Dalam hubungannya dengan penelitian ini maka beberapa teori yang mendukung sebagai alat bantu teoritis untuk menganalisis keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil adalah sebagai berikut:
Inflasi
Inflasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat kenaikan harga umum secara terus-menerus (Suparmoko, 1998). Hal ini dapat mencerminkan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Terjadinya inflasi merupakan akibat dari kenaikan tingkat harga di atas rata-rata yang berlaku umum yang dapat diukur dengan indeks harga barang-barang konsumsi dari tahun-ke tahun.
Untuk mempelajari inflasi, para pakar ekonomi menggunakan dua konsep. Yang pertama adalah tingkat harga, yaitu tingkat rata-rata semua harga-harga dalam sistem ekonomi. Yang kedua adalah laju inflasi, yaitu laju kenaikan tingkat harga secara umum. Untuk mengukur tingkat harga rata-rata, para ekonom menyusun sebuah indeks harga dengan cara merata-rata harga komoditi yang berbeda menurut seberapa penting komoditi yang bersangkutan. Indeks harga yang paling terkenal adalah Consumer Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen. IHK menyatakan tingkat harga pada waktu kapan pun dalam hubungan dengan berapa harga kelompok tertentu yang dikonsumsi oleh rata-rata penduduk dalam periode dasar (Lipsey, 1995).
IHK yang biasa dihitung oleh Badan Pusat Statistik mencakup harga-harga komoditas yang umumnya dibeli rumah tangga. Perubahan dalam IHK dimaksudkan
untuk mengukur perubahan gaya hidup rumah tangga secara khusus. Gerakan dalam harga konsumen dapat ditambahkan dan diringkas dalam satu indeks harga dengan cara memberikan bobot pada setiap harga yang mencerminkan tingkat pentingnya. Hal ini dilakukan apabila harga-harga komoditas yang berbeda berubah dengan proporsi yang berbeda. IHK akan memberikan bobot tinggi pada harga-harga komoditas dimana konsumen membelanjakan lebih banyak dari penghasilannya dan memberikan bobot rendah pada harga-harga komoditas dimana konsumen membelanjakan lebih sedikit penghasilannya. Jadi angka indeks dihitung dengan memberikan bobot untuk mencerminkan tingkat pentingnya unsure-unsur individual yang digabungkan. Nilai indeks ditetapkan sama dengan 100 untuk periode dasarnya (Lipsey, 1995).
Sedangkan untuk mengukur laju inflasi antara dua periode waktu manapun diukur dengan kenaikan presentase indeks harga yang relevan dari periode pertama hingga periode kedua. Jika besarnya kenaikan harga diukur dari periode dasarnya, yang perlu dilakukan hanyalah pengurangan kedua indeks tersebut.
Laju inflasi= 2 1 1 100 P P P − × (2.1)
dimana P 1 merupakan nilai indeks harga pada periode pertama dan P2 adalah nilainya pada periode kedua, sehingga laju inflasinya semata-mata adalah perbedaan diantara keduanya, dinyatakan dalam presentase nilai indeksnya pada periode pertama (Lipsey, 1995).
Sedangkan perhitungan laju inflasi bisa digunakan CPI dengan cara mengubah dalam bentuk logaritma, dimana rumusnya adalah
LIt=Δ log (P)t – log( P)t-1 = 1 1 t t t CPI CPI CPI − − − x100% (2.2)
dimana LIt adalah laju inflasi pada tahun atau periode t, CPIt adalah Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t dan CPIt−1adalah Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t-1.
Inflasi dapat diakibatkan oleh dua hal. Pertama, demand-pull inflation. Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan agregate demand (permintaan total), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila full-employment (kesempatan kerja penuh) telah tercapai, penambahan permintan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja. Kedua, cost-push inflation. Cost-cost-push inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi dengan kata lain, hal ini merupakan inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan penurunan dalam agregate supply (penawaran total) sebagai akibat peningkatan biaya produksi. Peningkatan biaya produksi itu sendiri dapat disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, tuntutan kenaikan upah oleh buruh, peningkatan harga bahan baku impor akibat depresiasi nilai tukar domestik, dan lain sebagainya. Peningkatan biaya produksi ini pada akhirnya akan menaikkan harga dan diikuti dengan turunnya produksi.
