• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontaminasi dan Pencemaran Logam Berat dalam Tanah

Tanah merupakan sistem kompleks yang heterogen dimana fenomena-fenomena fisik, kimia dan biologi di dalamnya selalu berkecenderungan untuk menuju kondisi keseimbangan yang dinamik. Sebagai akibat dari faktor-faktor alami dan aktivitas manusia, sistem tanah secara progresif akan selalu berubah, dimana perubahan ini dapat menguntungkan ataupun merugikan (Cottenie et al., 1982).

Kontaminasi atau pencemaran logam berat merupakan salah satu proses dan penyebab degradasi sumber daya tanah yang dapat mengakibatkan menurunnya mutu dan fungsi ekologis tanah (Blum et al., 1993). Secara alami, kontaminasi logam berat terjadi pada tanah-tanah yang berkembang dari batuan induk basa dan ultra basa akibat proses pelarutan dan erosi serta kegiatan vulkanis, sedangkan pencemaran logam berat terutama diakibatkan oleh sumber antropogenik.

Logam berat didefinisikan sebagai unsur-unsur yang memiliki berat jenis > 6 g/cm3 (Lepp, 1981). Sebagian dari logam-logam berat merupakan hara esensial mikro bagi tanaman dan hewan, di antaranya Zn, Cu dan Mn esensial bagi tumbuhan dan Co, Mn, Cu dan Zn essensial bagi hewan ternak (Alloway, 1995). Logam berat lainnya, seperti As, Cd, Cr, Hg, Ni, Pb, Ti dan U bukan merupakan hara esensial. Salah satu sifat logam berat yang umum di dalam tanah adalah jumlahnya yang sedikit, umumnya < 100 mg/kg dan tidak diperlukan atau hanya diperlukan dalam jumlah sedikit oleh tumbuhan, hewan dan manusia, sehingga akan bersifat meracun terhadap makhluk hidup bila kadarnya melewati batas–batas tertentu (Sposito, 1989 dalam Salam, 1995).

Menurut Lacatusu (1998), kontaminasi tanah merujuk pada kisaran kadar logam berat yang terukur di dalam tanah yang belum atau tidak akan segera memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan komponen lingkungan lainnya. Pencemaran tanah merujuk pada kisaran kadar

4

logam berat yang telah memberikan efek negatif terhadap beberapa atau seluruh komponen lingkungan.

Sumber Logam Berat dalam Tanah

Secara alami, umumnya logam-logam berat dijumpai dalam sistem tanah sebagai penyusun mineral dalam batuan induk. Menurut Mitchell (1964 dalam Alloway 1995), mineral umum penyusun batuan yang mengandung logam berat adalah olivin, hornblende, augit, biotit, apatit, anortit, andesin, oligoklas, albit, garnet, ortoklas, muskovit, ilmenit dan magnetit. Selain berasal dari pelapukan mineral dan batuan, menurut Alloway (1995), sumber lain logam berat dalam tanah adalah deposisi dari pertambangan dan peleburan bijih logam, bahan-bahan dari pertanian dan hortikultura (pestisida, sisa-sisa pengomposan, dll), lumpur limbah, pembakaran bahan bakar fosil, limbah dari industri-industri logam, industri elektronik dan industri bahan kimia, dll.

Pada Tabel 1 disajikan kisaran dan rata-rata kadar beberapa logam berat dalam tanah di negara maju.

Tabel 1. Kisaran dan Rata-rata Kadar Beberapa Logam Berat dalam Tanah di Negara Maju

Sumber: Lindsay (1979)

Kadar dalam tanah (mg/kg) Logam berat Berat Atom

Kisaran Rata-rata As 74.96 1-5 5 Cd 112.40 0.01-0.70 0.06 Co 58.93 1-40 8 Cr 52.00 1-1000 100 Cu 63.54 2-100 30 Mn 54.94 20-3000 600 Ni 58.71 5-500 40 Pb 207.19 2-200 10 Zn 65.37 10-300 50

