• Tidak ada hasil yang ditemukan

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang Undang

TINJAUAN PUSTAKA

Ginjal dan Peranannya dalam Pembentukan Urin

Ginjal merupakan salah satu organ yang penting bagi makhluk hidup. Ginjal memiliki berbagai fungsi seperti pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, pengaturan keseimbangan asam-basa, ekskresi sisa metabolisme dan bahan kimia asing; pengatur tekanan arteri, sekresi hormon, dan glukoneogenesis. Jika ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, akan terlihat dua bagian utama yaitu

korteks di bagian luar dan medulla di bagian dalam. Unit terkecil dari ginjal adalah nefron (Gambar 1). Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru sehingga apabila terjadi trauma pada ginjal, penyakit ginjal, atau terjadi penuaan normal, akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap. Selanjutnya, struktur nefron disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur nefron (Guyton 2006)

Setiap nefron mempunyai dua komponen utama yaitu bagian glomerulus yang dilalui sejumlah besar cairan yang difiltrasi dari darah dan bagian tubulus yang panjang di mana cairan hasil filtrasi diubah menjadi urin dalam perjalanannya menuju pelvis. Glomerulus tersusun dari suatu jaringan kapiler glomerulus yang bercabang dan beranastomosa yang memiliki tekanan hidrostatik

lebih tinggi dibandingkan jaringan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan dibungkus dalam kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus mengalir ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal.

Dari tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa Henle yang masuk ke dalam medulla renalis. Setiap lengkung terdiri atas cabang desenden dan asenden. Dinding cabang desenden sampai ujung cabang asenden merupakan bagian ansa Henle yang paling tipis. Pada perjalanan kembali ke cabang asenden, dinding akan kembali menebal seperti bagian lain dari sistem tubular sehingga bagian cabang asenden merupakan bagian yang paling tebal dari ansa Henle. Dari ansa helen, cairan akan menuju ke makula densa dan kemudian ke tubulus distal. Selanjutnya cairan akan menuju ke tubulus rektus, tubulus kolingentes, dan berakhir di papilla renal. Setiap ginjal mempunyai sekitar 250 duktus kolingentes yang sangat besar dan masing-masingnya mengumpulkan urin dari kira-kira 4.000 nefron (Guyton 2006).

Diuretik

Diuretik adalah suatu zat yang dapat meningkatkan laju pengeluaran volume urin. Selain itu diuretik juga dapat meningkatkan ekskresi bahan terlarut dalam urin seperti natrium dan klorida. Secara klinis, diuretik bekerja dengan menurunkan laju reabsorbsi natrium dari tubulus sehingga menyebabkan

natriuresis dan kemudian menimbulkan efek dieresis (Guyton 2006). Menurut Mary (1995), sejumlah besar diuretik terbagi atas lima kelompok berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:

a) Diuretik penghambat karbonik anhidrase

Diuretik penghambat karbonik anhidrase adalah senyawa yang dapat menghambat enzim karbonik anhidrase pada sel epitel tubulus proksimal dan dapat menghambat penyerapan kembali ion-ion Na+, Cl-, dan air. Enzim karbonik anhidrase berfungsi mengkatalis pembentukan H+ dan HCO-. Dengan berkurangnya ion H+, pertukaran ion Na+ dengan H+ akan terhambat sehingga terjadi penumpukan Na+ di tubulus dan

menyebabkan perbedaan tekanan osmosis. Efek samping diuretik ini berupa gangguan saluran pencernaan, menurunan nafsu makan, asidosis, dan hipokalemia. Contoh diuretik penghambat karbonik anhidrase adalah asetazolamid, metazolamid, dan etokzolamid (Siswandono 1995).

