• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Balita

Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Soetjiningsih 1995). Umur balita merupakan salah satu fase perkembangan individu. Berdasarkan karakteristiknya yang baru lepas dari masa bayi (0?1 tahun), maka umur balita perlu dilakukan pemisahan dengan tahap perkembangan lainnya (Hurlock 1999). Tahun?tahun awal masa kanak?kanak yaitu umur satu hingga enam tahun berada dalam situasi yang rawan (Suhardjo 1989). Menurut Sediaoetama (2008), anak balita juga merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat?zat gizi yang tinggi setiap kg berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi.

Pertumbuhan dan Perkembangan Balita

Pertumbuhan ( #) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pon, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Perkembangan ( ) adalah bertambahnya kemampuan ( ) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Pertumbuhan lebih menekankan pada aspek fisik, sedangkan perkembangan pada aspek pematangan fungsi organ, terutama kematangan sistem saraf pusat (Supariasa 2002).

Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley & Wong 1995, diacu dalam Hidayat 2004). Peristiwa pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan tentang besarnya, jumlah, ukuran di dalam tingkat sel, organ maupun individu, sedangkan peristiwa perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional dan intelektual. Proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak setiap individu akan mengalami siklus berbeda setiap kehidupan manusia, peristiwa tersebut

dapat secara cepat maupun lambat tergantung dari individu dan lingkungan (Hidayat 2004).

Pertumbuhan pesat terjadi pada masa bayi dan prasekolah, dimana anak sangat sensitif terhadap lingkungannya. Status pertumbuhan anak pada masa ini secara luas dipakai untuk mengukur bagaimana kualitas lingkungan anak tersebut. Agar anak tumbuh kembang dengan optimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, harus mendapat dukungan yang positif dari lingkungan di sekitar anak tersebut (Soetjiningsih 1995).

Gizi pada Balita

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolism dan pengeluaran zat?zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ?organ, serta menghasilkan energi (Supariasa 2002). Kebutuhan gizi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan pada balita. Gizi adalah salah satu komponen yang penting dalam menunjang keberlangsungan proses pertumbuhan dan perkembangan yang menjadi kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang selama masa pertumbuhan serta mencegah terjadinya berbagai penyakit akibat kurang gizi dalam tubuh seperti kekurangan energi dan protein, anemia, defisiensi iodium, defisiensi seng (Zn), defisiensi vitamin A, defisiensi thiamin, defisiensi kalium dan lain?lain yang dapat menghambat proses tumbuh kembang balita. Terdapat kebutuhan zat gizi yang diperlukan seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Kebutuhan zat?zat gizi tersebut sangat diperlukan pada masa? masa balita, apabila kebutuhan tersebut tidak atau kurang terpenuhi maka dapat menghambat dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Terpenuhinya kebutuhan gizi pada balita diharapkan balita dapat tumbuh dengan cepat sesuai dengan umur tumbuh kembang dan dapat meningkatkan kualitas hidup serta mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas (Hidayat 2004).

Karekteristik Keluarga

Keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat yang sekurang? kurangnya terdiri dari orangtua dan anak. Orangtua, khususnya ibu, sebagai pengasuh dan pendidikan anak dalam keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan anak (suhardjo 1989). Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda?beda dalam hal pengasuhan anak. Kebiasaan

ini di pengaruhi oleh karakteristik yang khas bagi keluarga tersebut, meliputi besar keluarga, umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaaan orangtua, status social ekonomi keluarga, serta pengetahuan gizi akses ibu terhadap informasi gizi dan kesehatan.

Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Menurut cahyaningsih (1999), besar keluarga akan mempengaruhi pembentukan tingkah laku anak. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orang tua. Jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari satu tahun maka perhatian ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan khusus (Soekirman 1994)

Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran untuk pangan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pendapatan per kapita atau pengeluaran untuk pangan per kapita menurun dengan semakin besarnya keluarga, serta meningkatkan persentase pengeluaran keluarga untuk pangan (Sanjur 1982).

Umur Orangtua

Orangtua muda, terutama ibu, cenderung kurang penegtahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan cenderung akan menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008).

Pendidikan Orangtua

Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah seseorang dalam menerima informasi (Hidayat 2004). Tingkat pendidikan yang rendah menandakan minimnya kualitas sumberdaya manusia dan berdampak buruk terhadap aspek kehidupan secara keseluruhan. Lamanya sekolah atau pendidikan ( # ) adalah sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (BPS 2007, diacu dalam Khomsan 2007).

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari?hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Madanijah (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, # , dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga.

