• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional Lore Lindu Letak dan Luas

Taman Nasional Lore Lindu secara resmi dikukuhkan oleh sebagai taman nasional pada tanggal 23 Juni 1999 berdasarkan SK. Menhutbun No. 464/Kpts- II/1999 dengan luas kawasan 217.991,18 ha, sedangkan untuk pengelolaannya, sejak tanggal 1 Februari 2007 diserahkan kepada Balai Besar TN. Lore Lindu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 (TNC/BTNLL 2002). Taman Nasional Lore Lindu juga ditunjuk oleh UNESCO sebagai salah satu dari tujuh cagar biosfer di Indonesia pada tahun 1977 dan selanjutnya ditetapkan pada tahun 1993 (http://www.mab- indonesia.org/cagar.php).

Secara geografis, Taman Nasional Lore Lindu terletak antara 119o58' – 120o16' Bujur Timur dan 01o8 – 01o3' Lintang Selatan, dan secara secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Poso dan Sigi. Bagian utara, taman nasional ini berbatasan dengan dataran lembah Palu dan Palolo, sebelah selatan berbatasan dengan dataran lembah Bada, sebelah timur berbatasan dengan dataran lembah Napu dan sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lariang dan dataran lembah Kulawi (TNC/BTNLL 2002).

Karakteristik Ekologi

Taman Nasional Lore Lindu memiliki topografi yang bervariasi mulai dari datar, landai agak curam, curam hingga sangat curam, dengan kawasan hutan pegunungan yang tersebar antara ketinggian 500 sampai dengan 2 600 m dpl (Erasmi et al. 2004). Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Fergusson, bagian utara kawasan TN. Lore Lindu memiliki tipe iklim C/D dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 855-1200 mm per tahun; bagian timur bertipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mm per tahun; dan bagian barat bertipe iklim A dengan curah hujan rata-rata 1200 mm per tahun (TNC/BTNLL 2002). Secara umum, rata-rata suhu udara di kawasan ini berkisar antara 25-26oC, dengan rata-rata curah hujan di atas 2500 mm per tahun dan dan memiliki kelembapan yang tinggi (85-95%) (Whitten et al. 1987).

Lapisan tanah di daerah pegunungan umumnya berasal dari batuan asam seperti gneisses, shists dan granit yang memiliki sifat peka terhadap erosi. Formasi lakustrin banyak ditemukan pada danau di bagian timur kawasan dengan bahan endapan dari campuran batuan sedimen, metaforik dan granit. Sedangkan di bagian barat ditemukan formasi aluvium yang umumnya berbentuk kipas aluvial. Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metamorfik dan granit. Jenis tanah di kawasan TN. Lore Lindu juga bervariasi, dari entisol, inseptisol, alfisol dan sebagian kecil ultisol (TNC/BTNLL 2002).

Cannon et al. (2005) melaporkan bahwa tipe hutan di TN. Lore Lindu tersebar dari hutan daratan rendah sampai hutan pegunungan atas. Sebagian besar kawasan hutan dalam kondisi baik (Cannon et al. 2007) (Gambar 2.1), dengan kekayaan jenis pohon dapat yang hampir sama jika dibandingkan dengan Kalimantan dan kawasan hutan lain di Sulawesi (Culmsee & Pitopang 2009).

Hutan Tropis Pegunungan

Pola geografis zonasi vegetasi, komposisi floristik, dan struktur hutan hujan tropis pegunungan ditemukan pada sepanjang gradien garis lintang (latitude) di Asia selatan dan timur (Ohsawa 1991). Hutan tropis pegunungan terletak pada ketinggian yang berkisar antara 500 dan 4 000 m dpl pada tiga wilayah tropis (Afrika, Amerika dan Asia) (Gambar 2.2), namun ada beberapa wilayah di dunia, khususnya pulau-pulau vulkanik kemungkinan berada pada ketinggian 300 m dpl (Kapelle 2004).

