• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Gambaran Umum tentang Maleo Senkawor

Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) merupakan bangsa burung endemik yang memiliki keunikan pada perilaku bertelur. Maleo senkawor tidak menggunakan panas tubuh untuk mengerami telur, tetapi memanfaatkan daya dukung alam untuk menyukseskan proses pengeraman. Berikut susunan taksonomi Maleo senkawor : Kingdom : Animalia; Phylum : Chordata; Kelas : Aves; Orde : Galliformes; Famili : Megapodiidae; Genus : Macrocephalon; Spesies : Macrocephalon maleo (Sumangando, 2002). Famili Megapodiidae terdiri atas 2 genus, yaitu Macrocephalon dengan satu spesies Macrocephalon maleo dan Megapodius dengan 9 spesies, Megapodius cumingii, Megapodius nicobarienssis, Megapodius bernsteinii, Megapodius reindwardii, Megapodius freycinet, Megapodius affinis, Megapodius. Evemita, Megapodius

layordi, dan

Megapodius

wallacei

(White dan Bruce, 1986). Maleo senkawor memiliki bentuk badan memanjang, dan bulu didominasi oleh warna putih agak kemerahan dan hitam, dan memiliki sepasang kaki yang kuat dengan empat kuku yang tajam. Salah satu anggota tubuh yang dimiliki oleh Maleo senkawor adalah tonjolan keras pada bagian kepala yang menyerupai mahkota yang diduga berfungsi sebagai pendeteksi suhu selagi Maleo senkawor hendak meletakkan telurnya dalam lubang (Dekker, 1990).

Penamaan Maleo senkawor bervariasi bervariasi disetiap daerah, yaitu : Senkawor, Sengkawur, Songkel, Melaosan, (Minahasa), Saungke (Bintauna), Tuanggoi (Bolaang Mongondow), Tuangoho (Bolaang Itang), Bagoho (Suwawa), Momongo, Panua (Gorontalo), Molo (Sulawesi Utara), dan Mamuang (Mamuju) (Anonim, 1994; Jones dkk, 1995). Menurut konsensus penulisan nama burung yang di gunakan di Indonesia, nama Maleo adalah Maleo senkawor (Coates dkk, 2000). Maleo senkawor hidup dan mendiami daerah pesisir pantai hingga daerah berbukit-bukit dan hutan primer dataran rendah dengan ketinggian hingga 1.200 meter di atas permukaan laut (Dekker, 1990). Maleo senkawor tersebar luas di berbagai lokasi di Sulawesi Utara, Tenggara, Tengah, dan Barat kecuali di Sulawesi Selatan (Mallombasang, 1995).

Di Sulawesi Barat Maleo senkawor terkonsentrasi di Kabupaten Mamuju, namun demikian hal tersebut masih membutuhkan konfirmasi mengenai penyebaran dan status lokasi bertelur (Dekker, 1990). Beberapa lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor. Populasi Maleo senkawor saat ini diperkirakan 4000-7000 pasang dan tersebar di 131 tempat bertelur di Sulawesi Utara, sementara di Sulawesi Tengah dan Barat Maleo senkawor tersebar di 63 lokasi (Buchart dan Baker, 1999). Diperkirakan jumlah Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju tidak lebih dari 100 ekor (Gazi, 2004).

2.2 Karakteristik Telur Maleo Senkawor

Maleo senkawor merupakan bangsa burung yang mempunyai telur yang sangat besar bila dibandingkan dengan ukuran tubuh, yaitu 10 sampai 17 persen dari ukuran tubuh. Sebagai gambaran, berat telur ayam kampung (Gallus domesticus) hanya 3 (tiga) persen dari ukuran tubuh dimana ukuran tubuh kedua induk tidak terpaut jauh (Dekker dan Wattel, 1987).

Ukuran telur Maleo senkawor adalah sebagai berikut berat telur: 215.71 + 24.81 g, panjang telur: 101.84 + 2.87 cm, dan lebar telur: 61.06 + 2.22 cm. Proporsi telur Maleo senkawor didominasi dengan jumlah kuning telur yang banyak. Kandungan kuning telur pada Maleo senkawor sebesar 67.8%. Hal ini menjadikan telur Maleo senkawor sangat menarik untuk dikonsumsi oleh manusia dibandingkan telur ayam kampung yang beratnya hanya berkisar antara 50–60 g dengan kandungan kuning telur 30% (Gazi, 2004).