5

Perilaku Logam Berat dalam Tanah

Dalam tanah, ion-ion logam dijumpai dalam berbagai bentuk kimia. Selain diretensi dalam bentuk kompleks dan presipitat pada fase padatan tanah, sebagian logam berat berada dalam bentuk kation dan anion bebas dalam larutan tanah, sebagai organo-mineral yang larut serta terjerap dalam koloid tanah (Cottenie dan Verloo, 1984). Menurut Verloo (1993), keseluruhan logam berat yang ada di dalam tanah dapat dipilahkan menjadi berbagai fraksi atau bentuk, yaitu: (1) larut air, berada dalam larutan tanah; (2) tertukarkan, terikat pada tapak-tapak jerapan (adsorbtion sites) pada koloid tanah dan dapat dibebaskan oleh reaksi pertukaran ion; (3) terikat secara organik, berasosiasi dengan senyawa humus yang tidak terlarutkan; (4) terjerat (occluded) di dalam oksida besi dan mangan; (5) pada senyawa-senyawa tertentu, seperti karbonat, fosfat, dan sulfida; serta (6) terikat secara struktural di dalam mineral silikat atau mineral primer.

Keberadaan logam berat dalam tanah dipengaruhi oleh pH tanah, kadar bahan organik, kapasitas tukar kation dan keadaan oksidasi-reduksi (Jones dan Jarvis, 1981). Ketersediaan kation-kation logam menurun dengan meningkatnya pH tanah. Dengan naiknya pH, bentuk kation logam berubah menjadi bentuk-bentuk hidroksida atau oksida (Soepardi, 1983). Secara umum kelarutan dan ketersediaan logam berat terhadap tanaman lebih rendah pada tanah dengan KTK tinggi (Alloway, 1995).

Beberapa logam berat, seperti Cu dan Zn, dapat membentuk komplek yang kuat dengan bahan organik. Kompleks-kompleks dapat larut ataupun tidak larut yang stabil tersebut dapat terbentuk akibat terikatnya logam-logam tersebut oleh grup-grup fungsional karboksil dan fenolik dalam bahan organik (Stevenson, 1982). Melalui reaksi oksidasi-reduksi, kapasitas tanah dalam meretensi logam berat dipengaruhi oleh kadar air. Misalnya, Cu dan Zn lebih larut dibandingkan Fe, Mn dan Al pada tanah yang aerob (Bohn et al., 1979).

6

Serapan Logam Berat oleh Tanaman

Setiap tanaman memiliki sifat yang berbeda dalam hal penyerapan logam berat dalam tanah. Kapasitas tanaman dalam mengakumulasikan logam berat bergantung kepada spesies, kultivar, bagian tanaman, umur dan fisiologisnya. Alloway (1995) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah logam berat yang dapat diserap tanaman adalah: (1) kadar logam berat dalam larutan tanah, (2) pergerakan ion logam berat dari bahan padatan tanah ke permukaan akar, (3) pergerakan ion logam berat dari permukaan akar ke bagian dalam akar tanaman, serta (4) pergerakan logam berat dari jaringan akar ke jaringan tanaman lainnya.

Proses-proses utama dalam pergerakan ion-ion logam dari larutan tanah ke akar tanaman adalah melalui (a) aliran massa, dengan larutan tanah sebagai penggeraknya ke akar, (b) difusi, melalui larutan tanah yang mengalami penurunan gradien konsentrasi yang disebabkan oleh serapan ion oleh akar tanaman, serta (c) intersepsi akar, yaitu pergerakan akar memasuki ruang yang sebelumnya ditempati oleh unsur-unsur yang dapat diserap oleh tanaman (Jones dan Jarvis, 1981; Leiwakabessy, 1988).

Penyerapan logam berat oleh akar tanaman dapat berlangsung secara aktif maupun pasif. Penyerapan secara pasif melalui difusi ion dari larutan tanah ke lapisan endodermis akar, sedangkan penyerapan logam berat secara aktif terjadi dengan melawan gradien konsentrasi sehingga dibutuhkan energi metabolisme. Penyerapan Pb berlangsung secara pasif, sedangkan Cu, Mo, dan Zn penyerapannya secara aktif ataupun kombinasi kedua cara tersebut (Alloway, 1995).

Pada umumnya, sebagian besar logam berat yang diserap tanaman diakumulasikan di bagian akar (Jones dan Jarvis, 1981). Berdasarkan hasil penelitian Notohadiprawiro (1995), kebanyakan tanaman dikotil menyerap logam berat lebih banyak dibandingkan tanaman monokotil. Tanaman cenderung menyerap Cd dan Zn lebih banyak di bagian vegetatifnya sedangkan Ni dan Cu lebih banyak di organ generatif.

