• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkatan-tingkatan Iyyaka Na'budu dan Penopang Ubudiyah

Ditilik dari ilmu dan amal, ubudiyah itu mempunyai beberapa ting- katan. Ubudiyah dari sisi ilmu ada dua tingkatan: Ilmu tentang Allah dan ilmu tentang agama-Nya. Ilmu tentang Allah ada lima macam: Ilmu tentang Dzat, sifat, perbuatan, asma' Allah dan membebaskan-Nya dari hal-hal yang tidak sesuai dengan-Nya. Ilmu tentang agama-Nya ada dua macam: Ilmu yang berkaitan dengan perintah dan syariat, yang sekaligus merupakan jalan lurus yang menghantarkan kepada Allah, dan ilmu yang berkaitan dengan pahala serta siksa.

Ubudiyah berkisar pada beberapa penopang. Siapa yang dapat me- nyempurnakan penopang-penopang ini, maka dia dapat menyempurna-kan tingkatan-tingkatan ubudiyah di atas. Jelasnya, ubudiyah itu terbagi atas hati, lisan dan anggota tubuh. Masing-masing dari tiga bagian ini mempunyai ubudiyah yang bersifat khusus. Sementara hukum-hukum ubudiyah ada lima macam: Wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Lima hukum ini berlaku untuk hati, lisan dan anggota tubuh.

Yang wajib bagi hati ada yang sudah disepakati kewajibannya dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati kewajibannya adalah: Ikhlas, tawakal, cinta, sabar, pasrah, takut, berharap, pembenaran, niat dalam ibadah. Yang diharamkan bagi hati adalah: Takabur, riya', ujub, dengki, lalai dan kemunafikan. Semua ini dapat dihimpun dalam dua perkara: Kufur dan kedurhakaan. Kufur seperti keragu-raguan, kemunafikan, syirik dan segala cabangnya. Kedurhakaan ada dua macam, besar dan kecil. Kedurhakaan yang besar seperti riya', takabur, ujub, membanggakan diri, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, merasa senang melihat penderitaan orang Muslim, suka jika ada kekejian yang menyebar di tengah orang-orang Muslim, iri terhadap karunia yang mereka terima, berharap agar karunia itu sirna dari mereka dan hal-hal lain yang sejenis. Semua ini jauh lebih diharamkan daripada pengharam-an zina dan minum khamr serta dosa-dosa besar yang zhahir. Semua keburukan ini muncul karena ketidaktahuan tentang ubudiyah hati dan tidak memperhatikannya. Tugas iyyaka na'budu dibebankan kepada hati ter- lebih dahulu sebelum dibebankan kepada anggota tubuh. Jika tugas ini diabaikan, maka yang muncul adalah kebalikannya.

Dosa-dosa kecil dalam hati seperti menginginkan hal yang haram dan membayangkannya. Perbedaan tingkat keinginan, tergantung pada perbedaan tingkat sesuatu yang diinginkan. Keinginan terhadap kufur dan

syirik adalah kufur. Keinginan terhadap bid'ah adalah kefasikan. Keinginan terhadap dosa besar adalah kedurhakaan. Jika seseorang me- ninggalkan keinginan ini karena Allah menurut kesanggupannya, maka dia mendapat pahala.

Sedangkan ubudiyah lisan ada lima macam: Yang wajib adalah mengucapkan syahadatain, membaca apa yang harus dibaca dari isi Al- Qur'an, seperti yang menjaga keabsahan shalat, mengucapkan dzikir- dzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Ra- sul-Nya, membalas ucapan salam, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajari orang yang bodoh, menunjuki orang yang sesat, memberikan kesaksian yang dibutuhkan, berkata jujur dan lain-lainnya. Sedangkan yang sunat bagi lisan adalah membaca Al- Qur'an, terus-menerus menyebut asma Allah, menggali ilmu yang ber- manfaat dan lain-lainnya. Sedangkan yang haram bagi lisan ialah meng- ucapkan perkataan apa pun yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, menyam- paikan bid'ah yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya, menyeru kepada bid'ah, menuduh dan mencaci orang Muslim, dusta, memberikan kesaksian palsu dan mengatakan tentang Allah tanpa dida- sari pengetahuan. Sedangkan yang makruh bagi lisan ialah mengatakan sesuatu, padahal andaikata hal itu tidak dikatakan, maka akan lebih baik. Hal ini tidak mengakibatkan siksaan.

Ubudiyah yang harus dilakukan anggota tubuh ada dua puluh lima, karena indera ada lima dan masing-masing indera mempunyai lima ke- wajiban, yang meliputi wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.

