• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkatan stakeholder di kawasan hutan Sesaot

Menurut penuturan narasumber dari Forum Kawasan dan KMPH Sesaot, kebijakan pemanfaatan kayu limbah justru semakin membuat kerusakan hutan yang massif, dikarenakan yang ditunjuk untuk memanfaatkan kayu limbah tersebut bukan dari masyarakat Sesaot, tetapi perusahaan yang ditunjuk dinas kehutanan. Dalam prakteknya masyarakat juga mengetahui mereka tidak hanya memungut kayu yang rebah tetapi juga menebang pohon yang masih tegak. Hal ini yang kemudian memicu masyarakat beramai- ramai masuk ke dalam hutan dan turut menebang pohon-pohon yang masih berdiri, terutama kayu Mahoni.

yang bersama-sama petugas jaga wana kehutanan melakukan patroli pengamanan hutan.

Pada tahun 2003 terbit Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Lombok Barat. Peraturan ini memberikan ruang gerak kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan Sesaot dengan pola HKm. Masyarakat bersedia memberikan bagi hasil hutan bukan kayu sebagai bentuk retribusi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan daerah. Dari tahun 2003 sampai 2006 masyarakat bekerja memanfaatkan hasil hutan dengan menanami tanaman kayu, MPTS, dan tanaman semusim, dengan pola yang sudah ditentukan oleh pemerintah daerah. Pengurusan legalitas pemanfaatan tidak berjalan lancar. Pengelolaan kawasan oleh Tahura juga kurang dapat berjalan karena masyarakat tetap melakukan penolakan atas keberadaan Tahura.

Tabel 9 Sejarah pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Sesaot No Waktu Fungsi & Status Kewenangan

pengelolaan

Kondisi hak dan akses masyarakat

1. Sebelum 1945 Hutan tutupan Pemerintah Hindia

Belanda

Tidak dapat memanfaatkan hutan

2. 1945 – 1982 Hutan produksi terbatas

Pemerintah pusat Terbatas, hanya menjadi buruh perusahaan

perkayuan; partisipasi pada kegiatan rehabilitasi dengan pola tumpang sari. 3. 1982 - 1998 Hutan lindung Pemerintah provinsi Semakin terbatas,

Penanaman kopi penyangga

4. 1994 – 1997 Hutan lindung Pemerintah provinsi

dan kabupaten

Uji coba HKm di Tembiras;Perluasan uji coba HKm; Pembentukan KMPH

5. 1998 – 1999 Hutan lindung Pemerintah provinsi

dan kabupaten

Masa reformasi; krisis ekonomi; banyak terjadi okupasi lahan hutan dan penebangan illegal. Masyarakat sebagai pelaksana saja. 6. 1999 – 2002 Hutan lindung dan

penunjukan Tahura Pemerintah kabupaten dan Provinsi Semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan hutan 7. 2003 – 2008 Hutan lindung dan

Tahura

Provinsi dan kabupaten

Setelah terbit Perda No. 10/2003 masyarakat merasa lebih pasti dalam

memanfaatkan hutan 6. 2009 – sekarang Hutan lindung ;

penunjukan kawasan pelestarian alam

Hutan lindung oleh pemerintah

kabupaten; KPA oleh pemerintah provinsi

Usulan agar areal hutan yang sudah dimanfaatkan masyarakat menjadi HKm; Tahura dipindah

Pada tahun 2006 terbentuk Forum Kawasan Hutan Sesaot, sebagai wadah kelembagaan bagi kelompok-kelompok HKm yang memanfaatkan hutan Sesaot di 5 (lima) desa, yaitu Desa Sesaot, Lebah Sempage, Sedau, Batu Mekar, dan Suranadi. Forum ini diharapkan berperan lebih luas dalam hal pengamanan hutan

dan lahan garapan masyarakat dari tindakan pencurian, illegal loging, dan kerusakan hutan lainya. Aktivitas forum kawasan lainnya yang cukup strategis adalah bersama-sama dengan LSM pendamping mulai mengurus kembali legalitas dan ijin pemanfaatan HKm Sesaot.

