• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Kurniasari (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis secara simultan variabel Independennya, Investasi (X1), Inflasi (X2), Nilai Tukar Rupiah (X3), dan Tingkat Suku Bunga (X4) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya, Pertumbuhan Ekonomi (Y) secara simultan keempat variabel independen mempunyai pengaruh yang nyata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur. Sedangkan pengujian secara parsial Investasi (X1), Inflasi (X2), Nilai Tukar Rupiah (X3), dan Tingkat Suku Bunga (X4) memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap variabel dependennya.

Pramesthi (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, variabel pengangguran dan inflasi berdasarkan hasil uji secara bersamaan semua variabel independen berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Trenggalek pada taraf signifikan 5%. Sedangkan secara individu, variabel pengangguran berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Trenggalek pada tahun 2002-2011. Variabel inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Trenggalek pada tahun 2002-2011.

Hafiizh P. (2015) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, dari hasil penelitiannya terdapat pengaruh yang negatif dan signifikan antara investasi dan tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran terbuka, sedangkan untuk variabel inflasi dan jumlah penduduk tidak berpengaruh secara parsial terhadap pengangguran terbuka di Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam rentang tahun 2001-2013.

Topowijono (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, berdasarkan hasil uji secara simultan variabel independennya inflasi, tingkat suku bunga SBI, pendapatan per kapita dan ekspor memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai tukar Rupiah dan pertumbuhan ekonomi. Hasil uji secara parsial menunjukkan bahwa inflasi, ekspor dan pendapatan per kapita memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai tukar Rupiah, sedangkan variabel tingkat suku bunga SBI, ekspor dan pendapatan per kapita memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Qomariyah (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, Hasil estimasi data time series dengan analisis berganda menunjukkan bahwa variabel tingkat inflasi berpengaruh tidak signifikan terhadap pengangguran, sedangkan variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap pengangguran di Jawa Timur.

Karmini (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, berdasarkan hasil olahan data, diperoleh tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi dan upah minimum memiliki pengaruh secara simultan dan

signifikan terhadap pengangguran terbuka di Provinsi Bali, sedangkan hasil uji parsial diperoleh bahwa tingkat inflasi dan upah minimum memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan dengan pengangguran terbuka di Provinsi Bali, sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap pengangguran terbuka di Provinsi Bali.

2.2 Landasan Teori

Menurut Case (2004) dalam Mahyuni (2013) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan keluaran total suatu perekonomian. Sedangkan menurut Nanga (2001) dalam Mahyuni (2013) memberikan pengertian pertumbuhan ekonomi sebagai peningkatan dalam kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif dan biasanya diukur dengan menggunakan data Gross National Product

(GNP).

Gross National Product adalah total nilai pasar dari barang-barang

akhir dan jasa-jasa yang dihasilkan di dalam suatu perekonomian selama kurung waktu tertentu biasanya satu tahun. Jadi untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dapat dihitung dengan rumus :

Pertumbuhan ekonomi / tahun 100

1 1 x GNP GNP GNP t t t   Keterangan:

Tahun t = Tahun yang dihitung pertumbuhannya

GNP t = Gross National Product tahun t

GNP t-1 = Gross National Pruduct tahunsebelumnya

Jadi pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses bukan gambaran ekonomi pada suatu saat. Di sini kita melihat aspek dinamis dari suatu perekonomian yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Ada atau tidak adanya pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara dapat digunakan tiga pendekatan (Syafril ; 1999) dalam Mahyuni (2013), yaitu sebagai berikut : 1. Tingkat penghidupan masyarakat, artinya apakah terdapat peningkatan konsumsi potensial saat sekarang dibandingkan dengan tingkat konsumsi di masa lampau. 2. Sumber-sumber produksi, apakah dalam negara-negara tersebut ditemukan sumber-sumber produksi baru, serta sumber-sumber yang ada dapat dipertahankan dan dimanfaatkan lebih efisien. 3. Tingkat pendapatan nasional, apakah pendapatan nasional sekarang lebih meningkat dibandingkan dengan pendapatan nasional sebelumnya. Tetapi apabila pendapatan nasional yang meningkat jika tidak diiringi dengan pendistribusian yang baik dan merata maka akan tidak berarti.

