• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang penting di lingkungan pesisir, dan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis. Fungsi fisik adalah sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan ombak, pengendali banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan. Fungsi biologis adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan sebagai daerah mencari maskan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya. Fungsi ekonomis adalah sebagai penghasil kayu untuk bahan baku dan bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan. Selain itu, fungsi tersebut adalah strategis sebagai produsen primer yang mampu mendukung dan menstabilkan ekosistem laut maupun daratan (Hiariey, 2009).

Mangrove Sei Nagalawan Serdang Bedagai, dikenal dengan mangrove Kampung Nipah terletak di Desa sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, kabupaten Serdangbedagai, Provinsi Sumatera Utara. Kampung Nipah merupakan lokasi ekowisata mangrove terpadu berbasis masyarakat, dimana di satu lokasi ini terdapat hutan mangrove, pengelolaan produk berbahan dasar mangrove, hingga homestay yang dikelola oleh penduduk setempat (Santi, 2014).

Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Pengaruh laut dan daratan dikawasan mangrove mengakibatkan terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta sebagai penahan intrusi dan abrasi air laut, proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi mampu menunjang kehidupan mahluk hidup didalamnya. Hutan mangrove

pneumatophore (Arif, 2003). Taksonomi dan Morfologi Bruguiera gymnorrhiza (Gambar 1). Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Familiy : Rhizophoraceae Genus : Bruguiera Species : B. gymnorrhiza

Gambar 1. Bruguiera gymnorrhiza

B. gymnorrhiza merupakan salah satu spesies tumbuhan mangrove dengan nama famili Rhizoporaceae. Daerah penyebarannya meliputi daerag Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian 0-50 m dpl, tipe iklim A, B, C dengan tekstur tanah ringan dan tumbuh subur di daerah mangrove bagian tengah hingga kebagian dalam. Tanaman ini mempunyai buah yang panjangnya 2-0-30 cm, diameter 12-17 cm,

warna buah hijau gelap hingga ungu dengan bercak cokelat, permukaan licin, berbentuk silinder, kelopak menyatu saat buah jatuh dan mengapung di air (Noor, dkk,. 2006).

Dekomposisi.

Menurut Dewi (2009), rata-rata berat laju dekomposisi serasah daun A. marina pada pengamatan hari ke-60 berbeda-beda pada setiap tingkat salinitas, yaitu 19,06 g pada salinitas 0-10 ppt, 16,23 g pada salinitas 10-20 ppt, 36,30 g pada salinitas 20-30 ppt, dan 9,49 g pada salinitas >30 ppt. Serasah yang paling cepat terdekomposisi adalah serasah yang berada pada tingkat salinitas >30 ppt.

Kontribusi makrofauna tanah dalam proses dekomposisi dapat secara langsung ataupun tidak langsung (Visser, 1985 dan Anderson, 1988 dalam Teuben dan Roelofsma, 1990). Kontribusi secara langsung dapat dilihat dari nutrien yang mengalami pelindian karena makrofauna sendiri. Sedangkan efek tidak langsung terjadi jika makrofauna itu mempengaruhi mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi. Efek secara tidak langsung ini dilakukan dengan mengubah kualitas substrat bagi mikroorganisme, seperti mengubah rasio C nutrien yang

dapat dipertukarkan (exchangeable nutrient) di dalam substrat (Coleman dkk., 1983 dalam Teuben dan Roelofsma, 1990).

Mason (1977, diacu oleh Yunasfi, 2006) membagi proses – proses dekomposisi menjadi tiga yaitu, pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme hilangnya bahan – bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor – faktor fisik, seperti pengikisan dan penguapan

air dari serasah oleh angin, es dan pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan pecahan – pecahan detritus bahan organic secara bertahap oleh mahluk hidup. Mahluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai decomposer, pengurai atau saproba.

Dekomposisi bahan organik adalah sebuah proses ekologi yang penting dalam sebuah ekosistem hutan. Melalui proses dekomposisi ini, serasah yang jatuh ke tanah, bersama dengan kandungan nutrisi yang ada di dalamnya dilepaskan ke dalam tanah dan tersedia bagi tanaman (Prescott dkk, 2004).

Dekomposisi serasah adalah proses perombakan serasah sebagai bahan organik oleh jasad renik (mikroba) menjadi energi senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium, dan lain-lain. Perubahan bobot serasah persatuan waktu disebabkan terjadinya proses dekomposisi dimana mikroorganisme tanah memanfaatkan karbon serasah sebagai bahan makanan dan membebaskannya sebagai CO2. Perubahan bobot molekul juga terjadi pada proses dimana senyawa kompleks yang lebih rendah (Aprianis, 2011).

