• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae, Divisi : Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Monocotyledoneae, Ordo : Cocoideae, Famili : Palmae, Genus : Elaeis, Spesies : Elaeis guineensisJacq. (Steenis, 2001).

Tanaman kelapa sawit termasuk ke dalam tanaman berbiji satu (monokotil) yang memiliki akar serabut. Saat awal perkecambahan, akar pertama muncul dari biji yang berkecambah (radikula). Setelah itu, radikula akan mati dan membentuk akar utama atau primer. Selanjutnya, akar primer akan membentuk akar skunder, tertier dan kuartener. Perakaran kelapa sawit yang telah terbentuk sempurna umumnya memiliki akar primer dengan diameter 5-10 mm, akar sekunder 2-4 mm, akar tersier 1-2 mm dan akar kuartener 0,1-0,3 mm. akar yang paling aktif menyerap air dan unsur hara adalah akar tersier dan kuartener yang

berada di kedalaman 0-60 cm dengan jarak 2-3 meter dari pangkal pohon (Lubis dan Agus, 2011).

Tanaman kelapa sawit umumnya memiliki batang yang tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda (seedling) terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia (ruas). Titik tumbuh batang kelapa sawit terletak di pucuk batang, terbenam di dalam tajuk daun, berbentuk seperti kubis dan enak dimakan (Sunarko, 2007).

Daun kelapa sawit terdiri dari pelepah daun (rachis), anak daun (pinnae) dan lidi (spines). Panjang pelepah daun bervariasi tergantung varietas dan tipenya serta kondisi lingkungan. Rata-rata panjang pelepah tanaman dewasa dapat

mencapai 9 m. Pada satu pelepah akan dijumpai 250-400 anak daun yang terletak dikiri kanan pelepah daun. Panjang anak daun di bagian tengah dapat mencapai 1,2 m atau lebih panjang dibandingkan anak daun yang letaknya di ujung atau di

pangkal. Setiap anak daun terdiri dari lidi dan dua helai helaian daun (Soehardjo et al.,1999).

Tanaman kelapa sawit merupakan tumbuhan berumah satu (monoecious). Artinya, karangan bunga (inflorescence) jantan dan betina berada pada satu pohon, tetapi biasanya tempatnya berbeda. Sebenarnya semua bakal bunga berisikan bakal bunga jantan dan betina, tetapi pada pertumbuhannya salah satu jenis kelamin menjadi rudimenter dan berhenti tumbuh, sehingga yang berkembang hanya satu jenis kelamin. Matang tidak secara bersamaan, sehingga bunga betina membutuhkan serbuk sari dari pohon lain. Tanaman kelapa sawit yang berumur 2-3 tahun sudah mulai dewasa dan mulai mengeluarkan bunga jantan atau bunga betina (Sunarko, 2014).

Buah (brondolan) terkumpul dalam tandan. Dalam satu tandan terdapat sekitar 1.600 brondolan. Tanaman muda akan menghasilkan 20-22 tandan per tahun. Jumlah tandan buah pada tanaman tua sekitar 12-14 tandan per tahun. Berat setiap tandan sekitar 25-35 kg. Secara botani buah kelapa sawit digolongkan sebagai buah drupe, terdiri dari pericarp yang terbungkus oleh exocarp (atau kulit), mesocarp (yang secara salah kaprah biasanya disebut pericarp), dan endocarp (cangkang) yang membungkus satu sampai empat inti/kernel (umumnya hanya satu). Inti memiliki testa (kulit), endosperm yang padat dan sebuah embrio (Pahan, 2015).

Syarat Tumbuh Iklim

Suhu rata-rata tahunan untuk pertumbuhan dan produksi sawit berkisar antara 24-290C, dengan produksi terbaik antara 25–270C. Di daerah tropis, suhu udara sangat erat kaitannya dengan tinggi tempat di atas permukaan laut (dpl). Tinggi tempat optimal adalah 200 m dpl, dan disarankan tidak lebih dari 400 m dpl, meskipun di beberapa daerah, seperti di Sumatera Utara, dijumpai pertanaman sawit yang cukup baik hingga ketinggian 500 m dpl. Suhu minimum dan maksimum belum banyak diteliti, tetapi dilaporkan bahwa sawit dapat tumbuh baik pada kisaran suhu antara 8 hingga 380C (Syakir et al.,2010).

Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh di daerah antara 120 lintang utara 120 lintang selatan. Curah hujan optimal yang dikehendaki antara 2000-2500 mm per tahun dengan pembagian yang merata sepanjang tahun. Lama penyinaran matahari yang optimum antara 5-7 jam per hari dan suhu optimum berkisar 240-380 C. ketinggian di atas permukaan laut yang optimum berkisar 0-500 meter (Risza, 2012).

Intensitas cahaya matahari menentukan laju fotosintesa pada daun yang pada akhirnya menentukan tingkat produksi. Intensitas matahari juga erat kaitannya dengan perawanan, curah hujan, ketinggian tempat (altitude), dan lintang lokasi (Latitude). Di daerah yang banyak berawan menyebabkan intensitas matahari yang diterimadaun sawit menjadi lebih rendah. Sebaliknya meskipun curah hujan relatif tinggi tetapi lebih banyak terjadi sore hingga malam dan perawanan kurang, maka intensitas matahari bias cukup untuk mendukung fotosintesa yang tinggi. Makin tinggi tempat, suhu makin rendah dan biasanya

disertai perawanan yang lebih lama atau curah hujan yang tinggi dan makin menjauh dari garis khatulistiwa penyinaran matahari makin berkurang. Kelapa sawit memerlukan lama penyinaran antara 5 dan 12 jam/hari (Syakir et al.,2010). Tanah

Faktor topografi berkaitan dengan derajat kemiringan lereng dan panjang lereng yang berpengaruh nyata terhadap erosi tanah, biaya pembangunan infrastruktur serta biaya mobilisasi dan panen. Makin curam dan/atau makin panjang lereng, bahaya erosi makin meningkat. Lereng yang terlalu curam menyebabkan biaya pembangunan jalan serta pengangkutan sarana produksi dan hasil panen menjadi mahal. Pada lahan yang curam, populasi tanaman per hektar lebih sedikit. Kemiringan optimal kurang dari 23% (120) dan tidak disarankan lebih dari 38% (200). Meskipun dalam kenyataannya banyak sawit yang tumbuh di lahan curam, tidak boleh menjadi alasan pengembangan sawit di lahan dengan kemiringan curam, terutama karena alasan dampaknya terhadap lingkungan (Syakir et al.,2010).

Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di banyak jenis tanah yang penting tidak kekurangan air saat musim kemarau dan tidak tergenang air pada musim hujan (drainase baik). Di lahan-lahan yang permukaan air tanahnya tinggi atau tergenang, akar akan busuk. Selain itu, pertumbuhan batang dan daunnya tidak mengindikasikan produksi buah yang baik. Kesuburan tanah bukan merupakan syarat mutlak bagi perkebunan kelapa sawit (Risza, 2012).

Drainase lahan umumnya dijumpai di lahan dataran rendah yang tergenang secara periodic karena limpasan air hujan, pengaruh air pasang atau

tetapi tidak dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik dalam keadaan tergenang atau sering tergenang. Pembangunan system drainase harus memperhatikan juga sifat dan karakteristik tanahnya serta ada tidaknya pengaruh pasang surut air laut. Pembangunan sistem drainase di lahan pasang surut, baik tanah mineral maupun tanah gambut harus dilakukan dengan perencanaan seksama. Drainase berlebihan atau kurang memadai sama-sama berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan kelapa sawit. Khusus di lahan gambut, pengaturan drainase harus memperhatikan antara kebutuhan perkembangan perakaran tanaman dengan laju emisi karbon. Makin dalam permukaan air tanah, makin baik perkembangan perakaran sawit tetapi perombakan bahan organic berlangsung makin cepat sehingga emisi karbon meningkat (Syakir et al.,2010).

Pembibitan Kelapa Sawit

Pembibitan adalah salah satu kunci sukses perkebunan kelapa sawit. Pembibitan adalah ladang “pembantaian” segala bentuk abnormalitas. Bibit abnormal adalah bibit yang menyimpang pada aspek morfologisnya dibandingkan dengan bibit normal, dapat disebabkan faktor genetis atau kesalahan dalam kulturteknis. Keberhasilan pembibitan terletak pada seleksi bibit. Kalau menggunakan kecambah Socfindo maka acuannya adalah dari 200 kecambah yang diterima, 2% diambil pada waktu seleksi kecambah/semai sisa 196.Seleksi di prenursery 12% lagi sehingga sisanya 173.Seleksi di main nursery 14% sehingga bibit yang siap tanam 150. Total seleksi di pembibitan sampai siap tanam maksimal 26%. Berdasarkan umur bibit maka seleksi dilaksanakan pada saat menyemai (0 bulan / prenursery), umur 4-6 minggu (prenursery} dan umur 3-3,5 bulan (akan pindah ke main nursery) (Media Perkebunan, 2014).