Pendidikan ibu tidak berhubungan secara langsung dengan pertumbuhan anak, namun melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas dan efisiensi penjagaan kesehatan, peningkatan pengasuhan, karakteristik keluarga, peningkatan nilai dan tingkat kesukaan dalam keluarga (Atmarita 2004, diacu dalam Sukandar 2008). Status pendidikan keluarga dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga dengan tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan sulit meyakini pentingnya pemenuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat 2004).

Pekerjaan Orangtua

Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan social ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain, seperti kesehatan. Ibu dengan pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi, serta posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas, sehingga beresiko tinggi memiliki anak yang kurang gizi (Sukarmi 1994).

Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja diluar rumah, melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Menurut satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu yang

bekerja di luar rumah akan menaikan nilai sosialnya, namun pada saat yang sama ibu yang bekerja mengakibatkan menurunnya kesehatan anak?anak.

Status Sosial Ekonomi Keluarga

Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, hal ini dapat terlihat anak dengan sosial ekonomi tinggi tentunya pemenuhan kebutuhan gizi sangat cukup baik dibandingkan dengan anak dengan sosial ekonominya rendah (Hidayat 2004). Peningkatan pendapatan rumah tangga, belum tentu bermuara pada perbaikan gizi anggota rumah tangga yang rawan, terutama anak balita, wanita hamil dan wanita menyusui (Soekirman 2000)

Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orangtua terhadap anaknya. Semakin otoriter pengasuhan anak, semakin besar kemungkinan anak untuk tidak patuh (Hurlock 1998). Pada umumnya sifat pola asuh yang lebih otorittarian dijumpai pada keluarga dengan kondisi ekonomi rendah dan pada anak?anak yang tinggal di pedesaan (Briawan & Herawati 2005).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa telaahan konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi kedua informasi ini (jenis pangan dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting (Hardinsyah & Briawan 1994). Tujuan dalam mengonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh.

Secara umum rumus yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi konsumsi makanan yang berasal dari pangan yang beragam adalah:

Kgij = ∑ (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

keterangan: Kgij = penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan atau

pangan j yang dikonsumsi Bj = berat bahan makanan j (gram)

Gij = kandungan zat gizi i dari bahan makanan j

Konsumsi pangan tingkat individu atau perorangan dapat dilakukan antara lain dengan metode 24 jam dan metode frekuensi makanan (

$ ". Prinsip dari metode 24 jam, dilakukan dengan cara mengingat dan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini enumerator minta agar responden mengingat?ingat secara terperinci apa yang telah dikonsumsi dalam 24 jam hari terakhir tersebut. Untuk keperluan ini digunakan alat bantu misalnya ukuran? ukuran rumah tangga, model pangan, dan sebagainya untuk menentukan perkiraan?perkiraan konsumsi pangan yang lebih mendekati. Cara ini relatif cepat dan murah, tetapi mengandung subyektivitas tinggi dan menimbulkan kesalahan sistematik (Suhardjo 1989). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali 24 jam tanpa berturut?turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang harian individu. Sedangkan metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun (Supariasa & Bakri 2001).

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidupnya, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada didalam makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier, 2003)

Konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status gizi. Konsumsi makanan menyangkut kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi seseorang. Semakin baik kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi seseorang, maka semakin baik pula status gizi orang tersebut, begitu juga sebaliknya semakin buruk tingkat konsumsi seseorang maka semakin buruk juga staus gizi orang tersebut.

Konsumsi makanan oleh keluarga / masyarakat tergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan perorangan. Hal ini tergantung pula pada pendapatan, agama, adat kebiasaan dan pendidikan. Tujuan akhir dari konsumsi dan kegunaan makanan oleh tubuh adalah tercapainya status gizi yang optimal (Almatsier, 2001)

Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

Menurut Khomsan (2004) bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului dengan terjadinya bencana kurang pangan dan keaparan sehingga upaya penangulangannya memerlukan pendekatan. Salah satunya adalah dengan memperbaiki aspek makanan.

Menurut Wiyati (2004), anak balita atau disebut juga anak prasekolah adalah anak?anak yang berumur di bawah 5 tahun. Anak balita merupakan salah satu sasaran utama program gizi. Sejak usia tertentu, disamping ASI (air susu ibu) anak balita juga diberi makanan tambahan. Makanan tambahan adalah makanan yang diberikan untuk membantu mencukupi kebutuhan akan zat gizi yang diperlukan. Agar dapat memenuhi fungsinya, makanan tambahan bermutu baik (Hermana 1985 dalam Wiyati 2004).

