• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Islam terhadap Bagi Hasil dalam Kerja Sama antara Nelayan dan Pemilik Kapal di Pelabuhan Tamperan Kabupaten Pacitan

BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM KERJA SAMA ANTARA NELAYAN DAN PEMILIK

TAMPERAN KABUPATEN PACITAN

A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Bagi Hasil dalam Kerja Sama antara Nelayan dan Pemilik Kapal di Pelabuhan Tamperan Kabupaten Pacitan

Sebagai makhluk sosial, kebutuhan akan kerja sama antara satu pihak dengan pihak lain guna meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup atau keperluan-keperluan lain tidak bisa diabaikan. Kenyataan menunjukkan bahwa di antara sebagian manusia memiliki modal tetapi tidak bisa menjalankan usaha, atau memiliki modal besar dan mempunyai keahlian

tetapi berkeinginan membantu orang lain yang kurang mampu dengan jalan mengalihkan sebagian modalnya kepada pihak yang memerlukan. Di sisi lain, tak jarang pula ditemui orang-orang yang memiliki kemampuan dan keahlian, tetapi tidak memiliki modal.132 Seperti yang terdapat dalam al-Qur‟an:

...

















...



Artinya: “ ... Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari

sebagian karunia Allah ...”133

Jika dilihat dari sistem kerja sama di mana pemilik kapal bertindak sebagai pemilik dana yang menyediakan seluruh modal operasional sedangkan pihak lainnya bertindak sebagai nelayan yang melaksanakan usaha penangkapan, dapat dikatakan bahwa akad yang sesuai dengan hukum Islam pada praktik kerja sama ini ialah akad mud{a>rabah. Bentuk kerja sama ini diperbolehkan dengan dasar salah satu hadits yang diriwayatkan Ibn Ma>jah

dari S}uhaib bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

ُراَّزَ بْلا ٍ ِباَ ُنْب ُرُشِب ُل َّ َْاا ىِّلَع ُنْب ُنَ َْاا اَنَ َّدَح

.

ِ ااَقْلا ُنْباُرْصَن

.

ِنَْ َّرلاِدْبَع ْنَع

(

ِ ْيِحَّرلاِدْبَع

)

َدُوَد ِنْب

,

ٍ ْيَ ُص ِنْب ِحِلاَص ْنَع

,

؛ِوْيِبأ ْنَع

َلَِإ ُعْيَ بْلا ُةَكَرَ بْلا َّنِ ْيِف ٌث َ َ ،، َ َّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ُلْوُسَر َلاَق

عْيَ بْلِل َلْ ِ ْيَ بْلِل ِْيِْعَّشلااِب ِّرُ بْلا ُط َ ْخَأَو ُةَضَراَقُمْلاَو ،ٍلَجَأ

.

Artinya: “Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang

ditangguhkan, melakukan qira>d{ (memberi modal kepada orang lain),

dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan

untuk diperjualbelikan.”(HR. Ibn Ma>jah dari S{uhaib)134

132

Karim, Fiqh Mu’amalah, 12. 133

Departemen Agama RI, al-Qur’an,73: 20. 134

82

Pemilik kapal bertindak sebagai s}a>hib al-ma>l yang menyediakan modal berupa kapal beserta alat tangkapnya serta menanggung seluruh biaya yang diperlukan dalam kegiatan operasional penangkapan. Di satu sisi, nelayan bertindak sebagai mud{a>rib yang memberikan kontribusi berupa tenaga, keahlian, dan loyalitas mereka dalam kerja sama ini. Walaupun pembagian keuntungan usaha dilakukan berdasarkan kebiasaan yang dikenal oleh pemilik di daerah asalnya masing-masing, pada umumnya prinsip yang diterapkan oleh pemilik dalam menghitung pembagian bagi hasil masing pihak ialah bergantung pada peran dan tanggung jawab masing-masing awak kapal. Perhitungan ini berbentuk nisbah (persentase) sehingga bisa dikatakan bahwa sistem kerja sama ini mengadopsi sistem bagi hasil dalam akad mud{a>rabah.

Secara umum, kerja sama antara nelayan dan pemilik kapal pada Kapal Rama Jaya 03 (Sinjai), KM. Pratama Indah (Pekalongan), dan KM. Baruna Jaya 08 (Batang) dimulai pada bulan Februari hingga November. Tidak ada syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh ABK yang ingin bergabung pada kapal-kapal tersebut. Secara umum biasanya mereka adalah masyarakat pesisir yang menjadikan profesi nelayan sebagai mata pencaharian utama. Kecuali untuk tanggung jawab lain di kapal seperti nakhoda, mualim, dan kepala kamar mesin (KKM), pemilik kapal memilih mereka yang sudah berpengalaman bahkan memiliki surat keterangan kecakapan (SKK). Ketentuan ini diberlakukan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi pemilik untuk memperoleh izin pelayaran dari pelabuhan asal.

