• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging Itik

Deskripsi Daging Itik

Klasifikasi zoologis menggolongkan itik ke dalam kelas Aves, ordo

Arseriformes, famili Anatidae, genus Anas,dan spesies Platyhynchos (Srigandono, 1996). Itik terdiri atas dua tipe, yaitu pedaging dan petelur. Keduanya dibedakan berdasarkan postur tubuh. Dada itik pedaging lebih sejajar dengan lantai sedangkan itik petelur lebih tegak lurus terhadap lantai. Pada umumnya itik lokal yang dibudidayakan oleh masyarakat untuk menghasilkan telur dan masih jarang yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya.

Gambar 2. Itik lokal dan daging itik.

Daging itik sebagian besar tersusun atas daging merah dengan kadar pigmen heminik (hemoglobin dan mioglobin) relatif tinggi (Baéza 2006; Kim et al.

2009). Daging bagian dada tersusun atas daging merah sebanyak 84% dan daging putih 16% (Smith et al. 1993), sedangkan daging ayam pedaging 100% berisi serabut putih. Warna merah daging itik meningkat seiring dengan bertambahnya kadar ion besi. Kandungan Fe daging merah pada itik sebesar 2.40 mg/100 g daging mentah termasuk kulit, sedangkan kandungan Fe daging putih pada ayam pedaging sebesar 0.90 mg/100 g daging mentah termasuk kulit (Staldeman et al.

1988). Kadar Fe daging dipengaruhi oleh spesies, jenis kelamin, umur, jenis urat daging, dan aktivitas (Lawrie 1998; Warriss 2010). Daging bagian paha itik mempunyai kadar Fe lebih tinggi dari bagian dada karena aktivitas paha lebih tinggi dari dada (Russell et al. 2003).

Daging itik mengandung protein berkisar antara 18.6-19.6% dan lemak berkisar antara 2.7-6.8% (Jun et al. 1996), sedangkan Farrell (2000) menyatakan bahwa protein karkas berkisar antara 14-17% dan lemak berkisar antara 16-23%. Kadar protein daging merah lebih rendah dari daging putih (Soeparno 2005). Kadar protein dan lemak pada daging itik sangat dipengaruhi oleh genetik, jenis kelamin, pakan, dan umur (Baéza 2006). Daging itik tersusun atas ALTJ sebesar 60% dari total asam lemak yang terakumulasi pada jaringan otot dan adiposa (Chartrin et al. 2006).

Daging itik mempunyai ukuran serabut otot lebih besar dari daging ayam (Lukman 1998) maupun daging entok (Sudjatinah 2000), sehingga menyebabkan daging itik teksturnya lebih keras (liat). Perbedaan komposisi kimia daging itik dapat mempengaruhi off flavor yang dihasilkan (Smith et al. 1993). Daging itik mempunyai sensasi off flavor, seperti bau amis, bau darah, apek, tengik, bau seperti kentang rebus, dan bau seperti telur asin (Hustiany 2001) cenderung tidak disukai konsumen. Oteku et al. (2006) menyatakan bahwa tingkat penerimaan masyarakat terhadap daging itik masih rendah dengan skor penerimaan dari kurang suka hingga tidak suka mencapai 57.8%.

Kerusakan Oksidasi pada Daging Itik

Oksidasi lemak adalah penyebab utama kerusakan daging dan produk olahannya, sehingga mempengaruhi masa simpannya (Gatellier et al. 2007). Oksidasi lemak melibatkan reaksi serah terima elektron dari radikal bebas dan spesies oksigen reaktif (SOR) (Živković et al. 2008). SOR adalah ion atau molekul yang sangat kecil dan reaktif, terdiri atas spesies radikal [hidroksil (OH ), superoksida (O2-), dan peroksil (ROO )] dan non radikal [hidrogen peroksida (H2O2), oksigen singlet (1O2), dan ozon (O3)] (Gulcin 2010). Radikal bebas merupakan molekul atau ion yang mempunyai elektron tidak berpasangan dan cenderung menangkap elektron dari senyawa lain untuk menjadi netral. Radikal bebas ini biasanya tidak stabil, reaktif, dan mempunyai waktu paruh pendek (Moein et al. 2007).