Persinggahan Iyyaka Na'budu di dalam Hati Saat Mengadakan Perjalanan kepada Allah

Banyak orang yang mensifati persinggahan ini dan menyebutkan bilangannya. Di antara mereka ada yang menyebutnya seribu, ada pula yang menyebutnya seratus, ada yang kurang dan ada yang lebih. Masing- masing orang mensifatinya menurut perjalanan yang dilakukannya. Berikut ini akan saya sebutkan secara ringkas namun tuntas masing-masing di antara persinggahan ini.

Yang pertama adalah al-yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pem- benahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian. Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia ditawan.

Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahanal- azm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap meng- hadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantar- kan ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka se-jauh itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh itu pula persiapan yang dilakukannya.

Jika sudah terjaga, maka dia memilikial-fikrah,yaitu pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrah-nya sudah benar, tentu dia memiliki al-bashirah, yaitu cahaya di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya. Dengan semua ini seakan-akan dia bisa melihat apa yang terjadi pada hari akhirat, semua orang dibangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para nabi, syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya seakan ada mata yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagai- mana keduniaan ini yang begitu cepat berlalu.

Al-Bashirah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati, sehingga seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakan- akan dia bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu dia bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.

Al-Bashirah itu didasarkan pada tiga derajat, siapa yang dapat me- nyempurnakan tiga derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashi- rah-nya, yaitu: Pertama,bashirah tentang asma' dan sifat. Kedua, bashirah tentang perintah dan larangan. Ketiga, bashirah tentang janji dan ancaman.

Bashirah tentang asma' dan sifat-sifat Allah, artinya imanmu tidak dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang diberikan Allah kepada Diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya. Sebab syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah.

Tingkatan bashirah yang dimiliki masing-masing manusia berbe-da- beda, tergantung dari tingkat pengetahuan mereka tentang pengabaran Nabawy dan pemahamannya serta ilmu tentang syubhat yang bertentangan dengan hakikat-hakikatnya. Orang yang paling lemahbashirah-nya adalah para teolog batil yang biasanya suka mencela orang-orang salaf, karena mereka tidak mengetahui nash dan tidak memahaminya. Syubhat mengendap di dalam hati mereka. Orang-orang awam yang bukan termasuk orang-orang Mukmin yang sesungguhnya, justru lebih sempurna daripada

para teolog itu, lebih kuat imannya, lebih mempercayai wahyu dan lebih tunduk kepada kebenaran.

Bashirah tentang perintah dan larangan artinya membebaskan hati dari penentangan karena melakukan ta'wil, taqlid atau mengikuti hawa nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat yang bertentangan dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula dikuasai nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan itu, tidak pula mengikuti taqlid yang membuatnya merasa tidak perlu berusaha menggali hukum darinash.

Bashirahtentang janji dan ancaman artinya engkau mempersaksi-kan penanganan Allah terhadap apa pun yang dilakukan setiap manusia, yang baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya. Keraguan tentang hal ini sama dengan keraguan tentang Uluhiyah dan rububiyah-Nya, bahkan keraguan tentang wujud-Nya.

Orang yang berada di persinggahan bashirah mempunyai alternatif jalan lain, yaitubashirahyang membebaskannya dari kebingungan.

Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah, maka dia akan mengambil maksud dan kehendak yang tulus, menghimpun maksud dan niat untuk melakukan perjalanan kepada Allah. Setelah tahu dan yakin tentang hal ini, maka dia mulai melakukan perjalanan, membawa bekal menuju hari datangnya pembalasan, membebaskan diri dari rintangan yang menghambat perjalanannya. Maksud bisa dibagi menjadi tiga ting- katan:

Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan membe- baskan diri dari keragu-raguan.

Kedua, maksud yang karenanya semua rintangan akan disingkirkan dan semua penghalang akan dihadapi.

Ketiga,maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan mau men-dengarkan nasihat dari orang yang lebih bijaksana.

Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bu-lat, lalu mengharuskannya memulai perjalanan sambil disertai tawakal kepada Allah. Firman-Nya,

"Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah."(Ali Imran: 159).

Al-Azm artinya maksud yang bulat dan yang mendorong muncul- nya aksi. Karena itu ada yang menganggap tekad yang bulat ini merupa-kan permulaan aksi untuk mencari maksud dan tujuan. Pada hakikatnya tekad ini merupakan kekuatan kehendak yang sudah berhimpun untuk mengadakan aksi.

Tekad ini ada dua macam:

Pertama,tekad orang yang hendak mengayunkan langkah melakukan perjalanan atau bisa juga disebut permulaan perjalanan.

Kedua, tekad saat berada di dalam perjalanan. Hal ini sifatnya lebih khusus lagi.

Pada etape ini seseorang perlu membedakan antara apa yang menjadi haknya dan kewajibannya, agar dia tahu apa yang memang menjadi bagiannya dan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu muhasabahsebelum taubat. Tetapi pengarang Manazilus-Sa'irin menempatkan taubat sebelum