2.3 Habitat Maleo Senkawor

Habitat mempunyai peranan penting bagi setiap organisme di dalamnya, setidaknya fungsi habitat sebagai penyedia makanan, serta air, dan sebagai pelindung. Berdasarkan komponennya, habitat dibedakan atas komponen fisik dan komponen biotik, dan kedua komponen ini saling berinteraksi sehingga dapat mengendalikan kehidupan satwa liar. Secara terperinci komponen fisik terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang, sedangkan komponen biotik terdiri atas vegetasi, mikro dan makro, fauna, serta adanya manusia (Alikodra, 2002).

Maleo senkawor adalah bangsa burung yang hidup pada daerah hutan primer dataran rendah yang aktivitasnya meliputi tidur, beristirahat, mencari makan, bertelur, dan aktivitas sosial lainnya. Aktivitas pada hutan sekunder hampir mirip dengan aktivitas pada hutan primer, namun burung Maleo senkawor jarang menggunakan kawasan hutan sekunder sebagai tempat tidur. Beberapa populasi aleo juga menggunakan daerah berpasir di tepi pantai untuk bertelur (Gunawan, 1994).

2.4 Lokasi Bertelur Maleo Senkawor

Keberadaan lokasi bertelur sangat berperan penting sesuai dengan perannya sebagai penyokong kehidupan bagi Maleo senkawor. Lokasi bertelur dipergunakan untuk mencari makan, minum, dan menjalankan aktivitas reproduksinya. Dalam hal aktivitas reproduksi, Maleo senkawor menggunakan lokasi bertelur untuk membantu proses pengeraman telur, hal ini terkait dengan perilaku Maleo senkawor yang tidak mempunyai naluri mengerami telur dan mengasuh anak (Dekker dan Wattel, 1987). Lokasi bertelur bagi Maleo senkawor merupakan suatu lokasi yang memiliki sumber panas yang dapat membantu proses pengeraman telur. Lokasi bertelur terbagi dua tipe yaitu lokasi bertelur di dalam hutan dan lokasi bertelur di tepi pantai.

Lokasi bertelur di dalam hutan biasanya merupakan suatu areal yang tidak umum tersedia karena merupakan tempat yang cukup terbuka dan memiliki vegetasi yang tidak terlalu rapat. Sumber panas bagi telur Maleo senkawor dapat berasal dari aktivitas vulkanis di dalam tanah, aliran air panas dalam tanah, proses dekomposisi daun lapuk oleh jasad renik, atau panas sinar matahari (Gunawan, 2000). Lokasi bertelur di tepi pantai merupakan daerah berpasir yang digunakan Maleo senkawor untuk meletakkan telurnya yang letaknya terpisah dari habitat hutan yang merupakan tempat hidupnya. Biasanya Maleo senkawor menggali lubang dalam kelompok yang terdiri atas beberapa pasang secara bersama-sama. Aktivitas bertelur ini dilakukan pada pagi hingga siang hari dan kegiatan penggalian dilakukan oleh kedua induk Maleo senkawor. Sumber panas bagi telur Maleo senkawor di dalam tanah diperoleh dari radiasi sinar matahari (Argeloo, 1991).

Faktor kunci bagi Maleo senkawor dalam memilih lokasi bertelur adalah: 1) sumber panas, (2) aksesibilitas, (3) keamanan dari gangguan, dan (4) musim (untuk lokasi bersumber panas matahari). Dalam menentukan sarang untuk meletakkan telur, Maleo senkawor cenderung lebih menyukai tempat dengan kondisi: (1) aman dari gangguan manusia, (2) efektivitas sumber panas, (3) kelembaban tanah, (4) pengaruh iklim mikro di atas permukaan tanah (terutama hujan), dan (4) keamanan dari predator (Gunawan, 2000).