Oksidasi daging itik sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kadar ALTJ, antioksidan, keberadaan radikal bebas, mioglobin, hemoglobin, logam prooksidan (besi dan tembaga), kondisi pemotongan (stress, pH, suhu karkas, stimulasi elektrik), dan kerusakan integritas membran otot (penghilangan tulang

secara mekanik, penggilingan, proses pengolahan, pemasakan, dan lama penyimpanan) (Gatellier et al. 2007). Pemotongan, pencacahan, dan perebusan daging dapat memacu reaksi oksidasi sehingga penurunan kualitas daging lebih cepat dibandingkan dengan kondisi utuh dan mentah selama penyimpanan (Lee et al. 2006). Terjadinya reaksi oksidasi dapat menurunkan penerimaan konsumen dan kualitas nutrisi, karena hilangnya sejumlah asam lemak esensial, vitamin, karbohidrat, protein, perubahan warna, tekstur, flavor, dan aroma pada pangan selama penyimpanan (Estevez et al. 2007).

RH + •O-O• → R• + •OOH (tahap inisiasi)

R• + •O-O• → ROO• (tahap propagasi)

ROO• + RH → ROOH + R•

R• + •OOH → ROOH (tahap terminasi)

R• + R• → RR

R•+ ROO• → ROOR

ROO•+ ROO• → ROOR + •O-O•

ROOH → RO• + •OH (tahap inisiasi sekunder)

β ROOH → RO• + ROO• + H2O

Gambar 3. Mekanisme reaksi oksidasi lemak (RH = ALTJ, ROO• = radikal peroksil, R• = radikal alkil, RO• = radikal alkoksil) (Farhoosh 2005).

Reaksi oksidasi ALTJ pada daging merupakan reaksi berantai yang melibatkan 3 tahap reaksi, yaitu tahap permulaan (inisiasi), perambatan (propagasi), dan penghentian (terminasi) (Gambar 3 dan 4). Pada tahap permulaan, radikal bebas lemak terbentuk akibat pemutusan atom H dari gugus ALTJ (RH) pada atom C dengan energi ikatan terendah (posisi bis metilen/ karbon -metilen). Radikal yang terbentuk dapat menjadi inisiator reaksi otooksidasi antara radikal

peroksida (ROO•) dengan ALTJ (RH) menghasilkan hidroperoksida (ROOH) dan radikal hidrokarbon (R•) yang baru. Pada tahap terminasi terjadi penggabungan

dua atau lebih radikal bebas menghasilkan senyawa dimer atau polimer (Farhoosh 2005) Hidroperoksida merupakan senyawa yang kurang stabil sehingga mudah mengalami dekomposisi lanjut menghasilkan senyawa volatil dan non volatil,

seperti alkohol, keton, aldehida, asam karboksilat, ester maupun hidrokarbon (Pignoli et al. 2009). R”CHR’ O OH O•

Gambar 4. Pembentukan produk sekunder dari reaksi dekomposisi hidroperoksida

(R”, R’ = gugus alkil dengan panjang rantai berbeda, R”CHOOHR’ = senyawa peroksida, R”CHO R’ = radikal alkoksil, R”CHO = senyawa aldehida, R”COOH, RCOOH= senyawa asam karboksilat, R”CHOHR’ =senyawa alkohol sekunder, R”COR’ = senyawa keton, RH = senyawa

hidrokarbon, ROH = senyawa alkohol primer) (Pokorny et al. 2001).

Reineccius (2006) menyatakan bahwa pigmen heme (mioglobin dan hemoglobin) dapat sebagai katalis utama oksidasi lemak pada daging merah mentah, sedangkan non heme berfungsi sebagai prooksidan pada daging yang telah dimasak. Masqood & Benjakul (2011) juga menginformasikan bahwa hemoglobin dapat menjadi sumber oksigen aktif terjadinya reaksi otooksidasi. Ion besi pada cincin heme yang berada dalam bentuk Fe2+ dapat berubah menjadi Fe3+ melalui proses otooksidasi. Strlic et al. (2002) menyatakan bahwa ion Fe3+ dapat bereaksi secara otooksidasi dengan hidroperoksida menghasilkan senyawa volatil dengan mendonorkan elektron membentuk radikal alkoksil, yang selanjutnya memacu pembentukan senyawa yang mampu menginisiasi dan mempropagasi oksidasi lemak. Oksimioglobin dan metmioglobin dapat menghasilkan ferrilmioglobin (metmioglobin teraktivasi) dengan adanya hidrogen peroksida atau lipid hidroperoksida dan merupakan inisiator oksidasi lemak.

