• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika kumbang badak adalah

Kingdom : Animalia Fillum : Arthropoda Class : Insekta Ordo : Coleoptera Family : Scarabaeidae Genus : Oryctes

Spesies : Oryctes rhinocheros L.

Siklus hidup kumbang ini antara 4-9 bulan, namun pada umumnya 4-7 bulan. Telur berbentuk lonjong, berwarna putih, dan diliputi oleh butiran-butiran tanah. Panjang 3 - 3,5 mm, lebar 2 mm. Menjelang menetas telur bertambah besar, panjang menjadi 4 mm, lebar 3 mm. Stadium telur lamanya 11–13 hari, rata-rata 12 hari, Semakin lama telur semakin membulat, besarnya bertambah dan warnanya menjadi lebih kelam (Vandaveer, 2004).

Kumbang betina mampu memproduksi telur sebanyak 35 sampai 140 butir. Telur-telur akan diletakkan pada sampah-sampah, pada pucuk kelapa yang mati, dan ada pula yang diletakkan pada kotoran-kotoran yang terdapat diantara pelepah-pelepah (Gambar 1). Imago betina menghasilkan telur 30 - 70 butir dan menetas setelah ± 12 hari. Telur berwarna putih dengan garis tengah ± 3 mm, lalu

bewarna agak kelam dan mendekati penetasan akan bewarna coklat (Suziani, 2011).

Gambar 1. Telur O. rhinoceros Sumber: Suziani, 2011

Stadia larva O. rhinoceros terdiri atas 3 instar. Masa larva instar satu

14-19 hari, larva instar dua 15-22 hari, dan larva instar tiga 51-73 hari. Sebelum menjadi pupa, larva mengalami masa prapupa selama 10-15 hari (Bedford, 1976).

Larva berwarna putih, berbentuk silinder, gemuk dan berkerut-kerut, melengkung membentuk setengah lingkaran. Kepala keras dilengkapi dengan rahang yang kuat (Gambar 2). Larva berkembang pada kayu lapuk, kompos, dan hampir semua bahan organik yang membusuk. Batang kelapa sawit dan kelapa adalah tempat yang baik untuk tempat hidup larva ini (Prawirosukarto dkk, 2003).

Gambar 2. Larva O. rhinoceros

Pupa berada dalam kokon yang dibuatnya dari sisa-sisa media hidupnya. Pupa berwarna coklat, panjang 45-50 mm, masa pupa 19-27 hari, dan kumbang yang baru jadi berlindung dalam kokon 14-28 hari (Gambar 3) (Lubis dkk, 1992).

Gambar 3. Pupa O. rhinoceros

Sumber: Foto langsung

Kumbang berwarna hitam, bagian bawah badan coklat kemerah-merahan, panjang kurang lebih 40 mm. kumbang jantan mempunyai cula lebih panjang dari pada betina. Umur kumbang 4-4,5 bulan, dan kumbang betina mulai bertelur

20-62 hari setelah keluar dari kokon. Seekor betina mampu bertelur 35-70 butir

(Lubis dkk, 1992).

Kumbang badak berwarna coklat tua mengkilap. Panjangnya bisa mencapai lebih kurang 5-6 cm. Kumbang badak ini bisa berumur lebih kurang 2-7 bulan. Imago bewarna hitam, ukuran tubuh 35 – 45 mm. Cula yang terdapat pada kepala menjadi ciri khas kumbang ini. Cula kumbang jantan lebih panjang dari

cula kumbang betina. Imago jantan lebih kecil dari imago betina. O. rhinoceros

betina mempunyai bulu tebal pada ujung abdomennya, sedangkan yang jantan

Gambar 4. a. Imago jantan O. rhinoceros, b. Imago betina O. Rhinoceros Sumber: http://itp.lucidcentral.org

Gejala serangan O. rhinoceros

Pada tanaman yang berumur antara 0 - 1 tahun, kumbang dewasa (baik jantan maupun betina) melubangi bagian pangkal batang yang dapat mengakibatkan titik tumbuh atau terpuntirnya pelepah daun yang dirusak. Pada tanaman dewasa kumbang dewasa akan melubangi pelepah termuda yang belum terbuka. Jika yang dirusak adalah pelepah daun yang termuda (janur) maka ciri khas bekas kerusakannya adalah janur seperti digunting berbentuk segitiga. Stadium hama yang berbahaya adalah stadium imago (dewasa) yang berupa kumbang (Suziani, 2011).