b) Diuretik loop

Diuretik loop merupakan diuretik yang kuat, bekerja dengan cepat, dan memiliki aktivitas diuretik yang lebih besar dibandingkan dengan golongan diuretik lainnya. Mekanisme kerja diuretik loop bekerja pada ansa Henle segmen asenden dengan menghambat kerja ko-transpor natrium, kalium, dan klorida. Penghambatan kerja ko-transpor akan menurunkan reabsorpsi ion-ion natrium, kalium, dan klorida (Mary 1995). Efek samping yang ditimbulkan berupa hiperurisemia, hiperglikemia, hipotensi, hipokalemia, hipokloremik, kelainan hematologis, dan dehidrasi. Contoh diuretik loop adalah asam etakrinat, furosemid, xipamid, dan klopamid (Siswandono 1995).

c) Diuretik turunan tiazid

Diuretik turunan tiazid merupakan diuretik yang dapat menekan reabsorpsi ion-ion K+, Mg+, dan HCO- serta menurunkan ekskresi asam urat. Diuretik turunan tiazid mengandung gugus sulfamil sehingga dapat menghambat enzim karbonik anhidrase dan bekerja pada tubulus distal. Efek samping yang ditimbulkan berupa hipokalemia dan gangguan keseimbangan elektrolit. Contoh diuretik tiazid adalah klorotiazid, flumetiazid, politiazid, dan klortalidon (Siswandono 1995).

d) Diuretik hemat kalium

Diuretik hemat kalium bekerja pada saluran pengumpul, dengan mengubah kekuatan pasif yang mengontrol pergerakan ion-ion, menghambat reabsorpsi ion Na+, dan sekresi ion K+ sehingga meningkatkan ekskresi ion Na dan Cl di dalam urin. Efek samping yang ditimbulkan berupa hiperkalemia dan gangguan saluran pencernaan. Contoh diuretik hemat kalium adalah amilorid, triamteren, dan spironolakton (Siswandono 1995).

e) Diuretik osmotik

Diuretik osmotik adalah senyawa yang dapat meningkatkan ekskresi urin dengan mekanisme kerja berdasarkan perbedaan tekanan osmosis. Senyawa ini memiliki berat molekul yang rendah, difiltrasi secara pasif pada kapsula Bowman, dan tidak direabsorbsi oleh tubulus renalis. Apabila diberikan dalam dosis besar, akan menyebabkan air dan elektrolit tertarik ke tubulus renalis akibat perbedaan tekanan osmosis sehingga terjadi diuresis. Efek samping yang ditimbulkan oleh diuretik osmotik berupa gangguan keseimbangan elektrolit, dehidrasi, sakit kepala, dan takikardi. Contoh diuretik osmotik adalah manitol, glukosa, sukrosa, dan urea (Siswandono 1995).

Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)

Belimbing wuluh di Indonesia di kenal sebagai pohon buah yang tumbuh liar pada tempat yang tidak dinaungi dan cukup lembab. Tumbuhan ini tumbuh di daerah dengan ketinggian hingga 500 meter di atas permukaan laut.

Menurut Inyu (2006), tanaman belimbing wuluh memiliki diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, kelas Magnoliopsida, ordo Oxalidales, familia Oxalidaceae, genus Averrhoa, dan Spesies Avarrhoea bilimbi. Selanjutnya, gambar buah belimbing wuluh disajikan pada Gambar 2.

Sifat kimia dan efek farmakologis tumbuhan belimbing wuluh adalah buahnya berasa asam, menghilangkan rasa sakit, memperbanyak pengeluaran empedu, antiradang, peluruh kencing, dan sebagai astringen (Wijayakusuma 2005). Kandungan zat aktif yang terkandung pada buah belimbing wuluh adalah flavonoid, saponin, tannin, glukosida, asam formiat, asam sitrat, dan beberapa mineral seperti kalsium dan kalium (Mursito 2005).

Flavonoid adalah zat golongan fenol alam terbesar yang diketahui mempunyai berbagai khasiat seperti antiradang, memperlancar pengeluaran air seni, antivirus, antijamur, antibakteri, antihipertensi, mampu menjaga dan meningkatkan kerja pembuluh darah kapiler (Anonim 2005). Menurut Sirait tahun 2007, flavonoid diklasifikasikan menjadi 12 jenis yaitu flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, kalkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan.

