• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang mengemukakan teori-teori secara konseptual, hasil-hasil penelitian terdahulu yang diharapkan mampu mendukung pokok-pokok permasalahan yang diteliti dan berisi kerangka pemikiran serta hipotesis penelitian.

A. Kepercayaan pada Supervisor

Menurut Atuahene-Gima dan Li (dalam Fu et al., 2009), kepercayaan pada supervisor didefinisikan sebagai tingkat persepsi karyawan yang menganggap supervisor sebagai atasan yang baik. Karyawan percaya supervisor benar-benar peduli dengan kesejahteraan mereka, bersedia menyediakan fasilitas serta dukungan yang dibutuhkan dalam proses penyelesaian tugas.

Dalam teori kepercayaan pada supervisor dikatakan bahwa, tindakan supervisor adalah indikator kebijakan organisasi (Dawley et al., 2008). Supervisor membantu mewujudkan kebijakan organisasi kepada karyawan. Supervisor adalah manajemen yang paling dekat dengan karyawan dan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan organisasi untuk menyampaikan tujuan bawahannya.

commit to user

Zahreni (2008) mengungkapkan bahwa, karyawan yang bertahan di pekerjaannya dengan atasan yang memperlakukan mereka dengan buruk memiliki tingkat kepuasan yang rendah, komitmen yang rendah, konflik antara pekerjaan dan keluarga mereka, serta tingkat stress yang tinggi.

Supervisor yang gagal mengingat nama bawahannya atau tidak merespon ketika disapa oleh bawahan akan membuat karyawan kurang loyal dan kurang kepercayaan pada supervisor tersebut. Para supervisor dapat memperoleh loyalitas dan kepercayaan dari bawahannya, jika ia memperlakukan bawahan sebagai mitra kerja, menunjukkan kepedulian yang tinggi, mau mendengarkan saran dan keluhan, serta mau saling berbagi pengalaman (Papu, 2002).

Miner (1992) menyebutkan bahwa kepuasan dalam pekerjaan merupakan salah satu konsekuensi dari hubungan antara atasan dan bawahan (supervisor dan karyawan). Semakin kuat hubungan antara supervisor dan karyawan akan menciptakan tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi. Dalam hal ini, antara supervisor dan bawahan saling menciptakan kualitas hubungan yang baik yang berorientasi pada pencapain tujuan bersama. Dimana bawahan bertanggung jawab dan menyelesaikan tugas melebihi uraian kerja dan atau kontrak kerja, demikian juga dengan supervisor yang menyediakan sumber daya dan kesempatan untuk melakukan hal tersebut.

commit to user

B. Perceived Organizational Support (Dukungan Organisasional yang

Dipersepsikan)

Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka (Robbins, 2003). Cara karyawan memandang situasi yang berlaku sering kali memiliki arti lebih penting untuk memahami perilaku daripada situasi itu sendiri. Jadi dengan demikian, persepsi mencakup penafsiran objek-objek, simbol-simbol, dan orang-orang yang dipandang dari sudut pandang pengalaman yang penting.

Menurut Eisenberger, Fasolo, dan LaMastro (2001), dukungan

organisasional yang dipersepsikan didefinisikan sebagai persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi dan memelihara kesejahteraan mereka. Jika karyawan menganggap bahwa dukungan organisasional yang diterimanya tinggi, maka karyawan tersebut akan menyatukan keanggotaan dalam organisasi ke dalam identitas diri mereka, kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi yang lebih positif terhadap organisasi tersebut. Pada akhirnya, hal ini dapat membangkitkan rasa tanggung jawab karyawan untuk memberikan kontribusi dan performansi terbaiknya bagi organisasi/perusahaan melalui komitmen tinggi yang diaktualisasikan berupa upaya yang maksimal.

