• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Pengelolaan Hutan Lestari

Permasalahan yang muncul di sekitar pengelolaan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya sumberdaya hutan, akan senantiasa bergulir dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Macam dan kualitas permasalahan ini akan semakin meningkat sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan manusia terhadap manfaat sumberdaya hutan sebagai akibat dari terus meningkatnya jumlah penduduk, kualitas hidup manusia serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat (Suhendang et al. 1996). Ketika manusia di muka bumi ini menjadikan kayu sebagai kebutuhan utama yang dapat terpenuhi dari hutan maka ketika itu pulalah kayu menjadi fokus utama tentang kelestarian pengelolaan sumberdaya hutan. Namun pada saat manusia di muka bumi ini sudah bisa merasakan bahwa oksigen, air, dan jasa lingkungan yang membuat hidup mereka nyaman tersebut harus dipenuhi dari hutan maka pada saat itu pula fokus kelestarian pengelolaan sumberdaya hutan pun berkembang. Selain mendapat tuntutan untuk memenuhi kebutuhan kayu, sumberdaya hutan juga dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan non kayu untuk kenyamanan kehidupan manusia.

Pergeseran paradigma tentang pengelolaan hutan lestari tersebut juga dirasakan oleh International Tropical Timber Organization (ITTO) melalui beberapa kali revisinya tentang konsep Sustainable Forest Management (SFM). Pada awalnya di tahun 1990, ITTO mencanangkan konsep SFM yang berbasiskan kelestarian hasil kayu (Sustained yield and single-use management for timber). Namun dalam perkembangannya, ITTO menyempurnakan konsep SFM dengan memasukkan beberapa aspek selain kayu, antara lain: petunjuk dan pembentukan manajemen hutan tanaman tropis (ITTO, 1993), petunjuk tentang konservasi keanekaragaman hayati (ITTO 1993), petunjuk tentang pengelolaan api di hutan tropika (ITTO 1997), petunjuk untuk restorasi, pengelolaan, dan rehabilitasi untuk hutan tropika sekunder dan terdegradasi (ITTO 2002), petunjuk untuk konservasi dan keberlanjutan pemakaian keanekaragaman hayati di hutan produksi kayu tropis (ITTO 2009). Melalui serangkaian revisi tersebut pada tahun 2011, ITTO

mendefinisikan SFM secara umum sebagai suatu cara menggunakan sistem biologis yang tidak merugikan kapasitas mereka untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Keberlanjutan telah menjadi prioritas politik secara global, dan untuk hutan, pengelolaan hutan lestari telah berkembang menjadi alat penting.

Sekilas Tentang REDD+

Sejak diputuskan pertama kali sebagai hasil resmi dari Converence of Parties (COP) ke 13 di Bali, istilah Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) kini semakin sering didiskusikan oleh berbagai pihak dari beragam latar belakang pengetahuan. Hasil kesepakatan internasional itu pun kini juga menjadi pembicaraan tingkat nasional dan lokal. Bahkan cakupan pembahasannya bertambah sehingga istilah REDD kini berubah menjadi Reducing emissions from deforestation and forest degradation, and enhancing forest carbon stocks in developing countries (REDD+) (Angelsen 2009).

Hasil rumusan para pihak di Bali mengatakan bahwa baik deforestasi maupun degradasi hutan merupakan sumber utama emisi dan bahwa dalam beberapa kasus degradasi hutan (misalnya tanah lahan gambut) dapat menimbulkan tingkat emisi yang tinggi. Disepakati bahwa diskusi dan kegiatan metodologi dalam Konvensi dengan demikian harus menangani kedua sumber itu bersama-sama, meskipun para pihak terus menyatakan besarnya kesulitan untuk mendefinisikan ‘degradasi’ hutan.’ Isu-isu ilmu pengetahuan dan hukum dengan definisi yang tepat dan dapat dipercaya mengenai hutan dan degradasi hutan juga merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat adat dan organisasi organisasi sosial. Secara khusus, definisi degradasi hutan dapat memberikan implikasi besar mengenai bagaimana kebijakan REDD berdampak pada hak dan kesejahteraan masyarakat adat dan komunitas lokal, dan bagaimana pemanfaatan hutan tradisional ditangani sesuai dengan sistem pemantauan dan verifikasi REDD nasional.

