Kabupaten dan Kota semakin mengejar ketertinggalan dari Kota yang sudah mapan seperti Kota Batam. Penurunan kesenjangan pembangunan yang paling signifikan terjadi pada tahun 2008 ketika Kabupaten Kepulauan Anambas terbentuk. Walaupun merupakan kabupaten baru tetapi PDRB yang dihasilkan cukup besar terutama dari hasil migas. Dengan penduduk yang relatif kecil, nilai PDRB perkapita Kabupaten Kepulauan Anambas menjadi besar. Kota Tanjungpinang juga mengalami pertumbuhan pembangunan yang cukup signifikan mengingat posisinya sebagai pusat ibu kota pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Perpindahan sumberdaya manusia dengan tingkat pendidikan dan keterampilan tinggi ke ibu kota baru ini, semakin mempercepat pembangunan di Kota Tanjungpinang. Kabupaten Bintan dan Karimun mengalami peningkatan

66 pembangunan yang konstan mengingat sumberdaya alam yang ada dapat lebih dioptimalkan pemanfaatannya seiring membaiknya infrastruktur dan peningkatan sumberdaya manusia serta dukungan pemerintah. Kabupaten Lingga dan Natuna juga mengalami perkembangan, tetapi tidak sepesat kabupaten lainnya. Walaupun sumberdaya alam yang dimiliki cukup besar terutama potensi perikanan dan kelautan, tetapi jarak yang jauh, sulitnya akses dan minimnya infrastruktur masih menjadi kendala pengembangan pembangunan. Sumberdaya manusia yang terbatas sangat berpengaruh di dalam partisipasi publik dalam suatu perencanaan pembangunan, kebijakan pemerintah dalam pembangunan wilayah belum dapat sepenuhnya terimplementasikan secara optimal. Secara lengkap analisis Indeks Williamson dapat dilihat pada Lampiran 1.

Selanjutnya hasil dekomposisi indeks sumber disparitas untuk melihat sejauh mana wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan provinsi (kabupaten) dengan wilayah kota mengalami kesenjangan. Data yang digunakan adalah data PDRB dan jumlah penduduk per Kabupaten/Kota pada tahun 2006 sampai dengan 2010. Indeks Theil menunjukkan disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau mengalami penurunan dari tahun ke tahun baik disparitas antar wilayah kota dan kabupaten maupun disparitas antar wilayah kabupaten. Nilai Indeks Theil yang menunjukkan disparitas wilayah antar kota dan kabupaten pada tahun 2006 sebesar 0,034 menurun terus sampai pada tahun 2010 nilainya menjadi 0,016.

Indeks Theil pada disparitas wilayah antar kabupaten pada tahun 2006 sebesar 0,023 turun menjadi 0,018 pada tahun 2010 sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 10. Hal ini menunjukkan proses pembangunan dan pengembangan wilayah cukup berhasil menurunkan tingkat ketimpangan wilayah.

67

Gambar 10. Dekomposisi disparitas wilayah tahun 2006-2010 di wilayah Provinsi Kepulauan Riau dengan Indeks Theil

Pada tahun 2006 – 2007 dekomposisi sumber disparitas di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan bahwa sumber utama disparitas adalah ketimpangan antar kota dan kabupaten yang mencapai 59,59 persen pada tahun 2006 dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 60,20 persen. Tetapi sejak tahun 2008, sumber utama disparitas di Provinsi Kepulauan Riau berubah menjadi ketimpangan antar kabupaten yang menyumbang 54,91 persen pada tahun 2008, sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 11.

S um ber K et im pangan ( % )

68 Walaupun pada tahun 2009 persentase sumber disparitas antar kota kabupaten menurun menjadi 54,26 persen dan kembali turun pada tahun 2010 menjadi 53,75 persen, namun tetap memberikan kontribusi yang lebih besar sebagai sumber disparitas di Provinsi Kepulauan Riau.