Hal-hal tersebut di atas telah memenuhi syarat dalam mud{a>rabah yakni pelaku akad harus memenuhi kecakapan dalam mewakilkan serta memiliki keahlian di bidangnya dalam rangka melakukan usaha untuk memperoleh keuntungan.

Modal yang dikeluarkan pemilik kapal terdiri dari biaya operasional untuk pembelian bahan makanan selama melaut, bahan bakar berupa solar dan bensin, oli, es batu balok, air tawar, tabung gas, rumpon, dan umpan. Besar modal tergantung pada jumlah awak kapal dan lama trip penangkapan. Modal ini diserahkan pada mud{a>rib yaitu nakhoda kapal sebagai penanggung jawab ABK. Nakhoda bertugas membelanjakan uang yang diberikan pemilik sehingga bentuknya bukan utang. Apabila ditinjau berdasarkan syarat yang harus dipenuhi dalam rukun mud{a>rabah, dapat dikatakan bahwa modal sudah sesuai dengan hukum mud{a>rabah karena faktor modal berupa uang yang diketahui kedua belah pihak, tidak berbentuk utang, dan diserahkan pada

mud{a>rib sudah terpenuhi.

Peneliti melampirkan perhitungan bagi hasil di ketiga kapal pada pembahasan sebelumnya sebagai data untuk mengetahui gambaran bagaimana perhitungan bagi hasil yang diterapkan oleh para pemilik kapal. Peneliti menemukan bahwa meskipun bobot dan jenis alat tangkap yang digunakan berbeda, konsep perhitungan bagi hasil yang diterapkan oleh pemilik kapal terhadap nelayan di Pelabuhan Tamperan Pacitan ternyata sama, yaitu berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

84

Secara umum, bagi hasil yang dilakukan pemilik kapal merupakan kebiasaan yang ditemui pada masyarakat nelayan andon yaitu sistem pembagian yang disandarkan pada tanggung jawab tiap ABK pada kapal. Pembagian ini dapat dihitung langsung setelah hasil bersih diketahui seperti yang diterapkan di Kapal Rama Jaya 03, atau hasil bersih dibagi menjadi masing-masing 50% kemudian bagian ABK dibagi lagi berdasarkan besar tanggung jawab mereka seperti yang diterapkan di KM. Pratama Indah dan KM. Baruna Jaya 08. Perhitungan ini sudah cukup adil karena setiap orang memperoleh hasil yang sesuai dengan besar usaha dan tanggung jawabnya. Dalam hukum Islam, dapat dilihat bahwa bagi hasil yang dilakukan sudah sesuai karena keuntungan sudah diketahui oleh kedua belah pihak yang berakad dan tidak berbentuk nominal. Ulama Ma<liki<yah berpendapat apabila

mud{a>rib berbilang (berjumlah lebih dari satu), maka keuntungannya dibagi antar mereka sesuai dengan banyaknya pekerjaan, seperti sharik dalam shirkah abdan. Dengan kata lain, setiap orang memperoleh keuntungan sesuai dengan besarnya pekerjaan mereka.

Seperti yang telah peneliti paparkan dalam pembahasan mengenai akad mud{a>rabah pada bab sebelumnya, keuntungan dalam mud{a>rabah

merupakan bagian dari milik bersama. Syarat dalam profit yang dihasilkan dalam akad ini ialah khusus dimiliki oleh kedua belah pihak, dimiliki secara

shirkah antara s}a>hib al-ma>l dan mud{a>rib, dan margin keuntungan ditentukan dalam bentuk persentase. Apabila ditinjau berdasarkan hukum Islam tentang pembagian profit yang diterapkan oleh pemilik kapal terhadap nelayan di

Pelabuhan Tamperan Pacitan ini sudah memenuhi semua syarat yang telah disebutkan di atas.

