Krishna dan Weesner (1969) menyatakan bahwa rayapdiklasifikasikan ke
dalam 6 Famili(Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae,
Rhinotermitidae, Serritermitidae, dan Termitidae). Rayap
tanahMacrotermesgilvus termasuk famili Termitidae sub famili Macrotermitinae,
klasifikasinya adalah sebagai berikut: filum: Arthropoda kelas: Insecta sub-kelas: Pterigota ordo: Isoptera famili: Termitidae sub-Famili: Macrotermitinae genus: Macrotermes
spesies: Macrotermes gilvus Hagen.
Menurut Krishna dan Weesner (1969) rayap M. gilvushidup berkoloni
yang mempunyaikasta prajurit mayor dan minor.Ciri-ciri kasta prajuritsecara umumadalah kepala bewarna coklat tua, mandibel berkembang dan berfungsi, mandibel kiri dan kanan simetris,tidak memiliki gigi marginal, ujung mandibel melengkung yang berfungsi untuk menjepit. Ujung labrum tidak jelas, pendek dan melingkar, antena terdiri atas 16-17 ruas. Thapa (1981) dan Tho (1992)menjelaskan ciri-ciri dari kasta prajuritmayor yaitu kepala bewarna coklat kemerahan, panjang kepala dengan mandibel 4,80-5,00 mm, lebar kepala 2,88-3,10 mm,antena 17 ruas, ruas ketiga sama panjang dengan ruas kedua dan ruas ketiga lebih panjang dari ruas keempat. Sedangkan kasta prajurit minor kepala bewarna coklattua, panjang kepala 1,84-2,08 mm dan lebar 1,52-1,71 mm sertapanjang kepala dengan mandibel 3,07-3,27 mm. Antena17 ruas, ruas kedua sama panjangdengan ruas keempat.
Menurut Nandika et al. (2003) rayap M. gilvus banyak tersebar di
berhubungan dengan tanah.Rayap membiakkan cendawan yang berbentuk bunga karang, serta bangunan-bangunan liat dalam tanah dan untuk menemukan sumber makanan dengan membuat tabung kembara dari humus atau tanahsebagai jalur
jelajah (Nandika et al. 2003).
Polimorfisme
Polimorfismemerupakan ciri rayap yang hidup secara terorganisir dengan bentuk, ukuran, dan fungsi yang berbedadalam sebuah koloni, sepertiordo Isopteraterdiri atas kasta prajurit, kasta pekerja dan kasta reproduktif. Kasta pekerja bertugas sebagai pencari makan, perawat telur, pembuat dan pemelihara sarang. Kasta ini pada saat tertentu dapat bersifatkanibalterhadap individu rayap yang sakit dalam koloninya untuk mempertahankan prinsip efisiensi dan konservasi energi, serta mengatur keseimbangan koloni (Tarumingkeng 1993, Tambunan & Nandika 1989).
Kasta prajurit dengan ukuran kepalanyabesar dan mengalami penebalan pada bagian tersebut serta memiliki mandibelkuat untuk melindungianggota koloni dari gangguan luar (Tambunan & Nandika 1989). Apabila terjadi gangguan dari luar, maka kasta prajurit segera menginformasikan kepada anggota kasta prajurit lain dalam koloninya dengan tanda tertentu, dan semua kasta prajurit segera menuju sumber gangguan untuk mengatasinya (Harris 2001).
Kasta reproduktif berfungsi untuk bertelur dan jantan membuahi betina,
seperti kasta reproduktifdari rayap Macrotermes spp dapat menghasilkan telur
seminggu setelah melakukan swarming (Harris 1971). Neoten akan muncul bila kasta reproduktif primer mati atau terpisahdari koloni induk akibat adanya gangguan luar. Neoten dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah besar sesuai dengan perkembangan koloni (Richards & Davies 1996).