Keuntungan dari sistem pembibitan dua tahap adalah :

a. Karena ditanam dalam kantong kecil, bibit tahap awal terkumpul dalam satu satuan luas yang lebih kecil, sehingga memudahkan pengawasan, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit.

b. Penggunaan kantong plastik besar lebih sedikit karena seleksi awal (sekitar 10%) telah dilakukan, dan lama pembibitan dalam kantong plastik besar lebih singkat.

c. Kebutuhan tanah lebih sedikit.

d. Biaya penyiraman lebih murah (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003). Secara umum, persyaratan yang sebaiknya dipenuhi untuk lokasi pembibitan meliputi: (a) dekat kebun, (b) dekatsumber air dan sumber tanah pengisi kantong plastik, (c) datar dengan kemiringan < 15 derajat dan drainase baik, (d) akses jalan yang baik dalam segala cuaca, (e) terhindar dari banjir dan angin kencang, (f) aman dari gangguan hama, terutama hewan seperti babi hutan, (g) terbuka sehingga mendapat cahaya penuh, dan (h) dekat emplasemen atau rumah untuk memudahkan pengawasan (Syakir et al.,2010).

Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Limbah cair pabrik kelapa sawit yang dapat digunakan untuk land application adalah limbah cair yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga kadar BOD-nya berkisar antara 3.500 mg/l sampai 5.000 mg/l. Dengan komposisi yang cukup kaya akan unsur hara (N,P dan K), maka limbah cair tersebut mempunyai potensi yang baik untuk menggantikan peran pupuk anorganik. Dengan pemanfaatan limbah cair tersebut untuk keperluan pemupukan, maka dengan

land application akan mengurangi beban biaya dan waktu untuk pengolahan limbah (Rahardjo, 2006).

Kandungan hara pada I m3 limbah cair setara dengan 1,5 kg urea, 0,3 kg SP-36, 3,0 kg MOP, dan 1,2 kg kieserit . Pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton/jam akan menghasilkan sekitar 480 m3 limbah cair per hari, sehingga areal yang dapat diaplikasi sekitar 100-120 Ha. Limbah cair pabrik kelapa sawit telah banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta . Penggunaan limbah cair mampu meningkatkan produksi TBS 16-60%. Limbah cair tidak menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kpalitas air tanah di sekitar areal aplikasinya (Hidayanto, 2007).

Sifat kimia LCPKS yang diaplikasikan ke lahan perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan sifat kimia LCPKS yang diaplikasikan ke lahan perkebunan kelapa sawit

Parameter Hasil pH 6,6 BOD (ppm) 1798,5 COD 2941 N total (ppm) 196 P (ppm) 19,5 K (ppm) 267 Mg (ppm) 61

Sumber: Widhiastuti et al., 2006

Pada peneitian (Manurunget al., 2014) Pemberian limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) kolam aerob memberikan pengaruh nyata pada parameter bobot basah tajuk dan bobot basah akar tetapi tidak memberikan pengaruh nyata pada parameter lain. Tanpa LCPKS (L0), 1 L LCPKS / tanaman (L1), 2 L LCPKS / tanaman (L2), dan 3 L LCPKS / tanaman (L3). Parameter tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, total luas daun, volume akar, bobot kering tajuk

dan bobot kering akar tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Akan tetapi dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan parameter tersebut menunjukkan kecendrungan terus meningkat seiring ditambahkannya volume pemberian LCPKS kolam aerob pada tanaman kelapa sawit. Sehingga dapat diasumsikan bahwa penambahan volume pemberian LCPKS kolam aerob juga menambah unsur hara yang tersedia bagi tanaman namun masih sedikit jumlahnya sehingga belum cukup untuk menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap taraf untuk parameter tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, total luas daun, volume akar, bobot kering tajuk dan bobot kering akar.