FAO/WHO (1994) telah menerbitkan petunjuk mengenai pengembangan formula makanan bagi anak balita. Disebutkan bahwa energi yang dapat disajikan tiap 100 gram produk, minimal sebanyak 400 Kal. Komposisi zat gizi dari formula makanan tambahan untuk anak balita dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan

Zat Gizi Jumlah per 100 g

Energi (kal) 400 Protein (g) 15 Lemak (g) 10?25 Vitamin A (Rg RE) 266.7 Vitamin D (Rg) 6.7 Vitamin E (mg) 3.3 Vitamin C (mg) 13.3 Tiamin (mg) 0.3 Riboflavin (mg) 0.5 Niasin (mg) 6 Vitamin B6 (Rg) 0.6 Asam Folat (Rg) 33.3 Vitamin B12 (Rg) 0.7 Kalsium (mg) 533.3 Besi (mg) 8 Zink (mg) 6.67

Semakin meningkat usia anak balita, semakin meningkat pula kebutuhan akan zat?zat gizi yang harus tersedia dalam makanan. Angkakecukupan zat gizi rata?rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Angka kecukupan zat gizi rata?rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita (per orang per hari)

Golongan Umur

0?6 bulan 7?11 bulan 1?3 tahun 4?6 tahun

Berat Badan (kg) 6.0 8.5 12 18 Tinggi Badan (cm) 60 71 90 110 Energi (kkal) 550 650 1000 1550 Protein (g) 10 16 25 39 Vitamin A (RE, Rg) 375 400 400 450 Tiamin (mg) 0.2 0.4 0.5 0.8 Riboflavin (mg) 0.3 0.4 0.5 0.6 Piridoksin (mg) 0.1 0.3 0.5 0.6 Niacin (mg) 2 4 6 8 Vitamin B12 (mg) 0.4 0.5 0.9 1.2 Asam Folat (mg) 65 80 150 200 Vitamin C (mg) 40 50 40 45 Kalsium (mg) 200 400 500 500 Fosfor (mg) 100 225 400 400 Besi (mg) 0.3 10 7 8 Seng (mg) 5.5 7.5 8.2 9.7 Iodium (Rg) 90 120 90 120

Sumber. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004

Pangan Fungsional

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI 2005).

Biskuit Fungsional

Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makann lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Dalam prosesnya, biskuit juga dapat ditambahkan dengan bahan tambahan pangan yang dijinkan. Biskuit sifatnya mudah di bawa karena volume dan beratnya beratnya kecil dan umur simpan yang relatif lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandugan gula dan shotening serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi & Faubion 1990).

Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01? 2973?1992 seperti yang terdapat pada tabel 3. Selain itu biskuit umumnya berwarna cokelat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan kuran seragam,

kering, renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz 1978).

Tabel 3 Syarat mutu biskuit

Komponen Syarat Mutu

Air Maksimum 5%

Protein Minimum 9%

Lemak Minimum 9.5%

Karbohidrat Minimum 70%

Abu Maksimum 1.5%

Logam Berbahaya Negatif

Serat Kasar Maksimum 0.5%

Kalori (per 100 gr) Minimum 400

Jenis Tepung Terigu

Bau dan Rasa Normal, tidak tengik

Warna Normal

Sumber: Standar Nasional ndonesia 1992

Lele dunmbo (C ) merupakan salh satu jenis lele yang memiliki ukuran besar yang dikembangkan di indonesia. Protein ikan lele tergolong istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga pelengkap mutu protein. Protein ikan lele mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup( FAO 1972 dalam Astawan 2008).

Biskuit dengan subsitusi tepung ikan lele dumbo dan isolate protein kedelai yang dikembangkan oleh % # &''( merupakan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele dumbo ( ) dan isolat protein kedelai. Komposisi dari PMT biskuit terdiri dari : tepung ikan lele (tepung daging dan tepung kepala), tepung terigu, isolat protein kedelai, telur ayam, gula bubuk, margarin, mentega, dan susu. Dengan komposisi demikian memberikan sumbangan zat gizi yang cukup tinggi. Berikut formulasi biskuit dengan tambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Tabel4 Formulasi biskuit dengan tambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Komponen %

Tepung ikan lele 3.5

Tepung kepala ikan lele 1.5

Isolat protein kedelai 10

Tepung terigu 25 Gula bubuk 18 Telur 18 Margarin 9 Mentega 9 Tepung susu 6 Total 100 Baking powder 0.008 Soda kue 0.004

Dalam 50 g biskuit lele mengandung energi 240 kkal dan protein sebanyak 10 g. Hasil pengukuran daya cerna protein dengan metode enzimatik secara in vitro sebesar 89.34% (Mervina 2009), tergolong sedang karena nilainya menyerupai daya cerna kacang kacangan (FAO/WHO/UNU 1994)

Gambar 1 Biskuit Tepung Ikan Lele Dumbo Pola Asuh Pengasuhan Anak Balita

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan dan memberikan kasih sayang. Hal ini seluruhnya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan anak yang baik, sifat pekerjaan sehari?hari, dan sebagainya.