Di lain pihak, persepsi terhadap dukungan organisasional juga dianggap sebagai sebuah keyakinan global yang dibentuk oleh tiap karyawan

commit to user

pada pengalaman mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi, penerimaan sumber daya, interaksi dengan agen organisasi (misalnya supervisor) dan persepsi mereka mengenai kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan mereka (Rhoades & Eisenberger, 2002).

Bagi karyawan, organisasi merupakan sumber penting bagi kebutuhan

sosioemosional mereka seperti penghargaan, kepedulian, dan keuntungan nyataseperti gaji dan tunjangan kesehatan. Perasaan dihargai oleh organisasi membantu mempertemukan kebutuhan karyawan akan persetujuan, penghargaan dan keanggotaan.

Walaupun organisasi yang menghargai kontribusi dan peduli terhadap

kesejahteraan karyawannya itu penting, namun penelitian menunjukkan bahwa para karyawan menggabungkan dukungan nyata yang ditunjukkan oleh organisasi/perusahaan dengan persepsi individual mereka (Rhoades & Eisenberger, 2002).

1. Aspek – Aspek Dukungan Organisasional yang Dipersepsikan

Dukungan organisasional yang dipersepsikan dipengaruhi oleh pengalaman yang dimiliki oleh individu serta pengamatan mengenai keseharian organisasi dalam memperlakukan seseorang (Allen & Brady, 1997).

commit to user

a) Sikap organisasi terhadap ide-ide karyawan

Bila organisasi melihat ide dari karyawan sebagai sumbangan yang konstruktif yang mungkin saja dapat diwujudkan melalui perencanaan yang matang, maka individu yang bekerja di organisasi tersebut akan memiliki persepsi yang positif akan dukungan organisasi terhadap diri mereka. Sebaliknya, persepsi akan menjadi negatif bila organisasi selalu menolak ide dari karyawan dan segala sesuatu merupakan keputusan dari pimpinan puncak.

b)Respon terhadap karyawan yang mengalami masalah

Bila organisasi cenderung untuk berdiam diri dan tidak memperlihatkan usaha untuk membantu individu yang terlibat masalah, maka karyawan akan melihat bahwa tidak ada dukungan yang diberikan oleh organisasi terhadap karyawan tersebut.

c) Respon terhadap kesejahteraan dan kesehatan karyawan

Karyawan yang melihat bahwa organisasi berusaha keras untuk meningkatkan kesejahteraan individu yang bekerja di dalamnya, akan melihat upaya ini sebagai suatu hal yang positif. Karyawan melihat bahwa organisasi memberikan dukugan agar setiap orang dapat bekerja secara optimal demi tercapainya tujuan bersama.

commit to user

2. Faktor – faktor yang dapat dipengaruhi oleh Dukungan Organisasional

Rhoades dan Eisenberger (2002) mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat dipengaruhi oleh dukungan organisasional yaitu komitmen organisasional, dan kepuasan kerja.

a) Komitmen Organisasional

Menurut Eisenberger (1986), dukungan organisasional yang dipersepsikan memiliki pengaruh positif pada komitmen afektif. Komitmen afektif berkaitan dengan keinginan untuk terikat pada organisasi. Ketika karyawan memandang perhatian perusahaan sebagai indikasi tindakan baik yang diarahkan kepada mereka, maka karyawan mulai membangun kedekatan emosional dan mengidentifikasikan diri dengan organisasi. Dan muncul keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi (Eisenberger et al., 1986). Sehingga, karyawan akan dengan senang hati memberikan upaya terbaik demi mewujudkan visi misi perusahaan.