Meskipun pertumbuhan ekonomi telah mengalami kemajuan yang pesat namun strategi pembangunan yang telah ditempuh hingga kini telah mendapat kritikan tajam dari banyak orang. Pertumbuhan Ekonomi tersebut mengakibatkan ketimpangan yang semakin besar dalam pembagian pendapatan. Pola pembangunan ekonomi menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang cepat yang dianut oleh negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) oleh banyak pihak dianggap cukup beresiko, sebab pertumbuhan ekonomi yang cepat dapat membawa akibat

yang kurang menguntungkan yaitu, menimbulkan kenaikan dalam ketimpangan pembangunan pedapatan atau ketimpangan relatif dan mengakibatkan juga kemerosotan dalam tingkat hidup absolut dan golongan miskin atau juga berpendapatan rendah. Gejala lain yang mencemaskan adalah pembangunan ekonomi yang mengutamakan industrialisasi yang padat modal yang mengakibatkan angka pengangguran bertambah yang berarti mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat.

Menurut Dumairy (2000), Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu tujuan dari sebuah proses pembangunan yang berjalan. Sehingga untuk mengukur sejauh mana keberhasilan kinerja perekonomian, maka dibuat indikator makro sebagai penilaian kinerja perekonomian tersebut, diantaranya Produk Domestik Regional Bruto, yang dimana Produk Domestik Regional Bruto ini mampu menggambarkan struktur ekonomi serta menggambarkan analisa terhadap kinerja sektor perekonomian. Saat ini pemanfaatan data Produk Domestik Regional Bruto banyak dipakai dalam pengambilan proses dan instrumen kebijakan, diantaranya : dalam mengukur pertumbuhan ekonomi yang berkualitas sehingga mampu mengurangi kesenjangan, pengangguran dan kemiskinan, menilai dampak krisis ekonomi global terhadap perekonomian nasional maupun daerah, sebagai salah satu komponen pengalokasian dana alokasi umum kabupaten dan kota, serta untuk melihat kesenjangan ekonomi antar daerah dan antar sektor guna peningkatan di masing-masing daerah.

Teori Ekonomi Klasik menyatakan bahwa pasar bebas akan mengatur dirinya sendiri jika tidak ada campur tangan dari pihak apapun. Ekonomi Klasik menekankan pada penerapan harga yang fleksibel baik dari segi upah maupun segi barang. Postulat lainnya yang ditekankan oleh Ekonomi Klasik adalah keseimbangan antara tabungan dan investasi dengan asumsi bahwa suku bunga fleksibel akan selalu menjaga ekuilibrium.

Inflasi adalah proses kenaikan harga – harga umum barang secara terus-menerus (Nopirin,2000). Sedangkan tingkat inflasi adalah presentasi kenaikan harga - harga barang dalam periode waktu tertentu (Sadono Sukirno, 2008). Kenaikan harga dari satu atau dua barang tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga-harga karena musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan tidak disebut inflasi.

Menurut Boediono (1999) diukur tingkat keparahan, inflasi dibedakan menjadi Inflasi ringan (di bawah 10% setahun), Inflasi sedang (antara 10- 30% setahun), Inflasi berat (antara 30-100% setahun), Hiperinflasi (di atas 100% setahun). Menurut Boediono (1999) berdasarkan asal dari inflasi, dibedakan menjadi yaitu Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation) timbul

karena kenaikan harga-harga di negara-negara langganan berdagang negara kita.

Boediono (2002) menyatakan bahwa "Penularan" inflasi dari luar negeri ke dalam negeri bisa pula lewat kenaikan harga barang ekspor, dan saluran-salurannya hanya sedikit berbeda dengan penularan lewat kenaikan harga barang-barang impor. Bila harga barang-barang ekspor (seperti kayu, karet timah dan sebagainya) naik, maka ongkos produksi dari barang-barang yang menggunakan barang-barang tersebut dalam produksinya (perumahan, sepatu, kaleng dan sebagainya) akan naik, dan kemudian harga jualnya akan naik pula.

