• Tidak ada hasil yang ditemukan

CROSS DENGAN PEMBERIAN JENIS KONSENTRAT YANG BERBEDA

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross

Sapi Brahman berasal dari India yang merupakan keturunan dari sapi Zebu (Bos Indicus). Sapi Brahman Cross merupakan sapi hasil persilangan antara sapi Brahman (Bos Indicus) dengan sapi Shorthorn dan Hereford yang merupakan bangsa sapi British (Bos Taurus). Komposisi darah sapi Brahman Cross terdiri atas 50% darah Brahman dan 25% darah Shorthorn dan 25% darah Hereford (Turner, 1977). Sapi Brahman Cross yang diimpor ke Indonesia berasal dari Australia. Sapi-sapi impor ini memiliki kelebihan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia, memiliki pertambahan bobot badan yang tinggi dengan waktu yang singkat dan produktivitas karkas yang tinggi (Hafid, 1998).

Pertumbuhan Ternak

Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran yang meliputi berat hidup, bentuk, dimensi, linier dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas. Pertumbuhan seekor ternak merupakan kumpulan dari pertumbuhan bagian-bagian komponennya. Pertumbuhan komponen-komponen tersebut berlangsung dengan kadar laju yang berbeda, sehingga perubahan ukuran komponen menghasilkan diferensiasi atau pembedaan karakteristik individual sel dan organ. Diferensiasi menghasilkan perbedaan morfologis atau kimiawi, misalnya perubahan sel-sel embrio menjadi sel-sel otot, tulang, hati, jantung, ginjal, otak, saluran pencernaan, organ reproduksi dan alat pernapasan (Soeparno, 2005).

Pertumbuhan dan distribusi komponen-komponen tubuh seperti tulang, otot dan lemak berlangsung secara gradual yaitu tulang meningkat pada laju pertumbuhan maksimal awal, kemudian diikuti oleh otot dan terakhir oleh lemak yang meningkat dengan pesat (Swatland, 1984). Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon dan kastrasi, lingkungan dan manajemen (Aberle et al., 2001). Pertumbuhan ternak pada jenis kelamin yang berbeda, laju pertumbuhannya juga berbeda. Pertumbuhan pada ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat dan pada umur yang sama mempunyai bobot badan lebih berat dibandingkan dengan ternak betina (Hammond et al., 1984).

16

Sapi Dara

Usaha pembesaran sapi dara di tingkat peternakan rakyat masih belum banyak dilakukan karena dipandang belum menguntungkan. Pemeliharaan sapi dara merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan sapi pedaging karena merupakan calon penghasil bakalan. Peningkatan efisiensi usaha dalam pemeliharaan sapi pedaging dara perlu dilakukan melalui efisiensi biaya pakan (Ditjennak, 2007). Kuswandi et al. (2003) menyatakan bahwa bobot badan sapi dara minimal 250 kg pada waktu kawin pertama jarang tercapai pada umur 15 bulan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya potensi pertumbuhan calon induk atau kurang terpenuhinya pakan.

Umiyasih et al. (2003) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang optimal untuk sapi dara yaitu 0,5 kg/hari dapat tercapai apabila jumlah pemberian bahan kering (BK) pakan pada sapi dara adalah 3% dari bobot badan. Kearl (1982) menambahkan, bahwa pertumbuhan ideal untuk sapi dara dengan PBBH 0,5 kg/hari membutuhkan protein kasar sekitar 291 g dan energi metabolis sebesar 5,99 Mcal bila bobot badannya 100 kg. Perlakuan flushing (2% konsentrat per bobot badan) pada sapi dara turunan Brahman dapat meningkatkan produktivitas pertambahan bobot badan harian dan diikuti oleh perbaikan performans reproduksi (Thalib et al., 2001).

Pakan Ternak

Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak (Tillman et al., 1998). Bahan pakan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu konsentrat dan bahan berserat. Konsentrat (biji-bijian) dan bahan berserat (jerami atau rumput) merupakan komponen atau penyusun ransum (Blakely dan Bade, 1991).

Konsentrat

Konsentrat atau bahan pakan penguat adalah pakan berkonsentrasi tinggi yang mengandung protein kasar dan energi yang cukup dengan kadar serat kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat meliputi bahan pakan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir, hasil ikutan pertanian atau pabrik seperti dedak, bekatul, bungkil kelapa sawit, tetes dan berbagai umbi-umbian. Fungsi konsentrat adalah meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan

17 lain yang nilai gizinya rendah (Church, 1991). Penggunaan konsentrat (terutama yang banyak mengandung biji-bijian) yang lebih tinggi akan mempercepat pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan lebih baik. Penentuan jumlah konsentrat yang tepat merupakan salah satu cara optimasi kapasitas pencernaan untuk mendapatkan efisiensi pemanfaatan pakan yang lebih baik (Purbowati, 2001).