Secara umum, hutan hujan tropis pegunungan di daerah khatulistiwa (equator) terdapat pada ketinggian di atas 1 000 m dpl yang dibagi ke dalam empat tipe, yaitu hutan subpegunungan (submontane forest) hutan pegunungan bawah (lower montane forests), hutan pegunungan atas (upper montane forests), dan hutan subalpine (subalpine forests) (Ohsawa 1991; Kapelle 2004; Göltenboth

et al. 2006; Moore & Garant 2008). Komposisi dan struktur hutan pegunungan

memiliki perbedaan dengan hutan dataran rendah akibat adanya faktor pembatas, antara lain curah hujan, berkurannya fotosintesis akibat kurangnya radiasi matahari, rendahnya evapotranspirasi, paparan angin kencang, dan terbatasnya unsur hara (Kapelle 2004).

Gambar 2.1 Kondisi hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah (dimodifikasi dari Cannon et al. 2007).

Iklim

Menurut Körner (2007), terdapat empat perubahan atmosfer utama yang berhubungan dengan ketinggian, yaitu: 1) penurunan tekanan atmosfer total dan tekanan parsial dari semua gas atmosfer (O2 dan CO2), 2) penurunan suhu atmosfer, yang berimplikasi pada kelembaban, 3) meningkatkan radiasi di bawah langit tak berawan, baik radiasi matahari sebagai radiasi termal yang masuk dan keluar pada malam hari, dan 4) fraksi radiasi ultraviolet lebih tinggi yang diberikan setiap radiasi matahari total. Sehubungan dengan meningkatnya ketinggian, iklim diurnal khas daerah tropis terjadi penurunan tekanan udara dan suhu, pengurangan evapotranspirasi, dan meningkatnya awan, kabut dan intensitas radiasi ultraviolet. Perubahan ini berkorelasi dengan, antara lain berkurangnya ketinggian pohon dan pohon-pohon emergen, ukuran daun, dan peningkatan scleromorfi dan epifit (Gerold 2008).

Hutan tropis pegunungan memiliki curah hujan yang tinggi (Ashton 2003), dengan curah hujan rata-rata tahun lebih dari 2 000 mm per tahun (Aiba & Kitayama 1999; Kessler et al. 2005; Gomez-Peralta et al. 2008; Richter 2008). Pada ketinggian di atas 2 000 m dpl suhu udara dapat mencapai kurang dari 10º C pada malam hari, dengan suhu harian rata-rata 15-20ºC (Göltenboth et al. 2006). Laju perubahan suhu terhadap ketinggian secara umum diketahui sekitar 0.6º C per 100 m, tetapi hal ini tergantung pada faktor-faktor seperti penutupan awan, waktu, dan jumlah uap air di udara (Whitten et al. 1987).

Gambar 2.2 Zonasi vegetasi berdasarkan ketinggian pada beberapa pegunungan tropis di dunia (dimodifikasi dari Kapelle 2004).

Tanah

Tanah pegunungan mengalami perubahan dengan bertambahnya ketinggian, dimana tanah menjadi lebih asam dan miskin hara. Hal ini lebih disebabkan oleh lambatnya dekomposisi bahan organik. Perbedaan komposisi batuan batuan dan iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan, termasuk juga kelerengan dan penutupan vegetasi (Whitten et al. 1987).

Menurut Göltenboth et al. (2006), perbedaan komposisi batuan induk dan iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan, juga kelerengan dan penutupan vegetasi. Karakteristik tanah di hutan tropis pegunungan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya ketinggian, yaitu: 1) keasaman tanah semakin tinggi, 2) berkurangnya unsur hara, 3) berkurangnya kelimpahan organisme tanah, 4) struktur dan tekstur tanah kurang baik, 5) akumulasi gambut lebih sering pada daerah yang lebih lembab, 6) proses dekomposisi dan pelapukan rendah, 7) erosi dan pencucian hara sering terjadi, terutama pada daerah-daerah dengan kelerengan yang terjal atau dengan penutupan vegetasi yang kurang, 8) tanah miskin hara akibat sering terjadi pencucian, dan 9) defisiensi kalsium banyak ditemukan pada tanah pegunungan.

Vegetasi

Hutan pada ketinggian di bawah 1 000 m dpl memiliki karakteristik vegetasi yang hampir sama dengan hutan dataran rendah. Dengan bertambahnya ketinggian, pohon-pohon menjadi lebih pendek, dan berdiameter kecil, serta epifit seperti anggrek menjadi lebih melimpah (Whitten et al. 1987).