2.5 Karakteristik Vegetasi

Habitat satwa terdiri atas dua komponen penting, yaitu lokasi geografis dan vegetasi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya suatu jenis satwa liar mempertahankan kelangsungan hidupnya ditentukan salah satunya oleh faktor karakteristik vegetasinya (Copperider dkk, 1988). Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan karakteristik vegetasi adalah :

a) Struktur vegetasi yang terdiri atas tinggi pohon, kerapatan semak, persentase penutupan tajuk;

b) Komposisi vegetasi.

Khusus untuk Maleo senkawor, suatu habitat yang terdapat vegetasi sekunder dengan kerapatan yang tinggi maka struktur dan kerapatan vegetasi tersebut dipandang sangat penting (Zieren, 1985). Komponen-komponen tersebut amat berperan di dalam aktivitas rutin selama musim bertelur dari Maleo senkawor. Aktivitas tersebut adalah :

a) Hinggap; b) Bertengger;

c) Menghindari bahaya/gangguan (berlari dan terbang);

d) Jarak antarpohon, semak, dan perakaran agar memungkinkan penggalian lubang peneluran;

2.6 Suhu Lubang Peneluran

Maleo senkawor, seperti telah disebutkan di atas, merupakan burung yang tidak memiliki naluri mengerami telur dan mengasuh anak. Setelah meletakkan telur, Maleo senkawor akan kembali ke dalam hutan dan tidak memperdulikan terhadap telur yang telah ditimbun dalam lubang.

Maleo senkawor membenamkan telurnya kedalam lubang galian kemudian selanjutnya alam akan mengambil alih peran induk untuk memberi sumber panas untuk perkembangan embrio dalam telur. Setelah telur menetas, maka anak Maleo senkawor akan mencari makan sendiri tanpa bantuan dari induk. Menurut Gunawan (1994) temperatur di lubang peneluran berkisar antara 34.00-40.70oC. Temperatur di lubang peneluran di daerah Tambun Sulawesi Utara berdasarkan lubang kedalaman lubang yang berbeda beda secara berturut-turut adalah; 29.4-31.0oC, 30.9-32.7oC, 32.1-34.3oC, dan 33.8-36oC untuk kedalaman lubang 20, 30, 40, dan 50 cm (Dekker, 1990). Kelembaban tanah di sekitar lokasi bertelur Maleo senkawor tercatat bervariasi mulai 6.3-11%.

2.7 Sifat Tanah

Maleo senkawor meletakkan telurnya di lubang yang memiliki kondisi tertentu, salah satunya adalah sifat tanah yang berpasir. Tekstur tanah yang berpasir memudahkan induk Maleo senkawor untuk menggali lubang untuk pengeraman telur. Sifat tanah berpasir juga tidak mengikat dan cepat melepaskan air sehingga temperatur tanah di sekitar telur tidak terlalu terpengaruh oleh genangan air dan sifatnya yang relatif konstan. Menurut Gunawan (1994), sifat tanah di empat lokasi bertelur Maleo senkawor di Taman Nasional Dumoga Bone (TNDB), yaitu Tambun, Matayangan, Tapakolintang, dan Bakan memiliki kelas tekstur berlempung, lempung berpasir, lempung berdebu, dan pasir berlempung, tanah keempat lapangan peneluran tersebut memiliki kandungan utama berupa pasir yang berkisar antara 41.67-82.12%.

Menurut Beckman dan Brady (1969) dalam Alikodra (2002), tekstur tanah dibagi dalam beberapa tekstur sesuai dengan keadaannya. Pengelompokan tekstur tanah disajikan lebih jelas pada Tabel 1.