Hijauan

Hijauan merupakan kebutuhan pokok bagi pakan ternak ruminansia, adapun ketersediaannya sepanjang tahun tidak selalu mudah didapat. Pada musim kemarau ketersediaannya tidak mencukupi kebutuhan ternak, sedangkan di musim penghujan sangat mudah didapat dan bahkan berlebih. Pemenuhan kebutuhan akan hijauan sepanjang tahun, maka kelebihan produksi di musim penghujan seyogyanya dilakukan penyimpanan dan pengawetan. Hijauan merupakan bahan pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi. Hijauan memiliki kandungan serat kasar lebih dari 18% dalam bahan kering. Serat kasar merupakan komponen utama dari dinding sel hijauan (Field, 2007).

Rumput gajah merupakan keluarga rumput-rumputan (graminae) yang telah dikenal manfaatnya sebagai pakan ternak pemamah biak (ruminansia) yang alamiah di Asia Tenggara. Rumput ini biasanya dipanen dengan cara memotong seluruh pohonnya lalu diberikan langsung sebagai pakan hijauan untuk kerbau dan sapi, atau dapat juga dijadikan persediaan pakan melalui proses pengawetan pakan hijauan dengan cara silase dan hay (Manglayang, 2005). Rumput Gajah (Pennisetum

purpureum) atau disebut juga rumput napier, merupakan salah satu jenis hijauan

pakan ternak yang berkualitas dan disukai ternak. Rumput gajah dapat hidup di berbagai tempat 0-3000 dpl (Sutanmuda, 2008). Produksi rumput gajah yang tinggi dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi kesenjangan produksi hijauan pakan pada musim hujan dan musim kemarau dan untuk memanfaatkan kelebihan produksi tersebut pada fase pertumbuhan yang terbaik, maka dapat diawetkan dalam bentuk silase, karena rumput gajah merupakan bahan pakan hijauan yang baik untuk dibuat silase(Sutardi, 1991).

Kualitas Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

18 gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Lawrie (2003) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan, sering pula diperluas dengan memasukkan organ-organ seperti hati dan ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging.

Karakteristik fisik daging segar sangat berpengaruh terhadap daya tarik konsumen untuk membeli daging (Aberle et al., 2001). Pengujian kualitas fisik daging secara objektif dapat dilakukan dengan cara mengetahui daya putus Warner- Bratzler (WB), kekuatan tarik dan kompresi, kehilangan berat selama pemasakan (susut masak), pH, daya ikat air dan keempukan juga merupakan komponen kualitas daging yang diuji (Soeparno, 2005).

Nilai pH Daging

Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah antara 5,4-5,8. Stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat- obatan tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging (Soeparno, 2005). Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al., 2007).

Buckle et al. (1987) nilai pH akhir yang tercapai mempunyai pengaruh yang berarti dalam mutu daging. Nilai pH rendah menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka sehingga sangat baik untuk pengasinan, berwarna merah muda cerah sehingga disukai oleh konsumen, mempunyai flavor yang lebih disukai dan mempunyai stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan oleh mikroorganisme. Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak. Ditambahkan oleh Aberle et al. (2001) perubahan nilai pH tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan, bila jumlah glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup atau terlalu banyak akan menghasilkan daging yang kurang berkualitas.

19

Keempukan

Keempukan dan tekstur daging merupakan penentu kualitas daging sapi segar. Komponen utama yang menentukan keempukan adalah jaringan ikat dan lemak yang berhubungan dengan otot (Aberle et al., 2001). Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik termasuk bangsa, spesies, fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin dan stres. Faktor postmortem yang diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan dan metode pengolahan, termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan empuk (Soeparno, 2005). Derajat keempukan dapat dihubungkan dengan tiga kategori protein dalam urat daging yaitu dari tenunan pengikat (kolagen elastis, retikulum, mukopolisakarida dari matriks) dari miofibril aktin, miosin, tropomiosin dan yang sarkoplasma (Lawrie, 2003). Keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan, jaringan ikat pada otot hewan muda banyak mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hewan tua (Epley, 2008).