Vegetasi hutan tropis pegunungan dibagi dalam beberapa zonasi berdasarkan ketinggian tempat. Ashton (2003) dan Göltenboth et al. (2006) mengelompokkan zonasi vegetasi hutan tropis pegunungan (Tabel 2.1), sebagai berikut:

Tabel 2.1 Karakteristik umum zonasi vegetasi hutan hujan tropis pegunungan di Indonesia (dimodifikasi dari Ashton 2003; Göltenboth et al. 2006)

Zonasi vegetasi Karakteristik vegetasi

Kurang dari 1 200 m dpl Memiliki karakter vegetasi yang hampir sama dengan di hutan hujan dataran rendah.

Hutan pegunungan bawah (level terendah)

1 200-1 800 m dpl

Pohon cenderung lebih pendek (15-33 m); diameter pohon kurang besar; banyak epifit; sekitar 280-586 jenis pohon diameter ≥10 cm per ha.

Hutan pegunungan bawah (level tertinggi)

Memiliki kelimpahan lumut yang tinggi; kanopi pohon lebih seragam.

Hutan pegunungan atas 1 800-3 000 m dpl

Pohon lebih pendek (1.5-18 m); daun kecil dan tebal; sekitar 1 500 pohon kecil per ha; terdapat banyak lichen, lumut, bakteri, dan fungi pada daun.

Hutan subalpine

sekitar 2 000- >3 000 m dpl

Pohon-pohon lebih pendek dibandingan dengan hutan pegunungan atas (1.5-9 m), didominasi oleh semak, herba dan rumput, memiliki kelimpahan epifit yang tinggi.

Menurut Gerold (2008), berkurangnya tinggi pohon berdasarkan ketinggian disebabkan oleh: 1) kurangnya udara di pegunungan, mengurangi serapan hara dan air; 2) menurunnya irradiasi dan suhu, serta meningkatnya tutupan awan dan kelembaban, berdampak pada transpirasi dan aktivitas fotosintesis; 3) meningkatnya radiasi UV-B menyebabkan kerusakan fotosintesis; 4) tanah kekurangan oksigen karena tingginya kandungan air; 5) tingginya serapan aluminium (Al) dan konsentrasi senyawa fenolik dalam bahan organik tanah.

Struktur dan Komposisi Hutan

Hutan dapat dideskripsi berdasarkan komposisi, fungsi, dan strukturnya (Franklin et al. 1981). Komposisi hutan merupakan kumpulan organisme (hidup dan tidak hidup) yang terdapat di dalam hutan yang sering digambarkan menurut kehadiran atau dominansi jenis, dan seringkali menggunakan deskripsi relatif (seperti indeks keanekaragaman). Fungsi hutan mengacu pada tipe dan tingkat proses (misalnya produksi karbon) dan interaksi antara komponen biotik dan abiotik hutan. Meskipun menarik untuk dipelajari, fungsi hutan jarang digunakan untuk menggambarkan struktur tegakan karena tidak bisa terlihat secara langsung. Sebaliknya, struktur hutan adalah karakteristik dan penataan secara fisik, dan mudah terlihat (Stone & Porter 1998).

Pengetahuan tentang struktur dan komposisi floristik hutan sangat penting untuk mengetahui dinamika hutan, interaksi antara tumbuhan dan hewan, siklus nutrisi (Nadkarni 1999). Unsur utama dari struktur adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi, dan penutupan. Struktur vegetasi hutan dalam ekologi tumbuhan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu fisiognomi tumbuhan, struktur biomassa, struktur bentuk tumbuh, struktur floristik, dan struktur tegakan (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Menurut Spies (1998), komponen penting dari struktur hutan, meliputi 1) distribusi ukuran/umur pohon, 2) distribusi vertikal, 3) distribusi tajuk horizontal, dan 4) pohon mati (dead wood).

Menurut Whitmore (1984), tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram ini merupakan suatu sketsa semua pohon pada areal yang biasanya berukuran panjang 60 meter dan lebar 7.5 meter. Profil diagram biasanya hanya dibatasi pada pohon dewasa dari siklus pertumbuhan hutan, namun seringkali pohon yang masih dalam fase pertumbuhan juga dimasukkan.

