• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DISKRIMINAN FISHER, WALD ANDERSON DAN JARAK MINIMUM

TINJAUAN PUSTAKA Sap

Sapi diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan yang memiliki tulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui), ordo Artiodactile (hewan berkuku atau berteracak genap), sub-ordo Ruminansia (hewan pemamah biak), famili Bovidae (hewan bertanduk rongga), genus Bos (hewan pemamah biak berkaki empat), spesies Bos taurus pada sebagian besar bangsa sapi dan Bos indicus pada sapi berpunuk (Blakely dan Bade, 1992). Menurut Blakely dan Bade (1992) dan Jakaria et al. (2007), sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Pesisir diklasifikasikan ke dalam species Bos indicus, sedangkan sapi Bali diklasifikasikan ke dalam Bos sondaicus (Talib et al., 2003).

Sapi Peranakan Ongole (PO)

Sapi PO banyak ditemukan di pulau Jawa yang merupakan sapi lokal Indonesia. Sapi PO merupakan sapi hasil persilangan antara sapi Ongole dan sapi lokal setempat, terutama sapi Jawa. Sapi ini tahan terhadap panas dan penyakit caplak, bertubuh besar, bergumba dan bergelambir lebar. Karakteristik jantan sapi PO, menurut Santi (2008), memiliki panjang badan 116,59 cm, tinggi pundak 135,06 cm dan lingkar dada 185,44 cm. Bobot hidup bervariasi yaitu 200-450 kg (Erlangga, 2009).

Sapi PO memiliki ciri berbulu putih kelabu atau kehitam-hitaman dengan kaki berukuran panjang. Kepala relatif pendek dengan profil melengkung, berpunuk besar dengan lipatan-lipatan kulit di bawah leher dan perut lebar. Sapi PO tahan terhadap panas dan kualitas pakan yang rendah (Natural Veterinary, 2009). Sapi PO memiliki laju pertumbuhan yang baik, kemampuan konsumsi pakan yang cukup tinggi dan mudah dalam pemeliharaan. Sapi ini memiliki tenaga yang kuat. Sapi PO memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan. Sapi PO memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induk cepat kembali normal setelah beranak, jantan memiliki kualitas semen yang baik (Erlangga, 2009).

4 Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole Jantan

Sapi Bali

Sapi Bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi Bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau Bali dan kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Karakteristik kuantitatif sapi Bali menurut Pane (1991) meliputi bobot badan 350-400 kg, panjang badan 125-134 cm, lingkar dada 180-185 cm dan tinggi pundak 122-126 cm. Sapi jantan tidak bergumba, memiliki gelambir kecil dan tubuh kompak. Warna sapi Bali pada jantan maupun betina sama ketika dilahirkan yaitu coklat muda. Warna ini tetap sampai dengan dewasa pada betina, tetapi berubah menjadi hitam pada jantan. Warna hitam pada jantan dewasa yang dikebiri berubah menjadi coklat muda, sedangkan tungkai kaki mulai dari lutut hingga sikut ke bawah tetap berwarna putih. Sapi Bali memiliki keunggulan diantaranya memiliki fertilitas yang baik karena sapi betina mampu menghasilkan anak setiap tahun, konsumsi ransum sedikit pada saat-saat sulit seperti musim kemarau yang panjang atau sesudah waktu utama bercocok tanam dan dapat kembali segera ke kondisi semula, kualitas daging baik, sapi jantan kebiri muda dan sapi jantan umumnya mempunyai berat standar untuk diekspor ke pulau atau negara

5 lain untuk disembelih, dan kualitas kulit baik dan agak tipis (Williamson dan Payne, 1993).

