• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Saksi, Keterangan Saksi, dan Jenis Saksi

Menurut Wjs Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1961) halaman 794, saksi memiliki pengertian :

1. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya supaya bilamana perlu dapat memberi keterangan juga membenarkan peristiwa tadi sungguh-sungguh terjadi.

2. Orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian.

3. Orang yang memeberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa.

Pasal 1 butir 26 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan pengertian saksi yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri16

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 1 butir 1 menyatakan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

.

16

dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri17

Pengertian saksi menurut KUHAP dan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai perbedaan. Perbedaan dengan rumusan KUHAP adalah bahwa rumusan saksi dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban mulai dari tahap penyelidikan sudah dianggap sebagai saksi sedangkan KUHAP mulai dari tahap penyidikan. Definisi saksi yang demikian ini dapat dikatakan mencoba menjangkau pada saksi pelapor yang sering terdapat dalam kasus-kasus korupsi dan kasus-kasus narkoba psikotropika

.

18

Subekti menyatakan bahwa saksi adalah orang yang didengar keterangannya di muka siding pengadilan, yang mendapat tugas membantu pengadilan yang sedang perkara

.

19

17

Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal. 1 butir 1.

. Wirjono Projodikoro memaknai bahwa seorang saksi adalah seorang manusia belaka atau manusia biasa. Ia dapat dengan sengaja bohong, dan dapat juga jujur menceritakan hal sesuatu, seoalah-olah hal yang benar, akan sebetulnya tidak benar. Seseorang saksi harus menceritakan hal yang

Analisis Terhadap RUU Perlindungan Saksi dan Korban versi

Badan Legislatif DPR, oleh Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman dan Zaenal Abidin, diakses pada hari rabu 29 Februari 2012 pukul 19.35 WIB.

19

Subekti dan R Tjitro Soedibia, Kamus Hukum , (Jakarta:Pradya Paramita, 1976), hal. 83.

sudah lampau, dan tergantung dari daya ingat dari orang perseorang, apa itu dapat dipercaya atas kebenarannya20

Sedangkan S.M. Amin menambahkan bahwa “Saksi tak bersuara dapat merupakan bahan-bahan yang diperoleh dengan cara menyelidiki dan memperhatikan benda-benda mati. Umpamanya bekas-bekas yang terdapat di tempat kejahatan yang dilakukan”

.

21

Menurut Pasal 295 HIR kesaksian itu termasuk dalam salah satu jenis bukti yang sah. Yuridis yang dimaksudkan kesaksian keterangan lisan di muka hakim dengan sumpah lebih dahulu tentang hal-hal yang ia ketahui tentang sesuatu kejadian dengan panca indera sendiri. Dalam Pasal 301 HIR, dinyatakan dengan tegas bahwa tiap-tiap kesaksian yang diberikan itu harus mengatakan kejadian-kejadian yang sungguh terjadi, yang didengar, dilihat, atau dirasakan sendiri serta harus disebutkan sebab-sebab atau alasan-alasan hal itu sampai diketahuinya; pengiraan/sangkaan saja yang disusun dengan kata akal bukanlah kesaksian.

.

Bahwa saksi dalam memberikan keterangannya hanya boleh mengenai keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyababkan seorang saksi mengetahui hal sesuatu. Bahwa suatu pendapat atau suatu persangkaan yang

20

Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 7.

21

disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap sebagai keterangan saksi22

Sedangkan pengertian keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Pasal 1 ayat 27 KUHAP. Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur dalam 1 (satu) pasal saja yaitu Pasal 185, yang antara lain menjelaskan apa yang dimaksud dengan keterangan saksi bagaimana tentang kekuatan pembuktiannya (bewijskracht) dan lain-lain.

.

23

Keterangan saksi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan yuridis oleh hakim. Keterangan tersebut harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.24

22

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung; 1983. Hal 118.

Dalam praktiknya, keterangan saksi seringkali menjadi bahan pertimbangan yuridis yang utama. Berdasarkan pengertian tersebut maka dalam keterangan saksi, hal yang harus diungkapkan di depan sidang pengadilan yaitu.

23

Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal.49.

24

Pasal 185 ayat (1) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

1) Yang ia dengar sendiri, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Saksi secara pribadi harus mendengar langsung peristiwa pidana atau kejadian yang terkait dengan peristiwa pidana tersebut;

2) Yang ia lihat sendiri, kejadian tersebut benar-benar disaksikan langsung dengan mata kepala sendiri oleh saksi baik secara keseluruhan, rentetan, fragmentasi pidana yang diperiksa;

3) Yang ia alami sendiri, sehubungan dengan perkara yang sedang diperiksa, biasanya merupakan korban dan menjadi saksi utama dari perisitiwa pidana yang bersangkutan. Pasal 160 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa yang pertama kali didengar keterangannya adalah saksi korban;

4) Didukung oleh sumber dan alasan dari pengetahuannya itu, sehubungan dengan peristiwa, keadaan, kejadian yang didengar, dilihat, dan atau dialaminya. Setiap unsur keterangan harus diuji kebenarannya. Antara keterangan saksi dan sumbernya harus benar-benar konsisten satu dengan yang lainnya.

Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditum, maksudnya agar hakim lebih cermat dan memperhatikan keterangan yang diberikan saksi harus diberikan benar-benar secara bebas, jujur dan objektif25

25

H. R. Abdussalam, Sik, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat Jilid 2, Restu Agung, Jakarta; 2006 hal 142.

Asas dalam pemeriksaan saksi adalah asas unus testis nullus testis artinya satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tetapi asas tersebut dapat disimpangi berdasarkan Pasal 185 ayat (3) KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan saksi cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain26

Jenis-jenis saksi dalam hukum acara pidana yaitu : .

27

a. Saksi a charge

Saksi a charge adalah saksi yang memberikan keterangan di dalam persidangan, dimana keterangan yang diberikannya mendukung surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum atau memberatkan terdakwa. Pasal 160 ayat (1) KUHAP menyebutkan tentang saksi a charge, yaitu dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa saksi ini dihadirkan kepersidangan oleh Jaksa Penuntut Umum.

26

Hari Sasangka, Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung; 2003 hal 42.

27

www.lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-131194.pdf, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris Sebagai Saksi Dalam Peresmian Akta, diakses pada tanggal 1 Maret 2011, pukul 21.28 WIB.

b. Saksi a de charge

Saksi a de charge adalah saksi yang memberikan keterangan didalam persidangan, dimana keterangan yang diberikannya meringankan terdakwa atau dapat dijadikan dasar bagi nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa atau penasihat hukumnya. Saksi a de charge penempatan pengaturannya sama dengan saksi a charge yakni dalam pasal 160 ayat (1) KUHAP seperti yang telah diuraikan diatas. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa saksi a de charge dihadirkan ke persidangan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.

c. Saksi berantai

Saksi berantai adalah keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu (sebagaimana diatur dalam pasal 185 ayat (4) KUHAP). Prof. Dr. Andi Hamzah, S.Hjuga mengemukakan pengertian saksi berantai yang sama dengan pasal 185 ayat (4) KUHAP. Menurutnya saksi berantai (kettingbewijs) adalah keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian tertentu. Hari Sasangka juga mengemukakan bahwa saksi berantai adalah beberapa orang saksi yang memberikan keterangan tentang suatu kejadian yang tidak bersamaan, asalkan

berhubungan yang satu dengan yang lain sedemikian rupa dan tidak dikenai unus testis nullus testis. Ahli hukum S.M. Amin membedakan saksi berantai menjadi 2 macam yaitu:

1) Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam suatu perbuatan. 2) Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan.

Berdasarkan penjabaran tersebut, saksi berantai diartikan sebagai keterangan- keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi memiliki hubungan antara satu dengan lainnya untuk menggambarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu berkaitan dengan perkara yang disidangkan di pengadilan.

d. Saksi mahkota

Saksi mahkota muncul dan berkembang dalam praktek peradilan pidana. Menurut Sofyan Lubis, S.H., saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan kepadanya diberikan mahkota dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan. Yahya Harahap menyatakan pendapatnya bahwa adanya saksi mahkota agar keterangan seorang terdakwa dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah terhadap terdakwa lainnya. Caranya dengan menempatkan terdakwa yang lain itu dalam kedudukan sebagai saksi. Dari pengertian saksi mahkota tersebut diatas, dapat disimpulkan syarat diajukannya saksi mahkota adalah harus dalam bentuk pidana yang adaunsur penyertaan dan saksi mahkota muncul karena

tidak adanya saksi yang dapat diajukan untuk memberikan kesaksian pada suatu perkara. Namun dalam perkembangannya, Sofyan Lubis menyatakan bahwa penggunaan saksi mahkota tidak diperbolehkan dan dianggap bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi hukum. Pendapat ini didukung oleh berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 danYurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995.

e. Saksi korban

Saksi korban adalah saksi yang dimintai keterangannya dalam perkara karena ia menjadi korban langsung dari perkara tersebut atau mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi dalam suatu tindak hukum yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa.

f. Saksi pelapor

Saksi pelapor adalah orang yang memberikan kesaksian berdasarkan laporannya tentang suatu peristiwa pidana baik yang ia lihat atau alami sendiri, namun ia tidak harus menjadi korban dari peristiwa pidana tersebut.

g. Testimunium de auditu

Testimunium de auditu merupakan suatu keterangan yang diperoleh dari orang lain. S.M.Amin menyatakan bahwa kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan dalam hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh

saksi sendiri, akan tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut. Wirjono Prodjodikoro juga menyatakan bahwa kesaksian testimonium de auditu adalah kesaksian berupa pendengaran dari orang lain dan hal ini tidak diperbolehkan.

2. Pengertian Perlindungan Saksi

Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menuliskan bahwa, perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.28

28

Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Psl 1 butir 6.

Sedangkan pengertian saksi telah diuraikan diatas, maka menurut penulis dapat diambil suatu pengertian yang pas tentang perlindungan saksi yaitu segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberi rasa aman kepada orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Perlindungan saksi bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.

