• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.14. Tinjauan Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Waluyo (2006), menyebutkan bahwa beberapa pengalaman dunia industri memperlihatkan adanya kesanksian atas hasil dan kualitas penelitian di Indonesia, karena hasil-hasil penelitian selama ini banyak yang tidak dilengkapi oleh sejarah penelitian atau dokumentasi yang lengkap dari hasil penelitian tersebut. Dokumentasi yang dimaksud mulai dari fase riset dasar sampai fase terakhir yaitu commercial business plan. Oleh karenanya, menelusuri sebuah prototipe inovasi teknologi dari penelitian hulu yang mendasar hingga menjadi produk inovasi itu sendiri merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai upaya pembuktian historikal terciptanya sebuah produk inovasi. Sebagaimana juga disarankan dari penelitian Dharmawan (2007), bahwa inventor perlu menuliskan setiap kegiatan selama penelitian beserta pengeluaran yang sudah dilakukan ke dalam suatu log book secara terperinci yang nantinya dokumentasi ini dapat digunakan sebagai landasan penghitungan biaya investasi dalam menghasilkan invensi dan keuntungan yang diharapkan dari invensi tersebut. Jagung hibrida merupakan salah satu invensi yang cukup tercatat dengan baik, hanya saja belum ditemukan dokumentasi terkait dengan commercial business plan.

Penelitian Waluyo (2006), berhasil melakukan perbaikan proses komersialisasi melalui business reengineering process yaitu suatu usaha dalam meningkatkan nilai tawar teknologi yang dilakukan secara bertahap untuk mencapai komersialisasi. Hubungan-hubungan kemitraan dilakukan untuk dapat dijadikan model dalam percepatan komersialisasi hasil-hasil penelitian. Oleh karena adanya kebutuhan waktu yang panjang antara invensi dan inovasi, penelitian Waluyo (2006) mengkaji pada kemungkinan percepatan komersialisasi. Di dalam analisisnya tersebut, bentuk proses komersialisasi yang sederhana dan lebih efisien dalam bentuk blok diagram yang menghasilkan pengurangan waktu yang cukup penting disertai kendala yang menyebabkan prosesnya menjadi lama. Sinkronisasi dan percepatan komersialisasi dilakukan melalui peningkatan nilai tawar teknologi bersama-sama dengan melakukan partnership. Perbaikan proses

32

dilakukan terhadap kurva s (daur hidup teknologi), dengan menyisipkan satu proses paten turunan. Dalam hal ini, model partnership yang dihasilkan dikendalikan sepenuhnya oleh leadership dengan efektifitas partnership sedangkan untuk pendanaan dalam kondisi kurang. Hasilnya adalah terjadi sinkronisasi dalam percepatan komersialisasi melalui peningkatan nilai tawar teknologi bersama-sama dengan melakukan partnership.

Efisiensi proses komersialisasi terjadi dengan menggabungkan 2 (dua) proses menjadi 1 proses dan menggerakkan proses secara paralel, sehingga proses di belakangnya dapat langsung bekerja tanpa menunggu proses di depannya selesai. Penggabungan proses dilakukan untuk memperkecil jumlah waktu proses, disamping itu juga secara teknis bahwa antara blok 1 dan blok 2 merupakan proses yang berkaitan, karena sesungguhnya semua riset dasar idealnya bermuara pada prototipe. Pada blok 3 memperlihatkan bahwa pengurusan paten dapat dilakukan secara terpisah tanpa mengganggu proses yang lain. Pada blok 4 dan 5 merupakan 2 blok yang juga dapat disatukan, karena dalam kenyataannya hal tersebut dapat dilakukan di lokasi dan tempat yang sama (Gambar 11).

Di dalam penelitian Widyaningrum (1999) disebutkan bahwa untuk studi kasus di Institut Teknologi Bandung (ITB) ditemukan bahwa faktor-faktor yang menjadi kelemahan dan kekuatan dalam melaksanakan konsep manajemen komersialisasi teknologi di ITB yaitu kompetensi, motivasi, komitmen dan linguistik tinggi, dimana aspek ini merupakan kekuatan, sedangkan aspek kelemahannya yaitu sarana dan prasarana, visi, dan kepemimpinan.

Gambar 11. Alternatif Proses Komersialisasi (Waluyo, 2006) RISET DASAR 1 2 3 4 5 6 7 8 UJI COBA PRODUKSI UJI COBA PASAR

PROTOTIPE PILOT SCALE SERTIFIKASI FS

DISATUKAN DISATUKAN

Seperti dituliskan oleh Yuswanto (2008) bahwa urusan HKI memang berhubungan dengan nilai ekonomi yang melekat pada karya intelektual. Karenanya akan menjadi naif apabila mempunyai HKI tetapi tidak menghasilkan nilai materiil (baca : uang). Walau tidak dipungkiri ada sisi lain berupa nilai sosial dari suatu kekayaan intelektual, terutama pada produk hasil inovasi yang tidak bernilai komersial seperti rendahnya nilai kebaruan, rendahnya nilai kegunaan atau manfaat yang diperoleh, presisi mutunya rendah, nilai investasi yang rendah dan hanya mengandung muatan teknologi yang rendah pula.

Indraningsih (2010), dalam penelitiannya yang mengadaptasi Rogers (2003) menuliskan kerangka berpikirnya mengenai adopsi inovasi usaha tani terpadu pada lahan marjinal dengan persepsi petani terhadap ciri inovasi (teknologi lokal dan anjuran) adalah:

a) Keuntungan relatif (relative advantage) : tingkatan suatu inovasi dianggap lebih baik daripada ide sebelumnya, seringkali dinyatakan sebagai keuntungan ekonomi, prestise sosial, atau dengan cara lainnya.

b) Kesesuaian (compatibility) : tingkatan suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan potensial adopter.

c) Kerumitan (complexity) : tingkatan suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi dapat dengan mudah dipahami oleh adopter yang potensial, sedangkan yang lain tidak.

d) Dapat diuji coba (triability) : tingkatan suatu inovasi dapat dicoba dengan skala yang terbatas.

e) Dapat diamati (observability) : tingkatan hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain.

