• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kappaphycus alvarezii

Menurut Doty (1987), Kappaphycus alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii. Perubahan nama E. cottoni menjadi K. alvarezii didasarkan tipe kandungan karaginan yang dihasilkan yaitu kappa karaginan, maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii.

Klasifikasi K. alvarezii menurut Doty (1987) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieracea Genus : Eucheuma

Species : Eucheuma alvarezii Doty atau Kappaphycus alvarezii Doty.

K. alvarezii mempunyai ciri fisik seperti berthallus silindris, cartilogeneus

(lunak seperti tulang rawan), permukaan licin. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama ke luar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja

et al. 1996). Warnanya pun demikian tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan (Gambar 2.1). Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan 1998).

Gambar 2.1 Rumput laut K. alvarezii: a) Karimun Jawa, b) Madura, c) Maumere, dan d) Sulawesi Selatan

a

d

c

Karaginan dan Sumber Rumput Laut Penghasil Karaginan di Indonesia

Rumput laut di Indonesia, umumnya hasil budidaya yang banyak dikembangkan di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Maluku (Poncomulyo et al. 2006). Namun jenis rumput laut yang berhasil dibudidayakan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi adalah K.alvarezii karena merupakan penghasil karaginan yang banyak digunakan sebagai bahan baku dan tambahan untuk industri makanan, minuman, kosmetik, farmasi, cat, tekstil dan lain sebagainya (Suryaningrum 2008).

Struktur dan Komposisi Karaginan

Karaginan merupakan salah satu metabolit primer yang dihasilkan rumput laut kelas Rhodophyceae. Beberapa spesies rumput laut penghasil karaginan berdasarkan sistematikanya disajikan pada Gambar 2.2.

Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies

Carrageenophytes

Gambar 2.2 Spesies rumput laut penghasil karaginan (Van de Velde 2008)

Phyllophoracea Hypnea Furcellariaceae H. musciformis H. spinella E. denticulum E. isiforme C. crispus C. ocellatus K. alvarezii K. striatum Eucheuma I. cordata I. undulosa S. crispata S. radula Kappaphycus Chondrus Solieariaceae Gigartinacea Gigartinales Florideophycidae Rhodophyceae (Red algae) B. gelatinum G. pistillata G. skotsbergii C. teedel C. acicularis C. charmissol C. canaliculatus M. stellatus M. papillatus A. devoniens is G. crenulatu s Gymnogongrus Ahnfeltiopsis Mastocarpus Sarcothalia Chondracanthus Gigartina Iridaea Betaphycus Hypnaceae Petrocelidacea

Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester, kalium, natrium, magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dengan galaktosa dan 3,6 anhidrogalaktosa (Winarno 1996). Karaginan merupakan polisakarida berantai linear dengan berat molekul di atas 100 kDa. Rantai polisakarida tersebut terdiri dari ikatan berulang antara gugus galaktosa dengan 3,6-anhidrogalaktosa (3,6 AG), keduanya baik yang berikatan dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan

dengan ikatan glikosidik α-(1,3) dan β-(1,4).

Glicksman (1983) mengelompokkan karaginan berdasarkan gugus 3,6- anhidro-D-galaktosa dan jumlah serta posisi dari gugus ester sulfatnya. Berdasarkan cara pengelompokan tersebut, karaginan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu kappa, iota dan lambda karaginan. Kappa karaginan dihasilkan dari rumput laut K. alvarezii, sedangkan iota karaginan dihasilkan dari rumput laut E. spinosum. Kedua jenis rumput laut tersebut memiliki harga, sifat fungsional, kegunaan dan cara ekstraksi yang berbeda.

Kappa Karaginan

Kappa karaginan merupakan polimer linier yang disusun oleh residu D- galaktosa-4-sulfat dengan ikatan α pada posisi 1,3 dan residu 3,6-anhidro-D-

galaktosa dengan ikatan β pada posisi 1,4. Adanya gugus 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugus 6-sulfat, yang menghasilkan 3,6 anhydro-D-galaktosa, dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996).

