• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi Kelahiran

Bab IV Merupakan bab terakhir yang menjadi penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bertujuan memberikan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya tentang

KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006

F. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi Kelahiran

Dalam Islam status kewarganegaraan seseorang dapat dilihat berdasarkan dua macam asas, yaitu:

'+ Artikel diakses pada 10 Desember 2009 dari

1. Asas ius sanguinis, Yaitu asas yang menentukan status kewarganegaraan anak berdasarkan garis keturunan. Dengan kata lain bahwa apabila suami istri memeluk agama Islam atau menjadi dzimmi, maka status kewarganegaraan anak-anaknya mengikuti status kewarganegaraan orang tuanya yang beragama Islam atau dzimmi. Hal ini berarti meskipun seorang warga negara Islam melahirkan anaknya di luar wilayah kekuasaan Islam, status kewarganegaraan anak tetap mengikuti mereka, yakni warga negara Islam Namun bila terjadi perubahan kewarganegaraan dari Islam menjadi harbi, maka status kewarganegaraannya tetap tidak berubah. Anak-anak yang belum dewasa tetap dianggap seorang muslim bila ibu dan ayahnya murtad, demikian pula bila salah seorang orang tuanya yang murtad.39

2. Asas ius soli, yaitu asas yang menentukan status kewarganegaraan anak berdasarkan tempat dia dilahirkan. Dalam Islam mengangkat anak, apalagi anak yatim baik karena orang tuanya meninggal atau tidak diketahui, yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah S.W.T. Hal ini sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasulullah S.A.W. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: yang artinya “Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya”. Laqith atau anak yang

39

Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqh Islam dengan Syariat Agama Lain, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), Edisi ke-2, h. 45.

dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim.

Memang sebenarnya konsep kewarganegaraan dalam Islam penulis tidak menemukan penjelasannya secara eksplisit mengenai asas yang berdasarkan kelahiran beserta cakupannya. Namun secara tersirat asas tersebut terkandung di dalam konsep kewarganegaraan Islam sebagaimana telah disebutkan di atas. G. Tinjauan hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi

Perkawinan

Dalam hukum Islam dikenal tiga macam perkawinan, yaitu: 1. Perkawinan antara Pria Muslim dengan Wanita Musyrik

Dalam Islam menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tak boleh diotak-atik. Semua perangkat syariah dikerahkan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kalau perlu, nyawapun harus direlakan. Dalam ushul fiqh, term ini disebut hifdz ad-din, yang menempati rangking satu dalam urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam (ad-daruriyat al-khamsah).

Keseriusan Islam dalam membentengi umatnya tercermin dari sikap keras Nabi. Sebagaimana sabdanya. Artinya: Diriwayatkan dari Ibni Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

!

"#$

%

" &ﺕ

()*

+

+

,$

%

-./

0/,

23

-*ی5

6 / + 7

6 $

8$ 9!

Artinya: “Barangsiapa pindah agama, bunuh saja”40

Barangkali persoalan kawin campur dapat dipahami dari segmen ini. Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Oleh karena itulah, ia sama sekali tidak bisa mentolerir perkawinan dengan kaum atheis (orang yang tidak bertuhan).

Dalam kehidupan sehari-hari tekadang terjadi sebuah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan agama. Al-quran secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik,41 sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Baqarah (2): 221.

5l,

< 2%P %

… #$ Iyzf

'(hF i

† !%

'

H !s‡,

E !%ˆ!

HI-"

!

: #$ Iyzˆ!

-2% ,

-. ? X |y +

:::::::::

; <!

Artinya: ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrikah walapun dia menarik hatimu...”.

40

Abdul Djalil, dkk, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 280.

41

M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 195.

Para Fuqaha pun menyatakan, seorang muslim tidak boleh menikahi wanita musyrikah, baik wanita itu merdeka atapun budak belian,42 ayat tersebut juga merupakan suatu peringatan agar jangan sampai hal tersebut terjadi dalam keluarga, terdapat perbedaan akidah antara suami istri.

2. Perkawinan antara Pria Muslim dengan Wanita Ahl Kitab

Dalam Islam ahl kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka yang percaya dan meyakini kitab-kitab yang diturunkan Allah (Taurat dan Injil) kepada Nabi-nabi-Nya (Taurat pada Nabi Musa dan Injil pada Nabi Isa).43

Para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan campuran ini. Perbedaan itu disebabkan karena adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan wanita ahl kitab. Menurut Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz al-Humaidy, bahwa ada dua pendapat tentang pernikahan ini:

a. Pernikahan laki-laki muslim dengan ahli kitab dan ia sebagai penduduk yang berada dalam lindungan negara Islam (ahl dzimmah), diperbolehkan, pendapat ini menurut jumhur ulama, baik mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali;

42

TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 77.