Keberadaan saksi maupun pelapor selama ini dalam proses peradilan pidana kurang mendapat respon dan perhatian dari pihak masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri sehingga kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh karena saksi enggan melapor atau memberikan kesaksiannya kepada penegak hukum karena terlebih dahulu mendapatkan ancaman. Oleh karena itu dalam rangka menumbuhkan partisipasi dan paham masyarakat untuk mengungkap tundak pidana perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu atau mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan mempunyai keberanian untuk memaparkan apa yang terjadi sesungguhnya kepada aparat penegak hukum.

Dengan melindungi saksi akan memiliki efek berantai (multi effect) untuk memerangi kejahatan-kejahatan serius. Sebab salah satu titik tekan tujuan program perlindungan saksi dan korban bukanlah semata-mata hanya untuk memenuhi hak-hak saksi dan korban, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat (tool) untuk memerangi kejahatan-kejahatan terorganisir dengan keberanian saksi dan korban mengungkap kejahatan tersebut. Seperti: korupsi, drugstrafficking, human trafficking, terorisme, pelanggaran HAM yang berat, pencucian uang, atau berbagai kejahatan lain yang termasuk kategori organized crimes dan transnational crimes.

Paradigma inilah yang menjadi salah satu latar belakang utama terselenggaranya aneka konvensi atau deklarasi internasional yang berkaitan dengan peran penting saksi pengungkap kejahatan dalam konteks penegakan hukum. Antara lain: Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power, yang lahir dari Kongres PBB VII di Milan, Italia, 1985; mengetengahkan isu The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. Ada juga United Nations Convention Againts Illicit Trafic in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Substance of 1998. Kemudian International Convention for the Suppresion of the Financing of Terrorism, 1999. Termasuk United Nations Convention Againts Corruption, 200329

Porsi perlindungan saksi dan korban yang lebih komprehensif terdapat dalam United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime (2005); lahir dalam Konferensi Negara Melawan Kejahatan Transnasional Terorganisir, berlangsung di Vienna, 10-21 Oktober 2005. Indonesia telah mengesahkan konvensi ini berupa UU No. 5 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Anti-Kejahatan Transnasional Terorganisir

.

30

29

Abdul Haris Semendawai, Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006: Momentum Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban, Urgensi Peningkatan Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011, hal 12.

30

United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime atau Konvensi PBB tentang Anti-Kejahatan Trans-nasional Terorganisir ini menegaskan kepada negara-negara anggotanya untuk melakukan upaya-upaya yang pantas dalam memberikan perlindungan yang efektif terhadap pembalasan atau intimidasi terhadap saksi pengungkap kasus-kasus kejahatan trans-nasional yang terorganisir. Baik berupa perlindungan fisik; relokasi dan menjaga kerahasiaan atau pembatasan pengungkapan identitas dan lokasi saksi; serta memperkenalkan peraturan pembuktian untuk mengizinkan pemberian kesaksian dengan terlebih dahulu memastikan

Selama ini keberadaan saksi maupun pelapor dalam proses peradilan pidana kurang mendapat respon dan perhatian dari pihak masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri sehingga kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh karena saksi enggan melapor atau memberikan kesaksiannya kepada penegak hukum karena terlebih dahulu mendapatkan ancaman. Oleh karena itu dalam rangka menumbuhkan partisipasi dan paham masyarakat untuk mengungkap tundak pidana perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu atau mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan mempunyai keberanian untuk memaparkan apa yang terjadi sesungguhnya kepada aparat penegak hukum.

3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Bagian ini akan menguraikan terlebih dahulu pengertian tindak pidana sebelum menguraikan pengertian tindak pidana korupsi. Pembentuk undang-undang menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan istilah tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut. Straafbaafeit berasal dari 2 unsur kata yaitu straafbaar yang diartikan “dapat dihukum” dan feit yang diartikan “sebagian dari kenyataan”. Secara harafiah istilah straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat

keamanan saksi tersebut. Abdul Haris Semendawai, Revisi UU No. 13 Tahun 2006 “Momentum Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”.

dihukum”.31

Simons kemudian merumuskan straafbaarfeit sebagai tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Moeljatno pun berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.

Hal ini tentu saja tidak tepat karena yang bisa dihukum adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan dan tindakan.

32

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana dan sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.

Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh

Apa itu Korupsi?, diakses pada

tanggal 27 Oktober 2011, pukul 22.35 WIB.

Pengertian Tindak

kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.33

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.

Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :

1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,

33

B. Simanjuntak, S.H., Pengantar Kriminologi dan Pantologi social, Tarsino, Bandung 1981 hal 310.

2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,

3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,

4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :

1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.

2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.

3. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya); Koruptor (orang yang korupsi).

Menurut Kartini Kartono, beliau memberikan defenisinya tentang Korupsi: “Bahwa yang dikatakan korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan

kepentingan umum dan Negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi: salah urus terhadapa sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.34Hal yang hampir sama juga di berikan oleh Leden Marpaung yang

Dokumen terkait