Perluasan cakupan REDD menjadi REDD+ diputuskan dalam pertemuan SBSTA bulan Juni tahun 2009 di Bonn – Jerman. Keputusan tersebut ditetapkan dalam UNFCCC Decision 2/CP.13-11 yang antara lain berbunyi: .. policy approaches and positive incentives on issues relating to reducing emissions from

deforestation and forest degradation in developing countries; and the role of conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks in developing countries. Sejak keputusan ini maka REDD+ menjadi istilah payung untuk aksi lokal, nasional maupun global dalam rangka penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara berkembang. Simbol plus menandakan peningkatan cadangan karbon hutan, juga merujuk pada rehabilitasi dan regenerasi hutan, pengurangan degradasi, pengurangan emisi, peningkatan serapan karbon, pergerakan karbon, atau hanya sebatas penyerapan karbon dari atmosfer dan menyimpan di dalam pool karbon hutan (Angelsen 2009).

Tinjauan Umum tentang Pinus merkusii

Pinus merkusii merupakan jenis Pinus tropika alami dari Asia Tenggara,

meliputi Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam dan Indonesia. P. merkusii adalah satu-satunya jenis pinus yang tumbuh sampai di sebelah

selatan garis khatulistiwa hingga 2o6’ LS (Cooling 1968; Soekotjo 1978). Sebaran alami P. merkusii di Indonesia berada pada 3 wilayah yang berbeda di Sumatera, yaitu Aceh, Tapanuli, dan Kerinci. Iklim di ketiga tempat ini termasuk tipe B menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Fergusson, dengan curah hujan 1.200- 2.500 mm/tahun. Suhu udara maksimum bulanan 20-28oC, sedangkan suhu udara minimum 15-28oC (Fandeli 1977).

Berdasarkan taksonominya, klasifikasi P. merkusii sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Sub division : Gymnospermae Kelas : Coniferae Ordo : Pinales Famili : Pinaceae Genus : Pinus

Species : Pinus merkusii Jungh et de Vriese

Menurut Dallimore dan Jackson (1948), P. merkusii Jungh et de Vriese sama dengan P. finlaysoniana Wallich, P. latteri Mason, P. merkiana Gordon dan P.

sumatrana Jungh. Cooling (1968) mengatakan bahwa tusam mempunyai toleransi yang luas terhadap iklim dan dapat tumbuh pada daerah-daerah yang mempunyai masa 6 bulan kering sampai ke daerah-daerah basah. Jenis pinus ini ditemukan dari dekat permukaan laut sampai kira-kira 1000 meter. Di Sumatera, tegakan alam bisa juga tumbuh antara 500 sampai 2000 meter dan mungkin lebih tinggi. Iklim dan tanah sangat bervariasi menurut lokasi. Di Sumatera, tanah pada umumnya berasal dari bahan volkanik dan iklimnya basah dengan musim kering yang pendek dan curah hujan 1500 sampai 2500 mm (Lamb & Cooling 1967).

Pohon P. merkusii berbatang utama tunggal (monopodial), yaitu terdiri atas batang utama yang tinggi, lurus, dan meruncing ke atas. Cabang sekundernya kecil dan banyak sekali cabang yang tersusun melingkar (verticillate) yang nampak memencar luas. Batangnya tidak mempunyai saluran xylem (xylem), dan sebagai gantinya adalah trakeida (tracheid). Kayunya mempunyai saluran getah (Suhaendi 1988).