Susunan tumbuhan secara vertikal biasanya dikenal dengan istilah stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi terjadi karena dua hal penting yang dimiliki atau dialami oleh tumbuhan dalam persekutuan hidupnya dengan tumbuhan lain, yaitu (1) akibat adanya persaingan antar tumbuhan dan (2) akibat sifat toleransi jenis pohon terhadap intensitas radiasi matahari (Indriyanto 1998).

Stratifikasi di hutan hujan tropis dataran rendah terdiri atas lima stratum, yaitu statum A-E. Stratum A lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama. Statum B merupakan lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Stratum C merupakan tegakan terendah dari pohon yang tingginya 4-20 m. Stratum D terdiri atas lapisan tajuk yang dibentuk oleh jenis tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m, dan Stratum E adalah lapisan tajuk yang dibentuk oleh jenis

tumbuhan penutup tanah dan semai yang tingginya 0-1 m (Whitmore 1984). Pada hutan tropis pegunungan, stratifikasi hutan sebagian besar hanya mencapai stratum B, dan terus terjadi penurunan tinggi pohon seiring dengan ketinggian (Holzman 2008; Gerold 2008).

Komposisi floristik, struktur dan fungsi hutan hujan tropis pegunungan ditentukan oleh faktor-faktor abiotik dan biotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan stratifikasi hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas terutama disebabkan oleh radiasi iklim yang berbeda. Pada hutan pegunungan atas dan subalpine terjadi peningkatan curah hujan yang menyebabkan kondisi terus jenuh, keasaman tanah dan pencucian hara yang tinggi (Gerold 2008).

Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis (species diversity) banyak digunakan untuk merepresentasikan keanekaragaman ekologi, namun hal ini bukan merupakan satu-satunya ukuran. Lebar relung (niche) dan keanekaragaman habitat (habitat

diversity) juga merupakan komponen utama dalam keanekaragaman ekologi

(Hamilton 2005). Secara umum, terdapat dua pendekatan untuk mengukur keanekaragaman jenis, yaitu kekayaan jenis (species richness), dan kemerataan jenis (species evenness) yang mengarah pada kelimpahan jenis (species

abundance) seperti jumlah individu, biomass, penutupan, dan sebagainya (Lugwig

& Reynolds 1988; Hamilton 2005)

Terdapat beberapa indeks yang digunakan untuk mengukur keanekaragaman jenis, yaitu indeks kekayaan (richness indices), indeks kemerataan (evennes

indices), dan indeks keanekaragaman (diversity indices). Indeks kekayaan yang

digunakan, antara lain indeks Margalef, indeks Menhinick; indeks kemerataan, seperti indeks Pielou, indeks Hill; dan indeks keanekaragaman merupakan kombinasi antara keduanya, seperti indeks Shannon, dan indeks Simpson (Ludwig & Reynolds 1988; Maguran 2004; Laps 2005).

Menurut Stohlgren (2007), secara umum telah diketahui bahwa keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh: 1) perbedaan latitude; 2) stres; 3) perbedaan produktivitas; 4) perbedaan altitude; 5) heterogenitas; 6) fertilisasi jangka panjang; 7) area; 8) umur substrat; 9) evolusi, endemisitas, dan efek lag; 10) jarang gangguan yang besar; dan 11) adanya gangguan kecil namun sering terjadi.

3. KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN HUTAN

TROPIS PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL

LORE LINDU SULAWESI TENGAH

Abstrak

Pulau Sulawesi telah menjadi kawasan konservasi penting secara global, namun studi keanekaragaman jenis tumbuhan di pulau ini masih sangat terbatas khususnya di areal hutan pegunungan. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari keanekaragaman jenis tumbuhan pada tiga tipe hutan pegunungan di TN. Lore Lindu. Inventarisasi jenis tumbuhan, meliputi pohon (dbh ≥10 cm),

pancang (2 cm ≤ dbh < 10 cm), semai dan tumbuhan bawah, termasuk

pteridophyta dilakukan pada tiga plot kuadrat (masing-masing 0.24 ha) di hutan pegunungan pada ketinggian 900 m, 1 500 m, dan 2 300 m dpl (hutan subpegunungan sampai hutan pegunungan atas). Dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan (129 marga, 106 suku) termasuk 121 jenis tumbuhan bawah. Hutan pegunungan bawah memiliki kekayaan jenis tertinggi (150 jenis), diikuti hutan subpegunungan (98 jenis), dan hutan pegunungan atas (82 jenis). Indeks Shannon

(H’) menunjukkan bahwa seluruh plot penelitian memiliki keanekaragaman jenis

sedang sampai tinggi (2 < H' < 4) untuk semua kategori (pohon, pancang, semai dan tumbuhan bawah).