Nilai Tukar (exchange rate)
Nilai tukar didefinisikan harga mata uang suatu negara yang dihitung dalam mata uang negara lain (Mishkin, 2001). Nilai tukar diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2000). Para ekonom membedakan antara tiga konsep nilai tukar yaitu nilai tukar nominal, nilai tukar riil dan nilai tukar efektif. Nilai tukar nominal (e) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Nilai tukar nominal merupakan sebuah nilai par (par value) dalam
masing-masing mata uang yang dipakai negara-negara, biasanya disebut official rate. Moosa (2004) merumuskan nilai tukar nominal sebagai berikut:
/
d f
e = P P (2.3)
dimana Pd adalah tingkat harga domestik dan Pf adalah tingkat harga luar negeri. Nilai tukar riil (q) didefinisikan sebagai harga relatif dari barang-barang kedua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain atau dapat disebut Terms of Trade. Menurut Batiz (1994), nilai tukar riil dapat dirumuskan sebagai berikut:
*
( / )
q = e P P (2.4)
dimana e adalah nilai tukar nominal (domestic currency/foreign currency), P* adalah tingkat harga luar negeri, dan P adalah tingkat harga domestik.
Sementara itu nilai tukar efektif adalah bobot kurs rata-rata antara mata uang domestik dengan valuta asing dari negara yang menjadi mitra dagang utamanya, sedangkan bobot penimbangnya adalah arti penting relatif hubungan dagang negara itu dengan setiap mitra dagangnya (Salvatore, 1997). Menurut Moosa (2004) kurs efektif pada waktu t dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari kurs relatif, dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1 m t i it i
E wV
==∑
(2.5) 1 i i t m i i iX M
w
X M
=+
=
+
∑
(2.6) , ,0 i t it iS
v
S
=
(2.7)dimana E adalah kurs efektif nominal pada waktu ke t, m adalah jumlah mata uang t negara mitra dagang utama, w adalah rata-rata perdagangan yang didenominasikan i dalam mata uang negara i pada waktu t, V adalah kurs relatif dari mata uang negara i it pada waktu t, S adalah kurs pada spot market saat ini, i S adalah kurs pada periode 0 dasar, X adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan i M adalah nilai impor dari i negara i.
2.2.1. Sistem Nilai Tukar
Sistem nilai tukar mempunyai pengaruh dan peranan yang penting dalam meminimalisasi resiko dari fluktuasi nilai tukar yang akan mempunyai pengaruh terhadap perekonomian negara tersebut. Saat ini sistem nilai tukar yang dapat diandalkan dalam era keuangan global hanya berkisar pada dua pola, karena itu disebut sebagai bipolar system. Dua sistem pengelolaan nilai tukar tersebut adalah fixed exchange rate system (sistem nilai tukar tetap) dan floating exchange rate system (sistem nilai tukar mengambang bebas).
Pada sistem nilai tukar tetap, besarnya nilai mata uang suatu negara ditentukan nilainya secara tetap terhadap alat tukar lain yang dianggap kuat. Sistem nilai yang disepakati di dalam perjanjian, yang kemudian dikenal menjadi sistem Bretton Woods, adalah penentuan nilai tukar mata uang negara secara tetap kepada mata uang kuat (Dollar US) dengan suatu mekanisme penyesuaian. Sistem nilai tukar Bretton Woods disusun untuk dua tujuan. Di satu pihak untuk menghindarkan diri dari kemungkinan terlalu berfluktuasinya nilai tukar mata uang negara yang menganut sistem mengambang bebas. Di lain pihak, sistem ini juga disusun untuk menghindarkan diri dari kemungkinan negara-negara melakukan devaluasi nilai mata uangnya untuk menyelesaikan masalah ketidak seimbangan neraca pembayaran yang dihadapinya.