Kumbang dewasa akan menggerek pucuk kelapa sawit. Gerekan tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan jika sampai merusak titik tumbuh akan dapat mematikan tanaman. Pada areal peremajaan kelapa sawit, serangan kumbang badak dapat mengakibatkan tertundanya masa produksi kelapa sawit sampai satu tahun dan tanaman yang mati dapat mencapai 25% (Winarto, 2005).

Pada tanaman muda kumbang badak ini mulai menggerek dari bagian samping bonggol pada ketiak pelepah terbawah, langsung ke arah titik tumbuh kelapa sawit. Panjang lubang gerekan dapat mencapai 4,2 cm dalam sehari.

Apabila gerekan sampai ke titik tumbuh, kemungkinan tanaman akan mati. Pucuk kelapa sawit yang terserang, apabila nantinya membuka pelepah daunnya akan

kelihatan seperti kipas atau bentuk lain yang tidak normal

(Prawirosukarto dkk, 2003).

Tampak guntingan-guntingan/potongan-potongan pada daun yang baru terbuka seperti huruf “V” (Gambar 5), gejala ini disebabkan kumbang menyerang pucuk dan pangkal daun muda yang belum membuka yang merusak jaringan aktif untuk pertumbuhan. Serangan ini dapat dilakukan oleh serangga jantan maupun betina (Prawirosukarto dkk, 2003).

Gambar 5. Gejala serangan O. rinocheros

Sumber: Foto langsung

Sedangkan Prawirosukarto dkk, (2003) mengatakan, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kelapa sawit menyebabkan masalah. Hama ini sekarang

juga dijumpai pada areal tanaman yang menghasilkan. O. rhinoceros ini dapat

merusak pertumbuhan tanaman dan dapat mengakibatkan tanaman mati

(Chong dkk, 1991).

Bakteri Bacillus thuringiensis

µm dan lebar 1,0-1,2 µm, motil, gram positif, mempunyai flagellum yang peritrik, dan membentuk endospora (Gambar 6) (Setiawati dan Sudarwohadi, 1991).

Gambar 6: Sel Bacillus thuringiensi

Sumber : blass.com.au/definitions/bacillus

Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang bersifat aerob, atau anaerob fakultatif pada medium yang dibumbuhi nitrat sebagai penerima terakhir elektron. Pada uji indol fan oksidase, bakteri ini memberikan hasil negatif, tetapi memberikan reaksi positif pada uji merah metal dan tidak dapat menggunakan nitrat sebagai satu-satunya sumber karbon (Darwis,1995).

Bt menghasilkan toksin yang memiliki daya racun terhadap serangga hama

tertentu. Spesifitas terhadap serangga tertentu dipengaruhi oleh komponen kimiawi toksin sehingga kisaran serangga sasarannya sempit. Toksin yang dihasilkan dikenal sebagai delta toksin yang terdapat di dalam protein Kristal serta tidak bersifat racun terhadap manusia dan vertebrata lainnya (Lay, 1993).

Cara kerja Bt dapat diuraikan sebagai berikut: racun Bt harus dimakan oleh hama serangga yang peka agar Bt dapat efektif bekerja. ICP atau spora ICP

yang mengandung racun cry (cry toxins) terikat pada bagian permukaan sel perut

tengah membentuk lubang-lubang yang menghancurkan kemampuan sel untuk

mengendalikan pertukaran molekul. Protoxin mengikat receptor membrane

pori. Kerusakan pada epitelium perut tengah berhubungan dengan berhentinya makan dan terjadinya paralisis pada serangga. Pelukaan pada perut tengah juga mengakibatkan terjadinya septosemia yang pada akhirnya mengakibatkan kematian serangga (Sembel, 2010).

Protein kristal yang termakan oleh ulat akan larut dalam lingkungan basa pada usus organisme sasaran yang memiliki nilai pH antara 9,0 dan 10,5, sedangkan spora akan mengalami germinasi pada pH tersebut. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan melalui pemisahan proteolitik oleh enzim protease. Berat molekul protein menurun dari 130 kDa menjadi 65 kDa. Protein

yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada

langit-langit sel epitel usus serangga. Masuknya toksin kedalam membran sel usus

terjadi dalam dua tahap ikatan, yaitu ikatan yang bersifat reversible dan

irreversibel. Ikatan reversible sangat penting pada aktivitas racun selanjutnya, karena hilangnya ikatan akan menurunkan toksisitas racun, sebaliknya jika

afinitas meningkat maka daya toksisitas racun pun meningkat

(Setiawati dan Sudarwohadi, 1991).