Kata kunci: hutan pegunungan, keanekaragaman tumbuhan, Lore Lindu, Sulawesi

Abstract

The island of Sulawesi has been highlighted as a globally important conservation area, but detailed study of plant species diversity in this island still limited especially in montane primary forest. The aim of this study was to determine plant species diversity of tropical montane forest in Lore Lindu National Park. Inventory of plant species comprises of trees (dbh ≥10 cm),

saplings (2 cm ≤ dbh < 10 cm), seedlings and understorey plant, including

pteridophyta were conducted on three plots (each 0.24 ha) in montane primary forest at 900 m, 1 500 m, and 2 300 m asl (sub-montane to upper montane forest) Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. Out of 310 plant spesies (129 genera, 106 families) including 121 species of understorey plants. Lower montane forest has high species richness (150 species), followed by submontane forest (98 species), and upper montane forest (82 species). The value of Shannon diversity index (H') in three study plots were medium to high (2< H' <4) for all categories (trees, saplings, seedlings, and understorey plant).

Key words: Lore Lindu, montane forest, plant diversity, Sulawesi

Pendahuluan

Eksosistem hutan tropis memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang paling tinggi (Jacob 1988), dan kawasan Malesia dianggap sebagai kawasan dengan keanekaragaman jenis tertinggi di dunia yang memiliki lebih dari 40 000 jenis

tumbuhan berpembuluh (vascular plants) (Bass et al. 1990; Roos 1993). Salah satu gambaran yang paling mencolok adalah perbedaan floristik dari pulau-pulau di kawasan ini yang disebabkan oleh sejarah geologi dan palaeoekologi masa lampau (Lohman et al. 2011).

Sulawesi merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea yang terletak di antara garis biogeografi Wallaceae dan Weber (van Welzen 2011) dan antara daratan Laurasia dan Gondwana (Primarck & Corlett 2006) memiliki kekayaan jenis pada tingkat menengah (Roos et al. 2004). Cannon et al. (2007) mengungkapkan bahwa hal ini kemungkinan disebabkan jumlah koleksi tumbuhan yang sangat rendah (kurang dari 25 koleksi per 100 km2) jika dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia dan kurangnya studi taksonomi (Cannon et al. 2007). Selain itu, Sulawesi memiliki geologi yang kompleks, dan isolasi yang sangat lama telah memungkinkan terjadinya evolusi sehingga menghasilkan tumbuhan dan hewan yang khas, dengan tingkat endemisitas yang tinggi (Roos et al. 2004; Cannon et al. 2007). Diperkirakan dari terdapat sekitar 5 000 jenis tumbuhan berpembuluh, termasuk lebih dari 2 100 jenis tumbuhan berkayu dan hampir 15% merupakan endemik di Sulawesi (Whitten et al. 1987; Kessler et al. 2002).

Penelitian terkait keanekaragaman jenis tumbuhan khususnya di hutan pegunungan TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah masih sangat terbatas. Keanekaragaman jenis tumbuhan hubungannya dengan perubahan ketinggian hanya diketahui dari hasil penelitian Culmsee & Pitopang 2009; Culmsee et al. 2011; Stiegel et al. 2011; Willinghöfer et al. 2011), sehingga penelitian ini ditujukan untuk mempelajari keanekaragaman jenis tumbuhan antara hutan subpegunungan, hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas.

Bahan dan Metode Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan pada tiga lokasi di kawasan hutan primer TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah, pada ketinggian 900 m, 1 500 m, dan 2 300 m di atas permukaan laut (dpl) (Gambar 3.1). Ketiga lokasi penelitian masing-masing termasuk dalam zona hutan subpegunungan, hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas (Cannon et al. 2005). Kondisi hutan pada tiga lokasi penelitian ini telah dikelompokkan ke dalam hutan primer dengan kondisi baik (Cannon et al. 2007) (Gambar 2.1). Karakteristik masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.1. Hutan pegunungan atas dalam penelitian ini memiliki kelimpahan lumut yang tinggi dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya (Gambar 3.2)