43

Abdur Rahman I. Doi, Inilah Syariah Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991), h. 192.

b. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab dan ahli dzimmah. Pendapat ini menurut golongan Syi’ah Imamiyah, yang menurut mereka dinukil dari pendapat Abdullah bin Amru.44

Golongan pertama yaitu jumhur ulama mendasarkan pendapat mereka pada beberapa dalil:

a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah (5): 5.

:::::

ƒ 0%,

U ;49

< 20 *+

\ ?P

66 i

- 4

-. ! 0%,

66 i

-.Š‹Œ

<

R… \vM% /n ,

!

… !%f

R… \vM% /n ,

!

U ;49

< 20 *+

\ ?P

!

-. -X%;

::::::

;3= (

>

>

Artinya: “… Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu….”.

b. Diantara sahabat adapula yang pernah melakukan pernikahan ini. Mereka menikahi wanita ahli kitab yang hidup dalam lingkungan pemerintahan Islam. Utsman bin Affan menikahi Na’ilah binti al-Gharamidhah, seorang wanita beragama Nasrani yang kemudian beragama Islam. Hudzifah juga menikahi wanita Yahudi dari Penduduk Mada’in.

44

Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz al-Humaidy, Kawin Campur dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), Cet. Ke-3, h. 23.

c. Jabir ra. pernah ditanya tentang pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Yahudi dan Nasrani. Ia menjawab: ”Kamipun pernah nikah dengan mereka pada waktu penaklukan kufah bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash. d. Sabda Rasulullah SAW mengenai orang-orang Majusi: ”Perlakukanlah bagi

mereka sunnah ahli kitab, tanpa harus menikahi wanita-wanita mereka dan tidak pula memakan sembelihan mereka.45

Sedangkan golongan kedua yaitu Syiah Imamiyah melandaskan pendapatnya pada beberapa dalil:

a. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) 221. Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum mereka beriman…”

Maksudnya bahwa Allah telah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita musyrikah. Sedangkan wanita ahli kitab termasuk orang kafir. Mereka menganggap wanita ahli kitab termasuk orang musyrik berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar ra. bahwa ia pernah ditanya tentang hukum menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Ia menjawab: ”Sesungguhnya Allah mengaharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang mukmin. Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada anggapan seorang wanita (Nasrani) bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal Isa hanya seorang manusia dan hamba Allah”.

45

b. golongan ini juga melandaskan firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 10. Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”.

Maksudnya bahwa Allah melarang kaum muslimin berpegang kepada perkawinan dengan wanita-wanita kafir. Sedangkan wanita ahli kitab termasuk orang-orang kafir. Larangan disini sebagai pengharaman.46

Masjzuk Zuhdi menjelaskan bahwa kebanyakan ulama berpendapat bahwa pria muslim boleh kawin dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) berdasarkan firman Allah surat al-Maidah ayat (5). Selain itu berdasarkan Sunnah Nabi SAW, Nabi pernah menikah dengan ahli kitab Maria al-Qibtiyah (Nasrani). Demikian pula seorang sahabat Nabi Khuzaifah bin al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedangkan para sahabat tidak ada yang menentangnya.47

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada sebagian ulama lain yang melarang antara seorang pria muslim kawin dengan wanita Yahudi dan Nasrani, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Yahudi dan Nasrani itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya kepercayaan Uzair putera Allah bagi umat Yahudi, ajaran Trinitas dan mengultuskan Nabi Isa AS dan ibunya, Maryam

46

Ibid., h. 25.

47

(Maria) bagi umat Nasrani.48 Ibnu Umar mengatakan, bahwa kebolehan menikahi ahlul kitab adalah rukhsah (dispensasi) karena saat itu jumlah wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan jumlah wanita jauh lebih banyak, maka rukhsah itu sudah tidak berlaku lagi. Labih jauh lagi, beliau berkata, ”Saya tidak pernah melihat syirik yang lebih besar dibanding ucapan seorang wanita, ’Tuhan saya Isa’”.49

Imam-imam Mazhab yang empat pada prinsipnya mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikah, sekalipun mereka berkeyakinan bahwa Isa adalah Tuhan atau meyakini kebenaran Trinitas. Hal terakhir ini adalah syirik yang nyata. Tetapi karena mereka mempunyai kitab samawi, meraka halal untuk dinikahi sebagai takhsis50 dari ayat:

:::::::

% ,

56 0 L%•

u9

UŽ" S % /

T  

Ux !% /n

•#W X Y

? @*

Adapun pentakhsisnya adalah ayat:

:::::::

ƒ 0%,

U ;49

< 20 *+

\ ?P

66 i

- 4

48 Ibid., h. 4. 49

Abdul Djalil, dkk, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, h. 282.