Kejadian gizi kurang pada anak sangat ditentukan oleh praktek pengasuhan dalam keluarga. penelitian yang dilakukan oleh Engel (1997) membuktikan bahwa kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai peranan penting bagi tumbuh kembang anak.

Kondisi Lingkungan

Kondisi lingkungan adalah segala sesuatu baik benda maupun keadaan yang berada disekitar manusia yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau kelompok masyarakat. Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Menjaga lingkungan hidup yang sehat dapat dilakukan dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menjaga saluran air agar tidak mampet.

a. Sanitasi Lingkungan Perumahan

Keadaan perumahan merupakan salah satu faktor yang menentukan keadaan hygene dan sanitasi lingkungan. Rumah merupakan tempat

manusia berlindung dari panas, terik matahari, hujan dan lain?lain yang dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan kenyamanan manusia. Menurut Latfiah et al (2002) rumah dikatakan sehat jika memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bamboo. Lantai tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut.

2. Atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes, gelombang, seng, sirap, dan nipah

3. Dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan dibersihkan dengan mudah. Menurut Depkes (2008) penggunaan jenis dinding dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteran masyarakat. Secara nasional sebanyak 63,74 % rumahtangga telah menggunakan dinding tembok.

4. Ventilasi udara biasanya berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang angin.Fungsi ventilsi udara adalah untuk pertukaran udara agar di dalam rumah tetap bersih dan segar. Sebaiknya setiap ruangan mempunyai sedikitnya satu buah jendela yang bias dibuka dan ditutup sehingga udara dapat mengalir lancer.

5. Rumah harus mendapatkan cahaya yang cukup, baik pada siang hari maupun malam hari. Usahakan setiap ruangan mendapatkan sinar matahari, terutama pada pagi hari. Sumber cahaya malam hari dapat berupa lampu listrik, petromak, atau lampu minyak tanah.

6. Rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat.

7. Jumlah kamar mandi sebaiknya disesuaikan dengan jumlah annggota keluarga. Jika anggota keluarga ada empat orang maka paling sedikit harus ada satu kamar mandi. Setiap kamar mandi biasanya dilengkapi dengan jamban atau WC.

8. Rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah

9. Kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya. Selain itu kandang ternak harus memiliki tempat pembuangan kotoran.

b. Sumber air

Air sangat penting untuk kehidupan, kebutuhan air sangat mutlak, 73 % dari bagian tubuh tanpa jaringan lemak air. Sumber air di dalam terdiri atas : 1. Air dalam tanah terdiiri dari mata air,dan air sumur.

2. Air permukaan, terdiri dari air sungai, air danau, dan air rawa. 3. Air dari angkasa, terdiri dari air hujan dan air embun.

Air sumur merupakan sumber air yang dipergunakan masyarakat Indonesia, kira?kira 45 %. Air sumur harus dilindungi terhadap bahaya pengotoran dan pencemaran agar memenuhi syarat kesehatan sebagai air rumahtangga. Sumber air minum sering menjadi sumber pencemar pada penyakit water borne disease. Oleh karena itu sumber air minum harus memenuhi syarat lokalisasi dan konstruksi (Depkes 2008). Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002) sumur yang baik harus memenuhi syarat?syarat sebagai berikut :

Lokasi / tempat

Syarat lokalisasi bertujuan agar sumber air minum terhindar dari kotoran, sehingga perlu diperhatikan jarak sumber air minum dengan cubluk (kakus) lubang galian sampah, lubang galian untuk air limbah dan sumber?sumber pengotor lainnya. Menurt Widyati dan Yuliarsih (2002) jarak sumur dengan WC minimum 10 meter.

Konstruksi

Dinding sumur satu meter di atas tanah dan tiga meter dalam tanah harus dibuat dari tembok (disemen) yang tidak tembus air agar perembesan air dari sekitar tidak terjadi.

c. Pembuangan sampah dan Limbah

Sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai lagi dan harus dibuang. Terdapat hubungan antara sampah dengan penyakit?penyakit yang ditulari

Dokumen terkait