Dukungan organisasional yang dipersepsikan juga dapat menumbuhkan adanya komitmen normatif. Komitmen normatif didasarkan pada norma balas jasa. Ketika karyawan merasakan adanya kepedulian dari perusahaan, hal ini menumbuhkan rasa tanggung jawab mereka untuk ikut peduli pada nasib perusahaan dengan meningkatkan komitmen dan memberi kinerja terbaik (Eisenberger, Fasolo, & Davis-LaMastro, 2001).

commit to user

Di sisi lain, dukungan organisasional yang dipersepsikan dapat

mengurangi adanya komitmen keberlanjutan. Meeker (1971)

berpendapat bahwa, secara rasional perasaan beruntung dapat berkerja di perusahaan yang menghargai kontribusi dan peduli pada nasib karyawan, dapat mengurangi fokus karyawan pada pertimbangan biaya semata, dan mengurangi perasaan terjebak/terpaksa berada di perusahaan.

b)Kepuasan Kerja

Karyawan yang memiliki persepsi terhadap dukungan organisasional yang positif akan merasa pekerjaannya lebih memuaskan dan kecenderungan untuk berpindah kerja juga lebih rendah. Babakus (1996) menyatakan bahwa dukungan organisasional yang dipersepsikan merupakan anteseden dari kepuasan kerja. Dukungan organisasional yang dipersepsikan memiliki kontribusi pada kepuasan kerja karyawan secara keseluruhan dengan cara meningkatkan persepsi karyawan akan keselamatan kerja, meningkatkan persepsi harapan, dan pemberian isyarat bahwa organisasi/perusahaan bersedia memberi bantuan yang dibutuhkan oleh karyawannya.

Dukungan organisasional yang dipersepsikan juga memiliki kontribusi pada terbentuknya perasaan karyawan bahwa dirinya mampu dan bernilai bagi organisasi, dimana hal tersebut dapat meningkatkan

commit to user

kepercayaan diri dan kepuasan akan pekerjaan yang mereka lakukan (Cropanzano & Mitchell 2005).

C. Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja mempunyai peran penting dalam rangka mendukung tercapainya tujuan perusahaan. Kepuasan kerja memberikan sumbangan yang besar terhadap keefektifan organisasi, serta merangsang semangat kerja dan loyalitas karyawan. Kepuasan kerja adalah salah satu konstruk yang diukur dan diteliti paling luas pada perilaku organisasional dan literatur manajemen.

Beberapa Pengertian dari Kepuasan Kerja:

1. Robbins (2001) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap secara umum dan tingkat perasaan positif seseorang terhadap pekerjaannya.

2. Menurut pandangan Luthans (1998) kepuasan kerja merupakan hasil persepsi karyawan tentang bagaimana pekerjaan mereka dapat memberikan sesuatu yang dianggap penting.

3. Locke (1976) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai pernyataan emosional yang menyenangkan yang diakibatkan oleh penilaian pada pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.

4. Menurut Astuti et al, (2003), kepuasan kerja seseorang ditentukan oleh perbedaan antara semua yang diharapkan dengan semua yang dirasakan dari pekerjaannya atau semua yang diterimanya secara aktual.

commit to user

Jadi, kepuasan kerja merupakan suatu perilaku individu berhubungan dengan pekerjaannya. Perilaku ini dibangun dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya. Sejumlah investigasi dapat menjelaskan pada manajer untuk lebih memahami bagaimana bentuk perilaku karyawan yang mempengaruhi kepuasan kerjanya.

Luthans (1998) membagi kepuasan kerja menjadi tiga dimensi sebagai berikut:

1. Kepuasan kerja adalah suatu emosi yang merupakan respon terhadap situasi kerja. Hal ini tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diduga. Atau hal ini tidak dapat dinyatakan, tetapi akan tercermin dalam sikap karyawan.

2. Kepuasan kerja dinyatakan dengan perolehan hasil yang sesuai, atau bahkan melebihi dari yang diharapkan, misalnya seseorang bekerja sebaik yang mampu dilakukannya dan berharap mendapat imbalan yang sepadan.

3. Kepuasan kerja biasanya dinyatakan dalam sikap. Seseorang merasa puas dengan pekerjaanya akan tercermin melalui sikap, misalnya dia semakin loyal pada perusahaan, bekerja dengan baik, berdedikasi tinggi, tertib serta sikap-sikap lain yang bersifat positif.

commit to user

Luthans (1998) menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja yaitu sebagai berikut:

1. Pekerjaan yang dilakukan

Jenis pekerjaan yang dilakukan dapat merupakan sumber

kepuasan.