50

A. Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung:

-. ! 0%,

66 i

-.Š‹Œ

<

R… \vM% /n ,

!

… !%f

R… \vM% /n ,

!

U ;49

< 20 *+

\ ?P

!

-. -X%;

:::::

;3= (

>

>

Islam memberi kesempatan kepada laki-laki muslim untuk mengawini perempuan ahli kitab, oleh karena adanya titik pertemuan antara ajaran-ajaran agama mereka dengan ajaran Islam. Hal ini terjadi oleh karena berasal dari satu sumber yaitu wahyu Allah, baik Yahudi, Nasrani maupun Islam mengajarkan kepada Allah, kepada akhirat, kepada kitab-kitab Allah, kepada malaikat dan Rasul.51

Yusuf Qardhawi berpendapat, kebolehan nikah dengan kitabiyah tidak mutlak tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus dipenuhi:

a. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi;

b. Wanita kitabiyah yang mukhshonah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina);

c. Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin;

d. Dibalik pernikahan itu tidak akan terjadi “fitnah”, yaitu mafsadah dan kemuharatan.52

51

Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh “ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar Ihya’ Turats

Menurut Sayyid Sabiq, menikah dengan wanita ahl kitab meskipun jaiz tetapi makruh, karena suami tidak terjamin untuk tidak terkena “fitnah” agama istrinya.53

3. Perkawinan antara Pria Non-Muslim dengan Wanita Muslimah

Terhadap masalah ini para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah tidak halal kawin dengan laki-laki yang bukan muslim, baik dia musyrik maupun ahl kitab. Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 10.

U ;49

< =2 ! ,

%&

.RB, 9;

R… !%f

Œ.O "e| L!

† 0J2 P% ? ! %/

<

u9

. p +

†  V• f ‘

<

@ ‘%/

† 0J2f}yf 

Œ… , !%!

5#%/

† 0J20P1-"%

T c

> mS

<

5l

† 0J

66 i

-.Š‹Œ

5l,

-.0J

@2’ %•

† ŠiŒ

::::

* ((

A

A

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu perempuan-perempuan mukmin yang berhijrah hendaklah mereka kamu uji terlebih dahulu. Allah lebih mengetahui iman mereka. Jika kamu telah dapat membuktikan bahwa mereka itu benar-benar beriman. Maka jenganlah mereka kembali kepada orang-orang kafir. Mereka ini (perempuan-perempuan mukmin) tidak halal bagi laki-laki kafir. Dan laki-laki-laki-laki kafirpun tidak halal bagi mereka...”.

Larangan mengawinkan perempuan muslimah dengan non-muslim termasuk pria ahli kitab diisyaratkan oleh al-Quran. Dipahami dari QS. Al-Baqarah (2): 221 di atas, hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab dan sedikitpun tidak menyinggung sebaliknya. 52

Yusuf Al-Qardhawi, Huda al-Islam Fatawa Mu’asiroh, (Kairo: Dar Afaq al-Gai, 1978), h. 414.

53

Sehingga seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.54

Muhammad Ali ash-Shabuni menjelaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan kepada keharaman perkawinan seorang laki-laki musyrik dengan wanita muslimah. Yang dimaksud dengan musyrik disini adalah setiap orang kafir yang tidak beragama Islam yang mencakup golongan Wassani, Yahudi, Nasrani dan orang yang murtad.55

Islam melarang perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim itu dengan pertimbangan keselamatan agama perempuan yang beragama Islam, jangan sampai dia murtad karena pengaruh suaminya. Demikian pula anak-anak yang diperoleh dari perkawinan itu akan lebih tertarik kepada keyakinan hidup atau agama ayah yang non muslim itu.

Pertimbangan lain dari pelarangan tersebut adalah bahwa ditangan suamilah kekuasaan terhadap istri dan bagi istrinya wajib taat kepada suami, berarti pula taat kepada perintahnya yang baik (dalam pengertian maksud dari kekuasaan suami terhadap istri) Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 141. Artinya: “...Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.