Upaya masyarakat untuk mendapatkan legalitas pemanfaatan hutan baru tercapai pada tahun 2009 ketika menteri kehutanan menetapkan areal hutan yang dimanfaatkan KMPH Sesaot menjadi areal HKm, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) oleh Bupati Lombok Barat melalui SK Bupati Lombok Barat Nomor: 2130/65/Dishut/2009. Di sisi lain kementerian kehutanan pada tahun 2009 menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 598/Menhut-II/2009 yang menetapkan penunjukkan kawasan hutan dan konservasi perairan NTB. Pada keputusan ini sebagian kawasan hutan RTK 1 Gunung Rinjani, termasuk sebagian kawasan hutan Sesaot, ditunjuk menjadi kawasan pelestarian alam, meskipun tidak disebutkan berbentuk Tahura.

Dari dua kebijakan yang tidak konsisten tersebut diatas menyebabkan eskalasi konflik antara pengelola Tahura dan masyarakat penggarap HKm kembali naik dari yang tadinya bersifat laten dan mencuat menjadi manifest (konflik terbuka).

Inkonsistensi kebijakan pengelolaan hutan Sesaot

Dari paparan diatas menunjukkan bahwa keberadaan kawasan hutan Sesaot sangat bergantung dari kebijakan peruntukan kawasan hutannya. Kebijakan kehutanan dipengaruhi oleh faktor perubahan politik nasional dan implementasi kebijakan otonomi daerah. Terjadi inkonsistensi kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan Sesaot, yang dimulai dari Kebijakan alih fungsi kawasan hutan, terutama pada saat terbit kebijakan perubahan status sebagian kawasan hutan Sesaot dari hutan lindung menjadi Tahura melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999.

Kebijakan tersebut tidak segera diikuti dengan proses penataan batas dan penetapannya, sehingga kemudian menimbulkan konflik antara pemerintah provinsi dan kabupaten berkaitan dengan kewenangan pengelolaannya. Menurut IDS (2006) pembuatan dan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal yang saling berhubungan dan mempengaruhi, yaitu 1) pengetahuan dan diskursus/narasi kebijakan, 2) aktor-aktor dan jaringannya, dan 3) kepentingan politik. Berbagai kebijakan dan peraturan, mengenai status dan fungsi kawasan hutan yang berujung pada kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan telah diimplementasikan pada kawasan hutan Sesaot. Dalam penelitian ini dianalisis 3 (tiga) tema kebijakan yang mempengaruhi eksistensi kawasan hutan Sesaot, yaitu kebijakan alih fungsi kawasan hutan, kebijakan hutan kemasyarakatan, dan kebijakan pengelolaan taman hutan raya.

Kebijakan Status dan fungsi kawasan hutan Sesaot

Pada kawasan hutan Sesaot telah terjadi perubahan fungsi dan status kawasan hutan, dari hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung, kemudian

sebagian areal ditunjuk menjadi taman hutan raya dan penunjukan sebagai menjadi kawasan pelestarian alam (tanpa penyebutan Tahura). Sebagaimana dijelaskan pada bagian kondisi biofisik, bahwa perubahan status dan fungsi menjadi hutan lindung karena fungsi kawasannya yang sangat penting sebagai daerah tangkapan air. Sementara itu penunjukkan sebagai Tahura disamping berkaitan dengan sumberdaya air juga dikarenakan kawasan hutan Sesaot memiliki flora dan fauna yang unik dan potensi wisata alam yang cukup banyak dan beragam.

Pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan. Pasal 1(3) Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Pada pasal 14(2) disebutkan bahwa untuk memberikan kepastian hukum terhadap kawasan hutan maka dilakukan kegiatan pengukuhan hutan. Proses pengukuhan kawasan hutan merupakan bagian dari kegiatan pembuatan perencanaan hutan, yang didahului dengan inventarisasi hutan. Pengukuhan kawasan hutan meliputi penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan. Proses pengukuhan juga harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Hasil pengukuhan hutan digunakan untuk menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan, yang meliputi penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Semua tahapan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat melalui kementerian kehutanan.

Terjadi penafsiran yang berbeda terhadap kedua pasal tersebut diatas berkaitan dengan kepastian hukum kawasan hutan. Penafsiran pertama menyebutkan bahwa kawasan hutan yang baru ditunjuk sudah mempunyai kepastian hukum, sementara penafsiran lainnya sebuah areal baru bisa disebut kawasan hutan jika sudah melalui proses pengukuhan hutan, yang meliputi keempat proses tersebut diatas.