Oksidasi lemak merupakan penyebab utama penyimpangan flavor daging yang telah dimasak selama penyimpanan (Brettonnet et al. 2010). Indikasi

O2 R”CHR’ + OH• R”CR’ + ROH O RCOOH RO• R• R”CHO +R’• RH R”COOH O2 R”CHR’ +R• OH R”CR’ O2 O R”CR’ + RH O

penyimpangan flavor daging ini dikenal dengan warmed over flavor (WOF) (Pokorny et al. 2001). WOF terjadi pada produk daging disebabkan reaksi otooksidasi lemak menghasilkan hidroperoksida, yang selanjutnya terdekomposisi menghasilkan sejumlah senyawa volatil (Jayathilakan et al. 2007). WOF dapat terjadi pada bahan pangan berbasis lemak yang telah digoreng atau dimasak dan disimpan di suhu rendah, selama penyimpanan senyawa hasil oksidasi yang bersifat volatil diserap oleh bahan pangan tersebut. Ketika bahan pangan tersebut dipanaskan kembali maka senyawa volatil tersebut akan dilepaskan (Herschowitz

et al. 2003).

MbO2Fe(II) + O2 MbFe(III) + 2O2-

MbO2Fe(II) + RH HmbFe(II) + R + O2

MbO2Fe(II) + ROOH HmbFe(II) + ROO + O2 MbFe(III) + RH HmbFe(III) + R

MbFe(III) + ROOH HmbFe(III) + ROO

MbFe(III) + H2O2 Mb Fe(IV)=O + -OH + H Mb Fe(IV)=O + RH MbFe(IV)=O + R + H+

MbO2Fe(II) + H2O2 MbFe(IV)=O + H2O + O2

Gambar 5. Mekanisme induksi besi (II) mioglobin dalam memacu oksidasi lemak (MbFe(II) = deoksimioglobin, MbO2Fe(II) = oksimioglobin, HmbFe(II) = hemokrom, HmbFe(III) = hemikrom, MbFe(III) =

metmioglobin, Mb Fe(IV)=O = perferilmioglobin, MbFe(IV)=O = ferrilmioglobin) (Huang et al. 2010).

Pemanasan dapat mempercepat terjadinya WOF, karena pemanasan menyebabkan denaturasi protein heme, kerusakan struktur membran sel, dan pencampuran komponen penyusun sel (Reineccius 2006). WOF akan berkembang cepat selama daging disimpan di refrigerator dengan karakteristik sensori yang tidak diinginkan, ditandai adanya bau paint atau wet cardboard (Jayathilakan et al. 2007), oxidized/rancid, fishy, stale, dan metallic (Grigioni et al. 2000). Flavor

tengik ini muncul sesudah 48 jam daging disimpan di refrigerator pada suhu 4 oC (Soares et al. 2004). Penyimpangan flavor ini tidak terjadi pada daging mentah atau jaringan lemak yang disimpan beku selama beberapa minggu atau bulan (Bailey et al. 1992).

100 kkal/mol 50 kkal/mol 75 kkal/mol CH3─(CH2)3─CH2─CH=CH─CH2─CH=CH─CH2─(CH2)6─COOH 14 13 12 11 10 9 - H (Tahap inisiasi) CH3─(CH2)4─CH─CH=CH─CH=CH─(CH2)7─COOH CH3─(CH2)4─CH─CH=CH─CH=CH─(CH2)7─COOH O O CH3─(CH2)4─CH─CH=CH─CH=CH─(CH2)7─COOH O O H CH3─(CH2)4─CH─CH=CH─CH=CH─(CH2)7─COOH O CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CHO + CH=CH-CH=CH(CH2)7COOH Heksanal (Tahap terminasi)

Gambar 6. Pembentukan heksanal dari dekomposisi asam linoleat (Verlet et al. 2007).

Pokorny et al. (2001) menyatakan bahwa terjadinya WOF dipengaruhi oleh faktor endogenus dan eksogenus. Faktor endogenus, meliputi tipe daging dan spesies (genetik), antioksidan aktif dalam daging (dipeptida, tokoferol dsb), dan enzim pendeaktif SOR, seperti superoksida dismutase (SOD) dan glutathion reduktase (GSH), serta prooksidan, seperti ion besi heme, non heme, dan SOR. Faktor eksogenus, terdiri atas jenis pengolahan, teknik dan lama pemasakan, kondisi pemasakan awal dan akhir, lama dan suhu penyimpanan, sistem pengemasan, dan penggunaan antioksidan.