Sapi Bali memiliki tanduk berukuran pendek dan kecil, kepala panjang, halus dan sempit, serta leher yang ramping. Sapi Bali sangat produktif dan adaptif terhadap lingkungan. Persentase pedet yang dihasilkan mencapai 80%. Sapi Bali mampu mencerna pakan berkualitas rendah, menghasilkan karkas berkualitas bagus, harga jual tinggi dan dapat digunakan sebagai hewan tenaga kerja. Sapi Bali digunakan sebagai ternak kerja, tetapi dianggap sebagai ternak potong karena memiliki kualitas karkas yang baik. Kulit berpigmen dan halus. Puncak kepala yang datar, telinga berukuran sedang dan bediri. Tanduk jantan berukuran besar tumbuh ke samping kemudian ke atas dan runcing (Natural Veterinary, 2009).

Gambar 2. Sapi Bali Jantan

Sapi Pesisir

Sapi Pesisir atau sapi Pesisir Selatan adalah sapi yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatera Barat. Sapi jantan berkepala pendek, tanduk pendek menengah keluar (seperti tanduk kambing), leher pendek dan berat, belakang leher lebar, punuk kecil, bagian tubuh depan lebih berat daripada bagian tubuh

6 belakang. Sapi betina berkepala agak panjang dan halus, bertanduk kecil dan mengarah keluar. Sapi Pesisir pada umumnya dipelihara secara bebas, memiliki bobot badan relatif kecil sehingga tergolong sapi mini (mini cattle) dan dapat dijadikan sebagai hewan kesayangan (fancy) bagi penggemar sapi mini. Sapi Pesisir memasok 75% daging sapi di Padang Sumatera Barat (Saladin, 1983).

Sapi Pesisir jantan dewasa umur 4-6 tahun memiliki bobot badan 186 kg yang jauh lebih rendah dari pada bobot badan sapi Bali (310 kg) dan sapi Madura (248 kg). Penampilan bobot badan yang kecil tersebut merupakan salah satu penciri suatu bangsa sapi, sehingga dapat dinyatakan bahwa sapi Pesisir merupakan sapi khas Indonesia terutama di Sumatera Barat dan merupakan sumber daya genetik (plasma nutfah) nasional yang perlu dikembangkan dan dilestarikan. Sapi pesisir berkontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan daging bagi masyarakat Sumatera Barat (Adrial, 2010).

Gambar 3. Sapi Pesisir Jantan

Sapi Pesisir merupakan sapi terkecil kedua di dunia (Sarbaini, 2004). Sapi Pesisir memiliki keragaman warna bulu yang tinggi mulai dari merah bata (merah tua), merah muda, kehitam-hitaman, coklat tua dan putih kehitam-hitaman. Warna

7 bulu di sekitar mata, mulut, bagian dalam kaki dan perut agak muda. Tinggi pundak pada sapi dewasa jantan dan betina masing-masing 90-108 cm dan 83-102 cm, lingkar dada 104-133 cm dan 83-103 cm dan panjang badan 90-120 cm dan 86-117 cm (Adrial, 2010).

Pertumbuhan dan Ukuran Tubuh

Pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan ukuran atau volume zat hidup. Pertumbuhan meliputi dua fase utama yaitu fase prenatal (sebelum lahir) dan fase postnatal (setelah lahir). Semua organ tubuh ternak akan dibentuk pada saat prenatal dan peningkatan ukuran, sistem dan perkembangan dewasa tubuh, terjadi pada pertumbuhan postnatal. Peningkatan ukuran sel (hypertrophy) dan jumlah sel (hyperplasia) terjadi selama pertumbuhan prenatal maupun postnatal (Herren, 2000). Scanes (2003) menjelaskan bahwa pertumbuhan ternak dapat dideskripsikan dengan cara mengukur karakteristik fisik ternak seperti bobot badan, tinggi badan, panjang badan dan lingkar dada atau mengukur tebal lemak punggung, ketebalan dan kedalaman otot. Hanibal (2008) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara skor ukuran dan bobot badan, sedangkan lingkar dada merupakan penciri dari ukuran tubuh. Darmayanti (2003) menyatakan bahwa bobot badan pada umumnya mempunyai hubungan positif dengan semua ukuran linier tubuh.