Implementasi politik otonomi daerah yang ditandai dengan penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten menjadi salah satu penyebab terjadinya diskursus status dan fungsi kawasan hutan Sesaot, berkaitan dengan siapa pihak yang berhak memiliki kewenangan pengelolaan. Hal ini berlangsung sejak dikeluarkannya kebijakan penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot seluas 3.155 ha menjadi Taman Hutan Raya (Tahura), melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999. Pada tanggal 15 Juni 1999 terbit Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 418/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat, dimana seluruh kawasan hutan Sesaot seluas ± 5.950 ha disebutkan masih berstatus sebagai Hutan Lindung.

Dilihat dari waktu keluarnya maka keputusan penunjukan kawasan hutan di wilayah provinsi NTB lebih kuat dibanding keputusan penunjukan sebagian kawasan menjadi Tahura. Akan tetapi pada Permenhutbun Nomor 244/1999 tersebut terdapat klausul bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan yang secara teknis tidak dapat dipetakan dalam lampiran keputusan ini dinyatakan masih tetap berlaku. Klausul tersebut dipandang sebagai dasar bahwa

penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot seluas 3.155 ha menjadi Tahura masih berlaku, meskipun secara teknis sebetulnya mudah untuk memetakan kawasan hutan Sesaot tersebut.

Setelah penunjukan menjadi Tahura, pemerintah tidak menindaklanjuti dengan proses pengukuhan kawasan, yaitu pemetaan dan penetapan kawasan hutan sehingga menimbulkan perbedaan pandangan di antara para pihak yang berkepentingan. Tabel 10 menggambarkan kebijakan yang berkaitan dengan perubahan status kawasan hutan Sesaot.

Tabel 10 Kebijakan perubahan status dan fungsi kawasan hutan Sesaot

No Kebijakan Isi kebijakan Lembaga

yang berwenang Bentuk kewenangan 1. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.756/Kpts/Um/1982 Tanggal 12 Oktober 1982

Terjadi perubahan fungsi kawasan hutan dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi Hutan Lindung (HL) Pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten) Pengelolaan kawasan hutan didelegasikan kepada instansi kehutanan di daerah. 2. Surat Keputusan Menhutbun Nomor 224/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 Perubahan sebagian kawasan hutan lindung Sesaot menjadi Tahura seluas 3.155 ha. Pemerintah pusat; pemerintah provinsi Pengelolaan kawasan yang ditunjuk menjadi Tahura 3. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 418/Kpts- II/1999, tanggal 15 Juni 1999 Penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi NTB seluas 1.021.566 hektar , dimana kawasan hutan Sesaot termasuk kawasan hutan lindung.

Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan lindung Sesaot

4. SK Menteri Kehutanan No 598/2009, tanggal 2 Oktober 2009

Penunjukan kawasan hutan dan konservasi perairan di wilayah Provinsi NTB. Pemerintah pusat, Pemerintah provinsi Pengelolaan kawasan hutan Sesaot (Tahura)

Permasalahannya kemudian terjadi perbedaan pandangan mengenai status kawasan hutan apakah keseluruhan kawasan masih berstatus sebagai hutan lindung atau sebagian sudah menjadi kawasan pelestarian alam dalam bentuk Tahura. Aktor-aktor yang berkepentingan dalam hal ini adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan masyarakat. Pemerintah provinsi dan kabupaten berkepentingan untuk dapat mengelola kawasan hutan Sesaot yang diharapkan sebagai sumber pendapatan asli daerah.

Sementara itu hak dan akses masyarakat terhadap kawasan hutan semakin terbatas dengan ditunjuknya sebagian kawasan hutan menjadi Tahura, karena pada kawasan konservasi tidak dimungkinkan kegiatan pemanfaatan hutan yang dapat mengubah tutupan lahan. Masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan kemudian menjadi resah dan menolak keberadaan Tahura. Penolakan telah dilakukan sejak awal tahun 2000-an yang menyebabkan institusi Tahura tidak dapat melakukan kegiatannya dengan baik. Bangunan kantor di Sesaot kemudian ditinggalkan dan kemudian terbengkalai dan rusak. Demikian juga beberapa aset

lain, seperti kandang rusa, yang akhirnya menjadi tidak terawat dan tidak digunakan sesuai dengan fungsinya.

