• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumput Laut

Profil Komoditas

Rumput laut adalah bentuk poliseluler dari ganggang (macro-algae) yang hidup di laut. Rumput laut atau alga laut adalah tanaman tingkat rendah dari Divisio

Thallophyta (Deptan 1990). Berdasarkan pigmentasinya, rumput laut diklasifikasikan

menjadi tiga kelas, yaitu alga merah (Rhodophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), dan alga coklat (Phaeophyceae). Dari ketiga kelas tersebut, hanya Rhodophyceae dan Paeophyceae yang dikenal dalam dunia perdagangan. Jenis Eucheuma sp,

Hypnea sp, Chondrus sp, dan Gigartina sp dari kelas Rhodophyceae merupakan

rumput laut penghasil karaginan (karaginofit), sementara jenis lainnya yaitu

Gracilaria sp dan Gelidium sp sebagai penghasil agar (agarofit). Dari kelas

Phaeophyceae dikenal .jenis Ascophyllum, Laminaria sp, Macnocystis sp, dan

Sargassum sebagai penghasil algin (alginofit) (McHugh 2003).

Makroalga merupakan sumberdaya hayati laut Indonesia yang sangat potensial dan bernilai ekonomis tinggi, terutama dari golongan alga merah dan alga coklat. Masyarakat pada umumnya dan dunia perdagangan lebih mengenal makroalga sebagai rumput laut karena beberapa diantaranya menyerupai rumput. Di perairan laut Indonesia telah ditemukan paling tidak sebanyak 555 jenis rumput laut (DKP 2006a).

Rumput laut dapat tumbuh secara alamiah di laut (wild seaweed), namun saat ini rumput laut sudah banyak yang dibudidayakan (McHugh 2003). Teknologi budidaya rumput laut pada umumnya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat (Anggadiredja et al. 2006). Rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis rumput laut penghasil karaginan (karaginofit). Karaginofit yang telah dikenal dan banyak dibudidayakan di Indonesia berasal dari genus Eucheuma. Menurut Huda (2002), paling tidak terdapat 5 jenis Eucheuma yang ditemukan di Indonesia, meliputi E. cottonii, E. spinosum, E. edule, E. striatum, E. muricartum, dan E. gelatinae.

Eucheuma merupakan rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di

perairan laut Indonesia karena tingkat permintaan pasar yang tinggi, serta didukung oleh kondisi perairan dan iklim tropik yang sangat cocok untuk pertumbuhannya (Anggadiredja et al. 2006; DKP 2006a). Kelebihan rumput laut jenis Eucheuma antara lain bentuk dan ukuran thallus lebih besar yang memungkinkan jenis ini mengandung karaginan yang tinggi, pertumbuhannya cepat (quick yield), serta mudah dibudidayakan dengan teknologi sederhana (BI 2008). Eucheuma memiliki

thallus dan cabang-cabang yang berbentuk silinder atau pipih dengan bentuk yang

tidak teratur dengan permukaan licin. Ketika masih hidup Eucheuma memiliki warna hijau hingga kemerahan, namun bila kering warnanya menjadi kuning kecoklatan (Doty 1973).

Gambar 1 Rumput laut (Eucheuma cottonii).

Karaginan

Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peran penting dalam dunia perdagangan internasional, yaitu sebagai penghasil ekstrak karaginan. Eucheuma mempunyai komposisi yang sebagian besar terdiri dari komponen karaginan. Kadar karaginan dalam setiap spesies Eucheuma bervariasi tergantung pada jenis spesies dan tempat tumbuhnya (Anggadiredja et al. 2006). Komponen lainnya seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral didalam rumput laut, mempunyai kandungan yang relatif sedikit. Nilai nutrisi rumput laut kering jenis Eucheuma sp. dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai nutrisi rumput laut (Eucheuma sp.) Komponen E. spinosum Bali E. spinosum Sulawesi Selatan E. cottonii Bali Kadar air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Abu (%) Mineral : Ca (ppm) Fe (ppm) Cu (ppm) Pb (ppm) Thiamin (mg/100g) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Karaginan (%) 12.90 5.12 0.13 13.38 1.39 14.21 52.820 0.108 0.768 -- 0.21 2.26 43.00 65.75 11.80 9.20 0.16 10.64 1.73 4.79 69.250 0.326 1.869 0.015 0.10 8.45 41.00 67.51 13.90 2.69 0.37 5.70 0.95 17.09 22.390 0.121 2.736 0.040 0.14 2.70 12.00 61.52 Sumber: BBPPHP (2009); Istini et al. (1986)