Wijaya (2015) melakukan penelitian bahwa pemberian limbah cair pabrik kelapa sawit memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, total luas daun, bobot segar tajuk, bobot segar akar, bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Hasil sidik ragam juga menunjukkan bahwa pemberian LCPKS pada bibit kelapa sawit di pre nursery mulai dari taraf 0 l/tanaman (L0) sampai pada taraf 4,5 l/tanaman (L3) menunjukkan hasil yang terus meningkat pada kedua parameter tersebut. Hal Ini mengindikasikan bahwa kandungan yang terdapat pada LCPKS memberikan hasil yang positif bagi pertumbuhan bibit kelapa sawit di pre nursery.

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)

Mikoriza Vaskular Arbuskular (MVA) adalah salah satu jenis cendawan tanah, yang keberadaannya dalam tanah sangat mempun-yai manfaat.Hal ini disebabkan karena MVA dapat meningkatkan ketersediaan dan pen-gambilan unsur fosfor, air, dan nutrisi lain-nya, serta untuk pengendalian penyakit yang

Berdasarkan struktur dan cara cendawan menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokkam ke dalam 3 tipe yaitu Ektomikoriza, Ektendomikoriza dan Endomikoriza. Ektomikoriza mempunyai sifat memperbesar akar akibat infeksi, bercabang, tidak memiliki rambut-rambut akar, hifa menjorok ke luar dan berfungsi sebagi alat dalam menyerap unsur hara dan air. Hifa tidak masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding sel jaringan korteks membentuk struktur. Ektendomikoriza bercirikan adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan Hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteknya. Penyebaran ektomikoriza ini sangat terbatas dalam tanah-tanah hutan. Endomokoriza mempunyai sifat diantaranya akar membengkak karena infeksi, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, ada yang berbentuk oval yang disebut Vasiculae (vesikel) sistem percabangan hifa yang dichotomous disebut arbuscules (arbuskul) (Dahono, 2015).

Mikoriza bersimbiosis mutualisme dengan tanaman. Secara tidak langsung, mikoriza dapat membantu meningkatkan produksi tanaman. Mikoriza adalah jenis cendawan yang bersimbiosis pada korteks akar tanaman. Mikoriza berfungsi membantu penyerapan unsur P sebesar 25%. Selain itu mikoriza berfungsi untuk menghasilkan hormon dan zat pengatur tumbuh seperti auksin, sitokinin, dan giberelin. Fungsi lain mikoriza adalah menghasilkan zat antibiotic yang melindungi tanaman dari pathogen akar. Mikoriza juga bias merangsang aktivitas mikroorganisme tanah yang menguntungkan dan memperbaiki struktur dan agregasi tanah. Selain itu, mikoriza berfungsi untuk membangun tanaman agar lebih tahan terhadap kekeringan (Parnata, 2004).

Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan struktur yang terdiri dari hifa eksternal, hifa internal, hifa gelung, arbuskula, dan vesikula. Cendawan ini masuk dalam genus Glomales, dan bersifat obligat, sehingga tidak dapat diinokulasi dengan tehnik mikrobiologi, tetapi hanya dapat di-tumbuhkan pada akar tunbuhan hidup (Talanca, 2010).

FMA berkembang dengan cara cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora di dalam tanah, kemudian hifa yang tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks. Akar yang terinfeksi akan terbentuk arbuskul, vesikel intraseluler, penetrasi hifa dan perkembangnya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses differensisasi dan proses pertumbuhan. Hifa berkembang tanpa merusak sel. Fungi ini berkembang atau dapat hidup pada hampir semua tanaman perkebunan melaui infeksi mikoriza salah satunya adalah pada tanaman karet (Dahono, 2015).

Aplikasi mikoriza 10 g meningkatkan persen kolonisasi pada akar sebesar 95,07% jika dibandingkan perlakuan tanpa mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi mikoriza 10 g sudah efektif dalam melakukan kolonisasi pada akar tanaman dibanding pemberian mikoriza 20 g dan mikoriza 30 g. Aplikasi mikoriza 10 g nyata meningkatkan persen kolonisasi mikoriza pada akar (95,07%), serapan hara N (110,29%), serapan hara P (108,19%), berat kering tajuk (82,96%), berat kering akar (84,21%) dan berat kering total (84,29%) pada tanaman kelapa sawit dibandingkan tanpa mikoriza (Novriani, 2010).

PENDAHULUAN

Dokumen terkait