54

M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 19.

55

Ali Al-Shabuni, Rawai al-Bayan Tafsir al-Ayat al-Ahkam min al-Quran, (Makkah: tpp, tt), h. 89.

Terlepas tentang boleh atau tidaknya melaksanakan perkawinan campuran beda agama tersebut di atas, bagi umat Islam yang terpenting adalah menjaga kelestarian iman karena hal itu merupakan prinsip utama yang wajib dilakukan. Oleh sebab itu menerapkan sikap kehati-hatian adalah lebih baik.

Adapun dalam Islam, asas kewarganegaraan berdasarkan sisi kelahiran hanya menganut asas kewarganegaraan tunggal. Baik terhadap suami istri yang melakukan nikah campur maupun terhadap anak yang dihasilkan dari orang tua yang melakukan nikah campur tersebut.

Oleh karena Islam menganut asas kewarganegaraan tunggal, maka ikatan perkawinan tidak merubah status kewarganegaraan seorang istri maupun seorang suami. Seorang muslim atau dzimmi yang menikahi seorang perempuan harbi di Darul Harbi, sang istri tidak mengikuti status kewarganegaraan suaminya yang muslim atau dzimmi. Kecuali si istri pindah ke Darul Islam. Jika dia mengikuti suaminya ke Darul Islam, karena ikatan perkawinan tersebut, si istri menjadi seorang dzimmiah.

Seorang musta’min yang menikah di Darul Islam dengan wanita dzimmi, dia tidak menjadi dzimmi, dan si istri tidak menjadi harbiah karena perkawinan itu, kecuali si musta’min ingin menetap di Darul Islam. Suami istri berstatus dzimmi jika berhijrah ke Darul Islam.

Seorang perempuan harbi yang memeluk Islam karena pernikahan dengan seorang muslim, maka status kewarganegaraan perempuan itu adalah Islam tanpa dia harus berhijrah ke Darul Islam. Pernikahan saja tidak mengubah status

kewarganegaraan seseorang. Syarat masuknya seseorang menjadi warga negara Islam adalah memeluk Islam dan bersedia mengikuti ketentuan syariatnya.56

Bila seorang suami beralih kewarganegaraan karena perpindahan, tidak mempengaruhi status kewarganegaraan si istri. Seorang dzimmi yang berhijrah ke Darul Harbi, beralih menjadi seorang harbi. Bila si istri tidak menyertainya, dia tetap berstatus seorang dzimmi. Seorang muslim yang murtad menjadi seorang harbi, namun jika istrinya tidak ikut murtad, tidak mempengaruhi status kewarganegaraannya.

Mengenai status kewarganegaraan anak-anak yang belum dewasa (mumayyiz) dan orang gila, mengikuti status kewarganegaraan ayahnya. Apabila suami istri memeluk agama Islam atau menjadi dzimmi, status kewarganegaraan anak-anaknya tadi mengikuti status kewarganegaraan orang tuanya. Apabila yang memeluk Islam adalah si ibu, menurut Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat, anak-anak mengikuti kewarganegaraan si ibu, namum Imam Malik berpendapat tetap mengikuti kewarganegaraan sang ayah.

Anak-anak yang belum dewasa mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, jika ada perubahan status dari yang rendah ke yang tinggi. Menurut syariat Islam, kewarganegaraan Islam adalah yang tinggi seperti sabda Nabi SAW.57 Artinya: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya”.

56

Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqh Islam dengan Syariat Agama Lain, h. 44.

Namun bila perubahan kewarganegaraan dari Islam menjadi harbi, maka status kewarganegaraannya tetap tidak berubah. Anak-anak yang belum dewasa tetap dianggap seorang muslim bila ibu dan ayahnya murtad, demikian pula bila salah seorang orang tuanya yang murtad.

Inilah prinsip umum mengenai kewarganegaraan dalam Islam. Prinsip ini kemudian menjadi prinsip yang berlaku secara Internasional. Seseorang yang menetap di suatu negara, secara naturalisasi beralih kewarganegaraan ke negara tempat dia bermukim. Status ini bisa berubah bila dia pindah bermukim ke negara lain dan menetap pula di negara baru itu. Status kewarganegaraan si istri dan anak-anaknya mengikuti kewarganegaraan ayah merupakan prinsip yang berlaku umum.58

Dokumen terkait