• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian disalukan ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catchment area) merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (air, tanah dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam.

DAS terbagi ke dalam tiga bagian yaitu: bagian hulu, tengah dan bagian hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur air, ekosistem bagian tengah merupakan pembagi dan pengatur air, sedangkan ekosistem bagian hilir merupakan daerah pemakai air. Hubungan antara ekosistem tersebut menjadikan DAS sebagai satu kesatuan fungsi hidrologis. Wilayah DAS bisa meliputi berbagai wilayah administratif, misalnya antar desa, kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan dapat meliputi antar negara yang mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2004).

Manan (1979) mengatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdiri dari kondisi fisik, biologi dan manusia yang satu sama lain saling berhubungan erat membentuk keseimbangan. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan dapat menopang kehidupan manusia secara terus menerus, maka diperlukan pengelolaan DAS yang baik, pengelolaan sumberdaya alam yang baik juga (renewable) seperti tanah, air dan vegetasi dengan tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan hasil air (water yield) untuk kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan masyrakat berupa air minum, industri, irigasi, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya (Puspaningsih, 1997).

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, tujuannya membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2006). Tujuan utama pengelolaan DAS adalah meresapkan air hujan sebanyak-banyaknya, memperkecil aliran permukaan dan mengendalikan erosi tanah

sehingga tercapai suatu kondisi biofisik DAS yang memungkinkan diperolehnya keseimbangan dan tata air yang baik. Hasil air yang optimum dipandang dari aspek kuantitas, kualitas dan regimen. Dasar pengetahuan hidrologi sangat penting untuk menjelaskan sistem pengelolaan DAS di samping hasil-hasil dari penelitian terapan yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan DAS, diantaranya dengan mempelajari proses-proses hidrologi seperti evapotranspirasi, intersepsi, penggunaan air untuk vegetasi, infiltrasi, perkolasi, air bumi, erosi, sedimentasi dan aliran sungai (Manan, 1997). Prinsip dasar pengelolaan DAS adalah sebagai berikut : 1). pada dasarnya berupa pemanfaatan, pemberdayaan, pengembangan, perlindungan dan pengendalian sumberdaya dalam DAS; 2). berdasarkan pada asas kelestarian, kemanfaatan, keadilan dan kemandirian (kelayakan usaha) serta akuntabilitas dan berkeadilan; dan 3). direncanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pada dasarnya masalah erosi berkaitan dengan tingginya erosivitas hujan, sifat tanah yang mudah tererosi, bentukan lahan dengan lereng yang curam dan panjang, serta penggunaan lahan yang terlalu intensif dan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Terjadinya erosi dapat disebabkan oleh kondisi alamiah dan karena aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah secara alami untuk mempertahankan keseimbangan tanah, sedangkan erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak memperdulikan kaidah-kaidah konservasi tanah (Asdak, 2004).

Meningkatnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan serta pencemaran kualitas air beberapa tahun terakhir mengindikasikan telah terjadinya gangguan pada keseimbangan siklus hidrologi pada DAS yang berdampak pada kondisi kritis sumberdaya air. Hal ini disebabkan antara lain karena penciutan area dan kerusakan hutan serta kerusakan lahan DAS yang telah menimbulkan erosi dan sedimentasi, baik di saluran-saluran air, sungai, waduk, danau maupun di sepanjang pantai. Banjir yang menggenangi lahan-lahan kota dan pedesaan atau pertanian pada musim hujan sering terjadi akibat tidak tertampungnya aliran permukaan. Sebagai akibat tidak adanya atau berkurangnya air yang meresap dan masuk ke dalam tanah, maka tidak ada air yang tersimpan di dalam tanah sebagai air bawah tanah (ground water) yang akan masuk ke dalam sungai, ke dalam sumur dan ke dalam badan air lainnya pada musim kemarau,

yang mengakibatkan keringnya sungai, sumur dan lahan-lahan pertanian (Arsyad, 2006).

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,95 juta ha dan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 220 juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi (Departemen Kehutanan, 2007). Berkurangnya areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofosik dan semua aspek sosial ekonomi. Degradasi hutan dan lahan selama kurun waktu 2000-2005 sangat memprihatinkan yaitu rata-rata 1,089 juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian terus terjadi akibat erosi tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan kritis dan meningkatnya sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah degradasi hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan semakin menurun kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan datang harus mampu mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa lingkungan yang semakin meningkat.

Tingkat kekritisan suatu DAS adalah menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun (Departemen Kehutanan, 2008).