Pemasakan daging dalam oven 135oC sampai suhu dalam 50oC atau 60oC tidak mempengaruhi nilai daya putus Warner Bratzler (Lawrie, 2003). Perbedaan suhu dalam daging saat pemasakan (60oC, 70oC dan 80oC) akan mempengaruhi keempukan daging, semakin tinggi suhu akhir pemasakan akan menghasilkan daging yang lebih empuk. Suhu akhir (60oC, 70oC dan 80oC) secara akurat dapat digunakan sebagai alat untuk klasifikasi keempukan daging, tetapi pada suhu yang rendah (<60oC) perbedaan suhu dalam daging tidak dapat dijadikan patokan yang akurat untuk klasifikasi keempukan daging karena dipengaruhi oleh waktu pemasakan, jumlah perubahan jaringan dan rendahnya nilai klasifikasi keempukan daging (Wheeler et al., 1999). Fiems et al. (2000) menambahkan bahwa nilai keempukan daging sangat dipengaruhi oleh faktor penanganan ternak sebelum pemotongan, pakan ternak, pH dan perlemakan.

Susut Masak

Susut masak merupakan salah satu indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara serabut otot. Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan.

20 Semakin tinggi temperatur pemasakan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2005). Besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur simpan daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air (Shanks et al., 2002). Lawrie (2003) menyatakan bahwa jumlah cairan yang diperoleh dalam pemanasan akan meningkat lebih lanjut pada suhu antara 107oC dan 155oC. Hal ini mungkin menggambarkan beberapa kerusakan protein, dengan kerusakan asam-asam amino yang akan terjadi dalam kisaran suhu tersebut.

Daya Mengikat Air

Daya mengikat air oleh protein daging atau water holding capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan absorbsi air atau kapasitas (kemampuan) daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno, 2005). Bailey et al. (2008) efek peningkatan konsentrasi protein kasar terhadap pertumbuhan karkas dan kualitas daging sapi memberikan hasil terhadap kapasitas daging dalam menyerap air pada sapi heifer lebih rendah dibandingkan dengan sapi steer.

Lawrie (2003) menyatakan bahwa daya mengikat air daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin tinggi daya mengikat air atau nilai mgH2O rendah. Tingkat penurunan pH postmortem berpengaruh terhadap daya mengikat air. Penurunan pH yang semakin cepat, terjadi karena semakin banyaknya protein sarkoplasmik yang terdenaturasi dan selanjutnya akan meningkatkan aktomiosin untuk berkontraksi, sehingga akan memeras cairan keluar dari protein daging. Daya mengikat air pada daging selain dipengaruhi oleh pH, juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban, penyimpanan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler (Soeparno, 2005).

21 Daya mengikat air daging pada pH titik isoelektrik protein-protein daging berkisar antara 5,0-5,1. Protein daging ini tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkatnya atau menurunnya pH daging dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas daya mengikat air dengan cara menciptakan ketidakseimbangan muatan (Knipe et al., 1992). Hubungan daya mengikat air dengan nilai pH disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan Daya Mengikat Air dengan Nilai pH Daging (a) ekses muatan positif pada miofilamen, (b) muatan positif dam negative seimbang, dan (c) ekses muatan negatif pada miofilamen (Wismer-Pederson, 1971).

Marbling

Lemak marbling atau yang biasa disebut lemak intramuskuler terdapat di dalam jaringan ikat perimiseal diantara fasikuli atau ikatan serabut otot. Lemak marbling merupakan jaringan lemak yang tumbuh paling akhir setelah deposisi lemak visceral, lemak penyelubung ginjal dan lemak subkutan sudah terbentuk. Lemak marbling termasuk faktor yang ikut menentukan kualitas karkas dan mempengaruhi warna daging (hue) menjadi lebih terang, tetapi tidak mempengaruhi mioglobin atau hemoglobin (Soeparno, 2005). Bolink et al. (1999) secara umum nilai marbling pada sapi Limousin jantan berbeda dengan nilai marbling sapi dara Limousin. Diwyanto dan Putu (1995) sapi jantan dan betina Brahman Cross

22 mempunyai tingkat penyebaran lemak di dalam daging yang hampir sama, hal ini dipengaruhi oleh jenis pakan, waktu penggemukan, breed dan umur.

Kondisi perlemakan karkas disesuaikan dengan keinginan konsumen. Berbeda dengan konsumen pasar khusus, konsumen pasar tradisional lebih banyak memilih daging dengan perlemakan rendah, sedangkan konsumen pasar khusus lebih memilih daging dengan perlemakan tinggi, khususnya lemak marbling. Hal ini terjadi karena konsumen-konsumen pasar khusus lebih memperhatikan kualitas daging untuk menghasilkan suatu hasil akhir yang baik setelah daging dimasak (Halomoan, 2000).