Saponin merupakan glikosida yang memiliki sifat khas pembentuk busa. Saponin terdiri atas aglikogen polisiklik yang disebut sapogenin dan gula sebagai glikon. Sapogenin hadir dalam dua bentuk yaitu steroid dan triterpenoid. Adanya saponin dalam tanaman diindikasikan dangan adanya rasa pahit dan apabila di campur dengan air akan membentuk busa stabil serta membentuk molekul dengan kolesterol (Cheek 2005). Pada penggunaan medis, saponin memiliki sifat menurunkan tegangan permukaan, meningkatkan absorpsi diuretik (terutama yang berbentuk garam), dan merangsang ginjal untuk bekerja lebih aktif (Gunawan 2004).

Hewan Coba

Menurut Malole dan Pramono (1989), hewan coba adalah hewan yang di pelihara atau sengaja diternakan sebagai hewan model untuk mempelajari dan mengambangkan berbagai bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Beberapa hewan coba yang digunakan untuk penelitian adalah mencit, tikus putih, marmot, kelinci, dan primata. Selanjutnya, gambar tikus percobaan disajikan pada gambar 3.

Gambar 3 Tikus putih galur Sprague-Dawley

Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur tikus yang umum digunakan yaitu galur Sprague-Dawley, Wistar, dan Long-evans. Ciri-ciri tikus galur Sprague- Dawley adalah berambut putih, bermata merah, kepala kecil, dan memiliki ekor yang lebih panjang dari badannya. Ciri-ciri tikus Wistar adalah memiliki kepala yang lebih besar dan ekor lebih pendek dibandingkan dengan tikus galur Sprague- Dawley. Ciri-ciri tikus Long-evans adalah memiliki ukuran badan yang lebih kecil dibandingkan dengan tikus galur Sprague-Dawley dan memiliki rambut berwarna hitam pada bagian kepala, dada, dan punggung (Malole dan Pramono 1989).

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan April sampai dengan Juni 2011 di Bagian Farmakologi dan Toksikologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kandang metabolis untuk rodensia, gelas ukur, erlenmeyer, syringe, sonde lambung, pot plastik, timbangan, pH meter, blender, rotary evaporator, freeze dryer, dan spektrofotometer. Sementara itu, bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tikus putih jantan galur Sprague-Dawley, ekstrak etanol buah belimbing wuluh, furosemid, urea, NaCl fisiologis, dan aquades.

Tahap Persiapan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ialah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang telah dewasa kelamin. Tikus-tikus tersebut memiliki kisaran bobot badan antara 250-300 g.

Sebelum perlakuan, tikus dipelihara selama 2 minggu untuk diaklimatisasikan. Tikus tersebut di tempatkan di dalam kandang yang terbuat dari plastik dan diberi alas sekam padi. Setiap 3 hari sekali, alas sekam padi diganti untuk menjaga kebersihan kandang. Selain itu, bagian atas kandang ditutup dengan menggunakan anyaman kawat.

Setiap kandang berisi antara 3-4 ekor tikus. Pakan yang diberikan berupa pelet standar khusus tikus dan pakan tersebut diberikan pada pagi dan sore hari. Sementara itu, air minum untuk tikus percobaan diberikan ad libitum.

Pembuatan ekstrak diawali dengan pembuatan simplisia. Simplisia dibuat dengan cara mengeringkan 10 kg irisan buah belimbing wuluh dengan memasukan irisan tersebut ke dalam oven yang bersuhu 50°C selama 24 jam sehingga di dapat 300 g simplisia buah belimbing wuluh. Setelah itu, simplisia

buah belimbing wuluh yang telah kering digiling dengan menggunakan blender

sampai berbentuk serbuk halus.