7

Tembaga

Perilaku Tembaga dalam Tanah

Rata-rata kadar tembaga (Cu) kerak bumi adalah 50 ppm (Taylor, 1964 dalam Soepardi, 1983). Kisarannya di dalam tanah mulai dari 10 sampai 80 ppm (Goldschmidt, 1954 dalam Soepardi, 1983). Di alam Cu umumnya terdapat dalam bentuk sulfida, walaupun ada juga bentuk-bentuk yang kurang stabil seperti silikat, karbonat dan sulfat. Bentuk sulfida yang paling banyak adalah Chalcopyrite (CuFeS2) (Alloway, 1995). Bentuk-bentuk silikat, karbonat, sulfat, klorida dan lain-lain merupakan mineral-mineral Cu (II) yang relatif lebih larut sehingga sukar dijumpai lagi di daerah-daerah yang sudah sangat tercuci (Leiwakabessy, 2004).

Bentuk-bentuk kimia Cu di dalam tanah banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat penyusun tanah. Fraksionasi terhadap Cu di dalam tanah yang dilakukan oleh McLaren dan Crawford (1973) menunjukkan bahwa bentuk Cu dalam tanah adalah sebagai berikut: (1) Cu dalam larutan tanah dan bebas dipertukarkan; (2) Cu yang diikat dengan lemah oleh ikatan atau senyawa inorganik; (3) Cu yang diikat oleh senyawa organik; (4) Cu yang berikatan dengan oksida bebas; serta (5) residu Cu yang terikat pada kisi-kisi struktur liat.

Krauskopf (1972) menerangkan bahwa mineral liat mempunyai kapasitas jerapan yang berbeda terhadap logam berat. Tembaga dijerap oleh mineral liat menurut deret: montmorilonit > ilit > kaolinit, dan pada seluruh liat jerapan meningkat sebanding dengan peningkatan pH.

Tisdale dan Nelson (1975) menyebutkan bahwa perilaku Cu dalam tanah dipengaruhi oleh KTK, tekstur, bahan organik dan pH tanah. Makin halus tanah, maka makin banyak total Cu dalam tanah. Ketersediaan Cu yang rendah pada pH yang tinggi mencerminkan penurunan pembebasan Cu dari pelarutan mineral, peningkatan pengkompleksan Cu oleh bahan organik tanah, jerapan oleh permukaan komponen inorganik tanah dan pemampatan oleh hidroksida dan oksida tanah.

8

Keberadaan Tembaga dalam Tanaman

Tembaga merupakan salah satu hara esensial bagi tanaman. Pada umumnya kadar Cu dalam jaringan tanaman berkisar 5-25 ppm. Besarnya akumulasi Cu berbeda pada jenis tanaman dan kultivar yang berbeda (Alloway, 1995). Pada umumnya, sebagian logam berat yang diserap tanaman diakumulasikan pada bagian akar dibandingkan bagian tanaman lainnya (Jones dan Jarvis, 1981).

Fungsi Cu dalam tanaman berhubungan dengan enzim. Tembaga merupakan komponen beberapa enzim seperti ascorbic acid oxydase, phenol oxydase, lactase dari diamine oxydase, citokrom oxydase dan plastocyanimine (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

Pada spesies tanaman tertentu, kadar Cu yang berlebihan dalam tanaman akan bersifat racun. Menurut Lepp (1981), kadar Cu yang tinggi dalam jaringan tanaman menyebabkan mitosis, peningkatan aktivitas enzim katalase dan IAA-oksidase, peningkatan aktivitas enzim perIAA-oksidase, penurunan asam nukleat, khususnya dalam embrio, mengurangi aktifitas amilase, dan RNA-ase, serta mengurangi aktifitas protease dalam endosperma.

Pengaruh Pengapuran dan Aplikasi Bahan Organik terhadap Sifat Kimia Tanah dan Ketersediaan Logam Berat

Faktor-faktor yang menentukan kapasitas tanah dalam meretensi, menjerap dan mengakumulasikan logam berat terutama adalah tekstur, kadar air, redoks, pH, kadar bahan organik, dan kapasitas tukar kation (KTK) (Bohn et al., 1979; Lindsay, 1979; Stevenson, 1994). Semakin tinggi KTK tanah, semakin tinggi pula jumlah logam berat yang dapat diretensi oleh tanah tersebut sehingga potensi terjadinya pencemaran berkurang.