Setelah insersi ke dalam membran dan terbentuk pori terjadi influk air

yang mengandung ion yang menyebabkan sel menjadi swelling dan akhirnya

menjadi lisis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dengan berhentinya makan yang menyebabkan kematian larva jadi bentuk tubuhnya setelah mati yaitu menjadi mengerut dan mengering (Tarigan, 2012).

Jamur Beauveria bassiana

Jamur B. bassiana merupakan spesies jamur yang sering digunakan untuk

terdapat pada tubuh serangga. Jamur ini ternyata memiliki spektrum yang luas dan dapat mengendalikan banyak spesies serangga sebagai hama tanaman. Hasil

penelitian menunjukkan, B. bassiana efektif untuk mengendalikan semut api,

aphid, dan ulat grayak (Dinata, 2006).

Miselia jamur B. bassiana bersekat atau berwarna putih, di dalam tubuh

serangga yang terinfeksi terdiri atas banyak sel, dengan diameter 4 µm, sedang diluar tubuh serangga ukurannya lebih kecil, yaitu 2 µm. Hifa fertile terdapat pada cabang (branchelests), tersusun melingkar (verticillate) dan biasanya menggelembung atau menebal. Spora menempel pada ujung dan sisi sporangiofor atau cabang – cabangnya (Gambar 7) (Utomo dan Pardede, 1990).

Gambar 7: Spora B. bassiana

Sumber : http://www.ecaa.ntu.edu.tw

Perkecambahan, pertumbuhan dan sporulasi optimum cendawan B.

bassiana terjadi pada suhu 25o – 30o C dan kelembaban relatif 100%. spora bersel satu, bentuknya oval agak bulat (globose) sampai dengan bulat telur (obovate), berwarna hialin dengan diameter 2 – 3 µm. Sporangiofor berbentuk zig – zag

B.bassiana dapat menginfeksi serangga dari ordo Coleoptera dan Lepidoptera. Serangga yang terserang akan menjadi lamban dan nafsu makan berkurang lama kelamaan menjadi diam dan mati.Tubuh serangga akan mengeras dan permukaannya penuh dengan warna putih (Utomo dan Pardede, 1990).

Infeksi jamur B.basiana di mulai setelah integument serangga

terkontaminasi oleh konidia jamur. Konidia berkecambah dan membentuk tabung kecambah serta menghasilkan enzim proteinase,lipase dan kitinase.Enzim-enzim ini berguna untuk melunakkan integument serangga yang terdiri dari kitin (Tarigan, 2012).

Setelah berhasil melakukan penetrasi kedalam tubuh serangga, miselium akan memproduksi racun yang di sebut beuverisin. Racun ini dapat merusak struktur membrane sel,sehingga akan terjadi dehidrasi sel dan berakibat matinya serangga inang. Apabila serangga inang telah mati miselium akan menembus keluar tubuh serangga dan menghasilkan konidia pada permukaan tubuh bagian luar (Haryono, 1993).

B. bassiana secara alami terdapat didalam tanah sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat di pengaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembaban, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi (Dinata, 2006).

Mekanisme pengendalian serangga hama oleh B. bassiana adalah melalui

infeksi langsung hifa atauspora B. bassiana ke dalam kutikula melalui kulit luar

serangga. Pertumbuhan hifa akan mengeluarkan enzim yang menyerang dan

menghancurkan kutikula, sehingga hifa tersebut mampu menembus dan masuk

yang menyebabkan terjadinya paralisis pada anggota tubuh serangga. Paralisis

menyebabkan kehilangan koordinasi sistem gerak, sehingga gerakan serangga

tidak teratur dan lama-kelamaan melemah, kemudian berhenti sama sekali.

Setelahlebih-kurang lima hari terjadi kelumpuhan total dankematian. Toksin juga

menyebabkan kerusakanjaringan, terutama pada saluran pencernaan, otot, sistem

syaraf, dan sistem pernafasan (Wahyudi, 2008).

Setelah serangga inang mati, B. bassiana akan mengeluarkan antibiotik,

yaitu Oosporein yang menekan populasi bakteri dalam perut serangga inang.

Dengan demikian, pada akhirnya seluruh tubuh serangga inang akan penuh oleh

propagul B. bassiana. Pada bagian lunak dari tubuh serangga inang, jamur ini

akan menembus keluar dan menampakkan pertumbuhan hifa di bagian luar tubuh

serangga inang yang biasa disebut ”white bloom”. Pertumbuhan hifa eksternal

akan menghasilkan konidia yang bila telah masak akan disebarkan ke lingkungan dan menginfeksi serangga sasaran baru (Wahyudi, 2008).

Jamur Metarhizium anisopliae

M. anisopliae adalah salah satu cendawan entomopatogen yang termasuk dalam divisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Cendawan ini biasa disebut

dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia

(Prayogo dkk, 2005).