(Tahap propagasi) + O2

+ H

(Dekomposisi hidroperoksida) - OH

Tabel 1. Senyawa aldehida hasil otooksidasi asam lemak tak jenuh (ALTJ)

Asam Lemak Monohidroperoksida Senyawa Aldehida

Asam oleat (C18:1, -9)

8-OOH 2-undekenal, dekenal

9-OOH 2-dekenal, nonanal

10-OOH nonanal

11-OOH oktanal

Asam linoleat (C18:2, -6)

9-OOH 3-nonenal, 2,4-dekadienal

11-OOH 2-oktenal

13-OOH heksanal

Asam linolenat (C18:3, -3)

9-OOH 2,4,7-dekatrienal, 3,6-nonadienal

11-OOH 2,5-oktadienal

12-OOH 2,4-heptadienal, 3-heksenal

13-OOH 3-heksenal 14-OOH 2-pentenal 16-OOH propanal Asam arakidonat (C20:4, -6) 7-OOH 2,5,8-tridekatrienal

8-OOH 2,4,7-tridekatrienal, 3,6-dodekadienal

9-OOH 3,6-dodekadienal

10-OOH 2,5-undekadienal

11-OOH 2,4-dekadienal, 3-nonenal

12-OOH 3-nonenal

13-OOH 2-oktenal

15-OOH heksanal

Sumber : Kochhar (1993), Varlet et al. (2007)

Senyawa volatil yang menjadi indikator munculnya WOF, meliputi heksanal, pentanal, (E,E)-2,4-dekadienal, 2,3-oktanadion, 2-oktenal (Junthachote

et al. 2007), 1-okten-3-on, (E,E)-2,4-nonadienal, trans-4,5-epoksi-(E)-2-dekenal (Konopka et al. 1995). Senyawa aldehida volatil adalah komponen utama yang berkontribusi terjadinya off flavor pada bahan pangan (Pignoli et al. 2009). Heksanal adalah salah satu jenis senyawa flavor volatil yang dapat digunakan sebagai indikator WOF pada daging itik, akibat oksidasi ALTJG ( -6), terutama asam linoleat dan arakidonat (Gambar 6 & Tabel 1).

Malondialdehida (MDA) adalah senyawa aldehida jenuh non volatil hasil oksidasi lemak pada sistem pangan maupun biologis yang bersifat toksik. MDA dapat menggantikan atau berikatan silang dengan senyawa biomolekular, seperti protein, peptida, poliamina, sulfhidril, enzim, lipoprotein, asam

deoksinukleat (DNA), amino dari fosfolipid, dan asam amino melalui basa schiff

terkonjugasi yang mempunyai karakteristik sistem fluoromorfik N-C=C-C=N (Rababah et al. 2004; Ganhao et al. 2011).

Gambar 7. Reaksi TBA dengan MDA (Fernindez et al. 1997).

MDA terbentuk dari oksidasi ALTJG dengan ikatan rangkap paling sedikit 3 buah. Senyawa ini dapat bereaksi dengan asam 2-thiobarbiturat (TBA) membentuk larutan berwarna merah yang dapat terdeteksi pada 532–535 nm. Intensitas warna yang terukur menunjukkan konsentrasi MDA, yang berkorelasi dengan sensori dan WOF (Mendes et al. 2009). Gorelik et al. (2008) menyatakan bahwa MDA tidak merupakan indikator stoikiometri reaksi oksidasi lemak, meskipun akumulasi MDA menyatakan intensitas terjadinya proses oksidasi lemak. Hal ini disebabkan senyawa produk oksidasi yang lain (2,4-alkadienal/2,4-dekadienal, protein, produk pencoklatan Maillard, dan produk degradasi gula) dapat bereaksi dengan TBA (Igene et al. 1985). Oleh karena itu penentuan nilai TBA selalu dinyatakan dengan senyawa reaktif terhadap TBA (TBARS/thiobarbituric acid reactive substances) (Tokur et al. 2006).