Karaginan adalah senyawa kompleks polisakarida yang dibangun oleh sejumlah unit galaktosa dan 3,6-anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan α-1,3-D-galaktosa dan β-1,4-3,6-anhydro-galaktosa secara bergantian (Soegiarto 1978). Pada dasarnya ada tiga tipe karaginan komersial, yaitu tipe kappa, lambda, dan iota. Karaginan tipe lambda banyak dijumpai pada

Chondrus crispus. Jenis Eucheuma cottonii merupakan sumber karaginan tipe

kappa, sementara Eucheuma spinosum sumber karaginan iota (Salasa 2002). Ketiga jenis karaginan ini dibedakan atas sifat jelly yang terbentuk. Iota karaginan berupa

jelly lembut dan fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jelly bersifat kaku dan getas

serta keras. Sementara, lambda karaginan tidak dapat membentuk jelly, tetapi berbentuk cair yang viscous.

Karaginan sangat penting peranannya sebagai pengatur keseimbangan (stabilisator), pengental (thickener), pembentukan gel (gelating), dan pengemulsi (emulsifier). Sifat-sifat ini dapat dimanfaatkan secara luas dalam industri makanan, farmasi, kosmetika, pasta gigi, dan industri penting lainnya (Basmal 2000).

Pada industri pangan, karaginan telah dimanfaatkan untuk perbaikan produk kopi, beer, sosis, salad, ice cream, susu kental manis, coklat, jelly, dll. Pada industri farmasi karaginan digunakan dalam pembuatan obat berupa sirup, tablet, dsb. Pada

industri kosmetika digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan untuk mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan shampo, pelembab, dsb. Karaginan digunakan pula pada industri non pangan seperti pada industri tekstil, kertas, cat air, transportasi minyak mentah, penyegar udara dan telah ditambahkan pula pada makanan hewan peliharaan (pet food) (Basmal 2000).

Dalam dunia perdagangan, karaginan bisa diperoleh dalam bentuk karaginan murni maupun semi murni. Produk karaginan semi murni merupakan bahan baku bagi karaginan murni yang berkualitas tinggi yang memiliki kekuatan gel serta rendeman yang tinggi. Karaginan semi murni memiliki beberapa istilah, antara lain

semi refined carrageenan, alkali modified flour, alkali treated carrageenophyte, seaweed flour, alternatively refined carrageenan, dan processed seaweed flour. Ada

pula istilah alkali treated cottonii (ATC) atau alkali treated cottonii chips (ATCC) yang merupakan produk karaginan semi murni yang masih dalam bentuk chips yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii (McHugh 2003).

Produk karaginan semi murni biasanya diproduksi oleh negara-negara penghasil rumput laut, seperti Filipina dan Indonesia. Produk ini lebih diminati oleh industri-industri pengolah seperti di Eropa dan USA, karena negara-negara tersebut dapat menekan biaya transportasi sehingga akan lebih efisien dibandingkan mengimpor produk dalam bentuk rumput laut kering (raw dried seaweed). Selain itu, industri pengolah juga tidak tertarik untuk mengolah rumput laut menjadi ATC dengan alasan untuk menghindari adanya limbah dalam proses pengolahannya, sehingga hal ini akan mengurangi biaya dalam penanganan limbah (McHugh 2003).

Agroindustri Rumput Laut

Austin (1992) dan Brown (1994) mendefinisikan agroindustri sebagai industri yang mengolah bahan baku menjadi produk-produk olahannya dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah. Proses pengolahannya mencakup transformasi kimia dan fisika, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi. Merujuk pada definisi tersebut, agroindustri rumput laut adalah industri yang mengolah rumput laut menjadi produk olahannya, misalnya ATC.

Menurut Kustantiny et al. (2009), saat ini agroindustri ATC semakin berkembang seiring dengan keberhasilan budidaya rumput laut di beberapa daerah di Indonesia, terutama sejak dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan di Indonesia. Proses pengolahan ATC tidak membutuhkan penerapan teknologi tinggi. Proses pengolahan rumput laut menjadi ATC pada prinsipnya sangat sederhana yaitu dengan merebusnya dalam larutan KOH pada suhu 85°C selama 2-3 jam. Rumput laut kemudian dicuci berulang-ulang, dipotong-potong, dan dikeringkan sehingga diperoleh ATC yang berbentuk chips (Salasa 2002). Diagram alir proses pembuatan ATC dapat dilihat Gambar 2.