Pembuatan ekstrak etanol buah belimbing wuluh dilakukan dengan cara maserasi, yaitu merendam simplisia buah belimbing wuluh ke dalam etanol 70% dengan perbandingan 1 kg simplisia dibanding 10 L etanol sehingga 300 g simplisia tersebut di rendam dengan 3 L etanol 70 %. Selama perendaman, 3 hari, campuran tersebut diaduk secara berkelanjutan setiap jam sekali. Hasil perendaman ini disaring dengan menggunakan kain kasa untuk memperoleh filtrat hasil perendaman. Selanjutnya, filtrat dimasukan ke dalam rotary evaporator

untuk mendapatkan ekstrak etanol buah belimbing wuluh dalam bentuk pasta. Kemudian, pasta ekstrak etanol buah belimbing wuluh dimasukan ke dalam freeze dryer untuk mendapatkan serbuk kering beku ekstrak buah belimbing wuluh. Setelah itu, 10 g serbuk kering beku ekstrak etanol belimbing wuluh diencerkan dengan aquades ber-pH 7 dan diukur nilai pH dengan menggunakan pH meter serta dianalisis fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia ekstrak tersebut. Analisis fitokimia dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, Bogor.

Tahap Perlakuan

Sebelum perlakuan, tikus percobaan terlebih dahulu dipuasakan selama 12 jam. Pemberian ekstrak dilakukan secara peroral dengan mencekok tikus percobaan yang telah dipuasakan tersebut dengan menggunakan sonde lambung. Setelah pemberian ekstrak, setiap tikus dimasukan ke dalam kandang metabolis secara individu.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah rancangan acak lengkap (RAL). Sebanyak 15 ekor tikus dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan dan 3 ulangan. Selanjutnya, perlakuan tersebut disajikan sebagai berikut.

Kelompok I : Tikus yang dicekok aquades sebagai kontrol negatif.

Kelompok II : Tikus yang dicekok ekstrak etanol buah belimbing wuluh dengan dosis 0,44 g/kg bb.

Kelompok III : Tikus yang dicekok ekstrak etanol buah belimbing wuluh dengan dosis 0,88 g/kg bb.

Kelompok IV : Tikus yang dicekok ekstrak etanol buah belimbing wuluh dengan dosis 1,75 g/kg bb.

Kelompok V : Tikus yang dicekok furosemid dengan dosis 21 mg/kg bb sebagai kontrol positif.

Dosis pada kelompok perlakuan ekstrak merupakan dosis bertingkat yang diperoleh dari konversi dosis efektif ekstrak etanol belimbing wuluh dari hewan coba mencit ke hewan coba tikus dengan menggunakan metode Laurence dan Bacharach (1964). Dosis efektif tersebut berasal dari penelitian Andriyanto et al.

tahun 2011. Selain perlakuan tersebut, dilakukan juga pengukuran volume urin kelompok tikus yang dicekok NaCl fisiologis dan urea. Perlakuan NaCl fisiologis dan urea ini dilakukan untuk menghitung kerja dan aktivitas diuretik (Mamun et al. 2003). Pencekokan NaCl fisiologis dilakukan dengan memberikan 5 mL NaCl fisiologis. Sementara itu, pencekokan urea dilakukan dengan memberikan larutan urea dengan dosis 350 mg/kg bb.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menampung dan mengukur volume urin setiap jam selama 5 jam paska perlakuan. Pengukuran volume urin dilakukan dengan menggunakan gelas ukur 1 mL. Setelah diukur, volume urin diakumulasikan ke dalam wadah yang terbuat dari plastik. Selanjutnya, volume urin ini digunakan untuk menghitung persentase ekskresi urin, kerja diuretik, dan aktivitas diuretik. Kemudian, volume urin kumulatif digunakan untuk mengukur pH, serta analisis kadar natrium (Na), dan kalium (K). Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter sedangkan analisis kadar natrium dan kalium dilakukan dengan spektrofotometer di Departemen Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas volume urin, persentase ekskresi urin, kerja diuretik, aktivitas diuretik, serta dinamika pH, kadar natrium, dan kalium urin.

Analisis Data

Volume urin yang diperoleh digunakan untuk menghitung persentase ekskresi urin, kerja diuretik, aktivitas diuretik berdasarkan persamaan Mamun et al. (2003). Persamaan tersebut diuraikan sebagai berikut.