Antioksidan

Deskripsi Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa atau bahan yang digunakan pada konsentrasi lebih rendah dari substratnya secara signifikan dapat menunda atau mencegah oksidasi (Moein et al. 2007). Penggunaan antioksidan pada daging atau produk olahannya dapat menghambat ketengikan oksidatif, mempertahankan warna daging, dan memperpanjang masa simpan (Choe et al. 2011). Ketengikan (off flavor) daging yang kaya ALTJG dapat diminimalkan dengan mengkombinasikan

Kromagen TBA

Malondialdehida TBA

antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas, mengkelat dan mereduksi ion logam (Ganhao et al. 2010).

Pengelompokan Antioksidan

Antioksidan berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer dapat mencegah pembentukan radikal bebas dan memutus rantai reaksi radikal bebas dengan cara mendonorkan atom hidrogen, diantaranya SOD, katalase, GSH,

fenolik maupun vitamin E ( -tokoferol). Antioksidan sekunder berfungsi mendekomposisi peroksida lemak, mengkelat ion logam, menangkap oksigen, mengubah hidrogen peroksida menjadi senyawa non radikal, mengabsorbsi radiasi ultra violet (UV), atau mendeaktivasi oksigen singlet, meliputi vitamin C (asam

askorbat), vitamin E, -karoten, asam urat, bilirubin, dan albumin. Antioksidan tersier berperan memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang diakibatkan oleh radikal bebas, meliputi methionin sulfoksida reduktase yang berfungsi untuk memperbaiki asam deoksiribonukleat (DNA) pada inti sel (Pokorny et al. 2001).

Antioksidan berdasarkan asalnya dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan alami dan sintetik. Antioksidan alami diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami atau terbentuk dari reaksi-reaksi kimia selama proses pengolahan (Trilaksani 2003), meliputi fenol dan turunannya, karotenoid, tokoferol, dan asam askorbat (Cahyadi 2005). Antioksidan sintetik diperoleh sebagai hasil sintesis reaksi kimia (Trilaksani 2003), seperti butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluena (BHT), dan tersier butil hidrokuinon (TBHQ). Penggunaan antioksidan sintetik masih dikuatirkan akan efek sampingnya (Juntachote et al. 2007). BHA dapat menimbulkan pembengkakan organ hati, mempengaruhi aktivitas enzim dalam hati, menyebabkan pendarahan fatal pada organ pernapasan, pencernaan, dan organ testes epididimus serta pankreas (Farago et al. 1989), luka pada kandung kemih, dan kerongkongan pada hewan coba (Gharan & El-Kadi 2005). BHT dapat menyebabkan perubahan pada tiroid tikus, stimulasi sintesis DNA, dan induksi enzim (Farago et al. 1989).

Mekanisme Antioksidatif

Senyawa antioksidan dapat mencegah oksidasi bahan pangan melalui berbagai mekanisme, diantaranya menangkap SOR dan spesies nitrogen reaktif (SNR), mereduksi dan mengkelat ion logam, menghentikan reaksi rantai radikal,

menghambat pembentukan oksidan reaktif, menghambat kofaktor dan enzim oksidatif (Saraf et al. 2007). Banu et al. (1985) menyatakan bahwa mekanisme senyawa antioksidan dalam menghambat reaksi pembentukan radikal bebas, melalui kemampuan mendonorkan hidrogen atau elektron, mengkelat dan mereduksi ion logam.

A–H + R-O-O• → A• + R-O-OH A–H + R-O• → A• + R-OH

A• + R-O-O• → A-O-OR

A• + R-O• → A-OR

A• + A• → A-A

A• + O2 → A-O-O• A• + R-H → A-H + R

A-H + ROOH A + RO + H2O A-H + O2 A + HO2

AOOR AO + RO

Gambar 8. Penghambatan reaksi otooksidasi lemak (RH = asam lemak tak jenuh, AH = antioksidan, ROO = radikal peroksil, RO = radikal alkoksil, R = radikal alkil, A = radikal antioksidan) (Pokorny 2001).

Senyawa Fenolik

Senyawa fenolik adalah metabolit sekunder tanaman dengan struktur molekul bervariasi dan bertanggung jawab pada sifat organoleptik pada pangan atau minuman, terutama warna, flavor, rasa, nutrisi, astringency, dan bitterness

(Tapas et al. 2008). Secara fisiologis senyawa fenolik mempunyai beberapa aktivitas biologis, seperti antialergi, antiinflammasi, antimikrobial, antibakterial, antioksidan, antitrombotik, kardioprotektif, dan efek vasodilatori (Aberoumand & Deokule 2008).