Pembentukan Koloni
Sebuah koloni rayap dapat terbentuk dari sepasang laron betina dan jantan dengan melakukan kopulasi, kemudian mencari habitat yang sesuai untuk membentuk koloni baru (Tarumingkeng 1993). Koloni rayap dapat terbentuk melalui tiga cara, yaitu: (1) melalui sepasang imago rayap yang bersayap (laron),
(2) melalui pemisahan koloni dari koloni utama dengan membentuk kasta reproduktif suplementer, dan (3) melalui proses migrasi dari sebagian koloni rayap menuju tempat baru dan koloni yang tertinggal mengembangkan kasta reproduktif suplementer (Lee & Wood 1971, Harris 1971).
Kasta reproduktif bersayap akan muncul pada musim-musim tertentu,
yang berkumpul dalam koloninya sebelum bersialang (swarming) keluar sarang.
Umumnya beberapa spesies rayap di daerah tropis bersialang pada awal musim hujan (Lee & Wood 1971). Selama bersialang sepasang imago (jantan dan betina) bertemu dan segera menanggalkan sayap untuk mencari tempat yang sesuai
(Tambunan & Nandika 1989). Di Amerika Selatan rayap Contrictotermes
cavifronsuntuk membentuk koloni baru melalui fragmentasi koloni dengan bermigrasi untuk menemukan habitat baru(Krishna & Weesner 1969). Demikian
juga rayap Anoplotermes,Trinervitermes di Afrika (Rismayadi 1999)
danMastotermes darwinensismembentuk koloni baru melaluifragmentasi koloni (Lee & Wood 1971).
Siklus Hidup Rayap
Rayap mengalami metamorfosis tidak sempurna (paurometabola). Siklus hidupnya dimulai dari telur, nimfa, dan imago. Nimfa muda yang baru keluar dari telur dan akan berkembang menjadi kasta pekerja, kasta prajurit, atau alata di dalam koloninya (Natawigena 1990). Lama siklus hidup rayap dari fase telur
50-60 hari. Ratu rayap Macrotermes sp yang telah berumur 5 tahun mampu
menghasilkan telur hingga 36.000 butir perhari (Hasan 1986). Memasuki instar I membutuhkan waktu 11-13 hari, instar II (13-18 hari), instar III (16-32 hari), instar ke IV (30-50 hari), dan instar ke V (14 hari), dan sekali siklus hidup rayap dibutuhkan waktu 4-6 bulan (Grasse 1984).
Perilaku Rayap
Sebagai serangga sosial, rayap memiliki beberapa prilaku yang khas (Nandika & Tambunan 1987; Tarumingkeng 2004), yaitu:
Trophallaxis adalahtransfer material (makanan dan protozoa) antara
feedingsedangkan melalui mulut disebut dengan stomodeal feeding. Sifat trofalaksis merupakan cara memperoleh protozoa flagellatabagi individu yang baru melakukan ganti kulit (ekdisis), karena pada saat ekdisis integumen proctodeum tanggal sehingga protozoa simbion yang diperlukan untuk mencerna
selulosa ikut keluar dan diperlukan reinfeksi dengan jalan trophallaxis. Grooming
adalah berkumpul dengan mengosokkan tubuh antara individu dalam sebuah koloni, dan menjilat bagian tubuhnya yang bertujuan untuk membersihkan diri
dari serangan patogen. Cryptobiotic adalah menyembunyikan dan menghindar
dari cahaya kecuali laron yang menyukai cahaya pada saat swarming. Rayap
hidup dalam tanah dan pada saat mencari makanan dipermukaan tanah,
membentuk tabung kembara dari bahan tanah atau humus. Cannibalistic yaitu
perilaku memakan individu sejenis, seperti kasta prajurit yang lemah tidak dapat menjaga koloninyasecara efektif, akan dimakan oleh kasta pekerja. Demikian juga betina dan jantan baik ratu, raja maupun neoten yang tidak mampu memberikan
kontribusi pada koloninya. Nekrofagi yaitu memakan kadaver sesamanya
(Tarumingkeng 2004).