D-galaktosa-4-sulphat 3,6-anhidro-D-galaktosa

Gambar 2.3 Struktur kimia kappa karaginan (Bubnis 2000)

Iota Karaginan

Struktur iota karaginan hampir sama dengan struktur kappa karaginan perbedaannya hanya pada kandungan sulfatnya. Pada i-karaginan terdapat gugus sulfat pada posisi C-2 residu 3,6-anhidro-D-galaktosa. Adanya gugus sulfat tambahan tersebut menyebabkan sifat gel kappa dan iota karaginan berbeda. Menurut Winarno (1996), i-karaginan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-glukosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6 anhydro-D-galaktosa.

D-galaktosa-4-sulphat 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat Gambar 2.4 Struktur kimia iota karaginan (Bubnis 2000).

Lambda Karaginan

Lambda karaginan disusun oleh residu D-galaktosa-2-sulfat dengan ikatan α pada posisi 1,3 dan residu D-galaktosa-2,6-disulfat dengan ikatan β pada posisi 1,4. Beberapa satuan lambda karaginan kadang-kadang tidak mengandung gugus sulfat atau sebagai 3,6-anhydro-D-galaktosa.

D-galaktosa-2-sulphat D-galactosa-2,6 disulfat Gambar 2.5 Struktur kimia lambda karaginan (Bubnis 2000).

Campo et al. (2009), mengelompokkan karaginan berdasarkan strukturnya,

menjadi enam jenis yaitu kappa (k), iota (i),), lambda ( ), Mu ( ), Nu ( ), dan theta (τ) karaginan. Keenam jenis karaginan tersebut mempunyai sifat kimia dan fisika yang berbeda, tergantung jumlah dan letak gugus sulfatnya yang bervariasi. Di samping itu, adanya gugus sulfat yang terikat pada atom C-6 unit D-galaktosa ikatan 1,4 yang dapat dikonversi secara enzimatis di dalam tanaman maupun secara kimia membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa.

Gambar 2.6 Unit-unit ulangan karaginan (Imeson 2000; Campo et al. 2009)

dan v-karaginan merupakan prekursor dari kappa dan iota karaginan,

sedangkan τ-karaginan adalah prekursor dari lambda karaginan. Perbedaan fraksi satu sama lain didasarkan pada jumlah 3,6 anhidro-D-galaktosa yang terkandung serta posisi dari gugus ester sulfat. Selain itu Doty (1987) membedakan kappa dan iota karaginan didasarkan pada kandungan sulfatnya. Kappa karaginan mengandung sulfat < 28% sedangkan iota karaginan > 30%.

Ekstraksi Karaginan

Rahman (2009), ekstraksi karaginan merupakan proses pelepasan karaginan melalui proses pemanasan pada medium air. Waktu kontak yang lama dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, menyebabkan jumlah karaginan yang terlepas dari dalam dinding sel semakin tinggi.

Minghou (2010) ekstraksi karaginan dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut alkali. Fungsi alkali pada proses ekstraksi bertujuan untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6-sulfat yang bersifat hidrofilik dari unit monomer karaginan dan membentuk 3,6-anhydrogalaktosa yang bersifat hidrofobik sehingga dapat meningkatkan gel karaginan yang dihasilkan (Stanley 1987), meningkatkan titik leleh karaginan di atas suhu pemasakannya, dan memucatkan warna rumput laut sehingga dihasilkan karaginan yang mempunyai kekuatan gel yang tinggi dan warna karaginan yang lebih putih (Neish 1989).

Reaksi yang terjadi dengan alkali dijelaskan pada Gambar 2.7, sebagai berikut :

1 Transformasi gugus sulfat yang terikat dalam gugus galaktosa oleh ion Na+ atau K+ dengan membentuk garam Na2SO4 atau K2SO4 di larutan.

2 Dehidrasi membentuk polimer anhidros galaktosa, dimana ion H+ dari larutan alkali bereaksi dengan ikatan bergugus H membentuk kappa karaginan dan air.

Gambar 2.7 Reaksi pada tahap perlakuan dengan alkali (Patent EP0964876 1998;Uy et al. 2005)

Karakteristik Karaginan Kelarutan

Air merupakan pelarut utama karaginan yang karakteristik kelarutannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting antara lain tipe karaginan, temperatur, pH, kehadiran ion tandingan dan zat-zat terlarut lain. Gugus hidroksil dan sulfat pada karaginan bersifat hidrofilik sedangkan gugus 3,6-anhydro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Lambda karaginan mudah larut pada semua kondisi karena tanpa unit 3,6 anhydro-D-galaktosa dan mengandung gugus sulfat yang tinggi. Karaginan jenis iota bersifat lebih hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat dapat menetralkan 3,6 anhydro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik. Karaginan jenis kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6 anhydro-D-galaktosa (Towle 1973).

Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah larut. Lambda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (CP Kelco ApS 2004).

Kehadiran zat lain dalam larutan akan mempengaruhi sifat kelarutan karaginan, hal ini terjadi karena adanya persaingan penggunaan air dalam mengubah keadaan polihidrasi. Garam-garam organik lebih efektif dalam mengubah hidrasi karaginan, khususnya jika kationnya garam potasium. Sifat- sifat kelarutan karaginan pada berbagai medium pelarut disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut

Medium Kappa Iota Lambda

Air panas Larut diatas 60 oC Larut diatas 70 oC*

Larut diatas 60 oC Larut diatas 70 oC*

Larut

Air dingin Larut dalam garam

sodium, potasium dan kalsium tidak larut

Larut dalam garam sodium, garam kalsium menghasilkan disperse

thixotropic

Larut

Susu panas Larut Larut Larut

Susu dingin Tidak larut dalam garam

sodium, potasium dan kalsium tetapi mengem- bang dengan baik

Tidak larut Larut

Larutan konsentrat gula

Larut pada panas Tidak mudah larut Larut pada

panas

Larutan konsentrat

garam pekat Tidak larut Larut pada panas Larut

Sumber: * Glicksman 1983 Stabilitas pH

Karaginan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan akan terhidrolisis pada pH dibawah 3.5. Pada pH 6 atau lebih umumnya larutan karaginan dapat mempertahankan kondisi proses produksi karaginan (CP Kelco ApS 2004). Hidrolisis asam akan terjadi jika karaginan berada dalam bentuk larutan, hidrolisis akan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu. Larutan karaginan akan menurun viskositasnya jika pHnya diturunkan dibawah 4.3 (Imeson 2000).

Kappa dan iota karaginan dapat digunakan sebagai pembentuk gel pada pH rendah, tetapi mudah terhidrolisis sehingga tidak dapat digunakan dalam pengolahan pangan. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas. Hidrolisis dipengaruhi oleh pH, temperatur dan waktu. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH rendah (Moirano 1977). Menurut Winarno (1996), daya kestabilan ketiga jenis karaginan terhadap pH, disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Daya kestabilan ketiga jenis karaginan terhadap perubahan pH

Stabilitas Kappa Iota Lambda

Pada keadaan pH netral dan alkali

 Stabil  Terhidrolisa bila dipanaskan  Stabil dalam bentuk gel  Stabil  Terhidrolisa  Stabil dalam bentuk gel  Stabil  Terhidrolisa Sumber: Moraino (1977) Viskositas

Viskositas merupakan daya aliran molekul dalam sistem larutan. Nilai viskositas karaginan ditentukan oleh konsentrasi karaginan, suhu, jenis karaginan, berat molekulnya dan adanya molekul-molekul lain (Towle 1973; FAO 1990). Jika konsentrasi karaginan meningkat maka viskositasnya akan meningkat secara logaritmik. Viskositas akan menurun secara progresif dengan adanya peningkatan suhu. Pada konsentrasi 1.5% dan suhu 75 oC nilai viskositas karaginan berkisar antara 5-800 cP (FAO 1990).

Viskositas larutan karaginan terutama disebabkan oleh sifat karaginan sebagai polielektrolit. Gaya tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negatif sepanjang rantai polimer yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut dikelilingi oleh molekul- molekul air yang termobilisasi, sehingga menyebabkan larutan karaginan bersifat kental (Guiseley et al. 1980). Moirano (1977) mengemukakan bahwa semakin kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat.

Pembentukan gel

Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.

Karaginan memiliki kemampuan membentuk gel pada saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentukan gel bersifat thermoreversible, artinya gel

dapat mencair pada saat pemanasan (40-60 oC) dan membentuk gel kembali pada

saat pendinginan (5-20 oC)(Glicksman 1983; Imeson 2000).