Aktivitas antioksidan senyawa fenolik ditentukan oleh struktur molekul, jumlah, dan posisi gugus hidroksil pada cincin aromatis serta keberadaan elektron tidak berpasangan pada senyawa intermediet fenolik yang terlibat delokalisasi elektron (Lugasi et al. 2003) dan sifat redoks (Ahmadi et al. 2007). Fenolik merupakan asam lemah aromatis yang tersubstitusi satu atau lebih gugus hidroksil,

mudah mengalami oksidasi sehingga menyebabkan fenolik mampu menangkap radikal bebas (Benbrook 2005).

Gambar 9. Potensial oksidasi elektrokimia senyawa fenolik (Simic et al. 2007).

Flavonoid adalah kelompok terbesar dari fenolik dengan kapasitas antioksidan yang kuat (Aberoumand & Deokule 2008). Flavonoid termasuk kelompok benzo- -piron dengan struktur umum difenilpropan (C6-C3-C6) terdiri dari 2 (dua) cincin aromatis yang dihubungkan oleh 3 (tiga) atom karbon membentuk heterosiklik teroksigenasi, ditandai dengan A, B, C (Filipiak 2001). Berdasarkan perbedaan strukturnya, flavonoid dibedakan atas flavonol, flavon, flavanol, isoflavon, flavanon, flavanonol, anthosianidin, dan proanthosianidin (Lugasi et al. 2003).

Gambar 10. Struktur dasar flavonoid (Filipiak 2001).

Tabel 2. Pembagian senyawa flavonoid berdasarkan perbedaan struktur kimia

Kelompok Senyawa Substituen

3 5 7 γ’ 4’ 5’ Flavonol Kuersetin Fisetin Rutin Kaemferol Galangin Mirisetin OH OH ORu OH OH OH OH H OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH H H OH OH OH OH OH H OH H H H H H OH Flavanonol Naringenin Hesperetin Taxifolin H H OH OH OH OH OH OH OH H OH OH OH OMe OH H H H Flavon Apigenin Diosmin Luteolin H H H OH OH OH OH ORu OH H OH OH OH OH OH H H H Flavanol (+)-Katekin (-) Epikatekin OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH H H Antosianin Sianidin Pelargonidin Malvidin OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH H OMe OH OH OH H H OMe

Sumber : Butkovic et al. (2004) Ket : Me = CH3 , Ru = Rutinosa

Efektivitas flavonoid sebagai penangkap radikal dan pengkelat ion logam ditentukan oleh adanya struktur (katekol) ortho dihidroksi pada cincin B, ikatan rangkap pada C2-3 yang terkonjugasi dengan gugus fungsi C4 okso, gugus OH pada C3 di cincin C, dan gugus OH pada C5 di cincin A (Tapas et al. 2008). Kombinasi gugus C3-OH dan C5-OH dengan C4-karbonil dan ikatan rangkap C2-3

dapat meningkatkan aktivitas penangkap radikal bebas (Amic et al. 2003). Selain itu kemampuan senyawa flavonoid sebagai antioksidan juga ditentukan oleh potensial reduksinya, senyawa flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan semakin tinggi ditandai dengan potensial reduksinya makin rendah (Rice-Evans et al. 1997).

Tabel 3. Potensial reduksi beberapa senyawa fenolik yang terukur dengan elektroda karbon gelas

Jenis Senyawa Fenolik Potensial Reduksi (Volt)

Erioduktiol + 0.51 ; + 1.20 Katekin + 0.53 ; + 0.88 Asam kafeat + 0.53 Asam gallat + 0.54 ; + 0.87 Hidrokuinon + 0.57 Pirokatekin + 0.61 Asam siringat + 0.75 Guaiakol + 0.77 Siringaldehida + 0.81 Asam ferulat + 0.82 Asam p-koumarat + 0.85 Asam vanilat + 0.88 Asetovanilon + 0.89 Vanilin + 0.92 Resorsinol + 0.94 Fenol + 0.98

Asam o-hidroksi fenil asetat + 9.98 Asam m-hidroksi fenil asetat + 1.02 Asam p-hidroksi fenil asetat + 1.02 Asam p-hidroksi bensoat + 1.15 2,4-Dihidroksi asetofenon + 1.15

2-Hidroksi asetofenon + 1.25

Sumber : Chaviari et al. (1988)

Gambar 11. Potensi flavonoid sebagai penangkap radikal (Amic et al. 2003).

