• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan Gambut

Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu ekosistem baru. Pengembangan pertanian di lahan gambut dapat diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan menurun, maka fungsi produksi dapat terganggu. Oleh karena itu, lahan gambut selain bersifat piasan (marginal) juga bersifat rapuh (fragile). Dengan kata lain, pembukaan lahan gambut harus memperhatikan atau memperhitungkan perubahan yang terjadi baik terhadap aras dinamika lahan maupun aras keuntungan berupa layanan jasanya terhadap lingkungan, hasil produksi dan nilai-nilai sosial lainnya (Noor, 2001).

Lahan gambut yang mempunyai lapisan organik < 1 m cocok untuk pengembangan tanaman pangan seperti padi, kedelai, dan jagung. Lahan gambut yang mempunyai tebal lapisan organik antara 1 m – 2 m cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit. Adapun lahan gambut tebal yang mempunyai lapisan organik > 2 m lebih sesuai untuk pengembangan tanaman hortikultura, seperti kubis dan pepaya. Gambut sangat dalam yang tebal lapisan organiknya > 3 m disarankan untuk dijadikan kawasan lindung yang sekaligus berfungsi sebagai wilayah tangkapan air (Noor, 2001).

Menurut Andriesse (1988), fungsi lingkungan lahan gambut antara lain berkaitan dengan masalah daur karbon, iklim global, hidrologi, perlindungan lingkungan, dan penyangga lingkungan. Gas CO2 merupakan salah satu gas utama (sekitar 55%) yang memberikan sumbangan terhadap efek rumah kaca, diantaranya menyebabkan terjadinya peningkatan suhu atmosfer global. Menurut Murdiyarso (1991, dalam Noor, 2001), bumi sudah kelebihan sebesar 1600 juta ton karbon per tahun dan 40 juta ton metan (CH4) per tahun, yang berarti sudah di luar batas daya tampung bumi. Menurut Notohadiprawiro (1997, dalam Noor, 2001), gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan atau

 

pemendaman karbon. Setiap lapisan 1 m gambut diperkirakan memendam sekitar 700 ton karbon tahun-1 hektar-1 (Noor, 2001).

Akibat konversi hutan rawa gambut, di pulau Sumatera telah terjadi penyusutan karbon yang cukup besar di lahan gambutnya. Pada tahun 1990 terhitung sebanyak 22.283 juta ton C pada lahan gambut Sumatera dan berkurang menjadi 18.813 juta ton C pada tahun 2002. Dengan kata lain telah terjadi penyusutan cadangan karbon sebesar 3.470 juta ton atau 15,5% dari total cadangan karbon lahan gambut Sumatera dalam kurun waktu 12 tahun (Wahyunto, 2005 dalam Barchia, 2006).

2.2. Akumulasi Karbon (C)

Kebanyakan CO2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomasa (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melalui akar-akar yang mati (Hairiah et al., 2001).

Ada 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah adalah: (a) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; (c) biota. Serasah dan akar-akar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah. Sementara kehilangan C dari dalam tanah dapat melalui (a) respirasi tanah, (b) respirasi tanaman, (c) terangkut panen, (d) dipergunakan oleh biota, (e) erosi (Hairiah et al., 2001).

Pembukaan lahan untuk pertanian kebanyakan dilakukan dengan cara menebang dan membakar pepohonan atau alang-alang (sistem tebang-bakar). Pembakaran vegetasi mengakibatkan hampir semua cadangan C dan N hilang, tetapi para pelaku seperti pengusaha masih tetap memilih cara ini karena mudah dan murah. Cara ini dapat menambah pupuk secara cuma-cuma dari hasil pembakaran biomasa, dapat meningkatkan pH, P-tersedia dan kation basa dalam jumlah besar. Selain itu, penambahan bahan organik secara terus menerus dapat mempertahankan kandungan bahan organik dalam tanah, lebih banyak bahan

organik yang ditambahkan maka lebih ‘dingin’ tanah tersebut (Hairiah et al., 2001).

Untuk memahami neraca C, perlu dipahami terlebih dahulu 4 macam C di daratan yaitu: GPP (Gross Primary Productivity), NPP (Net Primary Productivity), NEP (Net Ecosystem Productivity) dan NBP (Net Biome Productivity) (Gambar 1).

Gambar 1. Neraca Karbon Daratan Berdasarkan Estimasi Pelepasan (emission) atau Penyerapan (sequestration) C pada Berbagai Tingkat Proses Ekosistem (IPCC, 2007).

