• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN KONSEPTUAL

A. Tinjauan Hukum Pernikahan Sirri

2. Apa akibat hukum yang ditimbulkan dengan pernikahan sirri?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengkaji tinjauan yuridis pernikahan sirri berdasarkan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Mendeskripsikan akibat hukum yang ditimbulkan dengan pernikahan sirri.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari segi teoritis maupun dari segi praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis, dapat dijadikan bahan kajian dalam pengembangan ilmu hukum dalam penerapan kebijakan dalam hukum pernikahan khususnya dalam pernikahan sirri dan menambah literatur yang membahas tentang hukum dari pernikahan sirri.

2. Manfaat praktis, masyarakat dapat memahami akan pentingnya pencatatan pernikahan demi kepastian hukum dan perlindungan terhadap wanita/isterinya dan keturunannya.

E. Tinjauan Pustaka

Busyro, Aidil Alfin (2017) Nikah Sirri dalam Tinjauan Hukum Teoritis dan Sosiologi Hukum Islam Indonesia. Al-Manahij, Vol. XI No. 1, Juni 2017. Walaupun sudah ada aturan tentang pencatatan perkawinan, praktek nikah sirri tetap saja terjadi, yang salah satunya akibat dari kefanatikan dalam bermazhab, sehingga pelaksanaan aturan tentang itu tidak mendapat dukungan dari semua tokoh-tokoh umat Islam di Indonesia. Apalagi jika pelaksanaan nikah sirri tersebut disebut-sebut akan dipidanakan dengan rancangan undang-undang yang akan dibuat kemudian. Tulisan ini secara sederhana akan melihat dan mencoba menganalisa kemungkinan di atas dengan melihat aspek materi hukum yang secara teoritis mengatur persoalan itu dan juga dari sisi sosiologi hukum Islam.

Hasil penelitian disimpulkan bahwa adanya dualisme aturan dalam melaksanakan perkawinan umat Islam di Indonesia menimbulkan polemik di kalangan ulama yang pro dan anti terhadap pembaruan hukum Islam. Walaupun aturan pencatatan perkawinan itu sudah termaktub dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, tetapi sebagian masyarakat masih melaksanakan perkawinannya dengan cara sirri atau di bawah tangan. Keyakinan mereka terhadap sahnya nikah sirri berdasarkan pendapat dan praktek yang dilakukan oleh ulama-ulama di tanah air. Dalam tinjauan sosiologis hukum Islam, keberpihakan sebagian besar ulama kepada fikih mazhab al-Syafi’i dan dianutnya mazhab al-Syafi’i oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia dimungkinkan mempunyai pengaruh yang siginifikan terhadap terkendalanya pembaruan hukum Islam terkait dengan pencatatan perkawinan secara khusus dan umumnya hukum-hukum perkawinan lainnya yang terdapat dalam UU No.1/1974 dan KHI.

Irfan Islami (2017) Perkawinan Di Bawah Tangan (Kawin Sirri) Dan Akibat Hukumnya. ADIL: Jurnal Hukum Vol. 8, No. 1, Juli 2017. Penelitian ini mengkaji mengenai fenomena perkawinan yang tidak biasa namun banyak terjadi di kalangan masyarakat, yaitu perkawinan di bawah tangan atau dalam istilah Islam perkawinan sirri. Persoalan mengenai kawin sirri sah atau tidak sering menjadi polemik yang berakibat kepada ketidakjelasan status perkawinan yang terjadi, hal ini mengakibatkan dampak negatif bagi para pihak yang terlibat, baik istri, suami maupun anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis fenomena perkawinan sirri di Jakarta khususnya dan berbagai permasalahan hukum yang ditimbulkan akibat praktik kawin sirri. Target yang hendak dicapai dalam penelitian ini untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum perkawinan.