Aktifitas Makan
Sumber makanan rayap berupa selulosa.Terdapat hubungan antara rayap dengan mikoorganisme simbion pada saluran pencernaan rayap, yaitu protozoa pada rayap tingkat rendah dan bakteri pada rayap tingkat tinggi. Sumber makanan rayap pada umumnya dikelompokkan ke dalam dua tipe, yaitu sumber makanan
mentah (crude nutrient) dan sumber makanan dari kasta pekerja. Sumber makanan
mentah berupa tanaman atau pohon hidup, kayu atau tanaman yang sudah mati,
bahan makanan lain seperti humus, rumput, jamur (Nandika et al. 2003).
Aktifitas Kawin
Kopulasi rayap dapat ditandai dengan terbangnya laron (swarming) yang
dipengaruhi oleh perubahan cuaca di luar sarang. Laron akan berkumpul pada tempat tertentu di dalam sarang yang menunjukkan atraksi tertentu dengan gerakantidak teratur,seperti mengembangkan sayap dan segera terbang
mencaricahaya. Kemudian menanggalkan sayapnya untuk menemukan pasangan.Setelah menemukanpasangannya,calon ratuakanberjalan di depan dan calon raja mengikuti dari belakang untuk menemukan habitat yang sesuai.Setelah
3-8 hari berada pada habitat yang baruditemukan akan berkopulasi (Nandika et
al.2003).
Daya Jelajah
Rayap akanberjelajah untuk menemukan sumber makanan dengan lingkungan yang optimal. Persentuhan fisik antar individu rayap dan bau yang dikeluarkan melalui jejaknya merupakan sebuah mekanisme penyampaian informasi dalam sebuah koloniterhadap sumber makanan yang baru ditemukan.
Rayap Nasutitermes dalam melakukan daya jelajah berhubungan dengan feromon
yang dikeluarkan melalui jejak dan dihasilkan oleh kelenjer sternal yang terdapat
pada abdomen(Krishna & Weesner 1969). Rayap tanah C. formosanus melakukan
daya jelajah hingga mencapai 100 m dengan jumlah individu 1-7 juta individu
perkoloni. Reticulitermes flavivesmenjelajah hingga 79 m dengan 2-5 juta
individu anggota koloni yang mengikutinya (Su 1994).
Ekologi Rayap
Rayap berperan penting dalam siklus biogeochemical (dekomposisi bahan
organik), seperti nitrogen, carbon, oksigen, fosfor, yang dapat meningkatkan kesuburan tanah, karena mampu mengubah profil tanah, mempengaruhi tekstur tanah dan mendistribusikan bahan organik (Khrisna & Weesner 1969).
Dengan beralih fungsinya hutan menjadi perkebunan monokultur menyebabkan rayap ini menjadi hama penting di dunia pertanian khususnya di bidang perkebunan(Tarumingkeng 2001).Pengembangan sektor perkebunan dan hutan tanaman industri yang dilakukan pada lahan gambut dan lahan bekas hutan primer merupakan salah satu penyebab terjadinya serangan rayap terhadap tanaman perkebunan (Sudohadi 2001).
Serangan hama rayapsulit dideteksi secara dini karena merusak tanaman mulai dari bagian akar tunggang di dalam tanahdan diketahui setelahmembentuk
ini menyerang tanaman Eucalyptus alba pada umur enam bulan dengan tingkat kematiannya secara berturut-turut adalah 60% dan 100% di Kebun Percobaan
Darmaga dan Demplot HTI Universitas Winaya Mukti (Nandika et al. 2003).
Serangan rayap hama pada tanaman perkebunan biasanya dipengaruhi oleh tingkat preferensinya terhadap jenis tanaman, tingkat kesehatan tanaman, dan kondisi tempat tumbuh, serta tanaman yang tertekan karena serangan patogen, kerusakan fisik, atau akibat kekurangan air dan unsur hara. Biasanya tanaman eksotik lebih tinggi tingkat serangan rayap dibandingkan tanaman lokal, hal ini diduga tanaman lokal dapat mengembangkan mekanisme resistensinya terhadap gangguan rayap, yaitu melalui proses adaptasi dan evolusi. Tanaman yang berada di dataran rendah lebih banyak diserang oleh rayap dibandingkan tanaman yang berada di dataran tinggi. Hal ini berhubungan dengan distribusi rayap yang dibatasi oleh faktor suhu, kelembaban serta ketinggian tempat (Pribadi 2009).