Gambar 2 Proses pembuatan ATC (Salasa 2002).

Dengan mempertimbangkan teknologi pengolahan ATC yang relatif mudah dikuasai, bahan baku yang cukup tersedia, serta peluang pasar yang sangat potensial baik di dalam negeri maupun untuk pasar ekspor, maka pengembangan agroindustri ATC di Indonesia mempunyai prospek yang sangat cerah (DKP 2006a). Pengembangan agroindustri berbasis rumput laut dapat mengurangi ketergantungan impor dan sekaligus menjaga kestabilan harga rumput laut (Rahman 1999).

Sejauh ini sebagian besar rumput laut, baik hasil pembudidayaan maupun pengambilan di alam, masih diolah sebatas rumput laut kering (raw seaweed). Indonesia masih dikenal sebagai negara produsen raw seaweed dikarenakan sebagian besar rumput laut Indonesia masih diekspor dalam bentuk rumput laut kering (Kustantiny et al. 2009). Hal ini menyebabkan nilai tambah yang diperoleh menjadi relatif rendah (DKP 2006a).

Pengembangan budidaya rumput laut perlu diikuti dengan pengembangan industri pengolahannya karena nilai tambah rumput laut sebagian besar terletak pada industri pengolahannya. Sebagian besar produksi rumput laut diekspor dalam bentuk bahan mentah yang nilai tambahnya belum dinikmati oleh pembudidaya, produsen, pemerintah daerah dan stakeholders lainnya. Pengembangan agroindustri rumput laut mempunyai nilai strategis dari hulu sampai hilir.

Dalam pengembangan agroindustri rumput laut, Ma’ruf (2002) menyarankan perlunya dibentuk suatu sistem penyerasian antara penyediaan bahan baku, sumberdaya manusia, permodalan, hukum, kelembagaan dan sistem pemasaran dan perlunya sosialisasi hasil riset yang melibatkan pemerintah daerah, institusi riset dan swasta.

Gambar 3 Skema pengembangan agroindustri rumput laut (Ma’ruf 2002).

Tata Niaga Rumput Laut

Rantai pemasaran rumput laut umumnya terdiri dari simpul-simpul pedagang lokal, pedagang antar pulau, dan eksportir yang hampir merupakan model yang sama di seluruh Indonesia. Pembudidaya rumput laut pada umumnya menjual hasil

produksinya kepada pedagang pengumpul lokal atau ke koperasi. Pengumpul lokal kemudian memproses ulang dengan melakukan pembersihan, sortasi, dan mengeringkan rumput laut sebelum dikemas dan dijual kepada pembeli baik eksportir maupun pabrikan pengolahan rumput laut (Anggadiredja et al. 2006). Saat ini pembudidaya sudah mulai membentuk organisasi di tingkat pembudidaya, yaitu kelompok-kelompok pembudidaya, dimana ketua kelompoknya umumnya bertindak sebagai pengepul yang mengumpulkan rumput laut yang dihasilkan oleh pembudidaya (BI 2008).

Simpul-simpul perdagangan ini sulit bisa diputus mengingat jarak yang jauh antara produsen rumput laut (pembudidaya) dengan pasar di hilirnya, yaitu pabrikan atau processor dan eksportir. Setiap simpul akan memproses lebih lanjut hasil panen pembudidaya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas rumput laut agar bisa diterima oleh pabrikan pengolah rumput laut, baik didalam maupun di luar negeri (Anggadiredja et al. 2006). Model keterkaitan antar berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha dan tata niaga rumput laut dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembudidaya / petani rumput laut

Pedagang pengumpul di pulau atau lokal

Koperasi Unit Desa

(KUD) Pedagang antar pulau

Pedagang pengumpul di kota

Pedagang besar di kota

Eksportir Pabrikan

Klaster Industri

Model Klaster Industri

Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan konsep klaster industri. Pertama, konsep klaster yang lebih menyoroti aspek aglomerasi, yaitu pendekatan yang menekankan pada aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai keserupaan aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan berdasarkan pemikiran Marshal (1920).

Kedua, konsep yang lebih menyoroti aspek keterkaitan (interdependency) atau rantai

nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan oleh Porter (1990), serta para peneliti lain seperti Bergman dan Feser (1999), Roelandt dan den Hertog (1998), dll.