Beluntas (Pluchea indica Less)

Deskripsi Beluntas

Beluntas dikenal masyarakat dengan berbagai nama daerah, antara lain beluntas (Sunda), luntas (Jawa Tengah), baluntas (Madura), lamutasa (Makasar), dan lenabou (Timor). Secara taksonomi beluntas termasuk klas Dicotyledonae, bangsa Asterales, suku Asteraceae, marga Pluchea (Dalimarta 2003). Masyarakat memanfaatkannya sebagai lalapan dan sediaan obat bahan alam, seperti mengatasi bau badan, meningkatkan nafsu makan, dan obat untuk berbagai

penyakit (sakit perut, asma, batuk, reumatik, wasir, penyakit kulit, keseleo, encok, sakit pinggang, demam, datang bulan tidak teratur, dan keputihan) (Manan 2002; Raharjo & Horsten 2008).

Gambar 12. Tanaman beluntas

Tanaman ini dapat tumbuh liar di daerah kering dengan tekstur tanah keras dan berbatu serta memerlukan cukup cahaya matahari. Beluntas termasuk tanaman perdu, berkayu, dan bercabang dengan rusuk halus, dan berbulu lembut. Tanaman ini dapat diperbanyak dengan cara stek dan tingginya dapat mencapai 2 meter. Berbunga sepanjang tahun dan mempunyai akar tunggang. Berdaun tunggal dengan tangkai pendek, letaknya berseling, bentuk bundar seperti telur sungsang. Ujung daun bundar, tepi bergerigi sampai bergigi dengan pertulangan menyirip, berwarna hijau terang, berkelenjar dengan panjang 2.5-9 cm dan lebar 1-5.5 cm, berbau harum dan berasa agak getir. Berbunga majemuk dengan bentuk malai rata yang keluar dari ujung cabang dan ketiak daun. Bunga bercabang banyak, berbentuk bonggol, bergagang atau duduk, bentuknya seperti silinder dengan panjang 5-6 mm, berbulu lembut, berwarna ungu, dan pangkalnya berwarna ungu muda. Kepala sari menjulur dan berwarna ungu. Kepala putik berwarna putih atau putih kekuningan. Putik berbentuk jarum dengan panjang ± 6 mm. Buah beluntas berbentuk seperti gasing, warnanya coklat dengan sudut-sudut putih, dan lokos (gundul atau licin). Ukuran buah relatif kecil, keras, dan berwarna coklat dengan panjang 1 mm. Biji kecil dan berwarna coklat keputih-putihan (Dalimarta 2003; Raharjo & Horsten 2008).

Komposisi Kimia Beluntas

Beluntas mempunyai aktivitas antiinflamasi, antiulser, antipiretik, hipoglisemik, diuretik serta beberapa aktivitas farmokologi (Biswas et al. 2005;

Biswas et al. 2007). Hal ini disebabkan beluntas mengandung senyawa aktif, seperti lignan, seskuisterpena, fenilpropanoid, bensoid, monoterpena, triterpena, sterol, alkana, fenol hidrokuinon, vitamin A dan C, alkaloid, flavonoid, tanin, minyak atsiri, asam klorogenik, asam amino (leusin, isoleusin, triptofan, dan treonin) (Luger et al. 2000; Dalimarta 2003; Ardiansyah et al. 2003).

Biswas et al. (2005) menyatakan bahwa ekstrak metanolik akar beluntas mengandung senyawa stigmasterol (+ sitosterol), stigmasterol glikosida (+ -sitosterol-glikosida), 2-(prop-1-unil)-5-(5,6-dihidroksi heksa-1,3-diunil)-tiofena, dan (-)-katekin. Traithip (2005) menyatakan bahwa daun beluntas juga mengandung sejumlah senyawa volatil kelompok terpena, seperti boehmeril asetat, HOP-17 (21)-en 3 -asetat, linaloil glukosida, linaloil apiosil glukosida, linaloil hidroksi glukosida, pluseosida C, kuauhtermona, 3-(β’-γ’-diasetoksi-β’ -metil-butiril), pluseol A, pluseol B, pluseosida A, pluseosida B, pluseosida E, dan pterokarptriol.