Aktivitas rayap disuatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tanah, tipe vegetasi, faktor iklim dan ketersediaan air. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kelembaban dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas rayap. Bila kondisi lingkungan berubah akan mempengaruhi perkembangan, aktifitas dan perilaku rayap
(Nandika et al. 2003).
Curah hujan merupakan salah satu faktor pemicu perkembangan eksternal yang merangsang keluarnya kasta reproduktif dari sarang. Laron biasanya keluar pada saat musim hujan. Bila curah hujan terlalu tinggi dapat menurunkan daya jelajah rayap yang berpengaruh langsung terhadap koloni rayap, terutama bila
sarangnya berada diatas permukaan tanah. Koloni Neotermes tectonae bersarang
di dalam kayu dan terlindungi secaralangsung dari pengaruh curah hujan. Di hutan
jati rayap ini memiliki kisaran suhu optimum 22‐26°C dengan ketinggian 0- 700 m
dpl (Nandika et al. 2003). Rayap Macrotermes spmenyukai kelembaban 75
sampai 90% dan pada saat musim panas melakukan daya jelajah membentuk
tabung kembara menuju habitat dengan suhu yang lebih rendah. Cryptotermes sp
merupakan rayap kayu kering dan dengan suhu optimum 15-38°C dapat
melakukan daya jelajah tanpa memerlukan air atau kelembaban tinggi(Khrisna &
tinggi dibandingkan rayap Reticulitermes flavipes. Bila suhu sangat tinggi rayap akan berada di bawah permukaan tanah atau masuk dalam sarangnya atau tetap beradadi permukaan tanah bila terdapat naungan agar mendapatkan suhu optimum. Di daerah semi gurun dengan penutupan vegetasi yang rendah, rayap
Psammotermes sering ditemukan di bawah batu atau naungan karena dapat menciptakan suhu dan kelembaban yang lebih baik. Jenis tanaman penutup tanah juga mempengaruhi suhu tanah. Di lapangan dengan tanaman sereal dapat memberikan sedikit perlindungan dibandingkan jenis tanaman lain atau semak (Lee & Wood 1971).
Pendugaan Ukuran Populasi
Menurut Krebs (1978) dua kriteria mendasar yang mempengaruhi pemilihan metode pendugaan ukuran populasi adalah kerapatan dan mobilitas dari individu-individu penyusun populasi yang akan diteliti. Pengukuran kepadatan populasi dapat dilakukan dengandua cara,yaitu (a) kepadatan absolut; jumlah organisme per unit areal atau volume (b) kerapatan relatif; kerapatan satu populasi relatif terhadap populasi lainnya (Krebs 1989). Penggunaan metode untuk memperoleh informasi mengenai ukuran populasi biasanya berhubungan dengan sifat mobilitas organisme yang diteliti. Untuk organisme yang bergerak umumnya menggunakan teknik tanda tangkap dan transek garis. Sedangkan untuk organisme yang tidak bergerak menggunakan metode kuadrat, seperti pada tumbuhan (Tarumingkeng 2001).
Umumnya ukuran populasi kolonirayap tingkat rendah terdiri atas
beberapa ratus atau beberapa ribu ekor.Rayap Kalotermes flavicollis
menghasilkan 15-20 ekor rayap untuk tahun pertama, namun beberapa tahun kemudian populasi koloninya menjadi bertambah hingga 600-1.000 ekor
(Richards& Davies 1996).Di Afrikarayap Macrotermes spplebih besar ukuran
populasi koloninya yang terdiri atas beberapa juta ekor(Lee & Wood 1971).
