• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR   LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Bio-Ekologi Owa Jawa a. Taksonomi

Klasifikasi ilmiah owa Jawa (Hylobates moloch) menurut Napier and Napier (1967) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Cordata Sub phylum : Vertebrata Class : Mammalia Ordo : Primata Super family : Homonoidae Family : Hylobatidae Genus : Hylobates

Species : Hylobates moloch (Audebert, 1798)

H. moloch memiliki nama lain diantaranya adalah owa abu-abu, ungko Jawa, sylvery gibbon atau javan gibbon (Grzimek, 1972). Untuk Indonesia, satwa ini telah dibakukan dengan nama owa Jawa (Suyanto, Yoneda, Maryanto, Maharadatunkamsi dan Sugardjito, 1998).

b. Morfologi

Marga Hylobates memiliki lengan yang sangat panjang (Napier and Napier, 1967) hampir dua kali panjang batang tubuhnya dan lebih dari dua kali apabila tangan diikutsertakan. Tungkai 30% lebih panjang daripada batang tubuhnya tetapi hanya 2/3-3/4 panjang lengannya. Jantan dewasa mempunyai berat badan berkisar antara 4.300-7.928 gram sedangkan betina dewasa 4.100-6.800 gram.

Menurut Grzimek (1972), H. moloch adalah jenis kera tidak berekor dan mempunyai kepala yang kecil dan bulat, memiliki hidung serta rahang kecil dan pendek yang tidak menonjol, otak relatif kecil, badannya ramping, serta rambut yang tebal. Tubuh H. moloch ditutupi rambut yang berwarna kecoklatan sampai keperakan atau kelabu. Bagian atas kepalanya berwarna hitam. Muka seluruhnya juga berwarna hitam, dengan alis berwarna abu-abu yang menyerupai warna keseluruhan tubuh. Dagu pada beberapa individu berwarna gelap. Umumnya anak yang baru lahir berwarna lebih cerah. Warna

rambut jantan dan betina sedikit berbeda, terutama dalam tingkatan umur (Supriatna dan Wahyono, 2000).

c. Penyebaran

H. moloch merupakan primata endemik yang hanya ditemukan di pulau Jawa. Sebarannya terbatas pada hutan-hutan di Jawa Barat, terutama pada daerah yang dilindungi, seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Gunung Halimun Salak, Gunung Gede Pangrango, serta Cagar Alam Leuweung Sancang.

Menurut Balai TNGH (1997), penyebaran H. moloch di Gunung Halimun terdapat pada ketinggian 400-1.919 mdpl, tetap Sugardjito dan Sinaga (1997) melaporkan bahwa di TNGH, H. moloch ditemukan dari ketinggian 600-1.400 mdpl.

d. Habitat

Kappeler (1994) menyebutkan bahwa H. moloch cenderung menghuni hutan dengan spesifikasi hutan dengan tajuk yang kurang lebih tertutup, tajuk pohon-pohon tersebut tidak terlalu rapat dan memiliki cabang yang besar atau kurang lebih horizontal. Departemen Kehutanan (1993) menyatakan bahwa tempat hidup H. moloch adalah hutan-hutan primer dataran rendah sampai hutan pegunungan.

Pasang (1989) melaporkan bahwa di TNGH H. moloch ditemukan pada hutan hujan tengah dengan ketinggian 1.000-2.000 mdpl, dengan topografi bergelombang sampai pegunungan. Hutan tersebut masih relatif utuh dan merupakan hutan primer yang didominasi oleh pohon-pohon besar dan tinggi, kemudian diselingi oleh pohon-pohon sedang dalam jumlah kecil dengan permukaan tanah yang ditutup oleh anakan dan tumbuhan bawah dalam jumlah yang sedikit.

e. Pakan

H. moloch mengkonsumsi lebih kurang 125 jenis tumbuhan yang berbeda. Bagian tumbuhan yang sering dimakan adalah buah, biji, bunga dan daun muda. Selain itu mereka juga memakan ulat pohon, rayap, madu, dan

beberapa jenis serangga lainnya (Supriatna dan Wahyono, 2000). Grzimek (1972) menerangkan pula bahwa pakan dari marga Hylobates adalah buah, daun, tunas, bunga, semut pohon dan serangga lainnya dan vertebrata kecil.

Menurut Bismark (1991) dalam Prastyono (1999), suku Hylobatidae merupakan satwa frugivorous, karena lebih banyak makan buah-buahan daripada jenis pakan lainnya. Buah lebih banyak mengandung karbohidrat namun kurang kandungan proteinnya, sehingga sebagai tambahan satwa dari suku ini memakan daun muda yang banyak mengandung protein.