Mekanisme pembentukan gel thermoreversible karaginan disajikan pada Gambar 2.8. Struktur polimer karaginan pada suhu di atas titik cairnya berbentuk gulungan-gulungan yang menyebar secara acak. Pada saat pendinginan, suatu matrik polimer tiga dimensi terbentuk dengan pilinan (double helix) dari setiap ujung rantai polimernya (Gel I). Tahap pendinginan berikutnya menyebabkan berkumpulnya pilinan polimer tiga dimensi tersebut (Gel II) (Glicksman 1983; FAO 1990).

Gambar 2.8 Mekanisme pembentukan gel pada karaginan (Smidsrod dan Grasdalen 1982).

Adanya ion monovalen K+, NH4+, Rb+, dan Cs+ dapat membantu pembentukan gel. Kappa karaginan dapat membentuk gel yang paling kuat. Iota akan membentuk gel yang kuat dan stabil jika terdapat ion Ca2+, sedangkan ion Na+ dapat menghambat pembentukan gel karaginan jenis kappa dan lambda (Glicksman 1983). Karakteristik gel beberapa karaginan disajikan pada Tabel 2.3 Tabel 2.3 Karakteristik gel kappa, iota dan lambda karaginan

Keterangan Kappa Iota Lambda

Efek kation Gel lebih kuat

dengan ion

potasium

Gel lebih kuat dengan ion kalsium

Tidak

membentuk gel

Tipe gel Kuat dan rapuh

dengan sineresis

Elastis dan kohesif tanpa sineresis

Tidak

membentuk gel Efek sinergis

dengan locus gum

Tinggi Tinggi Tidak

Stabilitas Freezing thawing

Tidak Stabil Tidak

Standar Mutu Karaginan

Di Indonesia belum ada standar mutu karaginan, tetapi secara internasional

Food Agriculture Oganization (FAO), Food Chemicals Codex (FCC), European Economic Community (EEC) telah mengeluarkan spesifikasi mutu karaginan sebagai persyaratan minimum yang diperlukan bagi suatu industri pengolahan, baik dari segi teknologi maupun dari segi ekonomis yang meliputi kualitas dan kuantitas hasil ekstraksi rumput laut. Spesifikasi mutu karaginan dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Spesifikasi mutu karaginan

Spesifikasi FAO FCC EEC

Zat Volatile (%) Maks 12 Maks 12 Maks 12

Sulfat (%) 15 – 40 18 – 40 15 – 40

Viskositas (cP) Min 5 Min 5 Min 5

Kadar abu (%) 15 – 40 Maks 35 15 – 40

Kadar abu tak larut asam (%) - Maks 1 Maks 2

Logam berat Pb (ppm) As (ppm) Cu + Zn (ppm) Zn (ppm) Maks 10 Maks 3 - - Maks 10 Maks 3 - - Maks 10 Maks 3 Maks 50 Maks 25

Kehilangan karena pengeringan (%) - Maks 12 -

Sumber : A/S Kobenhvns Pektifabrik (1978)

Menurut Winarno (1996), standar mutu karaginan dalam bentuk tepung adalah 99% lolos saringan 60 mesh, dan memiliki tepung densitas (yang diendapkan oleh alkohol) adalah 0.7 dengan kadar air 15% pada RH 50 dan 25% pada RH 70. Penggunaan ini biasanya dilakukan pada konsentrasi terendah 0.005% sampai tertinggi 3% tergantung produk yang ingin diproduksi, sedangkan suhu gelasi dari karaginan berbanding lurus dengan konsentrasi kation yang terdapat dalam sistem.

Produksi Refined Carrageenan

Proses produksi refined carrageenan pada dasarnya terdiri atas proses penyiapan bahan baku, ekstraksi karaginan dengan menggunakan bahan pengekstrak, pemurnian, pengeringan dan penepungan.

Penyiapan bahan baku

Penyiapan bahan baku meliputi proses pencucian rumput laut untuk menghilangkan pasir, garam mineral, dan benda asing yang melekat pada rumput laut. Rumput laut dibersihkan dari kotoran dan karang yang melekat dengan menggunakan air.