Warna Daging

Warna daging adalah kesan total yang terlihat oleh mata dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ketika memandang. Warna daging merupakan kombinasi beberapa faktor yang dideteksi oleh mata (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen (Soeparno, 2005). Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging, yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin. Tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging. Penampilan permukaan daging bagi konsumen bukan hanya tergantung pada kualitas mioglobin yang ada, tetapi juga pada tipe molekul mioglobin (Lawrie, 2003). Kandungan pigmen dalam daging sapi muda lebih rendah sehingga warna daging lebih pucat. Pada umumnya makin bertambah umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat walaupun tidak konstan. Bertambahnya tingkat kedewasaan pada sapi akan menyebabkan perubahan warna daging dari merah muda menjadi merah gelap (Aberle et al., 2001).

23

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari bulan April dan berakhir pada bulan Juli 2010, bertempat di PT Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Pemotongan dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Cibinong, Kabupaten Bogor. Analisis karakteristik fisik daging sapi dilakukan di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Jumlah sapi yang digunakan sebanyak sembilan ekor yang mempunyai kisaran umur 1,5–2 tahun dengan rataan bobot awal 330±26,93 kg dan rataan bobot akhir 357±26,82 kg. Sampel daging diambil dari otot longissimus dorsi et lumbarum.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan sapi hidup, timbangan daging, pH meter, planimeter, kertas saring, carper press, warner-bratzler shear, marbling score system, Photo Graphic Colour Standard, dan peralatan dari RPH.

Prosedur Pemeliharaan Ternak

Sapi dara Brahman Cross dipelihara secara intensif dalam kandang koloni dengan atap hanya terdapat pada tempat pakan. Waktu adaptasi sapi dari mulai ditempatkan di kandang sampai dimulainya penelitian yaitu satu minggu, setelah melewati masa adaptasi kemudian dilakukan pengelompokan sapi dara Brahman Cross berdasarkan bobot badan, tujuannya agar tidak terjadi persaingan antar sapi dalam mengkonsumsi pakan. Sapi dara Brahman Cross ditimbang untuk mendapatkan bobot badan awal, kemudian ditempatkan dikandang kelompok dan dipisahkan menjadi tiga sekat. Masing-masing sekat diisi dengan tiga ekor sapi. Pengelompokan ternak adalah sebagai berikut kelompok I yaitu 289-314 kg, kelompok II yaitu 340-365 kg dan kelompok III yaitu 328-337 kg.

Penimbangan sapi dilakukan pada hari ke 30 dan pada saat sapi akan dipotong. Pemberian pakan pada penelitian ini terdiri atas konsentrat dan rumput gajah dengan rasio 60:40. Konsentrat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas

24 tiga jenis konsentrat yang mempunyai bahan baku yang berbeda. Berikut bahan baku konsentrat yang digunakan selama penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Bahan Baku Konsentrat Selama Penelitian

Konsentrat 1 Konsentrat 2 Konsentrat 3

Dedak Halus Dedak Onggok

Kulit Cokelat Pollard Bungkil Sawit

Bungkil Kelapa Bungkil Kelapa Bungkil Kopra Bungkil Sawit Kulit Kacang Tanah Bungkil Kedelai Bungkil Kedelai Kulit Cokelat Jagung Giling

Onggok Tepung Roti Kulit Kopi

Kulit Kopi Onggok Biji Kapuk

Biji Kapuk Rumput Lapang Pollard

Urea Limestone Premix

Molases DCP Molases

Mineral premix Urea Garam

Garam Molases Kapur

Mineral premix Sodium

Garam Urea

Pemberian konsentrat dilakukan tiga kali dalam satu hari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB. Pemberian rumput gajah dilakukan tiga kali dalam satu hari yaitu pada pukul 09.00, 14.00 dan 19.00 WIB. Pakan yang tersisa ditimbang sebelum pemberian pakan selanjutnya diberikan, kemudian pakan yang tidak dikonsumsi dihitung untuk mendapatkan nilai konsumsi pakan. Pemberian air minum selama penelitian dilakukan ad-libitum. Berikut kandungan nutrien konsentrat dan rumput gajah yang digunakan selama pemeliharaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrien Konsentrat dan Rumput Gajah Selama Penelitian Berdasarkan Bahan Kering

Bahan BK (%) PK (%) TDN (%) SK (%) LK (%)

Konsentrat 1 85,4 11 70,42 19,9 3,12

Konsentrat 2 91,9 13,03 70 13,25 5

Konsentrat 3 83,6 16 65 15 7

Rumput Gajah 22,2 8,69 52,4 33,3 2,71

Sumber : P1 dan P3 : CV. Tani Mulyo (2010), P2 : Daarul Falah (2010), R.Gajah : Sutardi (1981). Keterangan : BK : Bahan Kering PK : Protein Kasar TDN : Total Digestible Nutrient SK : Serat Kasar LK : Lemak Kasar