Ekologi Lanskap Habitat Alami P. merkusii strain Tapanuli

Ekologi lanskap merupakan suatu cabang ilmu yang relatif baru dan memiliki peranan penting sebagai dasar untuk pengelolaan suatu ekosistem secara optimal dan berkesinambungan. Arifin et al. (2009) menyatakan bahwa secara garis besar ekologi lanskap mempelajari dasar-dasar tentang struktur, fungsi, dan perubahan-perubahan serta aplikasinya, yaitu penggunaan dasar-dasar tersebut dalam formulasi dan pemecahan masalah-masalah. Struktur merupakan salah satu aspek ekologi yang mengkaji tentang hubungan spasial antara ekosistem- ekosistem yang berbeda atau kehadiran elemen-elemen lebih khusus, distribusi energi, material, dan spesies dalam hubungannya terhadap ukuran, bentuk, jumlah, jenis dan konfigurasi ekosistem. Adapun fungsi menunjukkan interaksi antara elemen spasial, yaitu aliran energi, material dan spesies dalam komponen ekosistem. Proses interaksi yang terjadi dari waktu ke waktu menyebabkan kondisi struktur dan fungsi mosaik ekologis di dalam suatu lanskap atau ekosistem mengalami perubahan-perubahan.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, kini berbagai ilmuwan lintas kepakaran mulai memasukkan ekologi lanskap sebagai salah satu perangkat penting untuk pengelolaan sumberdaya hayati yang berkelanjutan di muka bumi

ini. Terkait dengan hal ini, berbagai data ekologis pada suatu ekosistem merupakan informasi penting untuk pengelolaan populasi alami suatu jenis tumbuhan atau satwa secara optimal dan berkelanjutan (Arifin & Nakagoshi 2011; Saroinsong et al. 2007).

Populasi alami P. merkusii strain Tapanuli pertama kali ditemukan oleh Dr Junghuhn pada tahun 1841 di hutan alam Dolok Suanon – Tapanuli, Sumatera Utara. Sejak saat itu pemerintah kolonial Belanda segera mengukuhkan Suaka Alam Dolok Saut seluas 39 Ha di Tapanuli. Hutan alam Tusam di Tapanuli tersebar secara berkelompok dalam luasan yang tidak layak diusahakan serta bercampur dengan hutan alam lainnya di gunung-gunung. Bahkan di Dolok Tusam, jenis tusam tersebut banyak dicampur dengan kemenyan. Penduduk di sekitar hutan menanami areal hutan tusam dengan kemenyan tanpa merusak pohon yang ada (Harahap 2000a).

Dolok Tusam yang merupakan salah satu ekosistem alami P. merkusii strain Tapanuli terletak di Kabupaten Tapanuli Utara – Provinsi Sumatera Utara. Dolok Tusam merupakan areal yang akan ditunjuk menjadi cagar alam berada di dekat Kampung Lobu Gala, dengan ketinggian 1200 – 1300 mdpl. Tanahnya termasuk satuan dari kompleks podsolik merah kuning, latosol, dan litosol, dengan bahan induk batuan beku endapan dan metamorf, termasuk fisiografi pegunungan patahan. Geologi termasuk efusiva liparit dan permo-karbon (Kemenhut 1984 b). Curah hujan sekitar 2088 mm per tahun dan digolongkan pada tipe curah hujan B menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson di Siborong-borong (Harahap 2000b).

Pinus merkusii strain Tapanuli memiliki sifat morfologi yang relatif lebih bagus dibanding strain Aceh, antara lain batangnya lurus, percabangan ramping, bebas cabangnya tinggi, dan getahnya banyak. Karakteristik inilah yang menjadikan P. merkusii strain Tapanuli diminati oleh banyak pihak sehingga hal ini memicu dan memacu peningkatan permintaan kayu tusam Tapanuli dari waktu ke waktu. Hasil pengamatan empiris di pos kehutanan di Simarjarunjung Kabupaten Simalungun, setiap hari rata-rata 10 truk tronton dengan kapasitas 20- 25 m3 kayu tusam lewat. Truk-truk tersebut membawa kayu tusam dari Tapanuli Utara dan sekitarnya dengan tujuan industri pengolahan kayu di Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan Medan (Harahap & Aswandi 2008). Fenomena

pembalakan ini telah mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi lanskap ekosistem alami P. merkusii strain Tapanuli. Karenanya, perlu segera diantisipasi agar kondisi lanskap ekologinya mengalami perbaikan sehingga dinamika pertumbuhan tegakan hutannya (khususnya P. merkusii strain Tapanuli) dapat kembali tumbuh dengan sehat dan normal.