Proses ekstraksi

Ekstraksi karaginan dilakukan dengan menggunakan air panas atau larutan alkali panas sehingga tercipta kondisi alkalis terhadap bahan baku rumput laut. Kondisi alkalis dapat diperoleh dengan penambahan larutan basa seperti larutan

NaOH, Ca(OH)2 atau KOH sehingga pH larutan mencapai 8-10. Perlakuan alkali

bertujuan untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6 sulfat yang bersifat hidrofilik dari unit monomer karaginan dan membentuk 3,6-anhydrogalaktosa yang bersifat hidrofobik sehingga dapat meningkatkan gel karaginan yang dihasilkan (Stanley 1987), selain itu perlakuan alkali bertujuan untuk meningkatkan titik leleh karaginan di atas suhu pemasakannya, sekaligus memucatkan warna rumput laut sehingga dihasilkan karaginan yang mempunyai kekuatan gel yang tinggi dan warna karaginan yang lebih putih (Neish 1989). Selanjutnya Zulfriady dan

Sudjatmiko (1995), menunjukkan bahwa ekstraksi karaginan menggunakan KOH berpengaruh terhadap kenaikan rendemen dan mutu karaginan yang dihasilkan.

Ekstraksi rumput laut jenis K. alvarezii dilakukan dengan cara perebusan dengan air pada suhu 80-95 °C selama 2 jam. Proses ini dilakukan setelah perlakuan alkali menggunakan larutan KOH konsentrasi 6% atau 8% pada pH 8-9. Volume larutan perebus 50 kali bobot rumput laut kering (Yunizal et al. 2000; Suryaningrum et al. 2003).

Filtrasi

Filtrasi dilakukan untuk memisahkan residu (selulosa dan kotoran yang berukuran besar). Pemisahan karaginan dari bahan pengekstrak dilakukan dengan cara penyaringan dan pengendapan. Penyaringan ekstrak karaginan dilakukan dengan menggunakan kain saring atau filter press dalam keadaan panas untuk menghindari pembentukan gel (Chapman dan Chapman 1980). Selanjutnya Yunizal et al. (2000), menyatakan bahwa pengendapan karaginan dapat dilakukan antara lain dengan metode gel press, KCl freezing, KCl press, dan pengendapan dengan alkohol.

Pengeringan dan penepungan

Pengeringan karaginan basah dapat dilakukan dengan oven atau penjemuran). Pengeringan menggunakan oven (cabinet dryer) dilakukan pada suhu 60 ºC sekitar 16 jam dengan kadar air < 10% (Rahman 2009). Refined carrageenan kering tersebut kemudian ditepungkan, diayak, distandarisasi kemudian dikemas dalam wadah yang tertutup rapat (Guiseley et al. 1980).

Peningkatan Skala

Peningkatan skala adalah suatu studi yang mengolah dan memindahkan data hasil percobaan laboratorium atau dari percobaan skala pilot plant untuk merancang proses alat atau mesin ke dalam skala yang lebih besar (Aiba et al.

1973). Sedangkan menurut Valentas et al. (1991) adalah sebuah usaha memproduksi sesuatu yang sama jika memungkinkan hasil prosesnya pada tingkat produksi yang lebih besar dibanding yang telah dilakukan sebelumnya.

Menurut Wirakartakusumah et al. (1991), untuk peningkatan skala dengan benar harus dapat:

 Mendefinisikan hasil proses yang diinginkan.

 Mendefinisikan kriteria utama peningkatan skala dalam parameter (atau sekumpulan parameter) yang menjamin hasil proses tidak tergantung pada skala. Hal ini pada umumnya perlu eksperimen skala ganda.

 Mendefinisikan kriteria sekunder peningkatan skala.

Menurut Hulbert (1998), peningkatan skala merupakan tindakan menggunakan hasil penelitian yang diperoleh dari laboratorium untuk mendesain prototipe produk dan proses dalam sebuah pilot plant. Pengembangan produk (sumber dan formulasinya), pengujian unit operasi, pengembangan kinerja dari alat, dan penentuan titik kritis proses diperlukan untuk dapat melakukan peningkatan skala. Proses peningkatan skala membutuhkan kekuatan analisis dalam menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan, di antaranya analisis terhadap kondisi operasi, desain, dan proses optimum.