2. Gaji

Gaji dan upah yang diterima karyawan dianggap sebagai refleksi cara pandang manajer mengenai kontribusi karyawan terhadap organisasi.

3. Promosi

Kesempatan untuk lebih berkembang di organisasi dapat menjadi

sumber kepuasan kerja.

4. Supervisor

Kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan moral dapat meningkatkan kepuasan kerja.

5. Rekan sekerja

Rekan sekerja dapat memberikan bantuan secara teknis dan dukungan secara sosial akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan.

commit to user

Para ahli terdahulu telah menyatakan dalam penelitannya bahwa, apabila seseorang merasa telah terpenuhi semua kebutuhan dan keinginannya oleh organisasi, maka secara otomatis dengan penuh kesadaran mereka akan meningkatkan komitmen organisasional dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Luthans (1998) yang menyatakan bahwa, apabila variabel yang positif terhadap kepuasan kerja yaitu tipe pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan dapat promosi, atasan mereka dan rekan kerja dapat terpenuhi, maka perasaaan dekat dengan organisasi akan timbul dengan baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa, kepuasan akan berdampak positif terhadap komitmen organisasional.

D. Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional adalah usaha mengidentifikasikan diri dan melibatkan diri dalam organisasi dan berharap tetap menjadi anggota organisasi (Robbins, 2001 : 67). Robbins memandang komitmen terhadap organisasi merupakan salah satu sikap kerja. Karena, ia merefleksikan perasaan seseorang (suka atau tidak suka) di dalam organisasi dimana mereka bekerja. Robbins mendefinisikannya sebagai suatu orientasi individu terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Mowday et al. (dalam Fajariyanti, 2003) menyatakan bahwa, komitmen organisasional merupakan itikad yang kuat seseorang untuk terlibat dalam suatu organisasi, yang terdiri dari :

commit to user

2. Kemauan untuk berusaha dan berbuat sesuatu demi kepentingan organisasi.

3. Keinginan yang kuat untuk terus menjadi anggota organisasi.

Luthans (1998:148) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai sikap yang berkaitan dengan loyalitas pekerja terhadap organisasi dan merupakan proses yang berkelanjutan pada anggota organisasi untuk mengungkapkan perhatiannya pada organisasi dan hal tersebut berlanjut pada kesuksesan dan kesejateraan. Di sisi lain, Davis (dalam Fajariyanti, 2003) mengungkapkan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional akan memperlihatkan rekaman kehadiran yang baik dan kemauan untuk taat terhadap kebijaksanaan organisasi serta tingkat turnover karyawan yang rendah.

Terjadinya komitmen individu dalam setiap jajaran dan tingkatan organisasi berkaitan dengan sikap keberpihakan anggota untuk menyatu dengan tujuan dan sasaran serta sesuai dengan nilai organisasi. Dengan demikian, setiap pengelola organisasi memiliki kepentingan untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk menciptakan komitmen anggota organisasi dalam mencapai efektivitas perilaku dan kinerja organisasi.

commit to user

1. Komponen Komitmen Organisasional

Menurut Allen dan Meyer (dalam Utomo. 2002), ada tiga

komponen dalam komitmen organisasional, yaitu :

a) Komitmen Afektif.

Menunjukkan keinginan karyawan untuk melibatkan diri dan mengidentifikasikan diri dengan organisasi karena adanya kesesuaian nilai-nilai dalam organisasi. Karyawan yang tingkat afektifnya tinggi, ingin tinggal dalam organisasi mereka karena percaya organisasi akan membantu dan mau mendorongnya dalam misi organisasi.

b) Komitmen Keberlanjutan.