Konsep klaster industri yang dikembangkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada pendekatan yang kedua. Pada pendekatan ini, Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena kebersamaan (commonalities) dan melengkapi (complementarities). Senada dengan pemikiran Porter, Roelandt dan den Hertog (1998) berpendapat bahwa klaster adalah jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi) yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi peningkatan nilai tambah. Dalam kasus tertentu, klaster juga mencakup aliansi strategis antara agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan rekayasa), lembaga perantara, dan pelanggan.

Dalam klaster industri, pengelompokan industri membentuk kerjasama antar industri, yaitu antara industri inti yang menjadi basis dalam pengembangan klaster dengan industri pendukung serta industri terkait yang berhubungan secara intensif membentuk kemitraan (Bergman dan Feser 1999). Pengelompokan klaster industri

biasanya didasarkan pada sistematika produk, karakteristik produk atau pohon industrinya.

Pemikiran-pemikiran tentang klaster industri yang berkembang dewasa ini pada umumnya merujuk kepada model berlian (diamond model) yang dikembangkan Porter (1990). Porter mengembangkan model berlian yang memberikan kerangka determinan keunggulan daya saing suatu bangsa yang sering dirujuk dan dianggap sebagai pemicu atau menjadi kerangka dasar dalam model atau pendekatan klaster industri.

Dalam perspektif Porter, faktor penentu dari daya saing adalah interaksi dari empat faktor spesifik dan dua faktor eksternal yang disebut sebagai faktor berlian

(diamond). Empat faktor tersebut mencakup: (i) kondisi faktor; (ii) kondisi

permintaan; (iii) industri terkait dan pendukung; serta (iv) strategi perusahaan, struktur, dan persaingan usaha. Porter selanjutnya menyempurnakan dua faktor tambahan pada modelnya, yaitu kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan (chance

events) dan peran pemerintah.

Gambar 5 Model Berlian (Porter 1990).

Sejauh ini, dalam beberapa literatur untuk kasus di Indonesia, penggunaan istilah antara “klaster industri” dengan “sentra industri” sering digunakan secara dapat dipertukarkan. Menurut Taufik (2005b), hal ini perlu diklarifikasi. Jika rantai nilai dianggap hal yang penting, maka keduanya sebenarnya bukan hal yang identik,

walaupun bisa saling terkait. Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri

Kriteria Klaster Industri Sentra Industri Batasan Industri Himpunan para pelaku dalam konteks

tertentu baik pelaku industri tertentu yang berperan sebagai industri inti, pemasok kepada pelaku industri inti, industri pendukung bagi industri inti, pihak/lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti

Himpunan para pelaku (produsen) di bidang usaha industri tertentu yang serupa

Faktor penting yang menjadi pertimbangan

Nilai tambah dan daya saing serta hal positif lain yang terbentuk atas rangkaian rantai nilai keseluruhan industri

Hal positif yang diperoleh karena aglomerasi fisik para pelaku usaha

Keterkaitan antara keduanya

Dalam suatu klaster industri, suatu sentra bisa ditempatkan sebagai salah satu subsistem dalam rangkaian rantai nilai sistem industri tertentu

Sentra industri bisa menjadi salah satu himpunan simpul (subgroup) dari suatu klaster industri, baik sebagai industri inti, pemasok, atau pendukung. Suatu sentra mungkin saja tidak/belum menjadi bagian dari klaster industri tertentu Batasan lokasi/

wilayah

Dimungkinkan terbentuknya klaster industri yang bersifat lintas batas dalam konteks batasan kewilayahan tertentu

Sentra industri tertentu hanya ada di suatu lokasi (desa/kelurahan) tertentu

Sumber: Taufik (2005b)

Manfaat Pengembangan Klaster Industri

Pengembangan klaster industri diyakini merupakan alternatif pendekatan yang efektif untuk membangun keunggulan daya saing industri pada khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya. Pengembangan ekonomi berbasis klaster merupakan kunci bagi pengembangan daya saing daerah. Menurut EDA (1997), kerangka klaster dapat menjadi sebuah alat yang sangat berguna bagi perubahan ekonomi secara efektif karena:

• Market-driven, berfokus pada upaya mempertemukan sisi permintaan dan penawaran ekonomi secara bersama untuk bekerja secara lebih efektif.

• Inclusive, mencakup perusahaan baik yang berskala besar, menengah, maupun kecil, serta para pemasok dan lembaga-lembaga ekonomi pendukung.

• Collaborative, sangat menekankan solusi kolaboratif pada isu-isu daerah oleh para partisipan yang termotivasi oleh keinginannya masing-masing.