Luasan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap meluas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun (Departemen Kehutanan, 2007). Tingkat kekritisan lahan sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali.

Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan lahan. Faktor lain yang menyebabkan pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik adalah kurangnya keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan swasta dan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2008).

Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, RHL dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. RHL merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan yang ditempatkan pada kerangka DAS, dengan cara penerapan teknik konservasi secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan-lahan kritis dan lahan tidak produktif yag berada di wilayah hulu DAS. Namun demikian cara penerapan program rehabilitasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana program rehabilitasi tersebut dilaksanakan, selain itu RHL juga sangat berperan dalam : 1). memulihkan fungsi hidrologi hutan dan lahan dalam DAS; 2). memulihkan fungsi perlindungan tanah dan stabilitas iklim mikro; 3). meningkatkan produksi oksigen dan penyerap gas-gas pencemar udara; 4). memulihkan dan melestarikan sumberdaya plasma nutfah; 5). membuka peluang kesempatan berusaha dan kesejahteraan masyarakat; 6). membuka

peluang untuk pengembangan ekowisata dan 7). memulihkan citra negara, bangsa, pemerintah dan masyarakat di mata dunia (WALHI, 2004).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.20/Kpts-II/2001, RHL memiliki beberapa prinsip, di antaranya adalah : 1). meminimumkan kegagalan kebijakan (policy failure), sebagai akibat kegagalan birokrasi (goverment failure) dan kegagalan pasar (market failure); 2). RHL harus menjadi kebutuhan masyarakat; 3). RHL menggunakan DAS sebagai unit analisis dalam perencanaan dan pengendalian; 4). adanya kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja dalam RHL; 5). memanfaatkan potensi masyarakat lokal; 6). tujuan RHL disesuaikan dengan fungsi utama kawasan yang menjadi sasaran rehabilitasi; 8). perlunya pemahaman yang baik terhadap status penguasaan /kepemilikan lahan sasaran RHL agar potensi konflik dapat diantisipasi; 9). kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat dan 10). adanya penguatan kelembagaan (Timpakul, 2004 dalam Muis, 2007). Kegiatan RHL yang telah dilaksanakan di Indonesia pada Tabel 1.

Kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2005), pemerintah telah merehabilitasi hutan dan lahan dalam bentuk reboisasi seluas ±469.256 ha dan penghijauan, termasuk hutan rakyat seluas ± 1.785.149 ha. Pada tahun 2003 pemerintah melalui GN-RHL telah mentargetkan rehabilitasi kawasan hutan dan ekosistemnya seluas ± 3 juta ha, dengan sasaran DAS prioritas, hutan rusak dan lahan kritis, serta rawan bencana. Gerakan tersebut diproklamirkan oleh pemerintah di tahun 2002 dengan tema ”Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai komitmen bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan rakyat” (WALHI, 2004).

Lingkup dari kegiatan GN-RHL yang dilakukan adalah: 1). kegiatan pencegahan perusakan lingkungan, meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum; dan 2). kegiatan penanaman hutan dan rehabilitasi, meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi, dan pengembangan semua produk bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali dan penahan (gully plug), pembuatan teras (terasering), sumur serapan (grass barrier) dll, penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan (Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2003). GN-RHL merupakan upaya rehabilitasi

hutan dan lahan serta perbaikan lingkungan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien. Tabel 1 Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia periode 1970 - 2007

No. Tahun Kegiatan

1. 1970-1976 Setelah banjir di Solo tahun 1966 telah dilaksanakan upaya Rehabilitasi Lahan Kritis berbantuan natura (pangan dan bibit tanaman) dari WFP (World Food Program) (hasil kurang memadai)

2. 1973-1979 Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development di Solo bantuan FAO/UNDP, dilakukan uji coba model pengelolaan DAS dan teknik konservasi tanah dan air (hasilnya norma, kriteria dan standar)

3. 1981-1989 Proyek Citanduy I dan II bantuan USAID di Panawangan-Ciamis (hasilnya norma, kriteria dan standar konservasi tanah dan air/mode farm)

4. 1996-1997 INPRES Reboisasi dan Penghijauan secara lintas sektor, perencanaan berbasis DAS dan pembinaan teknis oleh proyek-proyek di daerah, reboisasi dilaksanakan Pemda Propinsi dan penghijauan oleh Pemda Kabupaten (tingkat keberhasilan fisik: rendah-sedang)

5.