Periode pertumbuhan diawali dengan pertumbuhan tulang yang sangat cepat, laju pertumbuhan otot menurun dan deposisi lemak meningkat setelah pubertas (Soeparno, 1992). Herren (2000) menjelaskan bahwa ternak mengalami pertumbuhan secara cepat sejak lahir hingga ternak mencapai dewasa kelamin. Ternak mengalami pertumbuhan jaringan dan otot secara cepat pada periode ini. Ternak akan tetap mengalami pertumbuhan, namun kecepatan pertumbuhan semakin berkurang sampai dengan pertumbuhan tulang dan otot berhenti; setelah mencapai dewasa kelamin.

Penelitian untuk menentukan asal usul dan hubungan genealogical pada beberapa tipe sapi asli Asia Timur, termasuk beberapa sapi lokal Indonesia telah dilakukan Otsuka et al. (1982). Otsuka et al. (1982) melakukan pengamatan pada bagian tubuh ternak berdasarkan metoda baku yang dirancang Wagyu Cattle Registry Assosiation Japan yang meliputi wither height (tinggi pundak), hip height (tinggi pinggul), body length (panjang badan), chest width (lebar dada), chest depth (dalam dada), hip width (lebar pinggul), thurl width (lebar tulang tapis), pin bones width

8 (lebar tulang duduk), rump length (panjang bokong), hearth girth (lingkar dada) dan cannon circumference (lingkar tungkai bawah).

Anatomi adalah ilmu yang mempelajari bentuk dan struktur makhluk hidup (Frandson, 1992). Ishii et al. (1996) menyatakan bahwa ukuran dan bentuk tubuh ternak digunakan untuk menentukan pertumbuhan baku dan menilik ternak. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa hubungan morfogenetik dapat memberikan gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas bangsa ternak tertentu. Frandson (1992) menjelaskan bahwa tulang belakang (vertebrae) disusun dengan tulang-tulang yang terletak di median dan tidak berpasangan. Bagian-bagian tulang belakang terdiri atas corpus, arcus dan proseccus. Tulang dada terdapat di dasar torax dan merupakan tempat perlekatan kartilago kosta sternalis yang disebut sternum. Sternum terdiri atas segmen-segmen yang disebut sternebrae pada umur lanjut. Scapula merupakan tulang berbentuk pipih dan merupakan tulang tringularis. Humerus merupakan tulang lengan atas yang panjang yang memiliki struktur halus bervariasi. Radius merupakan tulang yang besar yang terdapat pada lengan bawah, sedangkan ulna merupakan tulang kecil yang terdapat pada lengan bawah. Carpus pada mamalia merupakan daerah kompleks yang terdiri atas dua deret tulang-tulang kecil,

Gambar 4. Anatomi Ternak Sapi Dewasa

9 sedangkan metacarpus merupakan daerah yang bersebelahan dengan distal carpus. Tulang tarsus juga disusun dengan tulang-tulang kecil seperti tulang carpus dan tulang metatarsus dan juga tulang metacarpus (Frandson, 1992). Gambar 4 menyajikan diagram anatomi ternak sapi dewasa menurut North Carolina A & T State University (2010).

Sifat Kuantitatif

Sifat kuantitatif merupakan sifat yang dikontrol banyak gen yang perbedaan antara fenotipe tidak begitu jelas, bersifat aditif dan variasi bersifat kontinyu (Noor, 2008). Martojo (1990) dan Warwick et al. (1995) menyatakankan bahwa pengaruh lingkungan terhadap sifat kuantitatif relatif lebih besar; seperti produksi telur dan susu, ukuran tubuh dan laju pertumbuhan. Sifat kuantitatif memberikan peran yang sangat penting dalam bidang peternakan. Sifat kuantitatif diekspresikan melalui genetik, lingkungan dan interaksi genetik terhadap lingkungan.