Berdasarkan dari sebab inflasi dibedakan menjadi yaitu Inflasi tarikan permintaan (Demand Pull Inflation) merupakan perubahan pada permintaan agregat. Timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian, menarik hingga keatas untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan agregat. Salah satu teori inflasi tarikan-permintaan yang berpengaruh menyatakan bahwa jumlah uang beredar adalah determinan utama inflasi. Alasan dibalik pendekatan ini adalah bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar meningkatkan permintaan agregatif, yang pada gilirannya meningkatkan tingkat harga.

Inflasi Dorongan Biaya (Cost Push Inflation) yang diakibatkan oleh adanya kenaikan terhadap biaya produksi. Penambahan biaya produksi mendorong peningkatan harga walaupun menghadapi resiko

pengurangan terhadap permintaan barang yang diproduksinya yang dapat menimbulkan adanya resesi.

Pada prinsipnya tidak semua inflasi berdampak negatif pada perekonomian. Terutama jika terjadi inflasi ringan yaitu inflasi di bawah sepuluh persen. Inflasi ringan justru dapat mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena inflasi mampu memberi semangat pada pengusaha, untuk lebih meningkatkan produksinya. Pengusaha bersemangat memperluas produksinya, karena dengan kenaikan harga yang terjadi para pengusaha mendapat lebih banyak keuntungan. Selain itu, peningkatan produksi memberi dampak positif lain, yaitu tersedianya lapangan kerja baru. Inflasi akan berdampak negatif jika nilainya melebihi sepuluh persen.

Pengangguran adalah angka yang menunjukkan berapa banyak dari jumlah angkatan kerja yang sedang aktif mencari pekerjaan (Mulyadi Subri,2003). Pengangguran merupakan suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi mereka belum dapat memperoleh pekerjaan tersebut (Sadono Sukirno, 2008).

Menurut Nanga (2001) dilihat dari sebab-sebab timbulnya, pengangguran dapat dibedakan menjadi: pengangguran friksional atau transisi (frictional or transitional unemployment adalah jenis pengangguran yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan dalam syarat-syarat kerja, yang terjadi seiring dengan perkembangan atau

dinamika ekonomi yang terjadi. Pengangguran ini dapat pula terjadi karena berpindahnya orang orang dari satu daerah ke daerah lainnya, atau dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.

Pengangguran struktural (structural unemployment) adalah jenis pengangguran yang terjadi sebagai akibat adanya perubahan di dalam struktur pasar tenaga kerja yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara penawaran dan permintaan tenaga kerja. Ketidakseimbangan didalam pasar tenaga kerja yang terjadi antara lain karena adanya peningkatan permintaan atas satu jenis pekerjaan, sementara jenis pekerjaan lainnya mengalami penurunan permintaan, dan permintaan itu sendiri tidak melakukan penyesuaian dengan cepat atas situasi tersebut.

Pengangguran alamiah (natural unemployment) atau lebih dikenal dengan istilah pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) adalah pengangguran yang terjadi pada kesempatan kerja penuh (Sachs and Larrain,1993) atau pengangguran dimana inflasi yang diharapkan (expected inflation) sama dengan tingkat inflasi aktual ( actual inflation).

Pengangguran konjungtur atau siklis (cyclical unemployment) terjadi akibat merosotnya kegiatan ekonomi atau karena terlampau kecilnya permintaan efektif aggregat (effective aggregate demand) didalam perekonomian dibandingkan dengan penawaran aggregat (AS). Oleh karena itulah para ahli ekonomi sering menyebut jenis pengangguran ini sebagai “demand-deficient unemployment”. Sebaliknya jenis

pengangguran ini akan berkurang kalau tingkat kegiatan ekonomi meningkat.

Berdasarkan lama waktu kerja, Pengangguran dibagi ke dalam empat kelompok (Sukirno, 2008) yaitu : Pengangguran terbuka yang tercipta sebagai akibat pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan. Pengangguran terbuka dapat pula wujud sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang menurun, dari kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga kerja.

Pengangguran tersembunyi yaitu terutama wujud di sektor pertanian atau jasa. Di banyak negara berkembang seringkali didapati bahwa jumlah pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi adalah lebih banyak dari yang sebenarnya diperlukan supaya ia dapat menjalankan kegiatannya dengan efisien. Kelebihan tenaga kerja yang digunakan digolongkan dalam pengangguran tersembunyi. Contoh-contohnya ialah pelayan restoran yang lebih banyak dari yang diperlukan dan keluarga petani dengan anggota keluarga yang besar yang mengerjakan luas tanah yang sangat kecil.