Teknik Tanda Tangkap
Menurut Rismayadi (1999)teknik tanda tangkap pertama kali digunakan
(1996) juga mempelajari ukuran populasi dan daya jelajah rayap tanah dengan metode teknik tanda tangkap.Asumsi-asumsi yang mendasari semua analisis teknik tanda tangkap adalah: (1) individu bertanda tidak dipengaruhi oleh penandaan dan tanda yang digunakan tidak hilang selama periode pengamatan, (2) individu bertanda bercampursecaraacak dalam populasi, (3) penarikan contoh dilakukan secaraacak (berdasarkan asumsi ini maka individu dalam populasi dari kelompok umur dan dari jenis kelamin berbeda akan memiliki peluang tertangkap berdasarkan perbandingan yang ada dalam populasi dan semua individu mempunyai peluang yang sama untuk tertangkap dalam habitatnya), (4) pengambilan contoh dilakukan dalam waktu tertentu (Southwood 1975, Krebs 1978& 1989).
Metode Schnabel menjadi dasar dari teknik yang digunakan oleh Su
(1994) dan Surnnuwat et al.(1996) untuk mempelajari ukuran populasi dan daya
jelajah rayap tanah. Namun dalam penelitian ini untuk pendugaan ukuran populasi
koloni rayap digunakan metode triple mark reupture technique, yaitu:
N = (∑Mi.ni)/[(∑mi)+1]
SE = N/{[1/(∑mi)+1)]}+{(2/((∑mi)+1)2+[(6/(∑mi)+1)3]}1/2 dimana:
N = Ukuran populasi
SE = Simpangan baku
ni = Jumlah keseluruhan rayap yang tertangkap pada penangkapan ke-i
mi = Jumlah rayap bertanda yang tertangkap pada penangkapan ke-i
Mi = Jumlah total rayap bertanda sampai penangkapan ke-i
Teknik Penandaan
Menurut Southwood (1975) bahan penanda yang digunakan oleh para peneliti terhadap beberapa studi populasi adalah: cat dan larutan bahan pewarna,
penandaan internal dengan penyuntikan, bahan pewarna fluorescent, label,
mutilasi (pemotongan) dan penandaan melalui pengumpanan yang mengandung bahan pewarna.
Pada penelitian pendugaan ukuran populasi koloni dan daya jelajah rayap
al.1984). Kemudian Su et al. (1991) menggunakan beberapa bahan pewarna
neutral red dan nile blue A, ternyata hasilnya sangat efektif digunakan sebagai pewarna rayap. Setelah itu bahan pewarna ini telah banyak digunakan untuk studi populasi rayap. Su (1994) pernah menggunakan bahan pewarna ini untuk
menandai Reticulitermes flavipes dan C.formosanus, juga pernah di pakai untuk
menandai C. gestroi. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Harahap et al.
(2005) dalam mengamati perilaku agonistik pada rayap R. flavipes dan R.
nirginicus; menggunakan bahan pewarna nile blue A (0,05%) dan neutral red
(0,25%), ternyata sangat efektif digunakan sebagai bahan penandaan rayap.
Pengendalian Rayap
Pengendalian rayap dengan teknik pengumpanan lebih menguntungkan karena tanah tidak terkontaminasi oleh bahan kimia dan meringankan pekerjaan dari perlakuan yang intensif.Melalui penempatan umpan pertama tidak beracun
pada koloni rayap dandengan mengulangi penempatan umpan beracun yang slow
action, akan lebih efektif untuk menyebarkan racun terhadap individu lain dalam sebuah koloni. Agar pengendalian cara ini lebih efektif maka umpan harus lebih menarik dari makanan di sekitarnya. Penambahan gula, madu, jamur pelapuk, asam amino, sumber nitrogen, bahkan feromon dapat meningkatkan laju komsumsi rayap (Pearce 1997). Pengendalian rayap dengan menggunakan
chlorprenapyr pada berbagai konsentrasi melalui pengumpanan mampu menghasilkan mortalitas yang berkorelasi positif dengan waktu aplikasi dan konsentrasi perlakuan(Sudohadi Y 2001).