Ekstrak etanolik dan minyak atsiri daun beluntas menunjukkan aktivitas antioksidan dalam sistem asam linoleat- -karoten dan mampu menangkap radikal bebas DPPH (Widyawati 2004). Menurut Andarwulan et al. (2010) bahwa daun beluntas mengandung senyawa flavonol, meliputi mirisetin, kuersetin, dan kaemferol, yang mampu menangkap radikal DPPH dan ABTS2+ , mereduksi ion besi,, dan menghambat pembentukan MDA.

Evaluasi Sensori

Karakteristik sensori merupakan faktor penting yang menentukan penerimaan konsumen terhadap produk pangan, meliputi kenampakan (warna, bentuk, dan ukuran), tekstur, dan flavor (Reineccius 2006). Evaluasi sensori merupakan analisis yang menggunakan manusia sebagai instrumen, sehingga kemungkinan terjadi penyimpangan sangat besar. Oleh karena itu untuk meminimalkan penyimpangan atau penilaian yang berubah-ubah maka faktor fisiologi dan psikologi yang berpengaruh terhadap penilaian sensori harus dipahami (Meilgaard et al. 2007). Analisis off flavor dengan evaluasi sensori mirip analisis dengan instrumen, yaitu menggunakan standar yang baku dan kontrol. Semua faktor eksternal yang dapat membiaskan penilaian harus

disingkirkan (Gasong 2005). Menurut Mielgaard et al. (2007) ada 3 (tiga) kelompok variabel yang harus dikontrol untuk mendapatkan perbedaan nyata antar sampel yang terukur, yaitu : 1). Pengontrolan terhadap proses pengujian, meliputi lingkungan, tempat pengujian, penggunaan booth atau meja diskusi, pencahayaan, sistem ventilasi udara, ruang persiapan, pintu masuk dan keluar, 2). Pengontrolan produk, meliputi penggunaan peralatan, cara penyiapan, pemberian kode, dan cara penyajian, 3). Pengontrolan terhadap panel, meliputi prosedur yang digunakan oleh panelis dalam mengevaluasi sampel.

Evaluasi sensori berdasarkan tujuan pengujiannya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu uji afektif, uji pembedaan, dan uji deskriptif. Uji afektif bertujuan untuk menilai respon pribadi (kesukaan atau penerimaan) dari produk tertentu atau karakteristik produk spesifik tertentu. Uji Pembedaan bertujuan untuk menilai perbedaan sensori antara sampel yang diuji atau atribut X yang berbeda diantara sampel. Uji deskriptif adalah metode yang melibatkan deteksi (diskriminasi) dan deskripsi antara aspek sensori kualitatif dan kuantitatif dari produk (Meilgaard et al. 2007).

Analisis deskriptif secara luas digunakan untuk pengembangan produk dan pengontrolan kualitas produk (Abdi & Valentin 2007). Metode ini melibatkan panelis terlatih, yang diperoleh melalui hasil training berdasarkan kemampuan sensorinya untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi perbedaan sensori antara produk yang diuji. Panelis dipilih dari sumber yang tidak terlibat dalam pembuatan produk untuk mengurangi bias dari produk. Kriteria yang harus dipenuhi dalam pemilihan panelis, yaitu individu yang mengkonsumsi produk dengan frekuensi rata-rata atau lebih akan lebih sensitif dibandingkan dengan yang jarang mengkonsumsi dan kemampuan pembedaan terhadap produk uji memberi hasil yang lebih terarah secara berturut-turut (Stone & Sidel 1998; Carpenter et al. 2000). Pelatihan panelis menggunakan produk dan senyawa standar (reference) dengan tujuan untuk menstimulasi penurunan istilah-istilah. Pelatihan bertujuan untuk mengembangkan istilah yang konsisten, tetapi panelis bebas untuk memperkirakan skor yang akan diberikan, menggunakan skala garis 15 cm (Gacula 1997; Meilgaard et al. 2007).

Intensitas off flavor yang terjadi pada daging itik dapat dilakukan dengan menggunakan panelis yang mempunyai kemampuan mendeteksi dan mendeskripsikan off flavor. Untuk mendapatkan panelis yang mempunyai

kemampuan tinggi dalam mendeteksi dan mendeskripsikan off flavor harus dilakukan melalui seleksi, pelatihan, dan uji panelis. Uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui intensitas off flavor pada daging itik adalah uji skoring, uji skalar garis dan uji deskripsi. Uji skalar garis adalah uji yang dilakukan oleh