• Strategic, membantu para stakeholder untuk menciptakan visi strategis daerahnya menyangkut ekonomi generasi berikutnya atas dasar kesepakatan bersama dari beragam pihak yang berbeda, dan mendorong motivasi serta komitmen untuk melakukan tindakan.

• Value-creating, memperbaiki kedalaman (dengan pemasok yang lebih banyak) dan cakupan (dengan menarik lebih banyak industri) untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Pengembangan klaster industri diyakini mampu menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2004) menjelaskan bahwa peningkatan daya saing dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara, yaitu: (i) meningkatkan produktivitas perusahaan; (ii) mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai pondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan; dan (iii) menstimulasi tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat memperkuat dan memperluas klaster.

Beberapa manfaat pengembangan klaster industri disampaikan oleh Porter (1998a), Desrochers dan Sautet (2004), Waits (2000), Martin dan Sunley (2003), yaitu:

1 Memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi dan membantu pengembangan agenda bersama;

2 Meningkatkan kerjasama antar perusahaan untuk memperkuat industrinya. Kerjasama antar-perusahaan juga memberi kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif dimana terjadi pengembangan saling-tukar pendapat, pengetahuan dan informasi dalam suatu usaha kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan; 3 Meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta mengurangi biaya

4 Menciptakan aset secara kolektif dan memungkinkan terciptanya inovasi yang mendorong peningkatan produktifitas dan diversifikasi produk;

5 Meningkatkan keahlian pelaku melalui proses pembelajaran bersama antar perusahaan potensial yang ada dalam klaster yang mendorong terjadinya spesialisasi produksi sesuai dengan kompetensi inti dan mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif;

6 Setiap perusahaan yang ada dalam klaster memperoleh potensi economic of

scale dengan adanya spesialisasi produksi serta dengan adanya pasar bersama

atau melalui pembelian bahan mentah bersama;

7 Perusahaan dapat meningkatkan hubungan bisnis dengan pelanggan dan pemasok secara lebih baik.

Keberadaan klaster tidak hanya menguntungkan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster, namun juga menguntungkan pengambil kebijakan untuk lebih memahami ekonomi daerahnya dengan baik. Manfaat utama yang diperoleh pemerintah adalah: (i) lebih mengerti kebutuhan dari industri dan secara langsung mendialogkan dengan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster; (ii) dapat menyusun program dan pembinaan pengembangan klaster industri dalam rangka mengarahkan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam upaya pembangunan ekonomi wilayahnya secara berkelanjutan; (iii) penciptaan lapangan kerja dari wilayah geografis di mana klaster berada; dan (iv) peningkatan perekonomian daerah/nasional secara lebih luas (Martin dan Sunley 2003).

Tahapan Pengembangan

Klaster industri mempunyai sifat dinamis dan perkembangannya mempunyai siklus yang dapat dikenali. Rosenfeld (2002) mengklasifikasikan siklus perkembangan klaster menjadi empat tahapan, yaitu: (i) klaster embrio, yaitu klaster pada tahapan awal perkembangan; (ii) klaster tumbuh, yaitu klaster yang mempunyai ruang untuk perkembangan lebih lanjut; (iii) klaster dewasa, yaitu klaster yang stabil atau akan sulit untuk lebih berkembang, serta (iv) klaster menurun, yaitu klaster yang sudah mencapai puncak dan sedang mengalami penurunan.

Dalam klaster embrio, pemerintah dan perantara mempunyai peran penting dalam peningkatan kerjasama dan berfungsi sebagai broker informasi. Sedangkan pada klaster dewasa dan klaster menurun, peningkatan keterbukaan dan inovasi juga diperlukan untuk mencegah bahaya lock-in wilayah. Selain membantu menjaga daya saing klaster tradisional, peningkatan keterbukaan dan inovasi dapat menjadi titik awal kemajuan pengembangan industri baru. Beberapa bentuk intervensi diperlukan di setiap tahapan siklus, namun intensitas dan cara penyampaiannya yang perlu penyesuaian (Bappenas 2006).