Persentase Eksresi Urin = Total volume urin (mL) x 100% Total cairan yang masuk (mL)

Kerja Diuretik = Ekskresi urin (%) kelompok bahan uji Ekskresi urin (%) kelompok NaCl fisiologis

Aktivitas Diuretik = Kerja diuretik kelompok bahan uji Kerja diuretik urea

Selanjutnya, data persentase ekskresi urin, kerja diuretik, aktivitas diuretik, pH, kadar natrium, dan kalium dianalisis menggunakan ANOVA dengan uji lanjut

Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis ini digunakan untuk melihat adanya perbedaan antarperlakuan.

Setelah nilai aktivitas diuretik setiap kelompok percobaan didapat, nilai tersebut dibandingkan dengan skala diuretik Gujral et al. (1955). Skala Gujral menyatakan bahwa aktivitas diuretik dengan nilai kurang dari 0,72 dinyatakan tidak memiliki aktivitas diuretik, nilai 0,73 sampai dengan 1,0 adalah diuretik dengan aktivitas diuretik lemah, nilai 1,1 sampai dengan 1,5 adalah diuretik dengan aktivitas diuretik sedang, dan jika lebih dari nilai 1,5 adalah diuretik dengan aktivitaas diuretik kuat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini terdiri atas volume urin, persentase ekskresi urin, kerja diuretik, aktivitas diuretik, pH, kadar natrium, dan kalium urin. Selanjutnya, hasil penelitian disajikan sebagai berikut.

Volume Urin

Rataan volume urin kumulatif setiap jam selama 5 jam pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rataan volume urin (mL) kumulatif tikus percobaan pada setiap jam perlakuan

Jam ke- Volume urin (mL) kumulatif pada kelompok

Aquades EEBW 0,44 EEBW 0,88 EEBW 1,75 Furosemid 1 1,33±0,23c 0,03±0,06ab 0,37±0,38ab 0,03±0,06ab 0,10±0,10ab 2 2,37±0,32a 3,13±0,51a 3,70±0,61a 2,67±0,38a 3,10±1,15a 3 0,43±0,32ab 1,07±0,65ab 0,23±0,06a 0,13±0,06a 1,80±0,98b 4 0,37±0,32a 0,57±0,25a 0,17±0,12a 0,03±0,06a 0,40±0,69a 5 0,03±0,06a 0,03±0,06a 0,03±0,06a 0,00±0,00a 0,00±0,00a Total 4,53±0,55bc 4,83±0,15bc 4,50±0,26bc 2,87±0,29ab 5,40±1,91c

Keterangan: EEBW ialah ekstrak etanol belimbing wuluh dengan satuan g/kg bb; huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Tabel 1 menunjukan bahwa setiap perlakuan mengalami peningkatan volume urin mulai dari jam ke-1 sampai dengan jam ke-2 dan mulai menurun pada jam ke-3. Total volume urin kelompok aquades, ekstrak 0,44 g/kg bb, dan ekstrak 0,88 g/kg bb memiliki nilai yang mendekati nilai volume urin kelompok furosemid. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak etanol buah belimbing wuluh pada dosis 0,44 dan ekstrak 0,88 g/kg bb berpotensi sebagai diuretik.

Furosemid merupakan obat diuretik yang sering digunakan sebagai standar pembanding dalam pengujian diuretik (Mamun et al. 2003). Obat ini dapat meningkatkan produksi urin dengan cara menghambat absorbsi ion natrium, kalium, dan klorida pada daerah ansa Henle segmen asenden (Nalwaya et al.

2009). Pada kelompok tikus yang diberikan ekstrak etanol belimbing wuluh dengan dosis 1,75 g/kg bb, didapat hasil volume total yang rendah bila

dibandingkan dengan kelompok ekstrak etanol belimbing wuluh dengan dosis 0,44 dan 0,88 g/kg bb. Hal ini sejalan dengan pernyataan Duryatmo 2003, bahwa mengonsumi tanaman obat dengan dosis yang tidak tepat maka khasiat yang diharapkan tidak optimal.