Tabel 11 Perbedaan karakteristik pengelolaan berdasarkan status dan fungsi hutan No Status dan Fungsi Kewenangan

pengelolaan Pemanfaatan hasil hutan Model pemanfaatan oleh masyarakat 1. Hutan Produksi Pemerintah pusat;

pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten)

Hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, dan jasa lingkungan

Hutan

Kemasyarakatan; Hutan Desa; Hutan Tanaman Rakyat; Pola Kemitraan 2. Hutan Produksi Terbatas Pemerintah pusat; pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten)

Hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan

Hutan

Kemasyarakatan; Hutan Desa; Hutan Tanaman Rakyat; Pola kemitraan

3. Hutan lindung Pemerintah pusat; pemerintah Kabupaten

Hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan Hutan Kemasyarakatan; Hutan Desa 4. Kawasan konservasi (Kawasan pelestarian alam) Pemerintah pusat; pemerintah daerah (Provinsi)

Hasil hutan bukan kayu

Kemitraan dengan pengelola kawasan konservasi

Dari Tabel 11 menunjukkan bahwa status hutan lindung dikelola oleh pemerintah kabupaten, sedangkan kawasan konservasi dikelola oleh pemerintah provinsi. Kawasan hutan Sesaot diperebutkan oleh pemerintah kabupaten dan provinsi NTB.

Dari hasil wawancara dengan informan dari dinas kehutanan kabupaten Lombok Barat diketahui bahwa pemerintah kabupaten menganggap bahwa status hutan Sesaot secara keseluruhan masih sebagai hutan lindung karena setelah ditunjuk sebagai Tahura belum pernah ditindaklanjuti dengan kegiatan penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan, sebagai bagian dari kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana disebutkan UU nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Sebaliknya pemerintah provinsi menganggap bahwa penunjukkan Tahura sudah sesuai dengan ketentuan sehingga sebagian kawasan hutan Sesaot menjadi kawasan konservasi. Persepsi kedua pihak dapat dilihat pada Tabel 12.

Kementerian kehutanan telah mengeluarkan kebijakan mengenai penegasan status dan fungsi kawasan hutan, terutama untuk mengantisipasi dan menyelesaikan konflik sumberdaya hutan akibat perbedaan implementasi kebijakan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut- II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, pada pasal 2 disebutkan bahwa kawasan hutan telah mempunyai kekuatan hukum apabila a) telah ditunjuk dengan keputusan menteri; atau b) telah di tata batas oleh Panita Tata Batas; atau c) Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan telah disahkan oleh Menteri; atau d) Kawasan hutan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Sebagai acuan kawasan hutan adalah status yang terakhir. Pada pasal 11 disebutkan bahwa kawasan hutan berdasarkan TGHK secara parsial telah diubah fungsi dengan keputusan Menteri dan telah dibebani izin penggunaan kawasan

hutan atau izin pemanfaatan hutan, namun dalam penunjukan kawasan hutan (dan perairan) provinsi berdasarkan hasil paduserasi TGHK dan RTRWP ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi yang berbeda dengan hasil perubahan fungsi parsial, maka fungsi kawasan hutan tersebut adalah sesuai dengan hasil perubahan fungsi parsial.

Tabel 12 Analisis persepsi para pihak terhadap status dan fungsi hutan Sesaot No. Pihak Persepsi

terhadap status dan fungsi hutan

Argumentasi

1. Pemerintah Provinsi NTB

Sebagian kawasan hutan Sesaot sudah menjadi kawasan konservasi

- Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 tentang penunjukan seluas 3.155 ha kawasan hutan Sesaot menjadi Tahura

- Perda Provinsi NTB No. 23/2008 yang menyebutkan bahwa kawasan hutan Sesaot dikelola oleh UPTD Tahura. - Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 598/2009

mengenai penunjukan kawasan hutan dan perairan Provinsi NTB yang menyebutkan sebagian kawasan hutan Sesaot sebagai kawasan pelestarian alam.

- Perda Provinsi NTB No. 20/2010 mengenai RTRW Provinsi NTB tahun 2009 - 2029 yang mencantumkan sebagian kawasan hutan Sesaot sebagai kawasan pelestarian 2. Pemerintah Kabupaten Lombok Barat - Pada awalnya mengakui bahwa sebagian kawasan hutan Sesaot telah menjadi Tahura. - Merasa berwenang melakukan pengelolaan Tahura karena mendapat pelimpahan wewenang. - Berpandangan seluruh kawasan hutan Sesaot berstatus sebagai Hutan HL .

- Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 tentang penunjukan seluas 3.155 ha kawasan hutan Sesaot menjadi Tahura.

- SK Dirjen Nomor 579/DJ-V/KK/2001 tanggal 11 Juni 2001 mengenai penyerahan kewenangan pengelolaan Tahura Sesaot dari pemerintah Provinsi kepada Kabupaten.

- Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 418/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat, yang tidak menyebutkan perubahan status dan fungsi kawasan hutan Sesaot .

- Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 445/Menhut- II/2009 tanggal 4 Agustus 2009 mengenai penetapan areal kerja Hutan Kemasyarakatan yang dikelola oleh KMPH Sesaot. Areal kerja yang ditetapkan, yang kemudian diberikan IUPHHKm oleh Bupati Lombok Barat terletak di dalam areal yang ditunjuk sebagai Tahura, sehingga memperkuat argumentasi bahwa seluruh areal hutan Sesaot masih berstatus Hutan Lindung.

Berdasarkan kebijakan seperti pada Tabel 12 penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot menjadi Tahura dipertanyakan karena pasca penunjukan tersebut terbit Kepmenhut Nomor 418/1999 tentang kawasan hutan dan perariran provinsi NTB yang tidak menyebutkan keberadaan Tahura di dalam kawasan hutan Sesaot. Klausul ini menjadi argumentasi bagi pihak yang berpandangan bahwa seluruh kawasan hutan Sesaot masih berstatus hutan lindung. Penunjukan

sebagian kawasan hutan Sesaot menjadi kawasan pelestarian alam baru dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 598/2009 mengenai kawasan hutan dan perairan Provinsi NTB. Kebijakan ini yang menjadi landasan untuk kembali mengaktifkan keberadaan Tahura Nuraksa Sesaot. Pada peta lampiran surat keputusan tersebut sebagian kawasan hutan Sesaot ditunjuk menjadi kawasan pelestarian alam, tetapi tidak disebutkan secara jelas berapaluasannya. Hasil wawancara dengan staf Dinas Kehutanan Lombok Barat dan Kepala Tahura Nuraksa menyebutkan bahwa Tahura akan diperluas sampai mencapai luasan ± 5.000 ha, yang terletak di wilayak Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah.

Peraturan ini hanya menyebutkan luasan dan pembagian fungsi kawasan hutan, tanpa menyebutkan bahwa kawasan hutan Sesaot tersebut ditunjuk dalam bentuk Tahura, sebagaimana penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot menjadi Tahura melalui SK Menhutbun Nomor 244/Kpts-II/1999. Secara hukum, eksistensi model pengelolaan seperti Tahura memerlukan sebuah penunjukan secara khusus, yang dalam hal ini belum dilakukan.

Terdapat kesalahan pada peta lampiran SK Menhut No. 598/Menhut- II/2009, yaitu berkaitan dengan batas wilayah kabupaten. Pada saat kebijakan ini diterbitkan telah terjadi pemekaran wilayah kabupaten Lombok Barat, menjadi Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara, akan tetapi pada peta tersebut belum tercantum Kabupaten Lombok Utara, sehingga batas-batas kabupaten pun masih mengacu pada batas kabupaten yang lama. Untuk menjadi acuan peta ini sebaiknya di revisi dengan memperhatikan batas wilayah administratif yang baru.

Pada sebagian areal yang ditunjuk sebagai Tahura juga telah terjadi perubahan parsial dengan ditetapkan sebagai areal kerja HKm oleh Menteri dan telah mendapatkan izin usaha pemanfaatan HKm oleh Bupati, sehingga status dan fungsi kawasan hutan adalah sesuai dengan hasil perubahan fungsi parsial, dimana HKm sampai saat ini baru dapat diberikan kepada kelompok masyarakat yang memanfaatkan areal hutan produksi dan hutan lindung.15

Pada bulan Februari 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui keputusan nomor 45/PUU-IX/2011, mengabulkan permohonan uji materi terhadap pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang kehutanan, yang diajukan 5 (lima) bupati (Bupati Kapuas, Gunung Mas, Katingan, Barito Timur, dan Sukarama) dan seorang pengusaha di Kalimantan Tengah. Mahkamah konstitusi memandang bahwa penunjukan kawasan hutan yang dilakukan sepihak oleh Menteri Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum dan melanggar undang-undang dasar, karena semestinya sebelum dilakukan penunjukan dikonsultasikan dahulu dengan pihak lain yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan yang ditunjuk. Sebuah kawasan hutan akan mempunyai kekuatan hukum tetap setelah dilakukan proses-proses penetapan kawasan hutan, sebagaimana pada pasal 14 UU No. 41/1999. Penunjukan kawasan hutan yang

Dokumen terkait