• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA KAJIAN PUSTAKA

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Informasi dari Wawancara

C. Tinjauan Pelestarian Sadranan

Pemahaman Masyarakat desa Tumang terhadap pelestarian tradisi sadranan

1. Bagaimanakah tata cara sadranan di desa Tumang?

Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Mbah Gino (Juru kunci makam). Pada malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di makam Tumang agar diampuni semua dosanya oleh Allah SWT, acara ini diadakan dimakam (cungkup). Pada hari tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) jam 05.00 wib diadakan bersih-bersih makam yang diadakan oleh warga sekitar makam dan orang-orang yang punya kerabat yang sudah meninggal. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Muhlasin pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 74.

Berdasarkan hasil wawancara di atas sesuai dengan hasil pengamatan peneliti bahwa Proses ritual sadranan dilaksanakan Pada

malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di makam Tumang agar diampuni semua dosanya oleh Allah SWT, acara ini diadakan dimakam (cungkup). Pada hari tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) jam 05.00 wib diadakan bersih-bersih makam yang diadakan oleh warga sekitar makam dan orang-orang yang punya kerabat yang sudah meninggal.

2. Kapan sadranan di desa Tumang diadakan ?

Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Sastro (Ketua RW). Sadranan di Desa Tumang diadakan setiap tanggal 20 bulan Ruwah/Sya’ban. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Muhlasin pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 74.

Berdasarkan hasil wawancara di atas sesuai dengan hasil pengamatan peneliti bahwa Proses ritual sadranan dilaksanakan Pada malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB

3. Dimana upacara sadranan dilaksanakan?

Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Nur Kholik. Malam dan pagi hari dilaksanakan di makam dan pada siang hari dilaksanakan silaturahmi dirumah-rumah warga Tumang. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Rusdi (Mudin) pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 75

Berdasarkan hasil wawancara di atas sesuai dengan hasil pengamatan peneliti bahwa proses ritual sadranan diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di Makam Tumang

4. Mengapa upacara dilaksanakan di Makam?

Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Mbah Gino (Juru Kunci Makam). Sadranan itu intinya berziarah dan silaturahmi. Ziarah kubur memang biasanya dilaksanakan dimakam dan di dalam makam sudah disediakan bangunan untuk acara tirakatan, Dzikir, dan Tahlil. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Cipto Wiyono (Warga) pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 75 dan 76

Hasil wawancara di atas sesuai teori sebelumnya hal tersebut merupakan suatu persembahan ditujukan kepada Tuhan, bertempat di kuburan atau makam ”cikal-bakal” atau leluhur masyarakat Desa Tumang bernama Kyai Ranggasasi dan istrinya Nyai Ranggasasi. Dilaksanakan tepat pada tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) waktu pukul 24.00 atau tengah malam dipimpin oleh juru kunci makam dan diikuti seluruh masyarakat dengan membawa sesaji dalam wadah”tenong”. Upacara religius tradisi sadranan di Desa Tumang didahului dengan pembacaan tahlil dan kendurian, diakhiri makan bersama. Karena sesaji kenduri

berada dalam ”tenong”, maka upacara tersebut juga disebut ”Tenongan” Upacara berlangsung kurang lebih 1 jam

5. Mengapa dilaksanakan pada tengah malam?

Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan masjuki (warga). Upacara sadranan dilaksanakan ditengah malam karena suasana hening dan sunyi, agar orang-orang yang berdoa bisa khusuk dan dalam agama Islam pun mengajarkan beribadah dan sholat malam hari. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Slamet Martono pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 75, 76 dan 77

Sesuai dengan deskripsi datanya, tata cara tradisi sadranan dilaksanakan dalam dua bentuk kegiatan, yaitu upacara religius dan kegiatan sosial kemasyarakatan, maka penelitian dalam analisis pembahasan pertama, Bahwa persembahan dan pengabdian kepada Tuhan sebagai berikut kewajiban setiap manusia harus nyata-nyata dilakukan dalam bentuk kegiatan. Kedua, Bahwa pelaksanaan persembahan dan pengabdian kepada Tuhan harus sebaik-baiknya, dengan suatu keteraturan, dalam keheningan dan pemusatan pemikiran maupun peraturan. Ketiga, Bahwa melaksanakan persembahan dan pengabdian kepada Tuhan harus dengan keyakian yang beranggapan pasti diterima oleh-Nya. Maka seyogyanya diucapkan adalah doa-doa dan puji-pujian

Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Nur Kholik (Guru). Menurut pemahaman masyarakat sesaji adalah shodaqoh, warga menyiapkan makam dan minuman dimakam dengan tujuan untuk di berikan kepada orang-orang yang telah selesai berziarah sebagai ungkapan rasa syukur. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Supriyadi pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 76 dan 77