Dalam konteks pengembangan ekonomi daerah, EDA (1997) menetapkan empat tahapan umum dalam pengembangan klaster industri, meliputi:

1 Mobilisasi, yaitu membangun minat dan partisipasi di antara konstituen, yang diperlukan untuk melaksanakan prakarsa;

2 Diagnosis, yaitu mengkaji klaster industri yang mencakup ekonomi (daerah) dan infrastruktur ekonomi yang mendukung kinerja klaster;

3 Strategi kolaboratif, yaitu menghimpun stakeholder dari sisi permintaan (seperti perusahaan dalam setiap klaster) dan stakeholder dari sisi sisi penawaran (termasuk lembaga pendukung ekonomi baik publik maupun swasta) dalam kelompok kerja untuk mengidentifikasi tantangan utama dan prakarsa aksi dalam mengatasi persoalan bersama; dan

4 Implementasi, yaitu membangun komitmen peserta kelompok kerja klaster dan stakeholder daerah atas tindakan dan mengembangkan lembaga/ organisasi untuk memelihara terlaksananya implementasi.

Faktor Kunci Keberhasilan dan Kegagalan Klaster Industri

Setiap klaster mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan klaster lainnya. Namun pada umumnya ada beberapa faktor yang mendukung perkembangan klaster yang telah berhasil di dunia. Bappenas (2006) menyebutkan faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan suatu klaster, meliputi: (i) elemen yang “lunak” seperti jaringan dan pengembangan institusi; (ii) elemen “keras” seperti infrastruktur fisik; serta (iii) elemen yang tidak terlihat seperti kepemimpinan dan

budaya kewirausahaan. Faktor lainnya yang juga berkontribusi pada keberhasilan perkembangan klaster adalah akses pada pasar, finansial, dan jasa-jasa khusus.

Selain faktor-faktor diatas, Tambunan (2008) mengamati beberapa faktor penentu keberhasilan klaster lainnya, meliputi: (i) ketersediaan bahan baku terjamin dengan jangkauan harga yang telah diperhitungkan masih menguntungkan; (ii) ada tradisi budaya dan skill tenaga kerja dalam hand craft yang turun temurun dipelajari oleh masyarakat setempat, tenaga kerja terampil tersedia di sekitar lokasi dimana klaster industri tertentu tumbuh; dan (iii) didalam masyarakat ada sikap kewirausahaan (entepreneur) yang cukup berpengetahuan pasar sehingga mampu menyusun jaringan pasar (market network) didalam dan luar agen daerah.

Berdasarkan pengalaman BPPT dalam pengembangan klaster, Taufik (2007) melaporkan faktor-faktor keberhasilan klaster yang dianggap penting, yaitu: (i) potensi lokal yang khas; (ii) kehendak/motivasi kuat pelaku bisnis dan mitra kerja (terutama untuk berubah ke arah perbaikan); (iii) individu setempat dengan kepeloporan yang tinggi (local champions); dan (iv) faktor kolaborasi dalam pengembangan UKM semakin menentukan keberhasilan di arena persaingan global.

Dalam banyak hal, pengembangan klaster industri terkadang tidak berhasil dengan baik. Pada umumnya, kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh tidak adanya faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan klaster industri atau tidak ditangani sebagaimana mestinya. Meskipun klaster industri diyakini dapat memberikan peluang dan manfaat bagi pelaku industri, termasuk bagi daerah dimana klaster tersebut berada, namun proses mengembangkan klaster bukanlah merupakan persoalan yang mudah.

Rosenfeld (2002) menyampaian beberapa hambatan pengembangan klaster, diantaranya adalah lemahnya akses terhadap sumber permodalan, penguasaan dan adopsi teknologi, akses terhadap informasi, sumberdaya manusia yang terampil, lemahnya penguasaan manajemen dan organisasi bisnis, serta keterbatasan infrastruktur. Disamping itu, Matopoulos et al. (2005) juga mencatat ada satu faktor penting yang menjadi penghambat dalam pengembangan klaster, yaitu lemahnya kerjasama usaha diantara pelaku-pelaku klaster.

Berdasarkan beberapa pengalaman BPPT, Taufik (2007) melaporkan tantangan terbesar dalam pengembangan klaster, meliputi: (i) perubahan paradigma (personil internal dan mitra kerja dan pola sektoral yang masih sangat terkotak-kotak). Perlu perbaikan paradigma (pola pikir, sikap dan tindakan) segenap aktor/pelaku (pelaku bisnis, pihak non-pemerintah, pemerintah) dalam menjalankan peran masing-masing; (ii) komitmen; (iii) konsistensi; serta (v) semakin siap dengan beragam paradoks dari perubahan.

ADB (2001) juga telah melaporkan hasil-hasil kajian yang menghambat keberhasilan perkembangan klaster di Indonesia, yang pada umumnya disebabkan

Dokumen terkait