Demikian pula halnya dalam penelitian Kuswarno (2006) yang juga mengadaptasi Rogers (2003) bahwa di dalam pendekatan komunikasi inovasi atau difusi inovasi kelima peubah tersebut diperhatikan guna penerimaan inovasi. Sedangkan Narayanan (2001) menuliskan bahwa strategi kerjasama amat berguna bagi investor terutama di dalam mencapai tujuan jangka panjangnya, yaitu : (1) mengendalikan evolusi daya saing yang begitu cepat; (2) memperoleh

34

pengetahuan; dan (3) mengembangkan hubungan dengan lembaga lainnya (Tabel 6) .

Tabel 6. Ringkasan Penelitian Sebelumnya

Peneliti Obyek penelitian Indikator Kerjasama Nilai kebaruan 1. Narayanan

(2001)

Investor 1) Mengendalikan evolusi daya saing yang begitu cepat; 2) Memperoleh pengetahuan; 3) Mengembangkan hubungan dengan lembaga terkait. Analisa alasan bekerjasama investor 2. Wheelen dan Hunger (2004) dan Hummel, et al (2010)

Industri 1) Akses pada teknologi

2) Akses pada pasar 3) Mengurangi risiko keuangan 4) Mengurangi risiko politis 5) Mencapai daya saing Formulasi strategi kerjasama

3. Osman (2004) Industri farmasi 1) Proses kerjasama 2) Proses manajemen Industri di dalam upaya komersialisasi melaksanakan kedua komponen kerjasama dan manajemennya secara paralel.

4. Waluyo (2006) Kajian percepatan komersialisasi pada hasil riset

1) Proses prototipe 2) Proses uji coba

produksi 3) Proses uji coba

sertifikasi 4) Feasibility Study

Peningkatan nilai tawar produk hasil riset dilakukan dengan membentuk hubungan kemitraan. 5. Indraningsih (2010) dan Kuswarno (2006) mengadaptasi Rogers (2003) Petani di lahan marjinal dalam mengadopsi inovasi usaha tani terpadu.

1) Keuntungan relatif; 2) Kesesuaian; 3) Kerumitan; 4) Dapat diuji coba; 5) Dapat diamati.

Bahwa tidak seluruhnya hasil inovasi diadopsi oleh petani.

Kerjasama yang optimal dalam rangka komersialisasi produk hasil inovasi dapat dilaksanakan melalui kontrak ekslusif lisensi (Narayanan 2001 mengadaptasi Roberts dan Berry, 1985) dengan kriteria inovasi yang mampu memberikan keuntungan relatif, kesesuaian (bidang minat investor), kerumitan (dapat diatasi melalui pendampingan inventor), dapat diujicobakan dan dapat

diamati (Rogers 2003 yang diadaptasi oleh Indraningsih, 2010 dan Kuswarno, 2006) dan keseluruhannya dilaksanakan melalui proses manajemen dan proses kerjasama (Osman, 2004).

Yaakub, et al (2011) dalam penelitiannya mengenai tantangan mengkomersialisasikan hasil-hasil penelitian pertanian dari lembaga penelitian universitas menyebutkan bahwa upaya mempromosikan hasil-hasil penelitian dari lembaga penelitian di perguruan tinggi akan lebih lama dibandingkan dengan lembaga penelitian seperti MARDI atau FAMA. Tantangan dalam komersialisasi tersebut, yaitu : (1) Ketepatan waktu; Aktivitas komersialisasi adalah proses yang panjang. Kegiatan ini memerlukan investasi awal sebelum menghasilkan keuntungan. Investasi awal tersebut berupa ketersediaan invensi dari KI, proses pendaftaran perusahaan dan mempekerjakan pengusaha bermutu dalam pemasaran produk; (2) Insentif dan Sistem penghargaan: masalah lain dalam kegiatan komersialisasi adalah kurangnya insentif yang tepat dan sistem penghargaan. Meskipun ada perdebatan tentang penghargaan dan insentif, sangat penting bahwa perguruan tinggi memiliki sistem imbalan yang tepat; dan (3) Interaksi Universitas-industri: Ada beberapa sumber telah memperingatkan tentang pengaruh yang tidak semestinya apabila perusahaan menyediakan dana penelitian dan kemungkinan adanya potensi penyalahgunaan oleh fakultas dan staf universitas karena dipicu oleh iming-iming dana yang akhirnya mulcul konflik berkomitmen. Berdasarkan dari literatur ada dua bentuk transfer teknologi universitas: paten/lisensi teknologi, spin-off.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu pada sisi obyek risetnya. Obyek riset penelitian pertanian untuk dikomersialisasikan tentunya berbeda dengan obyek riset produk manufaktur yang berwujud sama, baik pada skala pilot maupun pada skala komersial. Tidak demikian halnya dengan produk hasil riset pertanian, dimana produk riilnya masih setengah jadi karena baru berupa benih jagung hibrida dan belum berupa produk yang langsung dinikmati konsumen luas. Akan tetapi produk hasil inovasi jagung hibrida ini masih memerlukan implementasi awal sampai akhirnya dapat mencapai konsumen setelah diketahui karakteristik produknya berupa kemampuan produksi, ketahanan terhadap hama/penyakit, dll.

Dokumen terkait