Pada sistem nilai tukar tetap, setiap individu bebas melakukan jual beli valuta asing yang diinginkan dan untuk mempertahankan nilai tukarnya maka bank sentral melakukan jual beli valuta asing. Oleh karena itu, bank sentral harus memegang sejumlah cadangan devisa untuk membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran sehingga nilai tukar dapat dipertahankan. Meskipun demekian, kebaikan dari sistem nilai tukar tetap ini adalah adanya kepastian akan nilai tukar mata uang domestik dengan negara lain, sehingga para eksportir dan importir dapat memperhitungkan transaksi perdagangan dengan pihak luar negeri.
Sedangkan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sistem yang membiarkan nilai tukar mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain. Dengan kata lain, pemerintah tidak ikut campur dalam penentuan nilai tukar. Di Indonesia, nilai tukar rupiah akan tergantung kepada permintaan dan penawaran akan Dollar US. Jika permintaan terhadap Dollar US lebih besar dari penawarannya, maka harga Dollar US yang diukur dengan rupiah menjadi meningkat, atau sebaliknya nilai rupiah menurun. Dan jika penawaran Dollar US lebih besar dibandingkan permintaan terhadapnya, maka hasil sebaliknya akan terjadi. Kebaikan dari sistem nilai tukar mengambang bebas diantaranya yaitu adanya penyesuaian yang lebih baik apabila terjadi defisit atau surplus neraca pembayaran, memberikan kesempatan lebih banyak pada individu atau bank sentral untuk menyusun kembali portofolio mereka, dan selain itu bank sentral tidak perlu memegang cadangan devisa yang banyak untuk menjaga likuiditas sehingga bank sentral memiliki kesempatan yang lebih untuk melakukan kebijakan yang lebih independen.
2.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan salah satu faktor penentu inflasi yang berasal dari sisi penawaran. Dengan demikian, terjadinya perubahan nilai tukar dapat mempengaruhi laju inflasi. Hal ini dikarenakan apabila terjadi penurunan nilai tukar atau depresiasi maka biaya impor untuk barang-barang impor baik berupa bahan baku impor ataupun barang setengah jadi impor meningkat. Akibat dari peningkatan biaya impor ini adalah kenaikan biaya produksi. Selanjutnya kenaikan biaya produksi ini akan mendorong terjadinya peningkatan harga didalam negeri sehingga menimbulkan inflasi.
Kaitan inflasi dengan nilai tukar juga dapat didekati melalui teori purchasing power parity (PPP). Teori PPP menunjukkan bagaimana depresiasi mata uang domestik dapat menyebabkan terjadinya inflasi, dimana dalam teori ini nilai tukar antara dua negara adalah sama dengan rasio tingkat harga dari kedua negara tersebut. Teori ini memprediksikan bahwa penurunan daya beli dari satu mata uang akan menyebabkan nilai tukar dari mata uang tersebut terdepresiasi, dan begitu pula sebaliknya.
Teori purchasing power parity atau teori paritas daya beli mengandung dua pengertian, yaitu pengertian absolut dan pengertian relatif. Pengertian absolut mengatakan bahwa kurs keseimbangan di antara mata uang dalam negeri dan mata uang luar negeri merupakan rasio antara harga absolut luar negeri dan harga absolut dalam negeri. Sedangkan pengertian relatif menyatakan bahwa persentase perubahan kurs keseimbangan diantara mata uang dalam negeri dan mata uang luar negeri merupakan rasio antara persentase perubahan harga dalam negeri dan persentase perubahan harga luar negeri, sehingga persentase perubahan kurs tersebut mencerminkan perbedaan tingkat inflasi diantara dua negara.
Beberapa hal yang perlu ditekankan dari teori paritas daya beli adalah pertama masalah dasar dari paritas daya beli, yakni proporsionalitas tingkat harga dan nilai tukar hanya terjadi jika penyebab goncangan yang mengubah tingkat harga dari nilai tukar merupakan suatu goncangan moneter. Kedua, teori paritas daya beli tersebut tidak bekerja seketika, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga dapat dikatakan bahwa teori tersebut menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang antara nilai tukar dengan tingkat harga.
Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun menunjukkan negara tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi dibandingkan dengan negara lain berarti harga barang-barang di negara tersebut naik lebih cepat dari negara lain. Hal ini akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan naik karena harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan dengan barang-barang negara lain. Dengan demikian, supply dari mata uang asing akan turun dan demand akan naik, sehingga nilai mata uang asing akan naik (nilai mata uang domestik akan turun atau terdepresiasi).
2.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang output (GDP Gap)
Menurut Lipsey (1995), GDP potensial (potensial Gross Domestic Product) adalah GDP riil yang dapat diproduksi perekonomian jika sumberdaya produktif dipergunakan secara penuh pada intensitas penggunaan yang normal. GDP potensial dapat juga diartikan sebagai sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Dalam jangka menengah perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu keseimbangan internal dan eksternal.
Senjang output atau senjang GDP mengukur perbedaan antara GDP potensial dengan GDP aktual riil. Senjang GDP dapat dirumuskan sebagai berikut:
Senjang GDP a f f
Y Y
Y
−
=
(2.8)dimana
Y
a adalah GDP aktual riil danY
f adalah GDP potensial. Dalam jangkapendek, perkiraan terhadap gap antara output aktual riil dan potensial dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi. Berdasarkan teori kurva Philips, terdapat hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran, dimana senjang inflasi (yang berkaitan dengan tingkat pengangguran rendah) berkaitan dengan kenaikan upah relatif terhadap produktivitas. Sedangkan berdasarkan hukum Okun, terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan GDP riil, mengacu pada penurunan dalam pengangguran sebesar satu persen dikaitkan dengan pertumbuhan tambahan dalam GDP riil yang mendekati dua persen. Dari kedua teori ini didapatkan bahwa senjang GDP dan tingkat inflasi berhubungan positif yaitu ketika senjang GDP bernilai positif, maka hal ini akan berdampak positif terhadap tingkat inflasi. Dengan kata lain, perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung akan menekan laju inflasi. Ketika perekonomian sedang dalam kondisi booming, permintaan faktor produksi akan meningkat dan hal ini pada akhirnya akan mendorong kenaikan tingkat inflasi. Sebaliknya, ketika perekonomian sedang dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Ini berarti kebijakan sisi penawaran ekonomi dapat diantisipasi dengan menganalisa besarnya senjang output dalam suatu periode.
2.5. Kaitan Inflasi dengan Ekspektasi Inflasi
Faktor lain yang dapat mempengaruhi laju inflasi di suatu negara adalah faktor psikologis. Faktor ini terbentuk dari harapan atau ekspektasi masyarakat terhadap inflasi. Ekspektasi berkaitan erat dengan pola perilaku para pelaku ekonomi berdasarkan pengalaman ataupun informasi yang dimilikinya. Jenis informasi yang diterima akan bervariasi (asymetric information) dan pola perilaku masyarakat dapat berbeda-beda dalam menanggapi informasi yang sama. Ekspektasi ini terdapat di pasar barang, pasar uang, dan pasar tenaga kerja dimana masing-masing memiliki keterkaitan dan mempengaruhi perkembangan harga. Model ekspektasi ini ada dua yaitu ekspektasi adaptif (backward looking) dan model inflasi ekspektasional (forward looking expectation).
Sebagian pelaku ekonomi lebih mendasarkan ekspektasinya pada inflasi periode sebelumnya. Inflasi historis suatu negara yang bertahan tinggi tak lepas dari pengaruh rangkaian peristiwa ekonomi yang menimbulkan inflasi, misalnya kenaikan harga yang disebabkan oleh kebijakan yang diambil pemerintah dan depresiasi nilai tukar. Akibat merasakan inflasi yang tinggi setiap tahun, dapat menimbulkan asa publik bahwa inflasi tinggi akan terus terjadi. Ekspektasi itu akhirnya membentuk perilaku penyesuaian harga yang dianggap ”normal” dalam perekonomian negara tersebut. Ekspektasi inflasi yang memburuk dapat membawa prediksi inflasi menjadi kenyataan.
2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai perubahan nilai tukar dan pengaruhnya terhadap laju inflasi menghasilkan dua pendapat yang berbeda. Beberapa penulis berpendapat bahwa melemahnya nilai tukar (depresiasi) di suatu negara menyebabkan peningkatan laju
inflasi. Sedangkan peneliti lain menyatakan bahwa pengaruh perubahan kurs tidak signifikan mempengaruhi laju inflasi.