Perubahan sumber disparitas dari disparitas antar kota dan kabupaten menjadi disparitas antar kabupaten yang terjadi pada tahun 2008, dikarenakan adanya pemekaran wilayah yaitu Kabupaten Natuna menjadi Kabupaten Natuna sebagai induk dan Kabupaten Kepulauan Anambas sebagai wilayah yang dimekarkan. Pemekaran wilayah ini berdampak signifikan dalam mengubah komposisi sumber disparitas di Provinsi Kepulauan Riau dari ketimpangan antar kota dan kabupaten menjadi ketimpangan antar kabupaten. Secara lengkap analisis Indeks Theil dapat dilihat pada Lampiran 2.

5.5. Faktor-Faktor Terkait Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Kepulauan Riau

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Kepulauan Riau, diketahui dari hasil analisis regresi berganda. Variabel tujuan yang digunakan adalah nilai Indeks Williamson masing-masing kabupaten dan variabel penjelas berupa faktor ekonomi (fasilitas perekonomian dan nilai PDRB) dan faktor sosial (fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan fasilitas ibadah). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat disparitas wilayah sebanyak 5 variabel disajikan pada Tabel 31.

Tabel 31. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Kepulauan Riau

Beta Std.Err. of Beta B Std.Err.of B t(50) p-level Intercept 0,163903 0,015616 10,49580 0,000000 X5 -18,2617 3,315561 -0,056177 0,010199 -5,50786 0,000001 X6 23,2467 4,638729 0,034966 0,006977 5,01143 0,000007 X7 1,9024 0,328184 0,003978 0,000686 5,79681 0,000000 X10 -6,3734 1,306255 -0,010261 0,002103 -4,87913 0,000011 X11 -0,3049 0,072141 -0,000311 0,000074 -4,22619 0,000101 Koefisien determinasi (R2) = 0,799

69 dimana:

Y = Indeks Kesenjangan Wilayah X5 X = PDRB Pertanian 6 X = PDRB Pertambangan 7 X = PDRB Industri Pengolahan 10 X

= PDRB Perdagangan, Hotel dan Restauran

11 = PDRB Angkutan dan Komunikasi

Berdasarkan hasil analisis tersebut bisa disusun suatu persamaan regresi berganda sebagai berikut:

Y = 0,164 – 18,262X1 + 23,247X2 + 1,902 X3 - 6,373 X4 – 0,305X5

dimana : Y = Indeks Kesenjangan Wilayah X1 X = PDRB Pertanian 2 X = PDRB Pertambangan 3 X = PDRB Industri Pengolahan 4 X

= PDRB Perdagangan, Hotel dan Restauran

5 = PDRB Angkutan dan Komunikasi

Nilai koefisien determinasi sebesar 0,799 menjelaskan bahwa persamaan diatas mampu menjelaskan keragaman data sebesar 79 %. Dari hasil analisis yang dilakukan bisa diketahui faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya disparitas antar wilayah antara lain PDRB sektor pertambangan, dan PDRB sektor industri pengolahan. Semakin tinggi kontribusi sektor pertambangan suatu wilayah akan meningkatkan tingkat disparitas wilayah secara keseluruhan karena tidak semua wilayah memiliki kontribusi sektor pertambangan yang besar, sehingga wilayah yang tidak memiliki sektor pertambangan semakin tertinggal. Kontribusi sektor industri pengolahan paling nyata dalam meningkatkan tingkat disparitas wilayah secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi Sektor Industri Pengolahan Kota Batam yang mencapai 88 % dari total PDRB Sektor Industri Pengolahan di Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah dengan kontribusi Sektor industri pengolahan yang rendah semakin tertinggal. Hal ini menyebabkan kesenjangan atau ketimpangan di antara kedua wilayah tersebut semakin lebar.