Hasil penelitian disimpulkan bahwa fenomena perkawinan sirri di Indonesia saat ini masih terbilang banyak, baik yang ada di pusat maupun di daerah-daerah, baik yang dilakukan oleh kalangan masyarakat ekonomi bawah, menengah dan bahkan ke atas. Di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pada ayat (2) disebutkan, Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Setiap perkawinan yang telah dilaksanakan secara sah menurut ketentuan agama yang dianut oleh kedua mempelai, maka wajib dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), bagi muslim di Kantor Urusan Agama (KUA) Kementerian Agama RI, dan bagi non-muslim di Kantor Pencatatan Sipil. Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk melindungi hak-hak dan kewajiban

masyarakat (baik dari suami ataupun isteri) sebagai akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya ikatan perkawinan, yang menyangkut harta benda, warisan, asuh anak, nafkah, dan sebagainya. Sahnya perkawinan telah diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1), bahwa perkawinan sah apabila dilaksanakan dengan prosesi perkawinan berdasarkan ajaran agama kedua mempelai yang telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun pencatatan perkawinan wajib adanya untuk mendapatkan kemaslahatan dalam berumah tangga, oleh karena itu negara berhak mengaturnya dalam suatu aturan yang tegas. Nurwahidah (2016) Nikah Sirri dalam Perspektif Yuridis dan Sosiologis.

Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran, Vol. 16, No. 1, Juni 2016. Perkawinan sirri

yang mengabaikan salah satu atau keduanya, tidak saja diragukan legalitasnya, tetapi juga menimbulkan akibat hukum yang merugikan pasangan serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikah sirri masih banyak dilakukan oleh masyarakat, dengan berbagai bentuk dan alasannya. Adanya ulama yang membolehkan nikah sirri apabila rukun dan syarat pernikahan terpenuhi, membuka peluang bagi sebagian warga masyarakat untuk melakukan praktik ini, bahkan dalam bentuk lain yang mengabaikan rukun dan syarat pernikahan itu sendiri. Ketika wali tidak ada atau tidak merestui, mereka enggan menikah dengan wali hakim, tetapi memilih melakukan nikah secara sirri di luar prosedur hukum yang berlaku. Mereka lupa bahwa nikah adalah ikatan yang kuat, yang mengikat suami dan istri secara lahir dan batin dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu, baik terhadap pasangan suami istri itu sendiri maupun terhadap anak-anak keturunannya

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (library

research) yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder, yaitu penelitian yang

menggunakan data sekunder, sumber datanya dapat diperoleh melalui penelusuran dokumen. Penelitian merupakan penelitian kepustakaan karena sumber data utamanya berasal dari dokumen, seperti undang-undang, putusan dan lainnya sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini mengkaji studi dokumen, menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, teori hukum dan pendapat para sarjana. Penelitian normatif bermaksud menjelaskan data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan, mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.8

3. Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian ini yaitu data sekunder, yang berisi segala peraturan yang mengatur tentang kewenangan pengadilan negeri dalam

8 Fajar ND, Mukti & Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 153.

penyelesaian perkara perdata, dalam hal ini difokuskan pada peraturan perundang-undangan. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari atas dasar bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan non hukum. Maka sumber dan jenis bahan penelitian yang digunakan dalam bahan penelitian ini, meliputi:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum primer seperti: Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi bahan hukum primer dan sifatnya tidak mengikat. Contohnya, hasil-hasil penelitian hukum, literature (buku-buku ilmiah) hukum resmi maupun tidak resmi diterbitkan, jurnal, media massa, dan makalah-makalah.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang akan melengkapi bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya ialah ensiklopedia, kamus hukum. 4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan yang diharapkan. Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan diperoleh dari penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan serta menggambarkan mengenai sebab-sebab terjadinya sesuatu atau beberapa gejala atau fenomena yang diperoleh melalui penelusuran sumber-sumber pustaka.9

5. Metode Analisis Data

Analisis data penelitian dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif yang bersifat deskriptif analitik yaitu berusaha menggambarkan dan menjelaskan terhadap sumber-sumber hukum yang dijadikan legitimasi terhadap pernikahan di bawah umur. Analisis deskriptif analitik ini dilakukan dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yaitu analisis interaktif. Dalam analisis ini, data yang diperoleh di lapangan disajikan dalam bentuk narasi.10

Proses analisis datanya menggunakan tiga proses yang saling berhubungan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data meliputi seleksi dan pemadatan data, catatan di ringkas dan disederhanakan. Data-data tersebut ditampilkan dalam bentuk gabungan informasi dan diringkas menggunakan teknik penalaran secara induktif dengan cara berpikir yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus kemudian ditasik kegeneralisasi yang bersifat umum. Langkah selanjutnya penarikan kesimpulan dan verifikasi data, mencakup proses pemaknaan dan penafsiran data yang terkumpul untuk mendeskripsikan tinjauan yuridis pernikahan sirri berdasarkan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi memuat urut-urutan penulisan penelitian dalam skripsi. Penulis menyusun sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:

10 Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael, Analisis data Kualitatif, Alih Bahasa Tjeptjep Rohendi Rohidi, Jakarta: UI Press, 1992, hlm. 16-19.