Menurut Scheffrahn dan Su (1994) kelebihan dari metode pengumpanan yaitu ramah lingkungan, mudah diterima oleh masyarakat karena sedikit menggunakan bahan kimia yang telah dikemas dalam bentuk yang efektif, dan di sukai rayap dengan kerja racun yang slow action, sehingga dapat mengeliminasi
koloni rayap. Menurut Su et al. (1994) penggunaan hexaflumuron dengan dosis
0,5% yang dilarutkan pada gulungan kertas tissue (Whatman No. 1) dan diumpankan pada rayap, maka semua rayap yang mencerna umpan tersebut tidak segera akan menunjukkan gejala keracunan, tetapi mengganggu proses
metabolisme dan menghambat proses ganti kulit, kemudian setelah beberapa hari rayap akan mati.
Hingga saat ini pengendalian rayap masih tergantung pada insektisida
sintetik yang berdampak negatif terhadap lingkungan (Kartika et al. 2007),
keracunan bagi penggunadan lainnya. Oleh karena itu perlu alternatif pengendalian cara lain yang ramah lingkungan. Salah satunya dengan memanfaatkan bioinsektisida (Soetopo & Indrayani 2009). Ada enam kelompokmikroorganisme yang bermanfaat sebagai bioinsektisida, yaitu cendawan, bakteri, nematoda, virus protozoa, dan riketsia (Santoso 1993).
Cendawan Metarhizium brunneum Petch
CendawanM. brunneummerupakan salah satu jenis bioinsektisida yang
dapat menimbulkan penyakit terhadap serangga dandapat ditemukan hampir di berbagai tempat, seperti tanah gambut di USA dan Oregon (CABI 2001).
Desyanti (2007) mengisolasikan cendawan M. brunneum dari tanah. Untuk
pertumbuhannya memerlukan suhu optimum 22-27°C (Roddam & Rath 1997),
dengan tingkat keasaman (pH) antara 3,3-8,5, sedangkan pH optimal 6,5 (Domsch & Gams 1980). Konidia akan berkecambah pada kelembaban 90% dan dapat tumbuh baik pada media PDA, jagung dan beras (Ginting 2008).
Butt et al. (2001) mengklasifikasikan cendawan kepada dua divisi yaitu
Myxomycota dan Eumycota.Lebih rinci Roy et al.(2006) mengklasifikasikan
cendawan entomopatogen Metarhizium sp sebagai berikut:
devisi: Ascomycota
kelas: Sordariomycetes ordo: Hypocreales
famili: Clavicipitaceae
genus: Metarhizium
spesies:Metarhizium brunneum Petch
CendawanM. anisopliaemempunyai koloni berwarna putih dan dengan
bertambahnya umurwarnanya berubah menjadi gelap, sedangkan strain M.
brunneum pada awal pertumbuhannya bewarna putih hingga kekuningan, selanjutnya berubah menjadi coklat. Miseliumnya bersekat, diameter 1,98-2,97
µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi oleh konidia. Konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan
ukuran 9,94 x 3,96 mμ (Strack 2003, Ginting 2008).
Keragaman intraspesiespada cendawan entomopatogen umumnya terlihat pada perbedaan virulensinya (Hajek& Leger 1994). Faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan keragaman tersebut adalah sumber isolat, inang dan
daerah geografis asal isolat (Varela & Morales 1995, Baretta et al. 1998).
Umumnya strain cendawan entomopatogen yang diisolasi dari inang yang sama akan lebih virulen untuk diaplikasikan terhadap inang tersebut, dibandingkan dari
inang yang berbeda. Seperti cendawanB. bassiana yang koleksi dari kadaver
rayap apabila kembali diinfeksikan terhadap individu rayap lain dari spesies yang sama maka toxisitasnya lebih efektif (Boucias& Pendland 1998).