25

Pemotongan Ternak

Sebelum dipotong, sapi ditempatkan di kandang karantina yang terdapat di RPH Cibinong. Pemotongan dilakukan pada bagian leher dengan memotong arteri

karotis dan vena jugularis serta oesophagus sehingga pembuluh darah dan trakea

terpotong dan proses pengeluaran darah sempurna. Pemisahan kepala, kaki bagian depan dan kaki bagian belakang (pada sendi carpo-metacarpal dan tarso-metatarsal) dipotong, kemudian sapi digantung pada kaki belakang (tendon achilles). Setelah digantung, dilakukan pengulitan. Kemudian dilakukan pengeluaran organ-organ pada rongga dada dan isi perut dikeluarkan dengan melakukan penyayatan pada dinding

abdomen sampai dada. Organ hati, limpa, ginjal, jantung, trakea dan paru-paru

dikeluarkan. Proses tersebut disajikan pada Gambar 2.

Setelah proses pemotongan, pengulitan dan eviscerasi, kemudian dilakukan pembelahan karkas menjadi dua bagian karkas pada tulang belakang (vertebrae). Kedua karkas tersebut disebut karkas kanan dan karkas kiri. Setelah dipotong menjadi dua bagian, kemudian karkas dipotong menjadi empat bagian pada tulang rusuk ke 5 dan 6. Setelah dipotong menjadi empat bagian, dilakukan pengambilan sampel otot pada bagian Longissimus dorsi et lumbarum, setelah itu sampel daging dianalisa di Laboratorium untuk mengukur nilai pH, daya mengikat air, susut masak, keempukan, marbling dan warna daging.

Gambar 2. Proses Pengulitan dan Pengeluaran Organ Hati, Limpa, Ginjal, Jantung, Trakea dan Paru-paru

Rancangan Percobaan

Pengujian kualitas daging menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Menurut Steel dan Torrie (1995) model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

26 Yij = μ + Pi + Kj + εij

Keterangan : Yij = Hasil pengamatan variabel respon akibat pengaruh pemberian pakan konsentrat.

μ = Nilai tengah umum.

Pi = Pengaruh perlakuan pakan ke i (i=P1,P2,P3) Ki = Pengaruh kelompok ke j (j=1, 2, 3)

εij = Pengaruh galat percobaan dari faktor perlakuan pakan.

Sebelum dianalisis, data hasil penelitian dilakukan uji asumsi yaitu uji kenormalan, keaditifan, kehomogenan dan kebebasan galat. Apabila telah memenuhi semua asumsi tersebut maka dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Jika diperoleh hasil yang berbeda, dilanjutkan dengan uji Tukey. Penilaian konsumsi pakan dan zat makanan dialkukan dengan penilaian deskriptif.

Perlakuan

Penelitian ini dilakukan dengan tiga taraf perlakuan pemberian konsentrat dengan kandungan nutrien yang berbeda yang dilihat dari perbandingan kandungan Protein Kasar (PK) dan Total Digestible Nutrient (TDN).

1) Perlakuan P1 yaitu kelompok sapi yang diberikan konsentrat dengan kandungan PK 11% dan TDN 70,42%.

2) Perlakuan P2 yaitu kelompok sapi yang diberikan konsentrat dengan kandungan PK 13,03% dan TDN 70%.

3) Perlakuan P3 yaitu kelompok sapi yang diberikan konsentrat dengan kandungan PK 16% dan TDN 65%.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :

Konsumsi pakan. Rataan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh seekor sapi dalam suatu kelompok setiap hari. Konsumsi ransum diperoleh dari selisih antara jumlah ransum awal yang diberikan dengan jumlah sisa ransum. Perhitungan sisa ransum dilakukan dengan cara menimbang sisa ransum.

Konsumsi zat makanan. Konsumsi energi diperoleh dari jumlah konsumsi pakan dikalikan dengan kandungan Total Digestible Nutrient (TDN) dari pakan. Konsumsi

27 protein kasar diperoleh dari jumlah konsumsi pakan dikalikan dengan kandungan protein kasar dari pakan.

Nilai pH daging. Pengukuran pH daging dilakukan dengan menggunakan alat pengukur pH yaitu pH meter. Pengukuran pH daging dilakukan 6 jam setelah pemotongan. Sebelum pengukuran pH dilakukan, pH meter dikalibrasi dengan menggunakan cairan buffer hingga mencapai angka pH 7 dan pH 4. Setelah pH meter

Dokumen terkait