• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Nandika et al. (2003) sistematika dari rayap (C curvinagthus Holmgren) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Isoptera Famili : Rhinotermitidae Genus : Coptotermes

Spesies : Coptotermes curvinagthus Holmgren

Gambar 1 : Siklus hidup rayap Sumber :

Bentuk telur rayap ada yang berupa butiran yang lepas dan ada pula yang berupa kelompok terdiri dari 16 – 24 butir telur yang melekat satu sama lain. Telur – telur ini berbentuk silinder dengan ukuran panjang yang bervariasi antara 1 – 1,5 mm (Gambar 1). Telur C. curvignathus akan menetas setelah berumur 8 – 11 hari (Nandika et al., 2003).

Dalam perkembangan hidupnya C. curvignathus berada dalam lingkugan yang sebagian besar diatur dalam koloni dan terisolir dari pengaruh nimfa sesuai dengan kebutuhan koloni. Nimfa – nimfa yang sedang tumbuh dapat diatur menjadi anggota kasta, yang diperlakukan bahwa nasib rayap dewasa an siap terbang dapat diatur (Borror dan De Long, 1992).

Kasta Rayap

Rayap hidup dalam sebuah koloni yang terdiri dari berbagai kelompok individu dengan bentuk luar (morfologi) dan fungsi yang berbeda. Kelompok individu tersebut dinamakan kasta.Terdapat tiga kasta yaitu kasta reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja. Koloni rayap akan bertahan hidup jika memiliki kelengkapan kasta dan sebaliknya koloni akan musnah jika salah satu kasta mengalami kematian (Rismayadi dan Ariana, 2007).

Kasta Reproduktif

Kasta ini terdiri atas reproduktif primer dan reproduktif suplementer. Kasta reproduktif primer berasal dari rayap dewasa atau laron (Hasan, 1986). Jika mereka mati bukan berarti koloni rayap akan berhenti bertumbuh. Koloni akan membentuk ratu dan raja baru dari individu lain (biasanya dari kasta pekerja) (Gambar 2), tetapi ukuran abdomen ratu baru tak akan membesar seperti ratu asli.

Ratu dan raja baru ini disebut reproduktif suplementer atau neoten (Tarumingkeng, 2001).

Gambar 2 : Rayap kasta reproduktif Sumber : Kasta Prajurit

Kasta prajurit memiliki bentuk kepala yang bervariasi antar jenis rayap yang berbeda sehingga variasi tersebut dapat digunakan di dalam mengidentifikasi jenis rayap. Bentuk kepala kasta prajurit khas, karena berwarna lebih tua dibandingkan anggota tubuh lainnya, serta memiliki capit atau mandible (Gambar 3). Struktur tersebut berfungsi untuk mencapit sehingga kasta prajurit memiliki peran sebagai prajurit yang akan bertempur melawan musuh – musuhnya seperti dari gangguan semut atau gangguan tangan manusia sekalipun. Beberapa jenis rayap seperti Schedorhinotermes memiliki lebih dari satu ukuran

kasta prajurit yang dikenal sebagai prajurit mayor dan minor (Rismayadi dan Ariana, 2007).

Gambar 3 : rayap kasta prajurit Sumber :

Kasta Pekerja

Kasta pekerja merupakan anggota yang sangat penting dalam koloni rayap, dengan jumlah populasi tidak kurang dari 80-90%. Kasta ini dicirikan oleh tanpa sayap, buta, dapat berkelamin jantan atau betina, umumnya berwarna pucat (putih atau krem) dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa (Gambar 4). Untuk mencegah pengeringan, pekerja tinggal di bawah tanah, di dalam kayu atau di dalam terowongan yang dibangun. Rayap ini jarang terlihat kecuali sarangnya terbuka. Kebanyakan pekerja menghabiskan seluruh hidupnya untuk mencari makan dan memelihara koloni. Pekerja memberi makan seluruh koloni, membangun tabung lumpur, menggali dan memperbaiki sarang ketika rusak. Para pekerja muda tinggal dalam sarang merawat telur dan nimfa sedangkan para pekerja yang lebih tua, lebih kuat dan lebih besar membangun sarang dan mencari untuk makanan. Rayap pekerja dapat

mencapai dewasa dalam setahun dan bisa hidup sekitar dua tahun (Nandika et al., 2003).

Gambar 4 : Rayap kasta pekerja Sumber :

Perilaku Rayap

Semua rayap makan kayu dan bahan berselulosa, tetapi perilaku makan (feeding behavior) jenis-jenis rayap bermacam – macam. Hampir semua jenis kayu potensial untuk dimakan rayap. Memang ada yang relatif awet seperti bagian teras dari kayu jati tetapi kayu jati kini semakin langka. Untuk mencapai kayu bahan bangunan yang terpasang rayap dapat keluar dari sarangnya melalui terowongan – terowongan atau liang-liang kembara yang dibuatnya. Bagi rayap subteran (bersarang dalam tanah tetapi dapat mencari makan sampai jauh di atas tanah), keadaan lembab mutlak diperlukan. Hal ini menerangkan mengapa kadang – kadang dalam satu malam saja rayap Macrotermes dan Odontotermes telah mampu menginvasi lemari buku di rumah atau di kantor jika fondasi bangunan tidak dilindungi. Sebaliknya, rayap kayu kering (Cryptotermes)

tidak memerlukan air (lembab) dan tidak berhubungan dengan tanah. Juga tidak membentuk terowongan – terowongan panjang untuk menyerang

obyeknya. Mereka bersarang dalam kayu, makan kayu dan jika perlu menghabiskannya sehingga hanya lapisan luar kayu yang tersisa, dan jika di tekan dengan jari serupa menekan kotak kertas saja (Tarumingkeng, 2007).