Pada kelompok aquades, tikus percobaan mengekskresikan urin dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini disebabkan adanya fungsi homeostasis tubuh. Fungsi ini menjaga keseimbangan cairan di dalam tubuh dengan cara menurunkan sekresi hormon antidiuretik, mengurangi permeabilitas tubulus distal, dan duktus kolingentes terhadap air sehingga menurunkan reabsorpsi air yang pada akhirnya akan meningkatkan ekskresi urin (Guyton 2006).

Persentase Ekskresi Urin

Persentase ekskresi urin diperoleh sesuai dengan metode Mamun et al.

(2003). Persentase ekskresi urin diperoleh dengan membagi volume urin yang didapat dengan total cairan yang dicekokan pada kelompok NaCl fisiologis dan kemudian dikali dengan 100%. Hasil persentase ekskresi urin disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil perhitungan ekskresi urin (%) pada tiap jam perlakuan

Jam ke- Ekskresi urin (%) kumulatif pada kelompok

Aquades EEBW 0,44 EEBW 0,88 EEBW 1,75 Furosemid 1 26,67±4,62c 0,67±1,15ab 7,33±7,57b 0,67±1,15ab 2,00±2,00ab 2 47,33±6,43a 62,67±10,26a 74,00±12,17a 53,33±7,57a 62,00±23,07a 3 8,67±6,43ab 21,33±13,01ab 4,67±1,15a 2,67±1,15a 36,00±19,70b 4 7,33±6,43a 11,33±5,03a 3,33±2,31a 0,67±1,15a 8,00±13,86a 5 0,67±1,15a 0,67±1,15a 0,67±1,15a 0,00±0,00a 0,00±0,00a

Keterangan: EEBW ialah ekstrak etanol belimbing wuluh dengan satuan g/kg bb; huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Pada jam ke-1, persentase ekskresi urin yang diperoleh pada kelompok aquades meningkat lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Pada jam ke-2, persentase ekskresi urin kelompok aquades, ekstrak 0,44 g/kg bb, ekstrak 0,88 g/kg bb, dan ekstrak 1,75 g/kg bb cenderung sama dengan persentase ekskresi urin kelompok furosemid. Pada jam ke-3 hingga jam ke-5, seluruh perlakuan mengalami penurunan persentase ekskresi urin. Di antara ke tiga dosis perlakuan

ekstrak etanol buah belimbing wuluh, kelompok ekstrak 0,44 g/kg bb memiliki persentase ekskresi urin yang paling mendekati persentase ekskresi kontrol furosemid.

Kerja Diuretik

Kerja diuretik diperoleh sesuai dengan metode Mamun et al. (2003). Kerja diuretik diperoleh dengan cara membagi persentase ekskresi urin kelompok perlakuan dengan persentase ekskresi urin pada kelompok NaCl fisiologis. Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil perhitungan kerja diuretik

Jam ke-

Kerja diuretik pada kelompok

Aquades EEBW 0,44 EEBW 0,88 EEBW 1,75 Furosemid 1 40,00±6,9a 1,00±1,73b 11,00±11,36b 1,00±1,73b 3,00±3,00b 2 71,00±9,64a 94,00±15,39a 111,00±18,25a 80,00±11,36a 93,00±34,60a 3 0,12±0,09ab 0,30±0,18abc 0,07±0,02a 0,04±0,02a 0,50±0,28c

4 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞

5 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞

Keterangan: EEBW ialah ekstrak etanol belimbing wuluh dengan satuan g/kg bb; huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05); tanda (∞) menunjukan bahwa kerja diuretik pada kelompok tersebut tidak terhingga.

Pada jam ke-4 dan ke-5, kerja diuretik semua perlakuan memiliki nilai tidak terhingga. Hal tersebut disebabkan faktor pembagi kerja diuretik kelompok NaCl fisiologis memiliki nilai persentase ekskresi urin nol atau sudah tidak menghasilkan urin. Pada semua kelompok ekstrak etanol belimbing wuluh memiliki kerja diuretik hampir sama dengan kelompok furosemid dan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok aquades.