Komitmen yang timbul karena adanya kekhawatiran terhadap kehilangan manfaat yang diperoleh dari organisasi. Komitmen ini merupakan kekuatan dari keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia membutuhkannya dan tidak bisa meninggalkan organisasi. Kekuatan ini ada karena mereka percaya bahwa organisasi terlalu mahal untuk ditinggalkan.

c) Komitmen Normatif

Komitmen yang muncul karena karyawan merasa berkewajiban untuk tinggal dalam organisasi. Mereka yang tinggi

commit to user

tingkat normatifnya, sangat mempertimbangkan apa alasan dari mereka yang meninggalkan/keluar dari organisasi.

2. Faktor-faktor Yang Menentukan Komitmen Organisasional menurut Mowday et.al dalam Fajariyanti (2003), yaitu :

a) Faktor personal

Faktor-faktor personal meliputi harapan terhadap pekerjaan, karakteristik personal, dan faktor pemilihan pekerjaan.

b) Faktor organisasional

Faktor-faktor organisasional meliputi pengalaman pertama dalam bekerja, keleluasaan pekerjaan, supervisi dan konsistensi tujuan. Keempat komponen itu kemudian membentuk rasa tanggung jawab karyawan.

c) Faktor non organisasional.

Faktor non organisasional yang turut menentukan tingkat komitmen adalah ketersediaan pekerjaan alternatif. Semakin banyak alternatif pekerjaan, semakin rendah tingkat komitmen organisasional seseorang.

commit to user

3. Konsekuensi Komitmen Organisasional

Konsekuensi komitmen organisasional Minner (dalam Cholil & Riani, 2003) diantaranya adalah :

a) Organizational outcome

Organizational outcome, yaitu berkaitan dengan tingkat perputaran tenaga kerja, absentisme, produktivitas, kualitas, dan kuantitas output.

b) Individual Significance

Individual Significance, yaitu adanya kohesivitas antara identitas individu dengan identitas kelompok dan organisasi mendorong terjadinya pemuncakan secara optimal kontribusi, partisipasi, dan akhirnya prestasi. Disamping itu, dapat terjadi kebersamaan pengembangan karier seiring pengembangan organisasi.

E. Upaya

Upaya karyawan sangat menunjang performa dalam menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan oleh perusahaan kepadanya. Dengan upaya yang sungguh-sungguh, diharapkan karyawan akan mendapatkan hasil kerja yang maksimal. Dan memiliki peran yang besar dalam pencapaian tujuan perusahaan.

commit to user

melakukan suatu pekerjaan. Bulent (dalam Yosi Indriastuti, 2005) mengatakan bahwa, upaya merupakan jumlah energi yang dihabiskan oleh karyawan untuk melakukan suatu tindakan per unit waktu yang ada. Sedangkan Brown dan Leigh (dalam Yosi Indriastuti, 2005) mendefinisikan upaya sebagai tingkatan dari komitmen waktu dan intensitas kerja yang

diberikan oleh seseorang untuk mendapatkan kinerja dan

dikonseptualisasikan sebagai proses yang mana motivasi diwujudkan menjadi kerja.

Kinerja dari anggota organisasi berorientasi pada sistem yang secara berkesinambungan untuk mencurahkan upaya keras, agar lingkungan dan tempat kerja dapat mendukung mereka bekerja. Ada tidaknya upaya secara prinsip ditunjukkan melalui sukses atau kegagalan (Yosi Indriastuti, 2005).

Dalam teori atribut perilaku, dikatakan bahwa orang-orang berupaya untuk mengerti penyebab dan konsekuensi dari kinerjanya (Yosi Indriastuti, 2005). Salah satu kunci untuk menjamin upaya yang dilakukan tenaga penjual adalah kemampuan merekrut tenaga penjual sesuai tipe yang “benar”. Kandidat tenaga penjual yang memiliki motivasi diri, akan dapat menjamin upaya yang lebih besar. Selain itu, lingkungan organisasi juga dapat mengatur upaya tenaga penjual yang difasilitasi oleh atasan/supervisor melalui sistem penghargaan ataupun evaluasi kerja.