1990/1991-1997/1998

Kredit Usahatani Konservasi DAS (KUK DAS) (keberhailan 57% realisasi pengembalian kredit)

6. 2000-2004 RHL DAK DR (40%) di daerah penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota tanpa pembinaan teknis Departemen Kehutanan (keberhasilan: rendah/bermasalah)

7. 2000-2004 RHL DR (60%) di daerah non penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota dengan perencanaan/pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS (keberhasilan: rendah-cukup)

8. 2003-2007 GN-RHL di DAS prioritas, perencanaan dan pembinaan teknis oleh Ditjen RLPS dan UPTnya, penyedia bibit oleh BPDAS, penanaman/konservasi tanah oleh PemKab/Kota dan BKSD/BTN, penilaian bibit/kinerja oleh Perguruan Tinggi, pengendalian oleh Pem Prop/Pusat

Sumber : Departemen Kehutanan (2006)

Menurut Asdak (2004) metode rehabilitasi untuk lahan hutan biasanya menggunakan prinsi-prinsip : 1). menghilangkan atau membuat faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan sumberdaya hutan atau lahan hutan; 2). memperluas atau mempertahankan vegetasi, terutama pada lahan-lahan yang tidak atau kurang ditumbuhi

vegetasi; 3). memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat sistem drainase pada jalan tersebut dan 4). menutup jalan-jalan hutan yang tidak direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan air. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka untuk RHL di wilayah DAS yang lebih sesuai adalah dengan menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lahan disertai dengan memperluas atau mempertahankan vegetasi yang ada.

Menurut Trison (2005) ada tiga pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery), yaitu: 1). restorasi (restoration) didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya; 2). melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis exotic, dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang ekosistem asli. Tujuannya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli dan 3). kegiatan reklamasi adalah penggunaan jenis-jenis exotic untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan, tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli di areal yang terdegradasi.

Permasalahan RHL dalam konteks DAS adalah degradasi lahan dan erosi. Pemilihan teknik rehabilitasi tergantung pada sifat DAS antara lain sifat dan bentuk tanah serta masyarakat yang ada di dalamnya. Tanah yang berlereng curam mungkin tidak sesuai jika digunakan untuk tanaman semusim, karena disamping sistim pengolahan semusim dapat menyebabkan tanah menjadi mudah tererosi, juga menyulitkan dalam pengelolaannya. Sehingga jenis tanaman yang lebih cocok adalah jenis tanaman keras (tahunan).

Partisipasi Masyarakat Pengertian Partisipasi

Partisipasi adalah proses kesinambungan yaitu stakeholders berpengaruh dan berperan dalam inisiatif pembangunan, keputusan dan sumber daya yang mempengaruhi mereka (Winarto, 2003). Cohen dan Uphoff (1980) mengartikan partisipasi adalah mencakup keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan program, pembagian keuntungan dalam program pembangunan dan keterlibatan mereka

dalam usaha-usaha mengevaluasi program. Menurut Sastroepoetra (1988), partisipasi dapat didefinisikan keterlibatan mental emosional yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan dan cita-cita kelompok dan turut bertanggungjawab terhadapnya. Partisipasi juga dapat diartikan berbagi (sharing) dalam proses interaksi secara sadar karena rasa kesetiakawanan dan kecintaan serta tangungjawab seseorang terhadap kelompok masyarakat tempat masyarakat tersebut menjadi anggota.

Partisipasi merupakan satu terminologi yang semakin banyak diperbincangkan sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan, dari sentralistik menjadi desentalistik yang mengutamakan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam seluruh proses pembangunan. Konsep ini menempatkan masyarakat pada titik yang sangat sentral dalam spektrum pembangunan. Slamet (2003) mengatakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan adalah ikut ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses pembangunan. Khairuddin (1992) dalam Fauzi (2009) mengemukakan partisipasi adalah keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama dan ikut bertanggungjawab tehadap usaha yang dilakukan, yaitu : 1). partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi; 2). partisipasi menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok.; dan 3). partisipasi merupakan tanggungjawab terhadap kelompok.

Mubyarto (1984) lebih menegaskan partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan secara lebih luas yaitu kesediaan masyarakat untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa harus mengorbankan kepentingan dirinya. Muhadjir (1980) dalam Fauzi (2009) merinci kembali tingkatan partisipasi tersebut ke dalam empat jenis keterlibatan masyarakat dalam : 1). proses pembuatan keputusan; 2). pelaksanaan program dan pengambilan keputusan; 3). menikmati hasil dari kegiatan dan 4). evaluasi suatu hasil dari program yang sudah terlaksana.