Gambar 8: Konidia M. anisopliae

Menurut Prayogo, dkk. (2005) pada awal pertumbuhan, koloni jamur berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur koloni. Miselium berdiameter 1,98 – 2,97 µm, konidia tersusun dengan tegak, berlapis dan bercorak yang dipenuhi dengan konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9 µm (Gambar 8).

Jamur M. anispliae banyak ditemukan di dalam tanah, bersifat saprofit dan

umumnya dijumpai pada berbagai stadia serangga yang terinfeksi, tumbuh pada

suhu 65-850 F( 180- 290 C) dengan kelembaban 30-90%. Jamur ini mempunyai

koloni berwarna hijau. Konidiofor dapat mencapai panjang 75 µm, bertumpuk-tumpuk diselubungi oleh konidia yang berbentuk apikal berukuran 6- 9,5 µm x 1,5- 3,9 µm. Bercabang-cabang, berkelompok membentuk massa yang padat dan longgar. Jamur inidapat membunuh serangga, tungau dan caplak (Barnet, 1969).

Larva yang diinfeksi M. anisopliae dicirikan ketika ada perubahan warna

menjadi kecoklatan atau hitam pada kutikula serangga. Infeksi selanjutnya terjadi ketika serangga yang mati menjadi lebih keras dan akhirnya ditutupi oleh hifa dari jamur yang kemudian berubah menjadi hijau sesuai dengan spora yang menjadi

dewasa (Moslim dkk, 2007).

Pada umumnya suhu optimum cendawan entomopatogen untuk perkembangan dan pertumbuhannya, daya menyebabkan penyakit dan bertahan

hidup di alam adalah 0-30o C. Umumnya temperatur di atas 35oC menghambat

pertumbuhan dan perkembangan dari jamur entomopatogen. Konidia M. anisopliae mempunyai titik kematian pada suhu 40oC selama 15 menit. Di

bawah 4oC, sel-sel cendawan biasanya bertahan hidup, namun jarang berkembang.

konsentrasi ion hydrogen antara pH 5-10, dengan pH optimum sekitar 7

(McCoy dkk, 1992).

Keberhasilan perbanyakan massal jamur M. anisopliae pengembangan

metode-metode produksi massal spora-spora infektif telah membuat

perkembangan penggunaan jamur M. anisopliae sebagai bioinsektisida yang

komersial. Jamur M. anisopliae dapat berkembang pada skala besar pada

semi-solid fermentasi, sama dengan yang digunakan pada produksi Bacillus

thuringiensis dan dapat diformulasikan dalam bentuk tepung. Spora jamur ini dapat tumbuh pada beras steril dalam kantong plastik untuk produksi skala kecil. M. anisopliae sangat peka pada suhu yang ekstrim. Viabilitas spora akan menurun jika terjadi peningkatan suhu dan virulensi akan menurun pada suhu yang rendah (Cloyd, 2012).

Suhu optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 22-27oC.

Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban di atas 90%. Konidia akan berkecambah dengan baik bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100%.

Patogenitas M. anisopliae akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 86%

(Prayogo dkk, 2005).

Keefektifan cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh waktu aplikasi. Setelah diaplikasi, cendawan entomopatogen membutuhkan kelembaban yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang. Kelembaban udara yang tinggi dibutuhkan

pada saat pembentukan tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi

di dalam tubuh serangga. Cendawan entomopatogen sangat rentan terhadap sinar matahari, khususnya sinar ultraviolet. Oleh karena itu, aplikasi cendawan pada musim kemarau perlu dihindari dan sebaiknya aplikasi dilakukan pada saat

Konidia M. anisopliae akan berkecambah pada kutikula inang ketika menginfeksi serangga, dan melakukan penetrasi dengan senyawa hidrolisis (peptidase dan kitinase), lalu dengan bantuan tekanan mekanis, enzim tersebut menghancurkan kulit dengan cara lisis. Setelah jamur masuk, konidianya dengan cepat memperbanyak diri sehingga blatospora segera meliputi tubuh inang. Kematian inang disebabkan oleh kolonisasi miselia yang ekstensif sehingga menyebabkan starvasi atau melalui racun yang dilepaskan pada saat penyerangan. Desikasi cadaver digunakan sebagai nutrisi dan air oleh hifa. Hifa memecah kutikula setelah serangga mati. Konidia bebas berkembang secara pasif atau aktif untuk meneruskan siklus infeksi (Winarto, 2005).

PENDAHULUAN

Dokumen terkait