Dalam teori harapan Vroom (dalam Yosi Indriastuti, 2005) dinyatakan bahwa, individu akan mengikat atau mengatur perilaku mereka

commit to user

tergantung dari nilai penghargaan yang diberikan pada mereka. Teori Vroom merupakan bentuk persepsi dan harapan akan konsekuensi masa depan. Dengan nilai insentif yang lebih besar diharapkan akan diikuti dengan tindakan (upaya) yang lebih besar pula.

Harapan merupakan perwujudan antara tingkat upaya dan kinerja tenaga penjual. Pada saat upaya meningkat, hal ini dipercaya meningkatkan kinerja di dalam penyelesaian tugas, sehingga dapat dikatakan bahwa harapan dalam kondisi ini tinggi. Sebaliknya, ketika harapan rendah maka upaya yang dikerahkanpun menurun. Tingkat harapan pada hasil yang dicapai, memiliki nilai yang berbeda-beda antara orang per orang. Hasil tersebut tergantung dari penghargaan yang diberikan perusahaan berupa gaji/penghargaan keuangan lainnya, dukungan dari rekan kerja, dan dukungan dari pengawas.

Bagozzi (1992) berpendapat bahwa, upaya tenaga penjual adalah sebuah perilaku yang merupakan hasil dari komitmen organisasional tenaga penjual tersebut. Jika seorang tenaga penjual telah memiliki komitmen dalam diri mereka, maka hal tersebut dapat menjadi alasan/motivasi bagi dirinya tentang seberapa besar upaya yang ingin ia lakukan.

1. PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian yang dilakukan oleh Jaramillo et al., (2005) mengenai hubungan antara komitmen organisasional dan upaya karyawan menemukan hasil bahwa, hubungan yang positif antara komitmen organisasional dengan

commit to user

kinerja karyawan pada tenaga penjualan terlihat lebih kuat daripada yang terlihat pada karyawan non penjualan. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Luchak dan Gellatly (2007) mendapati hasil bahwa, perusahaan dengan karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi akan dapat mencapai kinerja jangka panjang yang sangat baik, dimana upaya merupakan aspek yang tercakup di dalamnya.

2. KERANGKA PEMIKIRAN

Dari tinjauan pustaka dan beberapa teori yang ada serta pemahaman terhadap penelitian sebelumnya yaitu berdasarkan hipotesis dan model yang dikembangkan oleh Fu et al., (2009), kerangka pemikiran dalam penelitian ini tampak pada gambar berikut:

Gambar II.1 : Kerangka Pemikiran

Sumber: Fu et al., (2009) Komitmen Afektif Komitmen Normatif Komitmen Keberlanjutan Upaya POS Kepercayaan pada Supervisor Kepuasan Kerja

commit to user Keterangan:

Variabel Anteseden: kepercayaan pada supervisor, perceived organizational support (POS)/dukungan organisasi yang dipersepsikan, dan kepuasan kerja.

Variabel Konsekuen : upaya.

H. HIPOTESIS

Hipotesis yang dibentuk dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya :

1. Pengaruh Komitmen Organisasional pada Upaya Tenaga Penjual.

Penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi (1992) menyebutkan bahwa, upaya penjualan adalah perilaku hasil yang merupakan perwujudan komitmen organisasional yang dimiliki tenaga penjual. Menurut Meyer dan Herscovitch (2001), pola pikir setiap tenaga penjual mempengaruhi perwujudan perilaku yang berbeda dari tiap komitmen organisasional. Fu

et al., (2009) mengemukakan bahwa, komitmen afektif tenaga penjual berpengaruh positif pada upaya tenaga penjual. Komitmen afektif merepresentasikan kedekatan emosional dan identifikasi diri karyawan dengan perusahaan. Seorang tenaga penjual dengan tingkat komitmen afektif yang tinggi, memiliki kemauan besar untuk memberikan hal terbaik

commit to user

bagi perusahaan. Sehingga, mereka bersedia mencurahkan lebih banyak waktu dan intensitas upaya yang tinggi dalam pekerjaaannya. Hal ini konsisten dengan tingkat keinginan yang besar untuk mempertahankan keanggotaan dalam perusahaan (Mowday, Steer, & Porter, 1979).