Pemanfaatan agens hayati cendawanM. brunneum di areal pertanaman
belum pernah dilakukan. Penggunaan cendawan ini baru dilakukan Desyanti
(2007) dalam studi pengendalian rayap tanah Coptotermes spp di laboratorium
dan hasilnya efektif sebagai agens hayati dengan tingkat patogenisitasnya lebih
tinggi dan dapat membunuh rayap Coptotermes spp dengan LC50 terendah
dibandingkan spesies M. anisopliae, B. bassiana, Fusarium oxysporum
danAspergillus flavus (Desyanti 2007). Keefektifan dalam penggunaan cendawan tersebut didukung oleh daya kecambah dan kerapatan konidia yang dihasilkan.
Menurut Desyanti (2007) daya kecambah dari cendawan M. brunneum dan M.
anisopliaesetelah diinkubasiselama 12-24 jammasing-masing 97,20% dan 85
sampai 90%.Kerapatan konidia yang dihasilkan oleh cendawan M. brunneumlebih
tinggi (223,66 x 107/cawan Petri) dibandingkan cendawan M. anisopliae(6,18 x
107/cawan Petri).
Cendawanini mempunyai kemampuan untuk menempel dan menembus kutikula inang dan tumbuh ke bagian internal tubuh inang (hemocoel) sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan yang mengakibatkan kematian inang. Kemudian cendawan tersebut juga dapat menghancurkan jaringan lain dengan melepaskan toksin dan akan mempengaruhi perkembangan inang secara normal (Boucias& Pendland 1998). Beberapa jenistoksinyang dihasilkan oleh
Metarhizium spp terhadap serangga yaitu:destruxin, cytohalasins, swainsonine
(Desyanti 2007,Boucias& Pendland 1998).
Diharapkandengan memanfaatkan potensi sumber daya hayati lokal yang
berpotensi di alam Indonesia, seperti pemanfaatan cendawan M. brunneumsebagai
agens hayati yang berpotensi akan dapat mengurangipenggunaan pestisida sintetik yang selama ini banyak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan (Desyanti 2007).
Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Tahun 1912 tanaman jarak pagar telah diperkenalkan di Indonesia oleh
bangsa Jepang (Hambali et al. 2007). Tanaman ini dapat tumbuh pada tanah kritis
unsur hara, beriklim panas danpada ketinggian tempat 0-1.000 m diatas permukaan laut (dpl). Namun lebih optimal pertumbuhannya pada tanah yang
berstruktur ringan atau tanah lempung berpasir pH(5,0-6,5), suhu (18-30°C), dan
curah hujan (300-1.200 mm) per tahun (Hariyadi 2005). Pada lahan yang kurang
subur populasitanaman jarak pagar 1.666 per hektar (Prihandana & Hendroko 2006). Sedangkan lahan yang subur daya tampungnya2.500 tanamanper hektar dengan jarak tanam setiap tanaman 2 m. Tanaman jarak pagar dapat menghasilkan
3,5-4,5 kg biji/pohon/tahun . Bila rendemen minyak dari bijitanaman jarak pagar
sebesar 30% maka setiap hektar lahan dapat diperoleh 1,5-3 ton minyak/ha/tahun.
Produksi akan stabil setelah tanaman berumur lebih dari 5 tahun.Kemungkinan jarak pagar ini dapat bertahan hidup lebih dari 20 tahun apabilaperawatannya
efektif(Hambali et al. 2007).
Di KIJP Pakuwon budidaya tanaman jarak pagar mengalami beberapa
kendala, salah satu diantaranyaadalah serangan hama rayap M. gilvus yang
merusak sistem perakaran tanaman dan mengakibatkan pengambilan unsur haradari dalam tanah oleh tanaman menjadi terhambat.Semakin lama serangan hama ini semakin meningkat hingga meluas pada tanaman lainnya.Data kuantitatif serangan rayap terhadap tanaman jarak pagar umur tegakan 5 tahun mencapai16,33%. Oleh karenanya serangan rayap hama ini perlu segera dikendalikanagar tidak semakin meluashingga tanaman sehat lainnya.