Serasah daun bisa dikonsumsi secara langsung langsung oleh hewan-hewan bentos, dengan sedikit atau tanpa melalui proses dekomposisi oleh mikroba terlebih dahulu. Sekitar 30-80% daun, ranting dan lainnya dari tumbuhan mangrove, yang jatuh keperairan dikonsumsi langsung dan/atau dikubur dulu disubstrat dasar oleh kepiting (kemungkinan untuk menghilangkan tannin), seperti grapsid crab (Sesarma messa). Sisanya termasuk serpihan atau potongan-potongan dari serasah daun mangrove yang telah dimanfaatkan oleh kepiting, dikonsumsi oleh hewan lainnya, ditransportasikan, atau diuraikan oleh bakteri, tergantung pada ketinggian pasang, umur, dan komposisi spesies tumbuhan hutan

mangrove tersebut, dan kelimpahan dan komposisi spesies pemakan detritus (scavangers) (Ghufran, 2012).

Menurut Sutedjo dkk., (1991) proses dekomposisi bahan-bahan tumbuhan dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam bahan tumbuhan, suplai nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara. Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan mangrove serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu manjadi bahan lain yang dapat menjadi bahan lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organism tersebut. Adapun jenis organism yang terdapat dalam ekosistem mangrove terdiri atas organism baik yang cukup besar seperti kepiting, serangga maupun yang kecil seperti bakteri dan fungi.

Secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai makanan langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove, rantai makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus diperoleh dari daun mangrove yang gugur ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Dedi, 2000 diacu oleh Emma, 2009).

Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan. Hasil pengamatan produksi serasah di Talidendang Besar, Sumatera Timur oleh Kusmana et al. (1995) menunjukkan bahwa jenis B.parviflora sebesar 1.267 g/m2/th, B. sexangula 1.269 g/m2/th, dan 1.096 g/m2/th untuk komunitas B. sexangula-Nypa fruticans. Pengamatan Khairijon (1999) di hutan mangrove Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau, menghasilkan 5,87 g/0,25m2/minggu daun

2,30 g/0,25m2/minggu daun dan ranting Avicennia marina atau setara dengan 478,4 g/m2/th, dan cenderung membesar ke arah garis pantai.

Pada umumnya, serasah dari spesies yang tumbuh pada lingkungan yang miskin unsur hara lebih sulit terdekomposisi dan akan menyebabkan lambatnya proses siklus hara pada lingkungan tersebut dibanding serasah yang berasal dari

tanaman yang hidup pada lingkungan yang kaya hara (Van Breemen, 1995).

Sebagai suatu proses yang dinamis, dekomposisi memiliki dimensi kecepatan yang mungkin berbeda dari waktu ke waktu tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut umumnya adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dekomposer disamping faktor bahan yang akan didekomposisi. Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktor-faktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi itu sendiri. Oksigen dan bahan organik, menjadi faktor kendali dalam proses dekomposisi. Kedua faktor ini terutama oksigen merupakan faktor kritis bagi dekomposisi aerobik Ketersediaan bahan organik yang berlimpah mungkin tidak berarti banyak dalam mendukung dekomposisi bila faktor lain seperti oksigen tersedia dalam kondisi terbatas (Sunarto, 2003).

Menurut Hardjowigeno (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi penghancuran (dekomposisi) bahan organik adalah

1. Suhu: Suhu tinggi, dekomposisi cepat. Batasan temperatur optimum untuk bakteri berkisar 27° -36 °C, yang sangat berpengaruh bagi penguraian serasah mangrove dengan asumsi daun mangrove sebagai dasar metabolisme.

3. Tata udara tanah: tata udara baik, dekomposisi cepat

4. Pengolahan: tanah yang diolah, tata udara menjadi baik, penghancuran bahan organik cepat

5. pH: tanah dengan pH masam, penghancuran bahan organik lambat Faktor- faktor Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove

1. Suhu

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun A. marina terjadi pada suhu 18-20 °C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28 °C. Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27°C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26°C (Prabudi, 2013). 2. Salinitas

Perkembangan salinitas berpengaruh terhadap perkembangan jenis makrobentos yang membantu dalam proses dekomposisi serasah R. mucronata. Adanya masukan sir sungai atau hujan akan menurunkan kadar salinitas, yang akan mengakibatkan kematian beberapa jenis makrobentos. Kehidupan beberapa makrobentos tergantung pada rendahnya salinitas. Aktivitas makroorganisme yang tahan terhadap salinitas yang tinggi dan mikroorganisme membantu dalam proses pendekomposisian bahan organik dalam tanah. (Gultom, 2009).