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini dikemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka, dalam bab ini dikemukakan teori-teori terkait masalah penelitian mengenai tinjauan tentang pernikahan, tinjauan tentang nikah sirri, nikah sirri dalam perspektif hukum Islam, dan nikah sirri menurut perspektif hukum positif.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam hal ini akan dijelaskan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tinjauan hukum pernikahan sirri baik menurut hukum Islam maupun menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan akibat hukum yang ditimbulkan dengan pernikahan sirri.

Bab IV Penutup, terdiri atas simpulan dan saran, dalam hal ini akan diuraikan simpulan dan saran-saran dari penulis.

15 A. Tinjauan tentang Pernihakan

1. Pengertian Pernikahan

Pengertian pernikahan itu sendiri dalam Bahasa Arab disebut dengan al

nikah yang bermakna al wathi dan al dammu wa al takhul, terkadang juga disebut

dengan al dammu wa al jam’u, atau ibarat’an al wath’ wa al ‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad.11 Menurut istilah ilmu fiqih, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafaz nikah atau tazwij.

Nikah atau zima’ sesuai dengan lafaz linguistiknya, berasal dari kata

al-wath yaitu bersetubuh atau bersenggama. Nikah adalah akad yang mengandung

pembolehan untuk berhubungan seks dengan lafaz an-nikah atau attazwij, artinya bersetubuh dengan pengartian menikahi perempuan makna hakikatnya menggauli istri dan kata munakahat diartikan saling menggauli.12

Menurut syariat, perkawinan adalah akad serah terima antara pria dan wanita dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.13 Substansi yang terkandung dalam syariat perkainan adalah mentaati perintah Allah serta sunnah Rasul, yaitu menciptakan kehidupan rumah tangga

11 Nurudin, Amir, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum

Islam Dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Permada Media, 2004, hlm. 38.

12 Beni, Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 11.

13 Tihami, M.A, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 8.

yang mendatangkan kemaslahatan, baik bagi pelaku perkawinan, anak keturunan, kerabat ataupun masyatarakat. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya bersifat kebutuhan internal, tetapi mempunyai kaitan eksternal melibatkan banyak pihak.

Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi pernikahan merupakan sunnah Rasulullah Saw dan media yang paling cocok antara panduan agama Islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia, dan mengandung makna dan nilai ibadah. Amat tepat kiranya, jika Kompilasi Hukum Islam menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat, perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam).14

Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa perkawinan atau pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Definisi itu memperjelas pengertian bahwa pernikahan adalah perjanjian. Perjanjian itu dinyatakan dalam bentuk ijab dan qabul yang harus diucapkan dalam satu majelis, baik langsung oleh mereka yang bersangkutan, yakni calon suami dan calon istri, jika kedua-duanya sepenuhnya berhak atas dirinya menurut hukum atau oleh mereka yang dikuasakan untuk itu. Kalau tidak demikian, misalnya dalam keadaan tidak waras atau masih dibawah umur, untuk mereka dapat bertindak wali-wali mereka yang sah.15

Menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang termuat dalam Pasal 1, yang selengkapnya berisi sebagai berikut “Perkawinan

14 Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hlm. 53.

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian ini lebih diperjelas oleh Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan, untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Islam mengajarkan hidup berumah tangga dan menghindari hidup membujang. Hidup membujang bukanlah ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw berumah tangga, beliau melarang hidup membujang. Sabda Nabi dengan “melarang membujang” dan sabdanya “maka kawinlah” dan beberapa hadis menjadi dasar wajibnya menikah. Islam memandang perkawinan (nikah) adalah salah satu fitrah manusia dan merupakan perbuatan manusia yang terpuji dalam rangka menyalurkan nafsu seksualnya agar tidak menimbulkan kerusakan pada dirinya atau pada masyarakat.