2. Daerah Jelajah (Home Range) dan Teritori

Daerah jelajah (home range) adalah daerah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai pakan, minuman, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung/bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin. Sedangkan teritori adalah tempat yang khas dan selalu di pertahankan dengan aktif, misalnya tempat tidur untuk primata, tempat istirahat untuk binatang pengerat dan tempat bersarang untuk burung (Alikodra, 1990). Daerah jelajah adalah total area yang digunakan dalam waktu tertentu oleh suatu kelompok dan lebih luas dibandingkan dengan teritori (Chivers, 1980).

Menurut Sahlins (1972) dalam Prastyono (1999), penggunaan teritori dipengaruhi oleh variasi ekologis yang dikelompokkan menjadi tiga, yakni :

a. Sumberdaya pakan terdistribusi merata dan tersedia sepanjang tahun. Di sini secara nyata teritori dan keanggotaan kelompok relatif tetap.

b. Sumberdaya pakan terdistribusi merata pada beberapa musim dan kelimpahannya bervariasi pada musim yang lain. Kekhususan teritori dan keanggotaan kelompok bersifat musiman.

c. Pakan tidak tersedia secara nyata. Kelompok yang mendekati areal tersebut sangat bervariasi, karena sumberdaya pakan bervariasi kelimpahannya secara musiman dan tahunan.

Menurut Bismark (1991), sebaran pakan utama bagi marga Hylobates menyebabkan kera ini mempertahankan daerah jelajah karena pakan yang terbatas dan perlu efisiensi dalam pergerakan. Kappeler (1981) melaporkan bahwa rata-rata luas daerah jelajah H. moloch adalah 17,4 ha dengan rata-rata tumpangtindih daerah jelajah kelompok lainnya adalah 0,1 ha. Sedangkan rata-rata luas teritorinya adalah 16,4 ha atau 6% lebih kecil daripada daerah jelajahnya. Pasang

(1989) melaporkan bahwa luas daerah jelajah H. moloch Gunung Halimun adalah 11,8 ha dan luas teritori adalah 2.625 ha.

Luas daerah jelajah dipengaruhi oleh jenis aktivitas, penyebaran pakan, karakteristik habitat (topografi lapangan, jenis pohon, tinggi tajuk dan lain-lain) serta kehadiran individu/kelompok lain. Luas teritori dipengaruhi oleh jenis dan kelimpahan pakan, adanya predator dan gangguan lain, jenis satwa dan ukuran kelompok. Sedangkan Chivers (1980) mengatakan bahwa yang mempengaruhi daerah jelajah suatu kelompok adalah jarak yang ditempuh oleh masing-masing individu anggota kelompok setiap hari dan penyebaran kelompok.

3. Organisasi Sosial

Napier dan Napier (1967) menyebutkan bahwa jumlah individu kelompok H. moloch berkisar antara dua sampai enam ekor, yang terdiri dari jantaj dewasa, betina dewasa dan beberapa anak. Hal ini diperkuat oleh Chivers (1980) bahwa suku Hylobatidae hidup dalam keluarga yang kecil yang terdiri dari jantan dewasa dan pasangannya dan satu sampai tiga anak. H. moloch hidup sekitar 20-30 tahun dan merupakan satwa monogami. Tingkat kesetiaan yang tinggi sangat penting pada spesies yang tingkat kematangannya lambat dimana H. moloch muda belum sepenuhnya mandiri sampai mencapai usia tujuh atau delapan tahun.

Menurut Sugardjito dan Sinaga (1997) dalam Prastyono (1999) ukuran kelompok H. moloch di TNGH adalah dua sampai empat individu. Sedangkan menurut Balai TNGH (1997) ukuran kelompoknya adalah sepasang jantan dan betina dewasa dengan satu atau tanpa anak.

Kappeler (1981) membagi H. moloch ke dalam empat kelas umur, dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Bayi (infant) : mulai lahir sampai berumur dua tahun, dengan ukuran badan sangat kecil dan selalu digendong oleh betina dewasa terutama satu tahun pertama.

2. Anak (juvenile) : berumur kira-kira dua sampai empat tahun, badan kecil dan tidak dipelihara sepenuhnya oleh induknya.

3. Muda (sun-adult) : berumur kira-kira empat sampai enam tahun, ukuran badannya sedang. Hidup bersama pasangan indivdu dewasa dan kurang atau jarang melakukan aktifitas teritorial.

4. Dewasa (adult) : berumur lebih dari enam tahun, hidup soliter atau berpasangan dan menunjukan aktifitas teritorial.

4. Perilaku Bersuara

Salah satu perilaku sosial yang terlihat pada kelompok owa Jawa berupa perilaku bersuara. Perilaku bersuara pada owa Jawa merupakan aktivitas awal dan utama yang membedakannya dengan jenis primata lain. Tenaza (1975) dalam Purwanto (1992) menjelaskan bahwa perilaku bersuara yang dilakukan oleh kelompok-kelompok primata diduga merupakan salah satu bentuk mekanisme ruang (space mechanism). Pendapat lain menyatakan bahwa perilaku bersuara merupakan upaya berkomunikasi dengan kelompok lain dan untuk menandai daerah teritorinya (Napier dan Napier, 1985).

