• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Tinjauan Empiris

Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Jika suatu produk telah diproduksi secara efisien maka biaya produksi akan menurun sehingga keuntungan akan semakin meningkat. Daya saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negera di dalam perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gains from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara-negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu, selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satu- sama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus.

2.2.1. Studi Daya Saing Sapi Potong

Penelitian mengenai daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) telah banyak dilakukan diantaranya Simatupang dan Hadi (2004) menyimpulkan bahwa diproyeksikan Indonesia tahun 2020 akan mengalami defisit produksi daging sapi sebesar 2.7 juta ekor. Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang mempunyai keunggulan komparatif untuk mengembangkan sistem peternakan berbasis pakan rumput seperti sapi potong, kerbau, kambing dan domba, sehingga daya saing usaha peternakan di Indonesia terletak pada pakan asal biji-bijian yaitu ayam ras pedaging dan petelur. Oleh karena itu untuk mengembangkan usaha

sekaligus daya saing peternakan di Indonesia, dengan mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi diperlukan pengembangan teknologi.

Nalle (1996) terhadap pengusahaan ternak sapi potong di wilayah Nusa Tenggara Timur, memperlihatkan bahwa baik untuk sistem pengembalaan maupun sistem ikat serta pada orientasi substitusi impor dan perdagangan antar wilayah nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) nya lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa pengusahaan komoditi ternak sapi potong di Nusa Tenggara Timur adalah layak dan memiliki keunggulan komparatif. Namun Nefri (2000) menghasilkan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif terhadap kinerja usaha peternakan sapi potong di Indonesia, memperlihatkan tingkat daya saing yang relatif masih rendah baik sebelum atau sesudah perbaikan pakan, dimana nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat pengembalian modal (ROI) 12-13 persen serta Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) 0.52-0.56.

Penelitian yang dilakukan Perdana (2003) menghasilkan bahwa usaha penggemukan sapi menguntungkan secara sosial dan dengan sendirinya memiliki keunggulan komparatif. Selain itu tingkat keuntungan yang diperoleh antar skala usaha (kecil, sedang, dan besar) tidak berbeda nyata. Widodo (2006) menghasilkan pengelolaan sapi potong model Sistem Integrasi Pertanian Ternak (SIPT) memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) atau Domestic Resources Cost Coeficient (DRCC) < 1.0 yaitu 0.57. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan diarahkan pada upaya mempertinggi harga bayangan sapi potong (harga batas) dan memperendah harga input. Mempertinggi harga bayangan daging sapi dilakukan dengan penerapan tarif impor sehingga output sapi domestik mampu bersaing secara kompetitif dengan sapi impor. Hal ini dapat diterapkan karena kebijakan tarif pemerintah masih rendah yaitu di bawah lima persen.

Sunandar (2006) melakukan penelitian di Kabupaten Gunung Kidul untuk mengetahui keunggulan komparatif usaha ternak sapi potong, menemukan bahwa usaha ternak sapi ptong di Gunung Kidul tidak memiliki keunggulan komparatif. Nilai KBSD besar dari satu (KBSD>1) menunjukkan bahwa dari penggunaan

sumberdaya domestik yang ada, usaha ternak sapi potong tidak layak untuk dikembangkan karena secara sosial merugikan masyarakat. Comparative

disadvantages yang dialami usaha ternak sapi potong tidak terlepas dari adanya

distorsi harga sapi potong akibat dumping atau subsidi ekspor oleh negara pengekspor produk sapi potong ke Indonesia

Indrayani (2011) menemukan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot sapi potong di Kabupaten Agam adalah jumlah hijauan, konsentrat, umur sapi bakalan dan penguasaan ternak. Peternakan sapi potong pada dua kecamatan yang diteliti mempunyai keunggulan komparatif dengan PCR < 1 serta keunggulan kompetiti dengan DRC < 1. Faktor yang berpengaruh paling besar terhadap daya saing sapi potong adalah harga output. Dimana penurunan harga output sebesar 15 persen menyebabkan usaha penggemukan sapi potong tidak memiliki keunggulan komparatif lagi.

2.2.2. Studi Daya Saing Perikanan

Penelitian daya saing perikanan khususnya patin belum banyak dilakukan. salah satunya di lakukan oleh Mastuti (2011), penelitian ini dilakukan di Bogor Jawa Barat tentang daya saing usaha pembenihan ikan patin yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Mastuti menemukan bahwa usaha pembenihan ikan patin tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif selama tahun 2008- 2009, hal ini ditunjukkan oleh nilai PCR dan DRC kurang dari satu. Penurunan keunggulan kompetitif terjadi disebabkan oleh naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%, dan menurunnya harga output 20%. Sedangkan penurunan keunggulan komparatif disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.