Salinitas didefinisikan sebagai berat zat padat terlarut dalam gram per kilogram air laut, jika zat padat telah dikeringkan sampai beratnya tetap pada 480°C. Alat-alat elektronik canggih menggunakan prinsip konduktivitas ini untuk menentukan salinitas. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi

laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air (Hasibuan, 2011).

Salinitas adalah jumlah garam dari garam-garam yang terlarut dalam satu kilogram air laut, setelah semua karbonat diubah menjadi oksida, semua bromida dan iodine sudah ditransformasi sebagai klorida ekivalen dan semua bahan organik telah dioksidasi. Meskipun dapat dinyatakan dalam mg/L, tetapi salinitas lebih sering dinyatakan dalam ppt atau promil. Kisaran salinitas air laut berada antara 0-40 ‰, yang berarti kandungan garam berkisar antara 0-40 g/kg air laut. Secara umum salinitas permukaan rerata perairan Indonesia berkisar antara

32-34 ‰ (Rizal, 2008 diacu oleh Emma, 2009).

Enam kelas salinitas pada vegetasi mangrove yang tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Kelas salinitas vegetasi mangrove

Kelas Keterangan

1 Salinitas 10-30 ‰, tanah digenangi 1-2 kali sehari atau sekurangnya 20 hari setiap bulan, jenis Avicenia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang lebih keras, membentuk zona pertama

2 Salinitas 10-30‰, tanah digenangi 10-19 hari setiap bulan, jenis Bruguiea gymnorrhiza tumbuh baik dan tegakan membentuk zona ke-2

3 Salinitas 10-30‰, tanah digenangi 9 hari atau kurang setiap bulan, jenis Xylocarpus dan Heritiera tumbuh baik dan tegakan membentuk zona ke-3

4 Salinitas 10-30‰ tanah digenangi hanya beberapa hari saja dalam setahun, jenis Bruguiera, Scyphipora dan Lumnitzera tumbuh baik dantegakan membtnuk zona ke-4 5 Salinitas 0‰ sedikit dipengaruhi pasang surut

6 0‰ tanah hanya dipengaruhi perubahan air hanya pada musim basah

Sumber : Rizal (2008)

3. Derajat Keasaman ( pH )

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hydrogen dalam suatu larutan, didefenisikan sebagai logaritma dari resifprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH= log l/H- dimana H- adalah banyaknya ion hydrogen dalam mol/liter larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau

melepaskan ion Hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa (Barus, 2004).

4. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam ( Dewi, 2009).

Unsur Hara yang Terkandung di Dalam Serasah Bruguiera gymnorrhiza Hara merupakan faktor penting dalam memelihara keseimbangan ekosistem mangrove. Hara dalam ekosistem mangrove dibagi menjadi dua yaitu: (a) Hara anorganik, penting untuk kelangsungan hidup organisme mangrove. Hara ini terdiri dari N, P, K, Mg, Ca, dan Na. Sumber utama hara anorganik adalah curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan bahan organik yang terurai di mangrove; (b) Detritus organik, merupakan bahan/organik yang berasal dari bioorganik yang melalui beberapa tahap pada proses microbial (Handayani 2004). Karbon (C)

Lautan mengandung karbon lima puluh kali lebih banyak daripada karbon di atmosfer. Perpindahan karbon dari atmosfer ke laut terjadi terjadi melalui proses difusi. Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi karbon organik melalui proses fotosintesis, kemudian masuk kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan dekomposisi yang merupakan proses biologis makhluk hidup (Efendi, 2003).

Nitrogen (N)

Unsur N di dalam tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik sisa- sisa tanaman maupun binatang, pemupukan (terutama urea dan ammonium nitrat) dan air hujan. Pengaruh bahan organik terhadap tanah dan terhadap tanaman tergantung pada laju proses dekomposisi (Hanafiah, 2003).

Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas dalam biosfer. Lapisan atmosfer bumi mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung nitrogen. Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai penyusun protein dan klorofil. Meskipun ditemukan dalam jumlah yang melimpah di lapisan atmosfer, akan tetapi nitrogen tidak dapat dimanfaatkan secara langsung. Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4 dan NO3. (Efendi, 2003).

Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Keberadaan nitrat diperairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang dapat berasal dari industri, bahan peledak, pirotehnik da n pemupukan. Secara alamiah, kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk nitrat/nitrogen (Aerts, 1997).

Fosfor (P)

Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae yang sangat mempengaruhi produktivitas perairan Sumber-sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan organik.

Sumbangan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003).

Fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa organik yang terlarut. Fosfor membentuk kompleks dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat larut dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik. Fosfor yang terdapat dalam air taut umumnya berasal dari dekomposisi organisme yang sudah mati (Thaher, 2013).

Rasio C/N

Faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteri dalam penguraian bahan organik tumbuhan adalah jenis tumbuhan dan iklim. Faktor tumbuhan biasanya berbentuk sifat fisik dan kimia daun yang tercermin dalam perbandingan antara unsur karbon dan unsur nitrogen yang dinyatak an sebagai nisbah C/N (Thaiutsa & Ganger, 1979). Meningkatnya keanekaragaman bakteri mempengaruhi laju proses dekomposisi dan pola pelepasan unsur hara. Selama proses dekomposisi, kehilangan massa ditentukan oleh kandungan nitrogen dan rasio C/N pada substrat. Rasio C/N yang tinggi menunjukkan tingkat kesulitan substrat terdekomposisi (Handayani 2004).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah wisata Kampung Nipah, desa Sei Naga Lawan secara administrasi terletak di Kecamatan Perbaungan, kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi

Sumatera Utara, dan secara geografis berada pada 3°35’56,4” LU dan 99°56’19,032” BT. Daerah ini dulunya adalah daerah yang banyak ditumbuhi

tanaman mangrove, sebelum beberapa masyarakat setempat mengkonversinya menjadi lahan tambak. Memanfaatkan pemandangan pantai yang indah, masyarakat setempat mengelola daerah tersebut untuk mengembalikan hutan mangrove kembali dengan menjadikan daerah tersebut menjadi daerah wisata bernuansa mangrove. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana kondisi ekologi mangrove untuk mengetahui kesinambungan upaya rehabilitasi hutan mangrove di Kampung Nipah.

Untuk memperbaiki pertumbuhan mangrove disuatu daerah, perlu adanya upaya pengembalian unsur hara yang hilang didalam tanah. Unsur hara sebagian besar merupakan hasil dekomposisi dari mahluk hidup, yang terurai di dalam tanah dan menjadi unsur yang dibutuhkan oleh tanaman dalam proses pertumbuhan. Untuk itu perlu diketahui bagaimana dinamika proses dekomposisi agar didapat data laju pelepasan unsur hara di daerah hutan mangrove Kampung Nipah.

Bruguiera gymnorrhiza memliki peran yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan mangrove. Tanaman ini merupakan tanaman yang tidak sulit untuk dijumpai dikawasan hutan mangrove. Tanaman ini mampu tumbuh pada ketinggian 0-50 meter diatas permukaan laut, tipe iklim A, B, C

dengan tekstur tanah ringan dan tumbuh subur di daerah bagian tengah hingga bagian dalam hutan mangrove (Noor, dkk,. 2006).

Dekomposisi serasah merupakan proses yang sangat penting dalam dinamika hara pada suatu ekosistem (Regina dan Tarazona, 2001). Proses tersebut sangat vital untuk keberlanjutan status hara pada tanaman hutan (Guo dan Sims, 1999) dan kecepatan dekomposisinya bervariasi untuk spesies tanaman yang berbeda (Kochy, 1997 diacu oleh Sulistiyanto, 2005).

Ekosistem mangrove mempunyai berbagai fungsi penting, diantaranya sebagai system penyangga kehidupan, sumber pangan, pelindung pesisir, menjaga kekayaan keanekaragaman hayati, berkontribusi sebagai pengendali iklim global melalui penyerapan karbon. Menyadari peran ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem lahan basah penting, maka pengelolaan ekosistem mangrove perlu dilakukan secara tepat dan terpadu.

Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai. Berdasar karakteristik wilayahnya, pantai di sekitar kota Padang pun masih merupakan alur yang sama sebagai alur rawan gempa tsunami.