Pengangguran bermusim terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan, yang disebabkan oleh perubahan permintaan terhadap tenaga kerja yang sifatnya berkala, Setengah menganggur (underemployed) terjadi bila tenaga kerja tidak bekerja secara optimum ( kurang dari 35 jam

seminggu atau bekerja lebih dari 35 jam dalam seminggu dimana produktivitasnya/ pendapatannya rendah.

Pengangguran terbuka (open unemployment) tenaga kerja yang benar-benar tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran terbuka termasuk pengangguran yang sangat banyak karena memang belum mendapat pekerjaan meskipun sudah berusaha untuk mencapai pekerjaan.

Mankiw (2000) menyatakan bahwa pengangguran akan selalu muncul dalam suatu perekonomian karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah adanya proses pencarian kerja, yaitu dibutuhkannya waktu untuk mencocokkan para pekerja dan pekerjaan. Alasan kedua adalah adanya kekakuan upah. Kekakuan upah ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya kebijakan upah minimum, daya tawar kolektif dari serikat pekerja, dan upah efisiensi.

Secara teori setiap adanya peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan dapat menyerap tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat diukur melalui peningkatan atau penurunan GDP yang dihasilkan suatu negara, karena indikator yang berhubungan dengan jumlah pengangguran adalah GDP.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang berbeda, hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan jumlah pengangguran bersifat positif dan negatif. Pertumbuhan ekonomi melalui GDP yang bersifat positif dikarenakan pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi oleh

peningkatan kapasitas produksi, sehingga pengangguran tetap meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat ini berorientasi pada padat modal, di mana kegiatan produksi untuk memacu output dan menghasilkan pendapatan yang meningkat lebih diutamakan ketimbang pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada padat karya.

Penelitian lain yang menyatakan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dan jumlah pengangguran berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang meningkat di Indonesia memberikan peluang kerja baru ataupun memberikan kesempatan kerja dan berorientasi pada padat karya, sehingga pertumbuhan ekonomi mengurangi jumlah pengangguran.

Tingkat inflasi mempunyai hubungan positif atau negatif terhadap jumlah pengangguran. Apabila tingkat inflasi yang dihitung adalah inflasi yang terjadi pada harga-harga secara umum, maka tingginya tingkat inflasi yang terjadi akan berakibat pada peningkatan pada tingkat bunga (pinjaman). Oleh karena itu, dengan tingkat bunga yang tinggi akan mengurangi investasi untuk mengembangkan sektor-sektor yang produktif. Hal ini akan berpengaruh pada jumlah pengangguran yang tinggi karena rendahnya kesempatan kerja sebagai akibat dari rendahnya investasi (Sadono Sukirno, 2008).

Inflation Rate

Unemployment Rate

Gambar2.1 Kurva Phillips

Sumber : Mankiw, N. G., 2000. Teori Makro Ekonomi, Edisi ketiga Kurva Phillips menggambarkan hubungan antara tingkat inflasi

dengan pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, berdasarkan teori permintaan, permintaan akan naik, kemudian harga akan naik pula. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja, maka pengangguran berkurang.(Mankiw, 2003)

Konsep yang mempelajari hubungan antara pengangguran dengan

Gross Domestic Product, Gross Doimestic Product dikenal dengan

Hukum Okun didasari oleh hasil observasi terhadap data Gross Domestic

Product Amerika Serikat. Hukum Okun menjelaskan bahwa pengangguran

memiliki hubungan negatif dengan Gross Domestic Product riil. Hubungan antara pengangguran dengan Gross Domestic Product rill

Amerika Serikat berdasarkan Hukum Okun untuk tahun 1951-2000 dapat diformulasikan sebagai berikut:

= 3% − 2 ∆ (2.2)

Keterangan:

: Perubahan Gross Domestic Product Rill ∆ : Perubahan Pengangguran

Dari persamaan Hukum Okun tersebut diketahui, bahwa pengangguran berkorelasi negatif dengan pertumbuhan Gross Domestic