Pada dasarnya apapun yang terdapat dalam proses dapat dijadikan parameter ataupun hasil proses, tergantung jenis dan tujuan proses. Dalam proses peningkatan skala ini memang diusahakan untuk menghindari parameter- parameter dan hasil proses yang tidak terukur secara efektif, namun sebenarnya tidak ada alasan untuk menyingkirkan parameter hasil subyektif, kecuali jika penilaiannya tidak dijamin ketepatannya (Valentas et al. 1991).

Kriteria peningkatan skala yang utama adalah parameter atau sekumpulan parameter proses bersifat bebas, tidak terpengaruh oleh ukuran (skala) proses. Di dalam kriteria ini secara implisit tersirat pengertian bahwa eksprimen untuk peningkatan skala yang pantas sekurang-sekurangnya melibatkan lebih dari satu skala proses (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Kriteria utama peningkatan skala.

Peningkatan skala dilalui dengan 3 tahap yaitu:1) skala laboratorium, 2) skala pilot plant, 3) skala industri. Pilot plant adalah tipe pabrik berskala lebih kecil dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari skala laboratorium sebelum diterapkan pada skala yang lebih besar, yaitu skala pabrik (industri). Skala pilot plant merupakan skala untuk mendapatkan operasi optimal dan kontrol yang tepat sebelum menuju ke produksi secara komersial atau industrialisasi (Valentas et al.

1991). Biasanya tahap pilot plant digunakan untuk menguji ide pengembangan produk baru, persediaan pangan baru, atau kondisi operasi yang berbeda. Tahap pilot plant juga digunakan untuk mengevaluasi perkembangan produk, mengurangi biaya, mengatasi permasalahan teknis, dan terhadap produk baru digunakan untuk mengevaluasi ingredien yang diusulkan, variabel proses, proses produksi, studi optimalisasi, dan profil flavor. Produk terpilih dapat digunakan untuk uji pasar, registrasi produk, dan panel sensori (Anonim 2007).

Pembangunan pilot plant digunakan untuk mengurangi resiko yang berhubungan dengan konstruksi proses pada pabrik yang lebih besar. Hal ini dikarenakan pada skala pilot plant, perubahan desain dapat dibuat lebih murah dan kesulitan dalam proses dapat diujicobakan sebelum membangun pabrik skala besar. Selain itu, tahap pilot plant juga dapat menyediakan data-data yang dibutuhkan untuk mendesain pabrik skala besar (Anonim 2007).

Wang et al. 1979, pada peningkatan skala, kondisi lingkungan yang optimum harus diutamakan. Faktor-faktor kimiawi dalam lingkungan umumnya dapat dijaga konstan sedangkan faktor-faktor fisik sangat tergantung pada ukuran atau skala produksinya.

Produk pangan yang ditingkatkan skalanya akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk aslinya, terutama karena adanya perbedaan rasa, tekstur, aroma, dan penampakan secara visual. Menurut Scott et al. (2007), proses skala besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, tetapi akan menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya.

Mixture Experiment (ME)

ME merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika yang berguna untuk permodelan dan analisis masalah suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah mengoptimalkan respon tersebut. Respon yang digunakan dalam ME adalah fungsi dari proporsi perbedaan komponen atau bahan dalam suatu formula (Cornell 1990).

Rancangan ME terdapat di dalam peranti lunak (software) Program Design Expert (DX) 7.0® dan dinamakan dengan mixture design. Program DX 7.0® menyediakan rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi rancangan produk dan proses (Anonim 2006).

Program DX 7.0® ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial, response surface methodology

(RSM), mixture design techniques, dan combined designs. Desain faktorial merupakan suatu rancangan percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang penting sekali dan berpengaruh pada suatu penelitian. RSM yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk menentukan rancangan proses yang ideal.

Mixture design techniques yaitu untuk mencari formulasi yang optimal pada berbagai formula yang dibuat Box-Behnken design yaitu suatu metode pada Program DX 7® yang bertujuan untuk menggabungkan (combine) variabel- variabel proses, campuran komponen dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan formula yang optimal (Anonim 2005).

ME terdiri dari beberapa tahap, yaitu menentukan tujuan percobaan, memilih komponen-komponen dari campuran, mengidentifikasi variabel respon yang akan dihitung, membuat model yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih desain percobaan yang sesuai. ME seringkali digunakan

Dokumen terkait