Perkembangan Penelitian tentang Keragaman Genetika Pinus merkusii

Kegiatan penelitian tentang keragaman genetik P. merkusii di Indonesia sudah sejak lama dilakukan oleh Suhaendi (1988) yang memulai penelitian keragaman genetik secara konvensional. Di dalam penelitiannya, Suhaendi (1988) melakukan pendugaan parameter-parameter genetika-ekologi dari beberapa sifat kuantitatif dalam hutan tanaman P. merkusii Jungh et de Vriese strain Tapanuli dan strain Aceh. Hasil penelitian Suhaendi (1988) menunjukkan bahwa dari 12 sifat pohon yang diamati, diketahui ada 7 sifat pohon dalam setiap strain yang dikendalikan secara kuat oleh faktor genetik, yakni: diameter batang, bentuk batang, tebal kulit batang, produksi getah, berat jenis, diameter serat dan lebar lumen sel serat kayu. Pengendalian genetik yang kuat juga terdapat pada tinggi batang bebas cabang dalam strain Tapanuli, dan pada tinggi pohon total serta kadar selulosa kayu dalam strain Aceh.

Penelitian dengan topik yang sama juga dilakukan oleh Harahap (2000b), yang melakukan penelitian tentang keragaman sifat dan data ekologi populasi alam P. merkusii di Aceh, Tapanuli, dan Kerinci. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada lokasi tempat tumbuh yang berbeda terdapat perbedaan sangat nyata pada beberapa sifat pohon berikut: panjang serat, tebal dinding serat, panjang daun, berat kering daun, panjang kerucut, dan tebal kulit. Perbedaan lokasi memberikan pengaruh nyata terhadap sifat berat jenis kayu. Adapun untuk sifat diameter lumen, diameter serat, jumlah biji, dan diameter kerucut, tidak berbeda nyata pada lokasi tempat tumbuh yang berbeda.

Seiring dengan kemajuan teknologi biomolekuler, penelitian keragaman genetik dengan penanda morfologi seperti yang dilakukan Suhaendi (1988) dan Harahap (2000b) mulai beralih ke penanda biokimia. Salah satunya menggunakan isozim. Analisis isozim untuk mengetahui besarnya keragaman genetik Tusam telah dilakukan oleh Kartikawati (1996 dan 1998) dan Indrioko (1996). Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 8 sistem enzim yang digunakan ternyata hanya 3 sistem enzim dengan 7 (tujuh) loci yang polimorfik untuk tusam yaitu Esterase (EST) dengan Est-1, Est-2, Est-3 loci; Glutamate Oxaloacetate Transaminase (GOT) dengan Got-1, Got-2 loci; dan Shikimate dehydrogenase (ShDH) dengan Shd-1 dan Shd-2 loci (Munawar 2002).

Obyek penelitian Kartikawati (1996) dan Indrioko (1996) tersebut adalah hutan tanaman P. merkusii yang ada di Jawa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Tusam yang sudah berkembang luas di Jawa ternyata hanya berasal dari sebagian provenans yang ada di Aceh. Hasil penelitian Harahap (2000b) tentang keragaman sifat dan data ekologi populasi alami P. merkusii serta hasil uji asal benih P. merkusii di Sumatera Utara lebih mempertegas lagi bahwa tusam yang telah berkembang luas selama ini adalah berasal dari populasi Aceh. Adapun tusam yang berasal dari populasi Tapanuli dan Kerinci belum dibudidayakan dalam skala luas, antara lain disebabkan oleh keterbatasan ketersediaan benih.