Di awal perjanjian, pemilik menjelaskan apa saja yang ditanggung olehnya dan biaya operasional yang dibelanjakan dalam bentuk apa yang dianggap sebagai modal. Selain memberikan biaya operasional kapal setiap trip pelayaran, pemilik juga menanggung biaya hidup para ABK di Pelabuhan Tamperan seperti biaya sewa tempat tinggal/kos dan biaya hidup selama berada di darat. Karena pemilik modal memiliki banyak kapal, ia memerintahkan kepada kapal-kapal miliknya untuk berlayar di pelabuhan-pelabuhan yang sudah ditentukan termasuk salah satunya Pelabuhan Tamperan Pacitan. Sehingga pemilik kapal juga mengharuskan nelayan menjual hasil tangkapannya di tempat pelelangan ikan yang berada di sekitar Pelabuhan Tamperan Pacitan. Dengan melihat kondisi alam di perairan Pacitan, pemilik kapal membatasi masa penangkapan selama satu musim hanya berlangsung hingga bulan November. Ini dikarenakan musim barat sudah dimulai sehingga terlalu beresiko untuk melakukan usaha penangkapan pada waktu-waktu ini dan tingkat kerugian akan semakin tinggi. Pada masa inilah kerja sama antara kedua belah pihak berakhir dan para nelayan serta beberapa kapal akan kembali ke daerah asalnya.

Apabila ditinjau berdasarkan hukum Islam, batasan-batasan yang diterapkan oleh s}a>hib al-ma>lpada mud{a>rib membuat kerja sama ini termasuk dalam jenis akad mud{a>rabah muqayyadah.Pembatasan itu terdiri dari:

86

1. Nelayan dibatasi dalam penentuan lokasi melakukan usaha yaitu harus di Pelabuhan Tamperan Pacitan. Dalam Fiqih Isla>m wa Adillatuhu oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili mengatakan apabila mud{a>rabah dibatasi tempat, seperti jika seseorang memberikan pada yang lain modal dengan syarat agar dia bekerja di negeri tertentu, maka mud{a>rib tidak boleh bekerja di tempat lain selain yang telah ditentukan oleh s}a>hib al-ma>l. Hal itu karena ucapan pemilik modal (dengan syarat) merupakan lafal-lafal syarat, dan itu adalah syarat yang memiliki faedah dan tujuan.

2. Nelayan dibatasi dalam hal menjual hasil tangkapannya hanya pada pihak TPI Pelabuhan Tamperan. Syarat ini sah menurut ulama H{anafi<yah dan

Hana>bilah karena syarat itu dapat menambah kepercayaan padanya dalam muamalah. Dengan mempertimbangkan akan lebih mudah bagi nelayan untuk menjual hasil tangkapannya pada pihak TPI, nelayan bisa langsung mengetahui berapa pendapatan yang mereka peroleh pada trip tersebut dan segera bisa bersiap untuk berangkat pada trip selanjutnya.

3. Pemilik kapal menentukan batasan pada rentang waktu akad kerja sama dengan nelayan yakni selama satu musim yang berlangsung sejak Pebruari hingga November. Jika pemilik modal menentukan waktu

mud{a>rabah dengan waktu tertentu di mana jika waktu itu berlalu maka batallah akadnya, dalam hal ini akad tersebut sah menurut ulama

H{anafi<yah dan Hana>bilah karena akad itu adalah pemberian kuasa

(wakalah). Penentuan waktu seperti ini dapat memberikan faedah mengingat pada musim barat, nelayan tidak pergi melaut karena tingginya

tingkat risiko kerugian usaha penangkapan sehingga pendapatan yang diperoleh tidak bisa menutup modal yang dikeluarkan. Selain itu, dengan kondisi alam yang ganas karena sering terjadi badai dan ombak pasang tinggi, ini akan sangat membahayakan keselamatan kapal beserta awaknya.

4. Pemilik kapal menanggung biaya-biaya selama nelayan berada di darat yaitu biaya sewa tempat tinggal/kos dan biaya makan. Ini merupakan bentuk pemenuhan hak-hak mud{a>rib oleh s}a>hib al-ma>l selain keuntungan yang sudah ditentukan dalam kerja sama mereka. Ulama Hana>bilah

membolehkan mud{a>rib mensyaratkan adanya biaya untuk dirinya pada waktu menetap atau sedang bepergian. Mereka dalam hal ini sependapat dengan ulama Sha<fi’i<yah yang tidak mewajibkan adanya biaya untuk

mud{a>ribbaik ketika menetap maupun bepergian, kecuali jika disyaratkan. Dalil para ulama yang membolehkan adalah karena mud{a>rib tertahan untuk mencari nafkah guna melakukan perjalanan untuk mud{a>rabah. Jika

mud{a>rib diharuskan mengeluarkan biaya dalam perjalanan dari hartanya sendiri, maka ia akan kesusahan. Biaya yang wajib diberikan untuk

mud{a>ribdari modal mud{a>rabah sebagaimana yang disebutkan oleh ulama

H{anafi<yah ialah apa yang menjadi kebutuhan tetapnya seperti makanan, pakaian, upah menyewa buruh, dan sebagainya yang menjadi kebutuhan umum dalam perjalanan.

88

B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembebanan Risiko Kerugian Usaha