Analisis Diskriminan

Analisis diskriminan menurut Gaspersz (1992) merupakan analisis yang dilakukan berdasarkan perhitungan kelompok yang terlebih dahulu diketahui pengelompokannya secara jelas dan pasti. Analisis diskriminan dapat digunakan untuk menentukan variabel-variabel penciri atau variabel pembeda yang membedakan kelompok-kelompok populasi dan digunakan sebagai kriteria pengelompokan. Gaspersz (1992) lebih lanjut menjelaskan bahwa metode fungsi diskriminan pada awalnya dikembangkan oleh Ronald A. Fisher pada tahun 1936 sehingga fungsi diskriminan yang dibangun disebut juga dengan fungsi diskrimanan linier Fisher. Fungsi diskriminan atau fungsi linier tertentu merupakan fungsi pembeda (pemisah) terbaik bagi dua atau lebih populasi yang telah diukur dalam beberapa karakter. Menurut Saparto (2006), hasil analisis diskriminan yang dilakukan pada sapi PO, sapi Bali, sapi Madura dan sapi Jawa menunjukkan bahwa keempat jenis sapi tersebut berbeda satu sama lain karena tingkat kesalahan pengelompokannya tidak ditemukan.

10

Analisis Wald Anderson dan Analisis D2 Mahalanobis

Analisis Wald-Anderson adalah analisis yang digunakan untuk keperluan penggolongan dan merupakan alternatif dari konsep analisis diskriminan Fisher (Gaspersz, 1992). Menurut Anderson (1984) peneliti membuat sejumlah pengukuran dari individu dan mengharapkan penggolongan individu dalam satu kelompok dari beberapa kategori berdasarkan pengukuran tersebut. Kriteria penggolongan dapat diusulkan ketika suatu populasi telah diidentifikasi dan analisis Wald-Anderson memberikan hasil penggolongan yang lebih baik.

Analisis D2 Mahalanobis dilakukan setelah melakukan penentuan korelasi antara masing-masing fungsi diskriminan. Sebagai contoh dari selang kepercayaan serempak 95% untuk suatu variabel diantara kelompok berbeda, dengan demikian variabel-variabel yang terdapat dalam suatu model menjelaskan perbedaan sifat diantara kedua kelompok yang dipelajari. Unsur dari perhitungan analisis D2 Mahalanobis tersebut adalah vektor nilai rataan variabel acak dari kelompok pertama, vektor nilai rataan variabel acak dari kelompok kedua dan invers matriks gabungan (Gaspersz, 1992).

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Mitra Tani (MT) Farm Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pancoran Mas Depok dan Balai Penyuluhan dan Peternakan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Pengambilan data untuk jantan sapi PO dilakukan pada bulan Nopember 2010, jantan sapi Pesisir pada bulan Pebruari 2011 dan jantan sapi Bali pada bulan Maret 2011.

Materi

Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah jantan sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Bali dan sapi Pesisir yang sudah dewasa tubuh dengan masing- masing sebanyak 46, 32 dan 17 ekor. Sapi PO didatangkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dan sapi Bali didatangkan dari Pulau Bali. Peralatan yang digunakan adalah pita ukur, tongkat ukur, alat tulis, kamera digital dan kaliper.

Prosedur Pengukuran Variabel

Variabel ukuran-ukuran tubuh yang diamati meliputi panjang badan (X1),

lebar dada (X2), dalam dada (X3), lingkar dada (X4), tinggi pinggul (X5), lebar

pinggul (X6), tinggi pundak (X7), lingkar pergelangan kaki (X8), lebar kelangkang

(X9) dan panjang kelangkang (X10). Metode pengukuran dilakukan berdasarkan

metode Amano et al. (1980).

1. Panjang badan (cm) diukur jarak garis lurus dari tepi tulang processus spinosus sampai dengan tonjolan tulang lapis (os ichium) dengan menggunakan tongkat ukur.