Kartikawati dan Na’im (1999) kembali melakukan uji keragaman genetik dengan menggunakan penanda isozim. Di dalam penelitiannya mereka menguji keragaman genetik dari tiga populasi P. merkusii yang berbeda yakni populasi alami P. merkusii dari hutan alam di Aceh, populasi P. merkusii dari hutan tanaman di Jawa, ( populasi P. merkusii dari kebun benih di Jember, Jawa Timur) . Ada 3 (tiga) sistem enzim yang digunakan dalam penelitian mereka yakni Esterase (EST), Glutamate Oxaloacetate Transaminase (GOT) dan Shikimate Dehydrogenase (ShDH). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa populasi alami Aceh memiliki keragaman genetik tertinggi (nilai He=0.304) dibanding populasi hutan tanaman (nilai He = 0.276) dan kebun benih (nilai He = 0.266).

Analisis keragaman genetik P. merkusii dengan menggunakan penanda genetik isozym kembali dilakukan oleh Siregar dan Hattemer (1999). Penelitian ini menguji keragaman genetik dari dua populasi alam P. merkusii di Sumatera dan satu populasi hutan tanaman di Jawa. Sampel yang diuji keragaman genetiknya berupa biji. Ada delapan lokus isoenzym yang digunakan untuk penelitian ini yakni: GOT-B, GOT-C, GOT-D, PGM-A, PGM-B, SKDH-A, NDH-A, dam FHD-A. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa nilai beberapa parameter genetik antara populasi alami P. merkusii Aceh dengan hutan

tanaman di Jawa relatif sama. Namun demikian, nilai beberapa parameter genetik hutan tanaman P. merkusii di Pulau Jawa lebih tinggi dibanding populasi alaminya di Aceh. Selain itu, hasil penelitian ini juga menujukkan bahwa nilai keragaman genetik P. merkusii yang ada di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan P. merkusii yang ada di Thailand (Szmidt et al. 1996).

Penelitian tentang analisis keragaman genetik dengan penanda genetik isozim juga dilakukan oleh Munawar (2002). Di dalam penelitiannya, Munawar (2002) melakukan studi keragaman genetik Tusam (P. merkusii Jungh. et de Vriese) di hutan alam Tapanuli dan Kerinci. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa provenansi Kerinci memiliki nilai Heterozigositas harapan (He) paling kecil (0.042) dibanding populasi alam Tapanuli (0.206), Aceh (0.304) dan Jawa (0.276). Keragaman genetik populasi alam Tapanuli lebih rendah dibanding poopulasi Aceh dan Jawa. Fenomena ini terjadi antara lain karena populasi alami P. merkusii di Kerinci sudah terpecah-pecah berupa kumpulan individu-individu dalam jumlah dan luasan yang sempit sehingga terjadi seleksi mundur (dysgenic selection) dan telah banyak terjadi kawin kerabat (inbreeding) (Munawar 2002).

Penggunaan penanda genetik mikrosatelit untuk menganalisis keragaman genetik P. merkusii di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Nurtjahjaningsih et al. (2005). Di dalam penelitiannya, Nurtjahjaningsih et al. (2005) mencoba mengembangkan penanda genetik mikrosatelit untuk mendapatkan informasi genetik dari kebun benih P. merkusii yang ada di Pulau Jawa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 10 primer yang dikembangkan dari P. merkusii, 5 diantaranya bersifat kodominan dan polimorfik. Jumlah alel per lokus berkisar antara 3 sampai 6 dan nilai heterosigositas harapan berkisar antara 0.389 sampai 0.728. Kelima penanda mikrosatelite tersebut dapat digunakan untuk analisis genetik populasi dan pola perkawinan.