Berdasarkan teori pertukaran sosial, komitmen normatif didasarkan pada norma balas jasa seseorang atas tindakan perusahaan (Cropanzano & Mitchell, dalam Fu et al., 2009). Tenaga penjual merasa berkewajiban untuk mematuhi segala norma yang mengatur cara mereka berperilaku sebagai balas jasa atas kebaikan perusahaan. Meskipun komitmen normatif dapat meningkatkan upaya tenaga penjual, akan tetapi tidak sebesar pengaruh positif komitmen afektif pada upaya tenaga penjual.

Sedangkan menurut Meyer dan Herscovitch (2001), komitmen keberlanjutan memiliki pengaruh negatif pada upaya, karena komitmen ini didasarkan pada perhitungan biaya dan keuntungan. Dikatakan bahwa, antara aspek-aspek seperti perilaku karyawan, kualitas pelayanan, dan intensitas partisipasi dalam aktifitas profesional memiliki hubungan yang negatif dengan komitmen keberlanjutan (Malhotra & Avinandan, 2003). Seorang tenaga penjual dengan tingkat komitmen keberlanjutan yang tinggi, tetap berada di organisasi/perusahaan karena dia tidak punya pilihan lain. Akan tetapi, bila ada kesempatan lebih baik yang ditawarkan dari perusahaan lain, mereka tidak akan segan-segan meninggalkan perusahaan sekarang demi mendapatkan peluang baik tersebut (Fu et al., 2009). Tenaga penjual seperti ini sangat memperhatikan efisiensi upaya

commit to user

yang dicurahkan untuk perusahaan. Mereka cenderung memberikan upaya sedikit melebihi persyaratan minimum untuk tetap bisa bekerja (Blau, 1964).

H1. Komitmen Afektif dan Komitmen Normatif berpengaruh positif pada Upaya Tenaga Penjual sedangkan Komitmen Keberlanjutan berpengaruh negatif pada Upaya Tenaga Penjual.

2. Pengaruh Kepuasan Kerja pada Komitmen Organisasional.

Penelitian yang dilakukan Fu et al., (2009) mendapati hasil bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif pada tiga komponen komitmen organisasional, yaitu komitmen afektif, normatif, dan keberlanjutan.

Barksdale (2003) menyatakan bahwa, kepuasan kerja tenaga penjual terhadap organisasi (kepuasan terhadap gaji, rekan kerja, dan dengan atasan) berhubungan positif dengan komitmen keberlanjutan. Secara rasional, ketika kepuasan kerja meningkat, maka komitmen keberlanjutan seharusnya juga akan meningkat. Dalam hal ini, karyawan membandingkan biaya dan keuntungan ketika meninggalkan perusahaan. Jika karyawan meninggalkan perusahaan, dia tidak hanya mengorbankan gaji/upah, tetapi juga mengorbankan kepuasan kerja akan hubungan baik dengan rekan kerja dan atasan (Meeker’s, 1977).

Sementara, pengaruh positif kepuasan kerja pada komitmen normatif lebih ditekankan pada rasa tanggung jawab untuk tetap tinggal di

commit to user

perusahaan, sebagai balas jasa atas kebaikan yang telah diberikan perusahaan (Cropanzano & Mitchel, 2005).

Dibandingkan dengan kedua komponen komitmen organisasional di atas (komitmen keberlanjutan dan komitmen normatif), komitmen afektif dianggap paling memiliki hubungan yang kuat dengan kepuasan kerja. Allen dan Meyer (1990) mengatakan bahwa komitmen afektif

Dokumen terkait