2. Lebar dada (cm) diukur dari jarak penonjolan sendi bahu (os scapula) kiri dan kanan dengan menggunakan tongkat ukur.

3. Dalam dada (cm) diukur dari jarak titik tertinggi pundak dan tulang dada dengan menggunakan tongkat ukur.

4. Lingkar dada (cm) diukur melingkar tepat di belakang scapula dengan menggunakan pita ukur.

12 5. Tinggi pinggul (cm) diukur dari jarak tertinggi pinggul secara tegak lurus ke

tanah dengan menggunakan tongkat ukur.

6. Lebar pinggul (cm) diukur pada sendi pinggul dengan menggunakan pita ukur.

7. Tinggi pundak (cm) diukur dari jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula, tegak lurus ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur.

8. Lingkar cannon (cm) diukur melingkar di radius ulna dengan menggunakan

pita ukur.

9. Lebar kelangkang (cm) diukur jarak lurus antara benjolan tulang tapis sebelah kanan dan sebalah kiri dengan menggunakan kaliper.

10. Panjang kelangkang (cm) diukur jarak lurus antara muka pangkal paha sampai di benjolan tulang tapis dengan menggunakan tongkat ukur.

Analisis Data Deskriptif Data

Rataan, simpang baku dan koefisien keragaman pada masing-masing variabel dihitung berdasarkan Walpole (1993).

Keterangan : X : rata-rata

Xi : ukuran ke-i dari peubah x

N : jumlah sampel

√∑ ( )

Keterangan :

s : simpangan baku

X : rata-rata

Xi : ukuran ke-i dari peubah x

n : jumlah sampel

13 Keterangan : KK : koefisien Keragaman s : simpangan baku X : rata-rata T2- Hotelling

Vektor nilai rata-rata dari ketiga kelompok sapi yang diamati diuji untuk memperoleh apakah ditemukan nilai rata-rata dari sifat yang diamati berbeda secara statistik. Pengujian tersebut dilakukan dengan perumusan hipotesis sebagai berikut :

H0 : U1 = U2 ; artinya vektor nilai rata-rata dari kelompok pertama

sama dengan dari kelompok kedua.

H1 : U1≠ U2 ; artinya vektor nilai rata-rata dari kelompok pertama

berbeda dengan dari kelompok kedua.

Uji T2 Hotteling digunakan untuk menguji hipotesis dengan rumus sebagai berikut (Gaspersz, 1992):

Selanjutnya besaran:

akan berdistribusi F dengan derajat bebas V1 = p dan V2 = n1 + n2– p – 1

Keterangan:

T2 = nilai statistik T2 Hotteling F = nilai hitung untuk T2 Hotteling

n1 = jumlah data pengamatan pada kelompok pertama

n2 = jumlah data pengamatan pada kelompok kedua

x1 = vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok pertama

x2 = vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok kedua

SG-1 = invers matriks peragam gabungan (invers dari matriks SG)

14 Hasil pengujian terhadap hipotesis yang menunjukkan menolak H0 atau nyata

mengindikasikan kedua nilai rata-rata dari sifat-sifat yang diamati berbeda, sehingga fungsi diskriminan digunakan untuk mengkaji perbedaan sifat-sifat yang ditemukan di antara setiap kedua kelompok sapi dari tiga kelompok sapi yang diamati.

Analisis Fungsi Diskriminan Fisher

Fungsi diskriminan linier Fisher menurut Gaspersz (1992) yaitu:

Keterangan :

a = vektor koefisien pembobot fungsi diskriminan

X = vektor variabel acak yang diidentifikasi dalam model fungsi diskriminan x1 = vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok pertama

x2 = vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok kedua

SG -1 = invers matriks peragam gabungan (invers dari matriks SG)

Fungsi diskriminan yang dibentuk setelah melalui persamaan Fisher, melibatkan variabel pembeda diantara setiap dua kelompok ternak. Pada hasil olahan, akan ditunjukkan jumlah variabel dari fungsi diskriminan. Pengujian selang kepercayaan serempak digunakan untuk menerangkan kontribusi variabel-variabel yang diukur sebagai variabel pembeda dari fungsi diskriminan yang dibentuk. Bila selang kepercayaan mengandung nilai nol maka kedua rata-rata kelompok untuk variabel dianggap tidak berbeda pada taraf tertentu sehingga variabel tersebut dikeluarkan dari fungsi diskriminan. Pengujian selang kepercayaan menurut Gaspersz (1992) dirumuskan sebagai berikut:

( ) √ √

Keterangan :

c = vektor nilai yang mengikuti perbandingan variabel Xi

c' = invers dari vektor nilai yang mengikuti perbandingan variabel Xi

x1 = vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok pertama

15 T2 = nilai statistik T2 Hotelling

n1 = jumlah data pengamatan pada kelompok pertama

n2 = jumlah data pengamatan pada kelompok kedua

Keeratan hubungan antara sifat-sifat sebagai pembeda dan fungsi diskriminan yang dibentuk pada kelompok sapi yang diamati, dilakukan berdasarkan analisis korelasi menurut Gaspersz (1992) sebagai berikut:

√ Keterangan:

RY, Xi = korelasi antara fungsi diskriminan dan variabel Xi dalam model

di = selisih antara rataan variabel Xi yang diperoleh dari kedua kelompok sapi

Sii = ragam dari variabel Xi yang diperoleh dari matriks SG

D2 = nilai statistik jarak genetik Mahalanobis yang diperoleh melalui

( ) ( )

Analisis Wald-Anderson

Penggolongan individu dalam kelompok sapi yang diamati didasarkan pada uji statistik Wald-Anderson menurut Gaspersz (1992) yang dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan :

W = nilai uji statistik Wald-Anderson x' = vektor variabel acak individu

x1 = vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok pertama

x2 = vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok kedua

SG -1 = invers matriks peragam gabungan (invers dari matriks SG)

Kriteria penggolongan berdasarkan statistik W adalah:

1. Pengalokasikan x ke dalam kelompok (populasi) pertama, jika: W > 0 2. Pengalokasikan x ke dalam kelompok (populasi) kedua, jika: W ≤ 0

16 Penggolongan Wald-Anderson menyatakan penggolongan individu yang telah dikoreksi antara setiap dua kelompok sapi yang diamati; ditabulasikan berdasarkan Afifi dan Clark (1999). Persen koreksi diperoleh berdasarkan perhitungan tersebut.

Analisis D2 Mahalanobis

Jarak ketidakserupaan morfometrik antara setiap dua kelompok sapi dihitung berdasarkan morfometrik ukuran tubuh. Jarak minimum D2 Mahalanobis yang sudah diakarkan dihitung menurut Gaspersz (1992) adalah sebagai berikut:

Keterangan :

D2 = nilai statistik Mahalanobis sebagai ukuran jarak genetik antar dua kelompok x1 = vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok pertama

x2 = vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok kedua

SG -1 = invers matriks peragam gabungan (invers dari matriks SG)

Pengolahan data dibantu dengan menggunakan perangkat lunak statistika Minitab 14, sedangkan penyajian dendogram dengan program MEGA 4.1 (Molecular Evolutionary Genetic Analysis).

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Mitra Tani (MT) Farm

Mitra Tani (MT) Farm berlokasi di jalan Manunggal 51 No. 39 RT 04/05 Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luasan lahan perusahaan hampir satu ha dengan kapasitas tampung maksimal ternak 1.000 ekor. Ternak yang dipelihara meliputi sapi, domba, kambing dan kelinci. Sapi Peranakan Ongole (PO) didatangkan dari luar Bogor seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Limbah yang dihasilkan pada peternakan ini digunakan sebagai pupuk kandang untuk keperluan kebun rumput, persawahan dan kolam ikan di sekitar areal peternakan.Gambar 5 menyajikan peta lokasi MT Farm.

Gambar 5. Lokasi MT Farm (A) pada Peta Kecamatan Ciampea, Bogor Kandang sapi PO terdiri atas kandang pembibitan dan penggemukan. Kandang pembibitan terletak di bagian depan dan kandang penggemukan di bagian belakang. Sapi dikandangkan secara individu. Pakan diberikan setiap hari berupa rumput lapang dan konsentrat. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari.