Hasil penelitian Ndungu’, (1997) di Kenya selama periode 1970-1993, menunjukkan bahwa tingkat inflasi domestik dan perubahan nilai tukar saling mempengaruhi. Ndungu’ melakukan penelitian ini dengan menggunakan Granger Non-Causality Test (GNC test). Kesimpulan Ndungu’ dengan menggunakan GNC test adalah sebagai berikut:
1. Tingkat inflasi dan perubahan nilai tukar saling mempengaruhi,
2. Kredit domestik mempengaruhi tingkat inflasi tanpa efek balik dari inflasi ke kredit domestik,
3. Tingkat inflasi domestik dan perubahan cadangan saling mempengaruhi, 4. Perubahan nilai tukar dan perubahan cadangan saling mempengaruhi,
5. Perubahan kredit domestik dan cadangan internasional saling mempengaruhi.
Penelitian Pradumna (1984) mengenai pengaruh perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi di 5 negara ASEAN selama periode 1973-1979 menunjukan bahwa perubahan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap laju inflasi di 4 negara kecuali Thailand. Perubahan nilai tukar di negara ini mempengaruhi laju inflasinya. Pradumna menggunakan model persamaan moneter dalam penelitiannya. Pradumna juga menggunakan GNC test untuk menguji pengaruh nilai tukar dan laju inflasi. Hasilnya ternyata perubahan nilai tukar memang mempengaruhi inflasi tapi inflasi tidak mempengaruhi nilai tukar.
Penelitian Kamin dan Klau (2003) menunjukkan bukti empirik keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di sebagian besar negara-negara. Penelitian ini sebelumnya
dilakukan untuk negara Mexico dengan menggunakan persamaan inflasi sebagai berikut:
( ) ( )
*( )
1 1 1 1 1 t t H H t t t t p αλψ λrer− αλε q q − α p α e β p− Δ = − + + − + − Δ + − Δ + Δ (2.9)dimana rert−1 adalah lag nilai tukar efektif riil, (qH −qH)t−1 adalah lag YGAP, *
t
p Δ adalah laju inflasi luar negeri,Δetadalah laju perubahan nilai tukar nominal, dan Δpt−1
adalah lag laju inflasi domestik. Selain itu diperlihatkan pula bahwa kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil ternyata lebih tinggi di Amerika Latin dibandingkan di Asia maupun negara-negara industri lainnya.
Meskipun penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamin dan Klau (2003). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah cakupan time series (periode penelitian), negara-negara yang tergabung dalam kawasan yang diteliti, dan dalam fungsi inflasi yang diestimasi untuk seluruh kawasan selain terdapat dummy kawasan dimasukkan pula variabel dummy krisis. Selain itu perbedaan mendasar dalam penelitian ini adalah konsep nilai tukar yang digunakan bukanlah nilai tukar efektif riil, melainkan nilai tukar riil.
2.7. Kerangka Pemikiran
Skema alur berpikir pada Gambar 2.1 digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Variabel ekonomi yaitu nilai tukar riil (RER), senjang output (YGAP), inflasi luar negeri (PF), nilai tukar nominal (E) dan inflasi sebelumnya (P1) diduga mempengaruhi laju inflasi. Pengaruh faktor-faktor ini terhadap laju inflasi di suatu kawasan juga dipengaruhi oleh karakteristik kawasan serta krisis keuangan yang terjadi di Asia. Namun dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada pengaruh faktor nilai tukar riil terhadap laju inflasi.
Secara lebih spesifik, penelitian ini akan menganalisis bagaimana hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil serta membandingkan respon/kepekaan inflasi terhadap nilai tukar riil di berbagai kawasan yaitu kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara) dengan menggunakan analisis eksploratif, Granger Causality Test dan model panel data.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
YGAP PF E P1
Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi
RER
Inflasi
Karakteristik Kawasan Asian Financial Crisis
Analisis Eksploratif Granger Causality