Prawitasari (2009) meneliti tentang daya saing benur di Kabupaten Situbondo, hasilnya menunjukkan bahwa komoditas benur mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Adanya kebijakan pemerintah terhadap input berupa pemberian subsidi pupuk menyebabkan harga input produsen benur lebih rendah dari harga dunia. Sedangkan pemberlakuann tarif ekspor produk perikanan sebesar 7-13 persen menyebabkan produsen harus menanggung biaya ekspor lebih tinggi.

Penelitian tentang dampak keunggulan kompetitif dan komparatif pada komoditi ikan hias dilakukan oleh Suprapto (2005), hasil analisis menggunakan

metode PAM menunjukkan bahwa pengusahaan ikan hias (Betta) menguntungkan secara finansial dan ekonomi. Hasil analisis secara kompetitif maupun komparatif menunjukkan bahwa usaha ikan hias mempunyai daya saing yang tinggi sebagai komoditas ekspor karena nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output menyebabkan penurunan penerimaan karena harga output yang diterima lebih rendah dari harga yang sesungguhnya. Harga input yang dibayar juga lebih besar dari harga ekonominya. Dengan adanya kebijakan pemerintah maka keuntungan yang diterima lebih rendah dari harga yang seharusnya.

Esmaeili (2008) melakukan analisis daya saing budidaya udang di Iran. Hasil analisis menunjukkan bahwa budidaya udang memperoleh keuntungan privat yang positif sedangkan keuntungan sosial negatif. Hal ini disebabkan karena harga sosial input seperti BBM, listrik dan pupuk lebih tinggi dari harga pasar, sedangkan harga pakan lebih rendah dari harga pasar. Hal ini juga menunjukkan bahwa meskipun pemerintah pemerintah memberi subsidi pada input produksi udang, produsen udang juga sebagai pembayar pajak untuk biaya input total.

2.2.3. Studi Aspek Kebijakan

Studi tentang aspek kebijakan menyangkut tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditi dengan menggunakan matriks análisis kebijakan (PAM). Emilya (2001) melakukan kajian tentang pengusahaan komoditas tanaman pangan di Provinsi Riau. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengusahaan padi, kedelai dan jagung memiliki keuntungan secara privat dan sosial serta memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Nilai EPC untuk ketiga komoditas lebih besar dari satu artinya kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap output dan input telah efektif melindungi produsen.

Novianti (2003) melakukan penelitian analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas unggulan sayuran. Hasil penelitian dengan menggunakan metode PAM, dimana kebijakan pemerintah dibidang perdagangan komoditas sayuran khususnya kentang dan kubis menyebabkan harga kedua komoditas tersebut lebih murah dibanding dengan harga sosial yang seharusnya diterima petani. Hal ini berkaitan dengan tiga faktor klasik yaitu (1)

lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak transparan sehingga rantai pemasaran panjang dan biaya pemasaran tinggi, (2) posisi tawar petani lemah sehingga petani hanya penerima harga yang pasif serta hanya menerima keputusan harga dari pedagang, dan (3) mental usahatani masih bermental subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju dan bersaing dengan pasar global.

Yao (1997) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi padi Thailand yang mempunyai kompetisi dengan kedelai dan kacang hijau yang dilakukan di dua lokasi yang berbeda. Hasil penelitian menginformasikan bahwa kebijakan pemerintah Thailand adalah melindungi produsen padi melalui pemberian subsidi pada input tradable demikian pula dengan komoditi kedelai dan kacang hijau. Bahkan untuk produksi kedelai, pemerintah Thailand memberikan subsidi sebesar 21.6 persen.

Mohanty, Fang dan Caudhari (2003) tentang Daya Saing Kapas di India. Hasil penelitian tersebut adalah produksi kapas India tidak efesien tanpa intervensi pemerintah dan kemungkinan terjadi pergeseran tanaman kapas digantikan oleh tanaman tebu dan kacang tanah yang lebih menguntungkan, sehingga dianjurkan agar kebijakan India lebih menjaga ketersediaan kapas murah untuk sector hadloom dan tekstil.

Penelitian yang dilakukan oleh Ali dan Khan (2012) menggunakan NPC, EPC, PSE dan SRP untuk mengukur intervensi pemerintah di Pakistan pada sektor tebu di wilayah pertanian tebu tiga besar yaitu Pakistan Punjab, Sindh dan Khyber Pakhtunkhwa dan Pakistan secara keseluruhan. Hasil analisis mengungkapkan bahwa di bawah rezim substitusi impor, terjadi transfer output maupun input dari produsen tebu kepada masyarakat dan wajib pajak ekspor. Di bawah rezim promosi ekspor, transfer ini berasal dari masyarakat dan pembayar pajak kepada produsen tebu. Ini menyiratkan bahwa kebijakan pertanian dan ekonomi makro tidak konsisten dengan keuntungan komparatif dari produksi tebu baik pada rezim substitusi impor maupun promosi ekspor.

Dokumen terkait