Pernikahan disamping merupakan proses alami tempat bertemunya antara laki-laki dan perempuan agar diantara mereka mendapatkan kesejukan jiwa dan raga mereka, juga merupakan ikatan suci antara laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istrinya.16 Pernikahan juga merupakan media untuk membentuk suatu keluarga yang tentram dan penuh kasih sayang (sakinah mawadah warohmah) berdasarka nilai-nilai agama yang menuntut adanya interaksi saling asah, asih dan asuh diantara suami istri.

16 Romli, Dewani, Fiqih Munaqahat. Lampung: Fakultas Syariah IAIN Raden Intan. 2009, hlm. 10.

Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keuarga bahagia. Definisi ini memperjelas pengetian bahwa perkawinan adalah perjanjian. Sebagai suatu perjanjian, ia mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara dua pihak yang saling berjanji.17 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria denga seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya di kandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial sakral.18

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diriantara seorng laki-laki dengan seorang perempuan untuk membolehkan atau menghalalkan hubungan kelamin sebagai suami istri. Hakekat nikah itu ialah akad antara calon laki-laki dan istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri, di dalamnya terdapat harapan, cita-cita menciptakan regenerasi yang abadi sehingga anak keturunannya melanjutkan hubungan silaturahmi tanpa batas waktu yang ditentukan.

2. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua

17 Beni, Ahmad Saebani. Op Cit, hlm. 18.

kata tersebut mengandung arti sama, bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan, sebagai perbuatan hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak boleh ditinggalkan. Perkawinan menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, jika salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah. Rukun perkawinan diantaranya: calon suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi dua orang saksi dan ijab qabul. Syarat adalah sesuatu yang harus terpenuhi sebelum perkawinan itu dilakukan.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-masing pihak disebut juga syarat subjektif, dan syarat formal yaitu mengenai tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang disebut juga syarat objektif.19 Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1))

b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1))

c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau

19 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 76.

mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2))

d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan

dan bibi/paman susuan.

5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9)

f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10)

g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11).

Syarat-syarat calon mempelai pria adalah: a. Beragama Islam

b. Laki-laki

c. Tidak karena dipaksa

d. Tidak beristri empat orang (termasuk isteri yang dalam iddah raj’i) e. Bukan mahram perempuan calon isteri

f. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isterinya g. Mengetahui bahwa calon istri itu tidak haram baginya

h. Tidak sedang berihrom haji atau umrah i. Jelas orangnya

j. Dapat memberikan persetujuan k. Tidak terdapat halangan perkawinan.20

Syarat-syarat calon mempelai perempuan adalah: a. Beragama Islam

b. Perempuan

c. Telah mendapat izin dari walinya (kecuali wali mujbir) d. Tidak bersuami (tidak dalam iddah)

e. Bukan mahram bagi suami

f. Belum pernah dili’an (dituduh berbuat zina) oleh calon suami

g. Jika ia perempuan yang pernah bersuami (janda) harus atas kemauan sendiri, bukan karena dipaksa

h. Jelas ada orangnya

i. Tidak sedang berihrom haji atau umroh j. Dapat dimintai persetujuan

k. Tidak terdapat halangan perkawinan.21

Syarat Wali (orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah):

a. Dewasa dan berakal sehat b. Laki-laki.

c. Muslim d. Merdeka e. Berpikiran baik f. Adil

g. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.22

Syarat-syarat saksi adalah: a. Dua orang laki-laki b. Beragama Islam c. Sudah dewasa d. Berakal e. Merdeka f. Adil

g. Dapat melihat dan mendengar

h. Faham terhadap bahasa yang digunakan dalam aqad nikah i. Tidak dalam keadaan ihrom atau haji.23

21 Ibid, hlm. 34.

22Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberti, 1982, hlm. 43.

Syarat Ijab Qabul:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria c. Memakai kata-kata nikah atau semacamnya

d. Antara ijab qabul bersambungan e. Antara ijab qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terikat dengan ijab tidak sedang melaksanakan haji atau umrah

Dokumen terkait