Menurut Strier (2000), perilaku bersuara merupakan salah satu bentuk komunikasi owa Jawa baik terhadap individu dalam kelompoknya, kelompok lain di sekitarnya maupun dengan lingkungannya. Sebelum memulai aktivitasnya di pagi hari, H. moloch mengeluarkan suara nyanyian untuk memberitahukan keberadaannya dan memberi tanda pada keluarga lain yang sejenis bahwa daerah tersebut merupakan daerah teritorialnya (Ladjar, 1995).

Nyanyian dan konflik diantara kelompok H. moloch sangat penting, menghabiskan waktu dan energi yang banyak dan terutama pada pagi hari saat mereka mencari makanan kesukaan (Chivers, 1980).

Menurut Pasang (1989) aktivitas bersuara secara umum dilakukan dalam tiga periode. Periode pertama dilakukan saat bangun pagi, sekitar pukul 05:00-08:00. Periode kedua berlangsung sekitar pukul 10:30-12:00. Periode terakhir dilakukan menjelang malam hari, sekitar pukul 16:00-18:30.

Pada Hylobatidae umumnya, betina memiliki kemampuan bersuara lebih lama jika dibandingkan dengan jantan (Ladjar, 1995). Dalam bersuara, individu betina memilih pohon-pohon tertentu, yakni pohon-pohon dengan tajuk emergent (Kappeler, 1981).

Sedangkan menurut Tenaza (1976) dalam Sutrisno (2001) perilaku bersuara yang dilakukan oleh jantan berfungsi sebagai alat untuk menarik perhatian betina, sedangkan suara yang dilakukan bersama-sama oleh seluruh individu berfungsi untuk mengurangi resiko pemangsaan (altruisme). Selain itu, perilaku bersuara juga dilakukan oleh individu jantan yang sedang mengalami proses penyapihan dan biasanya dilakukan jauh dari kelompok utamanya yang

berfungsi sebagai panggilan bagi individu lain untuk membentuk kelompok baru dan menunjukkan kesiapan aktifitas seksual.

Menurut Chivers (1980), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku bersuara owa Jawa, yaitu cuaca, kelimpahan pakan, musim kawin, kepadatan populasi dan adanya panggilan oleh kelompok lain.

Terdapat empat jenis suara yang dikeluarkan oleh owa Jawa, yaitu suara betina sendiri untuk menandakan daerah teritorialnya, suara jantan yang dikeluarkan saat berjumpa dengan kelompok tetangga, dan saat jantan mengalami proses penyapihan yang biasanya dilakukan agak jauh dari kelompok utamanya. Suara yang dikeluarkan bersama antar anggota keluarga saat terjadi konflik, dan suara dari anggota keluarga sebagai tanda bahaya (Supriatna, 2000).

Sedangkan menurut Sutrisno (2001), terdapat tiga jenis suara yang dikeluarkan oleh owa Jawa, yaitu suara pada pagi hari (morning call) yang dilakukan oleh individu betina dewasa. Suara tanda bahaya (alarm call) yang dikeluarkan saat keadaan bahaya karena adanya predator dan untuk melindungi daerah teritorialnya, jenis suara ini dikeluarkan oleh semua anggota kelompok. Serta suara pada kondisi tertentu (conditional call) yang dikeluarkan oleh individu owa Jawa tanpa alasan tertentu.

Purwanto (1992) menambahkan, saat melakukan perilaku bersuara, owa Jawa memanfaatkan tajuk pohon bagian atas yaitu pada ketinggian 33-47 m. Perilaku bersuara paling rendah dilakukan pada pohon dengan ketinggian 23 m, yang biasanya berlangsung saat melakukan aktifitas makan. Menurut Chivers (1980) pemilihan tajuk bagian tengah dan atas dimaksudkan agar suara yang dikeluarkan owa Jawa mampu terdengar dengan jarak yang lebih jauh. Suara H. moloch yang keras dapat terdengar sampai sejauh 500-1.500 meter (Kappeler, 1981).

5. Pola Penggunaan Ruang

Aspek pola penggunaan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Dalam hal ini, mobilitas, luas dan komposisi daerah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi penggunaan ruang oleh satwaliar. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Santosa (1993) menunjukkan bahwa satwaliar tidak menyebar dan

mengeksploitasi ruang secara acak, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri satwa itu sendiri (umur, jenis kelamin dan morfologi) dan faktor luar atau yang lebih dikenal dengan sebutan faktor ekologi (ketersediaan makanan, kondisi fisik biotik dan iklim dari habitatnya).

Menurut Krebs dan Davis (1978) dalam Santosa (1993) yang lebih menekankan pada proses optimalisasi dari perilaku berpendapat bahwa penyebaran geografi dan ketersediaan makanan akan dapat digunakan sebagai dasar untuk memprediksi pola penggunaan ruang oleh satwa.

Dokumen terkait