Tabel 1 Tekstur Tanah

Tekstur tanah Keadaan

Pasir 1. Rasa kasar sangat jelas 2. Tidak melekat

3. Tidak dapat dibentuk bola dan gulungan Pasir

berlempung

1. Rasa kasar jelas 2. Sedikit melekat

3. Dapat dibentuk bola gulungan yang mudah sekali hancur Lempung

berpasir

1. Rasa kasar agak jelas 2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola, mudah hancur Lempung 1. Rasa tidak kasar dan tidak licin

2. Agak melekat

3. Dapat membentuk bola agak teguh, dapat sedikit dibuat gulungan dengan permukaan mengkilat

Lempung berdebu

1. Rasa licin 2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat sedikit dibuat gulungan dengan permukaan mengkilat

Debu 1. Rasa licin sekali

2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilat

Lempung berkilat 1. Rasa agak licin 2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat sedikit dibuat gulungan agak mudah hancur

Lempung liat berpasir

1. Rasa halus dengan sedikit bagian kasar 2. Agak melekat

3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat dibentuk gulungan agak mudah hancur

Lempung liat berdebu

1. Rasa halus agak licin 2. Melekat

3. Dapat dibuat bola teguh, gulungan mengkilat Liat berpasir 1. Rasa halus, berat berat tapi terasa sedikit kasar

2. Melekat

3. Dapat dibentuk bola teguh, mudah digulung Liat berdebu 1. Rasa halus, berat, agak licin

2. Sangat lekat

3. Dapat dibentuk bola teguh, mudah digulung Debu 1. Rasa berat, halus

2. Sangat lekat

2.8 Musuh Alami

Maleo senkawor memiliki musuh alami antara lain biawak (Varanus salvator), babi hutan (Sus celebensis), ular sanca (Phyton reticulatus), elang (Spizaetus lanceolatus), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), dan anjing (Canis canis). Keberadaan musuh alami dipandang bukanlah merupakan ancaman yang serius terkait dengan keseimbangan ekosistem yang dalam keadaan alami selalu stabil, manusia dengan kegiatan memburu burung dan mengambil telur merupakan ancaman yang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup Maleo senkawor. Keberadaan satwa domestikasi juga terbukti mempengaruhi populasi Maleo senkawor seperti sapi, kelinci, dan kambing yang berkompetisi dalam hal ketersediaan lahan dan jenis pakan tertentu (Gunawan, 1994).

2.9 Makanan

Berbagai jenis pepohonan membantu Maleo senkawor dalam hal menyediakan berbagai jenis buah-buahan, biji-bijian, serta sebagai tempat berlindung dan beristirahat. Maleo senkawor menyukai pohon yang pertajukan atau percabangan ranting cukup besar dan kokoh yang mampu menahan beban tubuh Maleo senkawor, seperti; kemiri (Aleuritus moluccana), nibung (Oncosperma filamentosum), rao (Dracontomelon mangiferum), nantuk (Endiandra sp), Ficus sp., dan Macaranga sp. Wilayah jelajah untuk mencari pakan (Feeding territory) Maleo senkawor utamanya bukan di lokasi bertelur, tetapi di dalam hutan tropis dataran rendah. Meskipun demikian, jika di lokasi bertelur tersedia makanan, maka Maleo senkawor akan mencari makan baik sebelum bertelur maupun sesudah bertelur. Maleo senkawor termasuk omnivora atau pemakan segala, makanannya meliputi buah-buahan, biji-bijian, serangga, invertebrata lantai hutan, siput dan kepiting. Maleo senkawor mencari makan di lantai hutan dengan cara mencakar-cakar atau mengais serasah, Maleo senkawor juga mancari makan di tepi-tepi sungai, tepi rawa, atau tepi danau (Gunawan, 2000).

2.10 Degradasi Habitat

Degradasi habitat merupakan bentuk perubahan kondisi habitat yang mengakibatkan pengurangan luas dan kualitas yang tersedia bagi spesis tertentu. Hilangnya habitat dapat diakibatkan oleh penebangan hutan, konversi hutan menjadi lahan pertanian, dan pembangunan kota. Kehilangan habitat untuk kegiatan pembangunan kota meliputi semua bentuk bangunan seperti perumahan dan jalan raya (Dekker dan McGowan, 1995).

Kehilangan habitat dikarenakan pemenuhan sektor pertanian merupakan semua bentuk konversi habitat yang masih baik menjadi lahan pertanian. Kerusakan habitat adalah berkurangnya kualitas habitat dengan cara berkurangnya lindungan vegetasi, kerusakan habitat diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti penebangan juga disebabkan oleh over grazing oleh ternak.

Dokumen terkait