Tabel 3.1 Lokasi dan karakteristik tiga tipe hutan pegunungan yang diteliti di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah

Karakteristik Tipe hutan

HSP HPB HPA

Ketinggian (m dpl) 900 1 500 2 300

Lokasi Watukilo Torongkilo Torenali

Koordinat GC-WGS 84 01°61.5' S 120°07.4' E 01°41.5' S 120°27.9' E 01°28.6' S 120°31.2' E Kemiringan (o) 0-10 0-10 0-10 Arah plot W 280o N W 290o N E 140o S

Batuan induk Granit Metamorfik Granit

Curah hujan

(mm/tahun) 1 782 1 959 2 129

Suhu (oC) 25.5 21.0 14.1

a

HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas Gambar 3.1 Sulawesi dan lokasi penelitian di TN. Lore Lindu,

Gambar 3.2 Kondisi hutan pada tiga di plot penelitian di TN. Lore Lindu. (A) hutan subpegunungan (900 m dpl), (B) hutan pegunungan bawah (1 500 m dpl), (C) hutan pegunungan atas (2 300 m dpl).

Pengumpulan data vegetasi

Inventarisasi jenis tumbuhan dilakukan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Juli 2012 menggunakan plot penelitian dengan metoda kuadrat (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Pada setiap tipe hutan pegunungan dibuat plot berukuran 40 m x 60 m (0.24 ha) (Culmsee et al. 2011). Setiap plot dibagi menjadi 24 subplot, masing-masing berukuran 10 m x 10 m untuk pengumpulan data pohon (termasuk palem dan paku pohon) dengan diameter setinggi dada (dbh) ≥10 cm (dbh diukur pada tinggi 1.3 m), dan pengumpulan data pancang (2 cm ≤ dbh <10 cm) dilakukan dalam subplot 5 m x 5 m (0.06 ha) yang terdapat pada setiap subplot 10 m x 10 m, sedangkan data semai dan tumbuhan bawah (semak, herba, liana, dan paku-pakuan) di lakukan pada subplot berukuran 2 m x 2 m (0.096 ha) yang terdapat pada setiap subplot 5 m x 5 m (Gambar 3.3).

Setiap individu pohon dan pancang ditandai menggunakan label permanen dan dilakukan pencatatan nama jenis dan suku (jika diketahui) serta karakter morfologi, antara lain kulit batang dan getah (jika ada). Contoh daun, bunga dan buah (jika ada) dari jenis tumbuhan yang dijumpai di plot penelitian, dikoleksi untuk diidentifikasi dan koleksi herbarium.

Gambar 3.3 Bentuk dan ukuran plot penelitian (subplot 10 m x 10 m = untuk pengumpulan data pohon (dbh

≥10 cm); subplot 5 m x 5 m = untuk

pengumpulan data pancang (2 cm ≤ dbh < 10 cm); dan subplot 2 m x 2 m = untuk pengumpulan data semai dan tumbuhan bawah).

Identifikasi jenis tumbuhan

Identifikasi dilakukan pada 310 jenis tumbuhan, meliputi pohon dan pancang, semai, dan tumbuhan bawah (semak, herba, liana, dan paku-pakuan) yang dijumpai dalam plot penelitian, serta koleksi tambahan bagi jenis yang memiliki bunga dan/atau buah. Setiap koleksi spesimen dibuat duplikat untuk disimpan di Herbarium Celebense Palu (CEB), Göttingen (GOET), Bogoriense (BO), dan Leiden (L). Identifikasi jenis menggunakan koleksi di Herbarium Bogoriense, Herbarium Göettingen, dan Herbarium Leiden sebagai referensi, dengan sistem tata nama (nomenclature) jenis mengikuti International Plant

Name Index (IPNI) (2012). Spesimen yang tidak dapat diidentifikasi (non det.)

sampai marga atau jenis, seperti Myrtaceae, Arecaceae, dan beberapa suku lain dipisahkan berdasarkan karakter morfologi.