18

RPH Pancoran Mas

Kecamatan Pancoran Mas terletak di kota Depok Provinsi Jawa Barat. Kecamatan ini berada pada ketinggian 65-72 m di atas permukaan laut dengan topografi relatif datar (Dinas Pemerintahan Jawa Barat, 2011). Unit Pelaksanaan Dinas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pancoran Mas beralamat di Jalan Caringin No. 83 Kekupu Kelurahan Rangkapan Jaya, Pancoran Mas Kota Depok (Gambar 6).

Kegiatan pemotongan hewan dilaksanakan di bawah pengawasan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. Ternak yang dipotong meliputi sapi Bali, Brahman Cross, Peranakan Ongole dan sapi Limousine. Sapi-sapi potong ini didatangkan dari luar Jawa Barat. Sapi Bali didatangkan dari Pulau Bali, sapi PO dari Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dan sapi Brahman Cross dari Lampung. Kandang yang disediakan di RPH terdiri dari lima kandang besar dengan kapasitas tampung mencapai 50 ekor sapi. Ternak dikandangkan secara individu. Ternak diberi rumput lapang sebanyak dua kali sehari.

19

Balai Penyuluhan dan Peternakan Lengayang

Kecamatan Lengayang terletak di Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. Lengayang merupakan daerah terluas dan terpanjang di Sumatera Barat (Gambar 7). Luasan kecamatan mencapai 5.749,89 km2 dengan panjang garis pantai 232,4 km. Potensi areal peternakan Kecamatan Lengayang meliputi kandang berkapasitas 200 ekor dengan padang rumput seluas 20 ha. Sapi Pesisir di Kecamatan Lengayang mencapai 16.000 ekor pada tahun 2009 (Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat, 2011).

Gambar 7. Lokasi Lengayang (A) pada Peta Sumatera Barat

Sistem pemeliharaan merupakan pemeliharaan umbaran, yaitu sapi dilepaskan dan dibiarkan secara bebas berkeliaran di areal peternakan. Kandang ditempatkan di tengah areal. Kandang digunakan untuk berteduh dan beristirahat pada malam hari.

Hasil Statistik Deskriptif Ukuran Tubuh

Hasil pengukuran yang meliputi panjang badan, lebar dada, dalam dada, lingkar dada, tinggi pinggul, lebar pinggul, tinggi pundak, lingkar cannon, lebar

20 kelangkang dan panjang kelangkang disajikan pada Tabel 1. Secara umum, ukuran tubuh sapi PO dan Bali lebih besar daripada sapi Pesisir. Ukuran-ukuran tubuh yang besar, akan memiliki bobot badan yang besar, sedangkan ukuran-ukuran tubuh yang kecil akan memiliki bobot badan yang kecil pula. Hanibal (2008) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara skor ukuran dan bobot badan. Darmayanti (2003) menyatakan bahwa bobot badan pada umumnya mempunyai hubungan positif dengan semua ukuran linier tubuh. Pada pengamatan ini secara keseluruhan ukuran tubuh sapi Bali terbesar dibandingkan dua jenis sapi lain. Ukuran sapi Pesisir ditemukan paling kecil. Hal ini sesuai dengan pengamatan Adrial (2010) dan Sarbaini (2004) yang melaporkan bahwa sapi Pesisir memiliki bobot badan dan ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan sapi lokal lain dan merupakan sapi terkecil ke dua di dunia.

Koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh sapi Pesisir lebih tinggi dibandingkan sapi PO dan sapi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa pada sapi Pesisir dilakukan seleksi lebih efektif dibandingkan dengan sapi PO dan sapi Bali. Warwick et al. (1995) dan Noor (2008) menyatakan bahwa seleksi merupakan proses membiarkan individu-individu yang memiliki gen-gen terbaik untuk bereproduksi,

Dokumen terkait