Hutan mangrove terdapat di sepanjang garis pantai di kawasan tropis, dan menjadi pendukung berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Namun luas hutan mangrove telah mengalami penurunan sampai 30 – 50% dalam setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah pesisir, perluasan pembangunan tambak dan penebangan yang berlebihan.1-4 Besarnya emisi karbon akibat hilangnya mangrove masih belum diketahui dengan jelas, sebagian karena kurangnya data berskala besar tentang jumlah karbon yang tersimpan dalam ekosistem ini, khususnya di bawah permukaan (CIFOR, 2012).

Salah satu akibat kelebihan jumlah karbon di atmosfer adalah terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer, sehingga memicu terjadinya perubahan iklim global. Terjadinya peningkatan unsur karbon dalam bentuk gas-gas asam arang (CO2), gas buang knalpot (CO), metana (CH4) serta gas rumah kaca dalam jumlah yang mengkhawatirkan telah memicu pemanasan global (Purnobasuki, 2012).

Tujuan

1. Mengukur laju dekomposisi serasah daun B.gymnorrhiza pada berbagai tingkat salinitas.

2. Mendeteksi kandungan unsur hara C, N, dan P serasah B.gymnorrhiza yang dilepas selama proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas.

Manfaat Penelitian

1. Untuk menentukan zona tingkat kesuburan nutrisi pada suatu tipe hutan mangrove tertentu.

2. Sebagai salah satu masukan bagi praktek pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan.

ABSTRAK

HAKIM SOLEH SIANIPAR. Laju Dekomposisi Serasah Daun Bruguiera gymnorrhiza Pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kampung Nypah Desa

Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan. Dibimbing oleh YUNASFI dan KANSIH SRI HARTINI.

Dekomposisi serasah merupakan proses yang sangat penting dalam dinamika hara pada suatu ekosistem dan proses dekomposisi serasah sangat vital untuk keberlanjutan status hara pada tanaman hutan. Bruguiera gymnorrhiza merupakan salah satu spesies tumbuhan mangrove dengan nama famili Rhizoporaceae. Tanaman ini mempunyai buah yang panjangnya 2-0-30 cm, diameter 12-17 cm, warna buah hijau gelap hingga ungu dengan bercak cokelat, permukaan licin, berbentuk silinder, kelopak menyatu saat buah jatuh dan mengapung di air. Penelitian ini dilakukan di Kampung Nypah Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, dilaksanakan pada Juni sampai Desember 2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur laju dekomposisi serasah daun B.gymnorrhiza pada berbagai tingkat salinitas dan mendeteksi kandungan unsur hara C, N, dan P serasah B.gymnorrhiza yang dilepas selama proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas.

Hasil penelitian menunjukkan serasah daun B. gymnorrhiza lebih cepat

terdekomposisi pada tingkat salinitas 10-20 ppt. Rata-rata serasah daun B. gymnorrhiza yang terdekomposisi pada tingkat salinitas 0-10 ppt adalah 30,93

gram, salinitas 10-20 ppt adalah 23,27 gram dan salinitas 20-30 ppt adalah 26,95 gram. Laju dekomposisi serasah daun B. gymnorrhiza pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, dan 20-30 ppt adalah 0,261, 0,408, dan 0,297. Unsur hara C pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt dan 20-30 ppt adalah 17,02 %, 15,7 %, dan 15,68 %. Unsur hara N pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, dan 20-30 ppt adalah 2,8 %, 2,5 %, dan 2,5 %. Unsure hara P pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, dan 10-20-30 ppt adalah 0,17 %, 0,18 %, dan 0,17 %.

ABSTRACT

HAKIM SOLEH SIANIPAR. Leaf Litter Decomposition rate of Bruguiera

gymnorrhiza at Different Levels of Salinity in Kampung Nypah Sei Nagalawan, District Perbaungan. Supervised by YUNASFI and KANSIH SRI Hartini.

Litter decomposition is a very important process in the dynamics of nutrients in an ecosystem and litter decomposition process is vital to the sustainability of the forest plant nutrient status. Bruguiera gymnorrhiza is one species of mangrove plants with Rhizoporaceae family name. These plants have fruit 2-0-30 cm long, 12-17 cm in diameter, dark green fruit color to purple with patches of brown, smooth, cylindrical, fused petals when the fruit falls and float in the water. This research was conducted in Kampung Nypah Sei Nagalawan, District Perbaungan, carried out in June to December 2015. The purpose of this study was to measure the rate of leaf litter decomposition B.gymnorrhiza at different levels of salinity

Dokumen terkait