Menurut Daniel (2006) tingkat partisipasi masyarakat tidak sama tergantung sejauh mana keterlibatan mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, misalnya:

1). masyarakat bertanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari program pemerintah; 2). anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkajian ulang proyek dalam pengambilan keputusan semata; 3). anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proyek dan 4). anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, yang meliputi perencanaan sebuah program, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring.

Perubahan paradigma sistem pengelolaan kebijakan dari top down ke buttom up sudah banyak diterapkan, masyarakat sudah mulai dipandang sebagai bagian integral dari pengelolaan suatu kebijakan. Masalah RHL merupakan salah satu kebijakan konservasi sumberdaya alam yang tidak dapat lepas dari peran dan keberadaan masyarakat setempat. Pada saat ini program-program pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam banyak menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatif. Hal ini dapat dilihat dari produk-produk hukum yang telah mencantumkan hak, kewajiban dan peran serta masyarakat, misalnya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Bab III, pasal 7), dan masih banyak lagi produk-produk hukum yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat. Proses ini sangat berarti bagi pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam di masa-masa mendatang, karena memungkinkan dikembangkan pendekatan partisipatif yang dapat merealisir hak-hak masyarakat yang selama ini lebih banyak dikuasai oleh pemerintah dengan sistem kebijakan top down nya (Pudjianto, 2009).

Mitchell dan Setiawan (2000) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah akan terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan dengan lebih efektif ; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; 3). merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan 4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan.

Pendekatan partisipatif memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi atau menghindari adanya pertentangan. Pendekatan partisipatif ini akan memberikan

keuntungan di mana orang-orang akan lebih energik, lebih sepakat dan lebih bertanggungjawab apabila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu dilakukan oleh suatu kewenangan dari luar. Kesepakatan dan tanggungjawab dalam berpartisipasi adalah : 1). masyarakat lebih punya kesepakatan terhadap anggotanya daripada sistem pelayanan terhadap kliennya; 2). masyarakat lebih mengerti masalah-masalahnya daripada para profesional pelayanan; 3). masyarakat lebih fleksibel dan kreatif daripada birokrasi besar; 4). masyarakat lebih mudah melakukan daripada profesional pelayanan; 5). masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap atau perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan; 6). lembaga-lembaga dan para profesional menawarkan pelayanan, msyarakat menawarkan kepedulian dan 7). sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas.

Masyarakat petani pedesaan di sekitar DAS pada umumnya mempunyai karakteristik sosial ekonomi yang hampir sama, yaitu adanya keterbatasan-keterbatasan seperti penghasilan, kepemilikan tanah, pendidikan dan keterampilan, namun pemahaman terhadap konsep partisipasi masing-masing masyarakat mungkin berbeda. Di dalam konsep partisipasi dibutuhkan pemahaman bahwa sesungguhnya partisipasi adalah merupakan pelimpahan hak-hak kekuasaan kepada masyarakat dalan pengambilan suatu keputusan. Pemahaman inilah yang harus disikapi oleh masyarakat secara positif.

Derajat Partisipasi

Partisipasi masyarakat meliputi tiga tahapan, yaitu keterlibatan dalam: 1). proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan; 2). memikul beban dan tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan; dan 3). memetik hasil dalam pembangunan secara berkeadilan. Terkait dengan partisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, partisipasi efektif dapat dipandang sebagai sebuah kondisi di mana kearifan lokal, keterampilan dan sumberdaya lainnya digerakkan dan dilaksanakan secara totalitas, artinya masyarakat lokal diberdayakan untuk menggerakkan kemampuan mereka menjadi aktor-aktor sosial dalam mengelola sumberdaya, membuat keputusan dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Muis, 2007).

Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah : ”A categorical terms for citizen power. It is redistribution of power

that enables the have not citizens, presently excluded from the political and economi processes, to deliberately include in the future.” Definisi tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa depannya. Sehingga dapat diidentifikasi tingkatan partisipasi masyarakat menjadi delapan tingkatan (Gambar 2).

8 7 Citizen Power 6 5 4 Tokenism 3 2 Nonparticipation 1

Gambar 2 Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009)

Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat adalah :

1. Tingkat manipulasi (manipulation), merupakan tingkatan yang paling rendah karena masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat (advising board).

Citizen Control Delegated Power Partenership Placation Consultation Information Therapy Manipulation

2. Tingkat terapi (therapy), tidak melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan. Perencana atau perancang memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy.

3. Tingkat pemberian infomasi (informing), pihak pelaksana pembangunan memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggungjawabnya dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran masyarakat.

4. Tingkat konsultasi (consultation), pihak penyelenggara pembangunan menggali opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat.

Dokumen terkait