Hasil analisis menunjukan faktor-faktor yang menurunkan tingkat disparitas adalah PDRB sektor pertanian, PDRB sektor perdagangan, hotel, restauran, dan PDRB sektor angkutan komunikasi. Semakin tinggi kontribusi sektor-sektor tersebut di suatu wilayah akan menurunkan tingkat disparitas antar wilayah secara keseluruhan. Meningkatnya kontribusi PDRB sektor pertanian

70 suatu wilayah dapat menurunkan tingkat disparitas secara menyeluruh. Hal ini merupakan peluang bagi pemerintah untuk memprioritaskan sektor pertanian untuk menurunkan tingkat disparitas. Sektor pertanian dengan sub sektor perikanannya memiliki potensi yang luar biasa besar di wilayah Kepulauan Riau yang mencakup 98,05 % dari total wilayah. Semua kabupaten/kota memiliki potensi yang besar ini, namun masih kurang memadai dari sisi penyediaan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Oleh karena itu pemerintah perlu mengalokasikan dana yang cukup besar untuk mengelola potensi kelautan dan perikanan ini, sehingga dapat meningkatkan perekonomian wilayah secara keseluruhan.

Sektor perdagangan, hotel dan restauran juga berperan dalam menurunkan tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Kepulauan Riau. Sektor ini sangat berkaitan erat dengan pariwisata yang memiliki potensi cukup besar di Provinsi Kepulauan Riau. Kota Batam sejak awal dikenal sebagai daerah wisata belanja, yang banyak dikunjungi wisatawan bukan hanya dari dalam negeri tapi juga manca negara. Faktor kedekatan dengan wilayah Singapura juga menjadi pemicu derasnya arus wisatawan ke Kota Batam. Dewasa ini Kota Batam juga mulai dikenal sebagai salah satu tujuan wisata bawah laut, terutama sejak dimulainya kampanye penyelamatan terumbu karang oleh Kementerian Kelautan dan

Perikanan dibawah program Coral Reef Management Program (COREMAP)

yang bertujuan melestarikan terumbu karang. Ternyata wilayah Kota Batam memiliki beberapa pulau dengan kondisi terumbu karang yang sangat baik, sehingga dapat menjadi daya tarik wisata bawah laut (diving) yang banyak diminati turis manca negara. Selain Kota Batam, seluruh kabupaten dan kota di wilayah Kepulauan Riau memiliki potensi wisata alam yang sangat besar dan masih sangat terjaga, khususnya wisata pantai dan bawah laut. Di wilayah pantai utara Kabupaten Bintan terdapat hamparan pantai pasir putih yang cukup luas dengan pemandangan yang sangat indah, tidak kalah dengan pantai di Bali. Hal ini menarik investor dari Singapura untuk membangun kawasan wisata yang terkenal sebagai Kawasan Wisata Lagoi. Hal ini memberikan pendapatan yang cukup besar kepada pemerintah Kabupaten Bintan. Wilayah lainnya di Kepulauan Riau masih perlu dibangun infrastruktur pariwisatanya dan perlu dipromosikan

71

secara lebih luas. Dengan meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restauran khususnya dari sisi pariwisata maka akan mengurangi tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Kepulauan Riau.

Hasil penelitian menunjukan bahwa salah satu faktor yang menurunkan tingkat disparitas adalah kontribusi PDRB sektor angkutan dan komunikasi. Semakin besar kontribusi sektor angkutan di suatu wilayah akan menurunkan tingkat disparitas wilayah secara keseluruhan. Hal ini dapat dipahami mengingat wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang didominasi lautan dan wilayah daratannya yang terpisah-pisah kedalam 2.408 pulau memerlukan transportasi untuk menunjang arus barang dan manusia. Ketiadaan sarana angkutan menjadi kendala pembangunan wilayah dan dapat menjadikan suatu wilayah terisolasi. Selain itu semakin jauh suatu wilayah dari pusat pemerintahan maka semakin besar biaya transportasi yang dibutuhkan untuk mengaksesnya. Hal ini menyebabkan tingkat perkembangan wilayah berbeda-beda, dimana wilayah yang sulit diakses karena minimnya sarana transportasi akan semakin tertinggal. Hasil penelitian membuktikan bahwa dengan meningkatkan sarana angkutan, dalam hal ini akan meningkatkan kontribusi PDRB sektor angkutan, maka akan dapat menurunkan tingkat disparitas antar wilayah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya untuk

Dokumen terkait