Aktivitas Diuretik

Aktivitas diuretik diperoleh dengan cara membagi kerja diuretik kelompok perlakuan dengan kerja diuretik kelompok urea. Kerja diuretik kelompok urea digunakan sebagai pembanding dalam penentuan aktivitas diuretik dikarenakan kerja diuretik kelompok urea memiliki nilai aktivitas diuretik sebesar 1 (Lipschitz 1943). Hal ini dikarenakan urea merupakan zat yang mudah larut dalam air dan

dapat meningkatkan tekanan osmotik, sehingga jumlah air dan elektrolit yang diekskresikan akan bertambah besar (Ganiswarna et al. 1995). Selanjutnya, hasil perhitungan aktivitas diuretik disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil perhitungan aktivitas diuretik

Jam ke- Aktivitas diuretik pada kelompok

Aquades EEBW 0,44 EEBW 0,88 EEBW 1,75 Furosemid

1 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞

2 3,23±0,44a 4,27±0,70ab 5,05±0,83b 3,64±0,52ab 4,23±1,57ab 3 0,33±0,25a 0,82±0,50ab 0,18±0,04a 0,10±0,04a 1,38±0,76b

4 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞

5 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞

Keterangan: EEBW ialah ekstrak etanol belimbing wuluh dengan satuan g/kg bb; huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05); tanda (∞) menunjukan bahwa aktivitas diuretik pada kelompok tersebut tidak terhingga.

Hasil aktivitas diuretik hanya didapat pada jam ke-2 dan ke-3 saja. Hal ini dikarenakan nilai kerja diuretik kelompok urea pada jam ke-1, ke-4, dan ke-5 bernilai nol atau tidak menghasilkan urin (nilai aktivitas diuretik tidak terhingga). Pada skala Gujral et al. (1955), aktivitas diuretik dengan nilai kurang dari 0,72 dinyatakan tidak memiliki aktivitas diuretik, nilai 0,73 sampai dengan 1,0 adalah diuretik dengan aktivitas lemah, nilai 1,1 sampai dengan 1,5 merupakan diuretik dengan aktivitas sedang, dan jika lebih dari nilai 1,5 adalah diuretik dengan aktivitas kuat.

Pada jam ke-2, semua perlakuan menunjukkan diuretik kuat dan tidak memiliki aktivitas diuretik pada jam ke-3 kecuali pada perlakuan ekstrak buah belimbing wuluh 0,44 g/kg bobot badan (aktivitas diuretik lemah) dan perlakuan furosemid (aktivitas diuretik sedang) (Tabel 5). Menurut Gudjral et al. (1955), furosemid memiliki aktivitas diuretik kuat yang hanya berlangsung tiga jam pertama. Aktivitas diuretik maksimum dicapai pada jam ke-2 dan akan menurun pada jam berikutnya.

Dinamika pH, Kadar Natrium, dan Kalium

Nilai rataan pH urin kumulatif setiap jam selama 5 jam, kadar natrium dan kalium pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Dinamika pH, kadar natrium, dan kalium (mEq/mL)

Nilai Kelompok

Aquades EEBW 0,44 EEBW 0,88 EEBW 1,75 Furosemid pH 6,77±0,25bc 5,90±0,17a 6,10±0,10a 6,13±0,06a 6,43±0,15ab Na 0,06±0,01a 0,10±0,03a 0,13±0,0 ab 0,15±0,06ab 0,11±0,06a

K 0,07±0,03a 0,14±0,07abc 0,23±0,01d 0,22±0,05d 0,18±0,01bcd

Keterangan: EEBW ialah ekstrak etanol belimbing wuluh dengan satuan g/kg bb; huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Nilai pH urin ditentukan oleh pengaturan asam basa di ginjal. Apabila sejumlah ion HCO3- difiltrasi secara terus-menerus ke dalam tubulus ginjal dan

diekskresikan ke dalam urin, maka akan menyebabkan urin bersifat basa. Sebaliknya apabila sejumlah ion H+ difiltrasi secara terus-menerus ke dalam

Dokumen terkait