Setiap koloni rayap mengembangkan karakteristik tersendiri berupa bau yang khas untuk membedakannya dengan koloni yang lain. Rayap dapat menemukan sumbermakanan karena mereka mampu untuk menerima dan menafsirkan setiap rangsangan bau yang esensial bagi kehidupannya. Bau yang dapat dideteksi rayap berhubungan dengan sifat kimiawi feromonnya sendiri (Tarumingkeng, 2004).

Sifat kanibal terutama menonjol pada keadaan yang sulit misalnya kekurangan air dan makanan, sehingga hanya individu yang kuat saja yang dipertahankan, yaitu dengan membunuh serta memakan rayap-rayap yang tidak produktif lagi (karena sakit, sudah tua tau juga mungkin karena malas), baik reproduktif, prajurit maupun kasta pekerja. Kanibalisme berfungsi untuk mempertahankan prinsip efisiensi dan konservasi energi, dan berperan dalam pengaturan homoestatika (keseimbangan kehidupan) koloni rayap (Tarumingkeng, 2004).

Rayap Sebagai Hama

Di Asia Tenggara spesies rayap memilki kemampuan untuk merusak hasil tanaman pertanian maupun hutan. Coptotermes curvignathus memilki kemampuan untuk membunuh tanaman yang sehat.Rayap ini menyerang banyak spesies tanaman. Coptotermes curvignathus biasanya membuat sarangnya dari lumpur dan menyerupai kartun disekitar dasar pohon yang diserang dan liang-liang dangan lubang tertentu ke dalam jaringan yang hidup dan akhirnya membunuh pohon (Tarumingkeng, 2001).

Rayap menyerang bangunan disebabkan adanya sumber makanan, baik yang terdekomposit pada kayu-kayu struktur dan non struktural maupun bahan berselulosa lainnya seperti kertas, wallpaper, atau vener. Disamping itu, kondisi lingkungan dan konstruksi bangunan juga merupakan faktor pendorong tingginya ancaman serangan rayap (Rismayadi dan Ariana, 2007).

Rayap membangun sarangnya di tunggul – tunggul pohon kayu di bawah permukaan tanah dalam bentuk terowongan yang rumit dan berliku – liku. Seekor ratu dan pejantannya memegang pucuk pimpinan sebuah koloni dengan puluhan

atau bahkan ratusan ribu tentara rayap. Kelompok tentara inilah yang bertugas mencari makan dan menjadi hama tanaman karet (Didit dan Agus, 2008).

Pengendalian Rayap

Pengendalian hama terpadu (PHT) termasuk pengendalian rayap pada kelapa sawit berpedoman pada Undang- undang No.12 tahun 1992 tentang sistem Budidaya Tanaman, dan dalam sistem tersebut pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami hama seperti parasitoid, predator dan patogen menjadi komponen utama, sedangkan secara kimiawi merupakan alternatif terakhir (Purba et al., 2002).

Tuba memiliki kandungan zat yang beracun yang terdapat di dalam akar tuba. Zat beracun terpenting yang terkandung pada akar tuba adalah rotenon (C23H22O6) yang secara kimiawi digolongkan ke dalam kelompok flavonoid. Zat-zat beracun yang terkandung lainnya adalah deguelin, tefrosin dan toksikarol, tetapi daya racunnya tidak sekuat rotenon. Rotenon adalah racun kuat bagi serangga dan ikan, akar tuba digunakan untuk menangkap ikan sedangkan akar yang telah dikeringkan digunakan sebagai insektisida. Dengan rotenon 15 kali lebih 9 toksik dibandingkan nikotin dan 25 kali lebih toksik dibanding Potassium ferrosianida. Namun demikian rotenon sedikit atau tidak ada efeknya terhadap manusia atau hewan bedarah panas (Adriani, 2008).

Menurut Bakti (2004) nematoda Steinernema carpocapsae memiliki

efektifitas cukup baik untuk mengendalikan rayap. Umumnya nematoda Steinernema carpocapsae banyak ditemukan didalam tanah, sehingga

memungkinkan untuk digunakan sebagai agens hayati C. curvignathus yang banyak terdapat di dalam tanah. Pemberian nematoda pada tanah mampu

menghasilkan mortalitas C. curvignathus sebesar 38,16% - 60,80% (Purba et al., 2002).