Product. Hal ini menjelaskan, jika Gross Domestic Product rill mengalami

kenaikan, maka pengangguran akan turun. Jika Gross Domestic Product

rill tidak mengalami pertumbuhan, maka pengangguran akan tetap pada

tingkat yang sama. Persamaan Hukum Okun untuk kondisi perekonomian dengan Gross Domestic Product rill tidak berubah dapat dinyatakan sebagai berikut:

= 0 atau jika ditulis lengkap menjadi:

= 3% − 2 ∆ = 0 (2.3)

0 = 3%−2x∆ (2.4)

2 ∆ = 3% (2.5)

∆ = 1,5% (2.6)

Akan terjadi perubahan pengangguran sebesar 1,5 persen. Artinya, jika perekonomian tidak mengalami perubahan yang ditunjukkan oleh

pengangguran naik sebesar 1,5% dari kondisi sebelumnya. Namun, demikian dari persamaan Hukum Okun dapat ditentukan berapa minimal pertumbuhan Gross Domestic Product rill yang harus dicapai agar pengangguran berkurang. Secara sistematis hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Jika pengangguran berkurang, maka ∆ harus lebih kecil daripada nol atau ∆ < 0%. Jika ∆ < 0% maka persamaan Hukum Okun dapat ditulis sebagai berikut:m

∆ = (3% − ) (2.7)

Karena ∆ < 0%, maka

(3% − < 0%, sehingga perubahan pertumbuhan atau menjadi:

> 3% (2.8)

Dari bahasa ini diketahui, krtika pengangguran yang diharapkan harus berkurag dari periode sebelumnya, artinya ∆ harus lebih kecil dari pada nol persen, maka pertumbuhan Gross Domestic Product rill yang dicapai harus lebih besar dari pada tiga persen. (Samuelson dan Nordhaus, 2004).

Teori Hukum Okun mengatakan bahwa ketika tingkat pengangguran meningkat maka produktivitas akan menurun dan output yang diperoleh negara juga akan mengalami penurunan sehingga pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan.

Suku bunga adalah harga yang harus dibayar bank atau peminjam lainnya untuk memanfaatkan uang selama jangka waktu tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa suku bunga itu merupakan balas jasa yang akan diterima kemudian atas pengorbanan yang dilakukan atau dengan kata lain suku bunga adalah harga dari penggunaan uang atau sebagai sewa penggunaan uang dalam jangka waktu tertentu (Samuelson, 1990).

Menurut Nopirin (1992) Produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang dipakai sekarang dan di kemudian hari. Menurut Edward dan Khan (1985) ada dua jenis faktor yang menentukan nilai suku bunga, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendapatan nasional, jumlah uang beredar (JUB), dan inflasi yang diduga. Sedangkan faktor eksternal merupakan suku bunga luar negeri dan tingkat perubahan nilai tukar valuta asing.

Menurut Laksmono (2001) dalam Ahmad Misbahul Munir (2013), nilai suku bunga domestik di Indonesia sangat terkait dengan suku bunga internasional. Hal ini disebabkan oleh akses pasar keuangan domestik terhadap pasar keuangan internasional dan kebijakan nilai tukar yang kurang fleksibel. Selain suku bunga internasional, tingkat diskonto SBI juga merupakan faktor penting dalam penentuan suku bunga di Indonesia. Peningkatan diskonto SBI segera direspon oleh suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank), sedangkan respon suku bunga deposito baru muncul setelah 7–8 bulan. Faktor lain yang turut berpengaruh dalam penentuan

suku bunga di Indonesia adalah kondisi likuiditas yang berdampak pada suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank) dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang akan mendorong arus modal masuk sehingga pengaruhnya terhadap suku bunga deposito dan suku bunga kredit lebih kecil.

2.3 Kerangka Pikir

Gambar 2.1 Alur pemikiran penelitian Dampak Tingkat Suku Bunga dan Tingkat Inflasi terhadap Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi di Sulawesi Selatan Perekonomian Tingkat Pengangguran Pertumbuhan Ekonomi Tingkat Inflasi Tingkat Suku Bunga

2.4 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka Diduga bahwa Tingkat Suku Bunga dan Tingkat Inflasi berpengaruh pada Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi di Sulawesi Selatan.

Dokumen terkait