GPP (Gross Primary Productivity / Produktivitas Primer Bruto) adalah jumlah C yang diserap oleh tanaman selama berlangsungnya fotosintesis. Oleh karena itu biasanya diukur pada semua bagian hijauan tanaman terutama daun. NPP (Net Primary Productivity / Produktivitas Primer Bruto) adalah produksi bahan organik dari tanaman hidup pada ekosistem daratan. Separuh dari GPP global yang terakumulasi pada suatu sistem bentang alam, akan direspirasikan pada saat sistem tersebut “bernafas” dan menyerap oksigen. Oleh karena itu jumlah C yang disimpan dalam bahan organik bagian hidup tanaman (biomasa) adalah separuh dari jumlah C yang diserap dari udara. NEP (Net Ecosystem Productivity / Produktivitas ekosistem netto) merupakan selisih antara tingkat produksi karbon dari biomasa tanaman dengan karbon yang dilepaskan selama dekomposisi bahan organik dari bagian mati (nekromasa) tanaman. Respirasi heterotropik tersebut mencakup kehilangan karbon melalui dekomposisi bahan

 

organik oleh organisme tanah. NBP (Net Biome Productivity / Produktivitas Biom Netto) adalah produksi neto bahan organik (karbon) per wilayah yang mencakup satu kisaran ekosistem (satu bioma), termasuk juga di dalamnya adalah respirasi heterotropik dan proses lainnya yang menyebabkan hilangnya karbon dari ekosistem (misalnya terangkut panen, serangan hama dan penyakit, penebangan dan kebakaran hutan). NBP ini lebih tepat untuk neraca C pada ukuran wilayah yang luas (100-1000 km2) dan pada waktu yang lama (beberapa tahun). Pengukuran NBP ini dilakukan untuk jangka waktu panjang karena frekuensi gangguan relatif jarang (Hairiah dan Rahayu, 2007).

2.3. Aliran/fluks dan Neraca Karbon (C)

Untuk memahami aliran C (fluks C) yang terjadi antara ekosistem yang spesifik dengan atmosfer, pada jangka waktu tertentu, dan tingkat sensitivitas setiap proses terhadap kondisi lingkungan saat ini, terhadap adanya gangguan dan perubahan iklim, maka terlebih dahulu kita harus mengerti komponen-komponen yang ada dalam proses-proses yang menghasilkan NEP. Hal tersebut ditunjukkan oleh kecepatan respon, dan sensitivitas terhadap perubahan lingkungan yang menentukan besarnya NBP di masa yang akan datang dan tingkat potensial penyerapan C dalam satu ekosistem (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Proses fotosintesis dan respirasi tanaman merupakan fungsi dari berbagai variabel lingkungan dan tanaman, termasuk diantaranya adalah radiasi matahari, temperatur dan kelembaban udara dan tanah, ketersediaan air dan hara, luas daun, lapisan ozon di udara dan polutan lainnya. Dengan demikian perubahan iklim akan berpengaruh kepada tanaman melalui berbagai jalan. Laju fotosintesis mungkin akan berkurang karena matahari tertutup awan tebal, tetapi ada kemungkinan juga akan meningkat karena konsentrasi CO2 di udara meningkat. Semua proses yang berhubungan dengan respirasi umumnya sensitif terhadap peningkatan suhu, terutama akar-akar halus dan organism heterotropik dalam tanah. Meningkatnya temperatur tanah maka dalam waktu singkat akan diikuti oleh meningkatnya laju mineralisasi bahan organik tanah (BOT) dan pelepasan hara ke dalam tanah. Hal tersebut mendorong terjadinya kembali proses

fotosintesis, meningkatnya luas permukaan daun, sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman (Noor, 2001).

Namun untuk jangka panjang, respirasi tanah akan menyesuaikan dengan kenaikan suhu tanah, dan kembali menjadi normal. Pada daerah-daerah kering, adanya perubahan ketersediaan air tanah dan perubahan pola curah hujan akan sangat mempengaruhi keseimbangan antara perolehan dan kehilangan C (Noor, 2001).

Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan keseluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman seperti daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses perosot atau sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi. Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir- reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial, dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil) (Noor, 2001).

Neraca karbon global adalah kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antar reservoir karbon. Analisis neraca karbon dari sebuah reservoir atau kolam dapat memberi informasi tentang apakah suatu reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau perosot (sink) CO2 (Noor, 2001).

 

Dokumen terkait