Kapasitas sangga tanah terhadap logam berat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pH, kadar bahan organik dan KTK tanah. Sudadi et al. (1996; 1997) menggunakan kapur pertanian, bahan organik dan zeolit untuk meningkatkan nilai ketiga karakteristik tanah tersebut pada tanah bertekstur lempung berpasir yang ditanamani jagung dalam rumah kaca untuk mempelajari status Cd, Cu, Pb, dan Zn dalam tanah dan tanaman uji. Hasilnya menunjukkan

9

peningkatan kapasitas sangga tanah terhadap logam-logam berat tersebut yang diindikasikan dari menurunnya kadar fraksi logam berat yang dapat diserap tanaman dalam tanah.

Pengapuran

Pengapuran merupakan salah satu usaha untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Sifat kimia yang diperbaiki dengan adanya pengapuran adalah meningkatnya pH tanah, meningkatnya ketersediaan hara esensial, serta menurunnya aktivitas Al, Fe dan Mn yang bersifat racun bila berlebihan. Oleh sebab itu, perkembangan akar tanaman menjadi optimum akibat pengapuran (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

Menurut Tisdale et al. (1985), bila diberikan pada takaran yang tepat, pengapuran memberikan pengaruh yang positif, antara lain: (1) mengurangi aktivitas ion H pada tanah dengan pH < 4.5, sehingga pH dapat ditingkatkan; (2) peningkatan pH tanah selanjutnya diikuti oleh penurunan kelarutan logam-logam berat selain Mo; serta (3) meningkatkan muatan negatif tanah sehingga KTK tanah ditingkatkan. Dengan demikian, pengapuran dapat meningkatkan kapasitas retensi tanah terhadap logam berat.

Bahan kapur yang ada dan diperdagangkan di Indonesia bermacam-macam, namun yang umum digunakan adalah dari golongan karbonat, baik dalam bentuk dolomit maupun kalsit. Dolomit selain mengandung Ca juga mengandung Mg, sehingga dolomit akan berpengaruh baik bagi tanah yang memiliki kadar Mg yang rendah (Soepardi,1983).

Bahan Organik

Bahan organik merupakan sistem kompleks yang dinamis, berasal dari sisa tanaman dan binatang yang terdapat dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk karena dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia dan biologi. Komponen-komponen yang menyusun bahan organik adalah karbohidrat, selulosa, protein, lignin, lemak, dan asam-asam organik, seperti asam humik, fulvik, serta alkohol dan aldehida (Kononova, 1966). Komponen-komponen organik dalam tanah merupakan agen-agen efektif untuk proses pengkelatan

10

logam berat dan kelarutan logam-logam tersebut bergantung kepada kekuatan mengikat dan mobilitas kelat yang terbentuk (Singh dan Steiness, 1990).

Singh dan Steiness (1990) menyatakan bahwa logam-logam berat dikelat oleh bahan bahan organik tanah dengan urutan Cu > Cd > Zn > Pb dan pengaruh ini sangat tergantung pada pH dan jenis mineral dalam tanah.

Senyawa organik memiliki kemampuan dalam mengkelat kation-kation logam polivalen. Diperkirakan bahan organik mampu mengkelat 98 - 99 % Cu, 75 % Zn dan 84 - 99 % Mn dengan stabilitas kelat yang tinggi (Hodgson et al., 1966; Geering et al., 1969; Stevenson, 1981 dalam Sudadi et at., 1996 ).

Tomat

Tomat (Lycopersicon esculentum) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang termasuk dalam famili Solanaceae. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor tumbuh yaitu tanah, air, temperatur, cahaya, kelembaban udara dan organisme pengganggu tanaman (OPT). Tanaman dapat tumbuh dengan baik bila tanahnya mengandung lempung dan beraerasi baik, selain itu kelembaban relatif yang tinggi (95%) akan merangsang pertumbuhan. Temperatur yang rendah di sekitar tanaman, lebih rendah dari 130C, akan menghambat penyerapan unsur hara nitrogen dan kalium (Sahat, 1989).

Dokumen terkait