Tinjauan Tentang Mikrosatelit

Mikrosatelit atau yang juga dikenal dengan Short Tandem Repeats (STRs) atau Variable Number of Tandem Repeats (VNTR) merupakan untaian basa nukleotida 1-6 pasang basa yang berulang dan tersebar di dalam genom, baik

genom inti maupun genom organel. Tipe pengulangan basa dari mono-, di-, tri-, tetra-, dan penta-nukleotida. Mikrosatelit genom organel terdiri mikrosatelit kloroplas (cpSSRs) dan mikrosatelit mitokondrion (mtSSRs) dengan tipe mononukleotida. Mikrosatelit yang berasal dari genom organel ini banyak digunakan untuk studi pewarisan karena sifat dari genom organel yang hanya diturunkan secara uniparental. Mikrosatelit telah banyak dipergunakan untuk meneliti berbagai tanaman dan ada sekitar 8000 konten penulisan jurnal tentang mikrosatelit (Zane et al. 2002). Mikrosatelit memiliki keunggulan dalam berbagai studi genetika karena pola pewarisan mengikuti hukum Mendel, tingkatan polimorfik tinggi, bersifat kodominan, keakuratan yang tinggi dan berlimpah di genom. Marka ini banyak digunakan untuk studi genetik populasi, ekologi, pemuliaan tanaman dan aliran gen (gene flow).

Penanda mikrosatelit dipilih karena merupakan penanda kodominan yang mampu mengidentifikasi genotipe homozigot dan heterozigot dalam populasi, memiliki reproducibility yang tinggi, tingkat polimorfisme tinggi, multialelik, dan terdistribusi merata dalam genom (Karhu 2001 dan Weising et al. 2005 ). Pada pinus lain di daerah temperate penggunaan mikrosatelit telah umum digunakan, namun pada P.merkusii baru pada tahun 2005 dikembangkan (Nurtjahjaningsih et al.2005). Hasil penelitian menemukan sepuluh lokus yang mampu diisolasi dimana lima lokus bersifat polimorfik dan kodominan, dua lokus bersifat monomorfik, dua lokus bersifat multiband dan satu lokus tidak mampu mengamplifikasi. Selanjutnya Nurtjahjaningsih et al. (2005) merekomendasikan penggunaan lima primer (pm01, pm05,pm07, pm09a dan pm12) untuk deteksi mikrosatelit pada P. merkusii.

Pendugaan Kandungan Biomassa Karbon Pinus merkusii strain Tapanuli

Berbagai bentuk tekanan terhadap ekosistem hutan yang menjadi habitat alami populasi P. merkusii strain Tapanuli selain berpengaruh terhadap struktur genetik jenis P. merkusii juga berpengaruh terhadap kondisi pertumbuhan tegakannya. Biomassa merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui besarnya kondisi pertumbuhan suatu jenis tumbuhan di dalam suatu ekosistem. Hal ini mengacu pada IPCC (2003) yang mengartikan biomassa

sebagai total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volume tertentu. Pengertian ini diperkuat oleh Brown (1997), yang mendefinisikan biomassa sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas. Mengingat sebagian besar komponen biomassa tumbuhan terdiri atas karbon dan seiring dengan menguatnya upaya mitigasi perubahan iklim global maka istilah biomassa karbon kini menjadi lebih populer dibanding istilah biomassa.

Pendugaan biomassa tegakan dan pohon telah diakui sebagai salah satu tahapan penting dalam rangka penilaian stok karbon hutan sesuai dengan Protokol Kyoto untuk pengurangan gas rumah kaca (Brown 2002; Korner 2005; Pili et al, 2006). Salah satu pendekatan untuk mengkuantifikasi simpanan biomassa karbon adalah melalui penelaahan terhadap perubahan-perubahan yang berasal dari plot inventarisasi hutan jangka panjang. Model regresi digunakan untuk mengkonversi data inventarisasi tersebut menjadi nilai dugaan biomassa bagian atas (above ground biomass) (Chave et al. 2005). Aplikasi persamaan allometrik yang dikombinasikan dengan data inventarisasi hutan merupakan suatu pendekatan yang cukup efektif untuk menghitung besarnya biomassa hutan dan simpanan karbon hutan pada suatu skala regional (Xiang et al. 2011).