Analisis data

Nilai keanekaragaman jenis tumbuhan dihitung berdasarkan indeks kekayaan jenis (species richness index), indeks keanekaragaman jenis (species

diversity index), dan indeks kemerataan jenis (species evenness index) (Magurran

2004) dengan formula, sebagai berikut:

Indeks kekayaan jenis dihitung menggunakan indeks Margalef (Margalef

index): N ) S ( DMg ln 1   dimana:

S = Jumlah jenis yang teramati

N = Jumlah total individu yang teramati

Indeks keanekaragaman jenis dihitung menggunakan indeks Shannon (Shannon index):

   s 1 i iln P P i H' ; N Ni Pi  dimana: s = Jumlah jenis Ni = Nilai penting jenis

N = Nilai penting seluruh jenis

Indeks kemerataan jenis dihitung dengan menggunakan indeks Pielou (Pielou index): ) ( ln S H' E  dimana:

H' = Indeks keanekaragaman Shannon

Hasil Kekayaan jenis

Hasil penelitian pada tiga plot berdasarkan tipe hutan, dengan luas masing- masing 0.24 ha, dijumpai sebanyak 117 jenis pohon dan 96 jenis pancang, 116 jenis semai, dan 121 jenis tumbuhan bawah, meliputi semak, herba, liana, dan paku-pakuan. Secara keseluruhan, dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan (129 marga dan 106 suku) (Tabel 3.2). Lebih dari 65% dari spesimen yang dikoleksi, dapat identifikasi sampai pada tingkat jenis, 20% pada tingkat marga, 5% pada tingkat suku, dan 2% tidak teridentifikasi.

Kurva kumulatif jenis pohon dan pancang pada tiga plot berdasarkan luas area yang diamati (Gambar 3.4), menunjukkan bahwa jumlah total jenis pohon dan pancang di hutan subpegunungan dan pegunungan atas memiliki jumlah yang sama pada area seluas 0.12 ha di hutan pegunungan bawah. Terlihat juga bahwa jumlah jenis di plot hutan pegunungan bawah masih terus mengalami peningkatan pada luas area 0.24 ha.

Tabel 3.2 Jumlah jenis, marga, dan suku seluruh jenis tumbuhan yang dijumpai pada setiap tipe hutan pegunungan

Tipe hutan Jumlah

Jenis Marga Suku

Hutan subpegunungan 98 69 49

Hutan pegunungan bawah 150 97 52

Hutan pegunungan Atas 82 57 44

Total 310 129 106

Gambar 3.4 Kurva kumulatif jenispohon dan pancang pada tiga plot penelitian. ̶●̶ hutan subpegunungan ,

̶■̶ hutan pegunungan bawah , ̶▲̶ hutan pegunungan atas 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 0.04 0.08 0.12 0.16 0.2 0.24 0.28 Jum lah jeni s

Setiap tipe hutan yang diteliti memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang bervariasi. Kekayaan jenis tertinggi dijumpai di hutan pegunungan bawah, diikuti hutan subpegunungan, dan terendah di hutan pegunungan atas. Jika ditinjau berdasarkan tingkat pertumbuhan, hutan pegunungan bawah memiliki jumlah jenis pohon, pancang, dan semai tertinggi, masing-masing 61, 50, dan 57 jenis, sedangkan hutan pegunungan atas memiliki jumlah jenis pohon dan semai terendah (29 dan 31 jenis). Perbedaan terlihat pada jumlah jenis pancang, dimana hutan subpegununan memiliki jumlah jenis terendah (27 jenis).

Setiap tipe hutan memperlihatkan penurunan jenis dari pohon ke pancang dan meningkat kembali pada jenis semai. Secara keseluruhan, dijumpai sebanyak 13 dan 15 jenis tambahan untuk pancang dan semai di hutan subpegunungan; 21 dan 20 jenis pancang dan semai di hutan pegunungan bawah, dan 7 dan 12 jenis tambahan masing-masing untuk pancang dan semai di hutan pegunungan atas (Gambar 3.5).

Hutan pegunungan bawah juga memiliki kekayaan jenis tertinggi untuk tumbuhan bawah (semak, herba, liana, dan paku-pakuan) dibandingkan dua tipe hutan lainnya. Jumlah jenis herba dan liana terendah dijumpai di hutan pegunungan atas, sedangkan jenis paku-pakuan terendah dijumpai di hutan subpegunungan. Perbedaan lainnya terlihat pada jenis semak yang hanya dijumpai di hutan pegunungan bawah (Gambar 3.6).

0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 Jum

Dokumen terkait