Berdasarkan teori sebelumnya Bahwa Makna Sesaji Tradisi Sadranan Desa Tumang adalah :

a. Ingkung ayam

”Ingkung ayam” yaitu sesaji berupa seekor ayam utuh (tidak dipotong-potong) yang telah dimasak opor hingga lezat rasanya. ”ingkung” tersebut sebagai simbol kepasrahan atau penyerahan diri yang tulus dan ikhlas. Seseorang yang telah menyerahkan dirinya (pasrah) kepada tuhan seharusnya dengan tulus ikhlas, apapun yang akan terjadi pada dirinya merupakan kehendak tuhan yang harus dijalani dengan tanpa melakukan perlawanan, sebagaimana disimbolkan dengan ”ingkung ayam” dimaksud

b. Tumpeng

”Tumpeng” dalam tradisi sadranan di Desa Tumang terdiri atas : nasi putih berbentuk kerucurt menyerupai gunung, sambal

goreng, bergedel, tempe dan kerupuk. ”tumpeng” dengan berbagai rincianya itu, merupakan simbol-simbol dari maksud tertentu.

Hadirnya nasi dalam sesaji diartikan sebagai simbol kehidupan manusia, karena nasi merupakan makanan pokok yang berfungsi sebagai sumber energi, putih dalam nasi menggambarkan kesucian, bentuk kerucut bagaikan gunung menyimbolkan arah pada satu titik dari mana dan kemana hidup manusia, yaitu Tuhan. Dengan kekuatan dan kekuatanya yang maha besar, seperti disimbolkan dalam bentuk menyerupai gunung.

c. Jajan Pasar

”Jajan Pasar” adalah yang dibeli di pasar, berupa segala makanan baik buah-buahan seperti ”polo kependhem” maupun ”polo

gemandhul” juga berujud makanan olahan misalnya jadah, dan wajik

serta lainya. Hal tersebut merupakan simbol kemakmuran, artinya bahwa manakala suatu masyarakat itu dalam hidup dan kehidupanya makmur, maka dalam segala macam jajanan dapat dibeli dipasar, sedangkan jadah wajik merupakan simbol kesuburan, yang mana bagi masyarakat petani akan mendatangkan kemakmuran

7. Apakah ada masyarakat dari luar desa tumang yang menyaksikan upacara tradisi tersebut?

Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Mbah Gino (Juru Kunci Makam). Upacara melek bengi dan Dzikir Tahlil, di malam hari sebagian besar dilakukan oleh masyarakat yang datang dari luar desa

Tumang, sedangkan orang-orang yang disekitar makam hanya menyiapkan makanan dan minuman untuk orang-orang yang datang ke makam. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Rohadi pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 75 dan 77

Berdasarkan pengamatan peneliti, upacara melek bengi yang dilaksanakan, sebagian yang hadir adalah masyarakat luar daerah, mereka memiliki maksud untuk mendo’akan leluhur yang mereka menganggap bahwa mereka berjasa dalam penyebaran agama Islam di jawa, sehingga selain untuk wisata spritual juga sebagai ibadah kepada Allah

8. Apakah maksud tradisi silaturahmi ini setelah upacara selesai dilaksanakan?

Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Masjuki (Sesepuh Desa Tumang). Setelah upacara dimalam hari diadakan silaturahmi ke tempat sanak saudaranya teman dan kerabat, dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan (silaturahmi), sebab pada zaman sekarang orang-orang sudah mempunyai kesibukan sendiri-sendiri sehingga kecil kemungkinan untuk berkunjung ketempat saudara/teman. Pada waktu sadranan ini orang-orang yang mempunyai kerabat/teman di Tumang meluangkan waktunya untuk bersilaturahmi kerabat yang tinggal diluar desa Tumang. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Tulus Sarwanto pada tanggal 12 Juli 2010, dan

bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 74, 75, 76, 77 dan 78

Berdasarkan teori sebelumnya Sikap rukun telah menjadi ciri yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Pelaksanakaan sikap rukun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi, jauh dari rasa permusuhan ,menjaga perdamaian, saling tolong-menolong dalam hal kesulitan, bantu-membantu bila kekurangan dan bahu-membahu dalam prakarsa bersama.

Seperti halnya tradisi sadaranan di Desa Tumang dirasakan menjadi milik besama masyarakatnya, dilaksanakan oleh seluruh masyarakatnya, dijiwai rasa kebersamaan penuh persaudaraan dan penuh persahabatan atau familiar, tanpa ada persaingan maupun perselisihan. Oleh karena itu pelaksanaan tradisi sadranan bagi masyarakat desa Tumang juga berfungsi sebagai perwujudan sikap rukun.

Dokumen terkait