Selama ini pengendalian rayap bangunan dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia seperti insektisida organoklorin dan metil bromida. Penggunaan bahan ini sangat berpotensi membahayakan kesehatan manusia, polusi lingkungan, berdampak pada organisme non target ataupun perkembangan resistensi hama (Nuraeni et al., 2009 ).

Racun akut yang kebanyakan dari kelompok fosfat – organik atau organofosfat dan karbamat kurang dapat mengendalikan populasi rayap karena sifatnya yang tidak tahan lama (non persistent) di lingkungan, walaupun kekuatannya luar biasa.Salah satu contoh fosfat organik yang sering digunakan untuk soil treatment terhadap rayap penyerang bangunan adalah chlorpytifos (Tarumingkeng, 2004).

Termitisida Nabati Kulit Ubi Kayu

Salah satu sumber daya lokal potensial yang belum dimanfaatkan sebagai bahan pakan ayam yaitu limbah kulit ubi kayu yang merupakan limbah dari mata rantai proses produksi pembuatan tapioka. Limbah tersebut sebaiknya dalam keadaan kering (dijemur) atau ditumbuk dijadikan tepung tetapi salah satu faktor penghambat dalam penggunaan limbah kulit ubi kayu yaitu adanya kadar asam sianida (HCN) yang merupakan faktor anti nutrisi (Rukmana, 1997).

Kadar HCN pada kulit ubi kayu sangat bervariasi sesuai dengan jenis atau varietasnya. Begitu pun dengan setiap proses perlakuan memberikan tingkat penekanan kadar HCN yang berbeda. Proses dengan pencucian ternyata masih

memberikan nilai HCN yang tinggi (89,32 mg/100 g) dan masuk pada kategori jenis ubi kayu yang beracun. Kandungan zat racun ubi kayu dikategorikan beracun, bila kadar HCN antara 80-100 mg/kg ubi yang diparut (Purwati, 2010).

Limbah kulit ubi kayu mengandung senyawa HCN (Asam sianida) yang merupakan racun yang dapat dinetralisir melalui perlakuan pemanasan atau pengeringan. Pemanfaatan limbah ubi kayu dalam pengendalian hama lebih efektif digunakan pada fase larva atau ulat. Pada umumnya limbah ubi kayu lebih berperan sebagai racun perut (Kuruseng, 2008).

Ekstrak kulit ubi kayu dengan dosis yang tinggi mampu mengurangi intensitas serangan ulat grayak Spodoptera litura pada tanaman sawi dengan dosis 50 g/L air dan 75 g/L air. Kadar HCN yang tinggi menunjukkan gejala bahwa kulit ubi kayu merupakan racun perut bagi ulat grayak (Supriadi, 2011).

Minyak Tanah

Minyak tanah adalah cairan hidrokarbon C12 sampai C15 yang tak berwarna dan mudah terbakar, diperoleh dengan cara distilasi fraksional petroleum pada 150 °C and 275 °C. Di Indonesia minyak tanah dapat digunakan

untuk mengusir koloni serangga sosial seperti semut dan kecoa. (Fachraniah et al., 2013)

Minyak bumi membunuh serangga dengan cara yang tidak spesifik, misalnya menutup lobang pernafasan (spirakel) serangga, sehingga serangga mati lemas. Minyak bumi yang diaplikasikan di air akan menghambat larva serangga mengambil udara dari permukaan air, sehingga jentik – jentik nyamuk mati karena kekurangan oksigen (Djojosumarto, 2008).

Termitisida Berbahan Aktif Imidakloprid

Imidakloprid adalah insektisida sistemik yang bertindak sebagai neurotoxin serangga dan termasuk dalam kelas bahan kimia yang disebut neonicotinoids yang bekerja pada sistem saraf pusat serangga dengan toksisitas jauh lebih rendah untuk mamalia. Kimia ini bekerja dengan mengganggu transmisi rangsangan pada sistem saraf serangga. Secara khusus, hal itu menyebabkan penyumbatan di jalur saraf nikotinergik. Penyumbatan ini menyebabkan akumulasi asetilkolin, suatu neurotransmitter penting, mengakibatkan kelumpuhan serangga, dan akhirnya kematian. Imidakloprid berisfat racun kontak dan racun perut. Insektisida ini bersifat selektif, lebih

beracun bagi serangga dibanding mamalia. Imidakloprid saat ini

merupakan insektisida yang paling banyak digunakan di dunia (Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2010).

Imidakloprid secara luas digunakan untuk pengendalian hama di bidang pertanian. Kegunaan lainnya adalah untuk mencegah kerusakan akibat rayap, pengendalian hama untuk kebun dan rumput, pengobatan hewan peliharaan domestik untuk kutu dan perlindungan pohon dari serangga. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan imidakloprid dalam pertanian luas dapat mengakibatkan gangguan terhadap koloni lebah madu, seperti penurunan koloni lebah madu di Eropa dan Amerika Utara yang telah diamati sejak tahun 2006, akibatnya beberapa negara telah membatasi penggunaan neonicotinoids imidakloprid (Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2010).

PENDAHULUAN

Dokumen terkait