Pinus merkusii strain Tapanuli merupakan tusam yang memiliki morfologi dan beberapa sifat pohon lebih baik dibanding tusam Aceh yang selama ini telah banyak dibudidayakan. De Veer dan Govers (1953) ; Soerianegara dan Djamhuri (1979) diacu dalam Suhaendi (1988) dan Harahap (2000b) telah mencatat beberapa keunggulan sifat pohon tusam Tapanuli tersebut, yakni: bentuk batang lurus dan ramping, daun tebal dan berwarna hijau tua dan mengkilap, sistem percabangan: cabang-cabang lebih kecil, membentuk sudut lancip terhadap batang; ruas batang lebih panjang dan jaraknya lebih teratur, kulit batang tipis dan berwarna muda, beralur dangkal, umumnya licin; produksi getah lebih banyak. Beberapa keunggulan sifat pohon tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pertumbuhan P. merkusii strain Tapanuli lebih unggul dibanding pertumbuhan P. merkusii strain Aceh sehingga jumlah biomassa karbonnya pun lebih besar. Saat ini belum ada penelitian yang secara khusus melakukan penghitungan biomassa karbon P. merkusii strain Tapanuli, serta mendapatkan

persamaan allometrik yang selanjutnya dapat digunakan untuk pendugaan kandungan biomassa karbonnya. Beberapa penelitian yang telah berhasil mendapatkan persamaan allometrik untuk pendugaan kandungan biomassa karbon dari P. merkusii dilakukan pada hutan tanaman di Jawa yang merupakan P. merkusii strain Aceh. Hasil penelitian Basuki et al. (2004) menunjukkan bahwa tegakan pinus umur 16 tahun dengan kerapatan 1200 pohon/ha dapat mengandung 126.8 C-organik/ha atau setara dengan penyerapan 464.9 ton CO2/ha. Persamaan

allometrik untuk pendugaan kandungan biomassa karbon P. merkusii telah dihasilkan Siregar (2007) di Jawa Barat yakni:

Y = 0.0936 X 2.4323 untuk biomasa Pinus merkusii di atas tanah Y = 0.0103 X 2.6036 untuk biomasa Pinus merkusii di bawah tanah Y = 0.1031X2.4587 untuk biomasa total Pinus merkusii

Inisial X menunjukkan diameter batang Pinus merkusii yang diukur pada ketinggian 1,3 meter (setinggi dada orang dewasa).

Ancaman Kelestarian Pinus merkusii

Pinus merkusii strain Tapanuli merupakan satu dari tiga strain P. merkusii yang memiliki nilai ekonomi kayu relatif tinggi karena bentuk kayunya yang relatif lebih lurus, percabangan ramping, kulit batang tipis, dan getah lebih sedikit. Hal inilah yang menyebabkan jenis P. merkusii strain Tapanuli diburu oleh para penebang liar. Hasil pengamatan sepintas di pos kehutanan di Simarjarunjung Kabupaten Simalungun, setiap hari rata-rata 10 truk tronton dengan kapasitas 20- 25 m3 kayu tusam lewat. Truk-truk tersebut membawa kayu tusam dari Tapanuli Utara dan sekitarnya dengan tujuan industri pengolahan kayu di Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan Medan (Harahap & Aswandi 2008).

Selain ancaman dari kegiatan penebangan, kelestarian P. merkusii juga mendapat ancaman dari faktor alami, seperti serangan hama, penyakit, atau kebakaran. Di Indonesia tanaman ini diserang oleh beberapa hama diantaranya adalah Melionia basalis (Geometridae, Lepidoptera), Eumeta variagatus (Psehidae, Lepidoptera), Dyorictria rubella (Pyralidae, Lepidoptera) dan juga Coptotermes traviens (Husaeni 1996). Resiko terhadap munculnya serangan hama, penyakit, atau kebakaran tersebut semakin meningkat seiring dengan terjadinya fenomena perubahan iklim global. Munculnya jenis hama baru akibat pengaruh perubahan iklim global tersebut ditengarai kuat telah terjadi di wilayah

Dokumen terkait