Sumber-sumber Minyak Nabati
Minyak dan lemak dapat diperoleh dari dua sumber utama, yaitu minyak nabati maupun lemak hewani. Sumber minyak nabati dapat berasal dari berbagai macam tumbuhan penghasil minyak antara lain kelapa, kelapa sawit, biji jarak, kedelai, dan biji bunga matahari. Komponen utama dari minyak nabati adalah suatu trigliserida, senyawa yang terbentuk dari gabungan gliserol dan asam lemak.
Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak sawit, minyak kedelai, dan minyak kelapa (Ahmad 2000) Persentase berat Jenis Asam Lemak Minyak Sawit Fraksi Olein Fraksi Stearin Minyak Inti Sawit Fraksi Olein Inti sawit Minyak Kelapa Minyak Kedelai C6:0 C8:0 C10:0 C12:0 C14:0 C16:0 C18:0 C18:1 C18:2 Lain-lain Bil Iod 0.2 1.1 44.0 4.5 39.2 10.1 0.8 53.3 0.2 1.0 39.8 4.4 42.5 11.2 0.9 58.4 0.3 1.3 55.0 5.1 29.5 7.4 0.7 35.5 0.3 4.4 3.7 48.3 15.6 7.8 2.0 15.1 2.7 0.1 17.8 0.4 5.4 3.9 41.5 11.8 8.4 2.4 22.8 3.3 0.1 25.5 0.2 8.0 7.0 48.2 18.0 8.5 2.3 5.7 2.1 9.5 6.5 4.2 28.0 52.6 8.0 133.0
Komposisi asam lemak dalam suatu minyak dari sumber tertentu (Tabel 1) menentukan pemanfaatan minyak-minyak tersebut selanjutnya (Hill 2000; Gervajio 2005). Sebagai contoh asam lemak dengan rantai karbon C6-C10 adalah material yang bagus untuk membuat plastik dan ester-ester poliol. Asam lemak dengan jumlah C12 dan C14 yang banyak terdapat dalam minyak kelapa dan PKO, cocok untuk diproses menjadi surfaktan sebagai agen pencuci dan pembersih dan juga sebagai bahan kosmetik. Minyak-minyak yang berasal dari sawit, kedelai, dan bunga matahari banyak memiliki kandungan asam lemak rantai
panjang C18, baik jenuh maupun tak jenuh, cocok untuk menjadi bahan baku polimer dan pelumas.
Potensi Minyak Sawit sebagai Sumber Asam Lemak
Minyak sawit merupakan komoditi primadona dari sektor agribisnis bagi Indonesia, karena telah menyumbangkan devisa terbesar dari hasil ekspor non- migas bagi negara. Untuk menguasai pasar ekspor minyak sawit pemerintah Indonesia telah berusaha meningkatkan produksi dengan cara ekstensivikasi perkebunan kelapa sawit (Bangun 2006). Ada dua jenis produk olahan berbasis minyak sawit yaitu CPO dan PKO, yang diekspor Indonesia dengan tujuan utama Jepang, India, USA, Belanda dan China (Siraj 2003; Bank Mandiri 2005).
Pengolahan amina sekunder berbasis asam lemak dari minyak sawit sangat potensial karena sumber bahan baku dari perkebunan kelapa sawit sudah mapan di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit yang dikelola rakyat, swasta maupun pemerintah, tersebar di seluruh nusantara dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi bahkan Papua (Bangun 2006; Rakyat Merdeka 2006). Dengan lahan perkebunan yang demikian luas diharapkan dapat memberikan pasokan bahan baku asam lemak yang kontinyu.
Minyak sawit mentah diperoleh dari proses pengempaan daging buah kelapa sawit (Elais queneenis, Jaqs), yang dalam bentuk kasar berwarna kemerah- merahan (Hartley 1967). Minyak ini disebut sebagai minyak sawit mentah atau CPO. Pada suhu kamar CPO berbentuk semipadat dengan titik leleh berkisar di antara 40-47 °C. Sedangkan PKO diperoleh dari bagian biji sawit. Berbeda dengan CPO, kandungan utama asam lemak dari PKO memiliki rantai karbon yang lebih pendek yaitu asam laurat dan miristat (Tabel 1).
Berdasarkan titik lelehnya minyak sawit terdiri dari dua fraksi besar. Olein sebagai fraksi berwujud cair pada suhu kamar dan stearin sebagai fraksi yang berwujud padat pada suhu kamar. Pada umunya fraksi olein mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh, contohnya asam oleat (C18:1), dan asam linoleat (C18:2). Sebaliknya fraksi stearin mengandung asam lemak jenuh lebih banyak, contohnya asam palmitat (C16:0) dan asam stearat (C18:0).
Kegunaan Asam Lemak dan Turunannya
Penggunaan minyak sawit dan turunannya antara lain: 1. Produk Turunan CPO.
Penggunaan langsung CPO dan PKO termasuk substitusi BBM dengan CPO, pelumas pengeboran, bahan baku produk karet, produk lilin, dan softener, produk minyak sawit yang terepoksidasi (EPOP), poliol, poliuretan dan poliakrilat (Ahmad 2000). Produk turunan CPO selain sebagai bahan minyak pangan dapat dihasilkan margarin, bahan perenyah, vanaspati (vegetable ghee), es krim, bakery
fats, mie instan, sabun dan deterjen, cocoa butter extender, chocolate and
coatings, specialty fats, dry soap mixes, sugar confectionary, biskuit cream fats,
filled milk, pelumas, textiles oils dan biodiesel (Deptan 2005).
2. Produk Turunan Minyak Inti Sawit.
Dari produk turunan minyak inti sawit dapat dihasilkan bahan perenyah, cocoa
butter substitute (CBS), specialty fats, es krim, coffee whitener/cream, sugar
confectionary, biscuit cream fats, filled mild, imitation cream, sabun dan deterjen,
shampo dan kosmetik (Deptan 2005). Menurut Ahmad (2000), minyak sawit juga menjadi bahan baku sabun, baik yang diperoleh dari proses netralisasi ataupun sabun non metal. Asam stearat, palmitat dan miristat banyak digunakan sebagai bahan baku kosmetik. Trigliserida dari minyak sawit dengan rantai medium cocok untuk digunakan sebagai bahan baku dalam industri parfum dan bumbu.
3. Produk Turunan Oleokimia Kelapa Sawit.
Dari produk turunan minyak kelapa sawit dalam bentuk oleokimia dapat dihasilkan metil ester, plastik,industri tekstil, pengerjaan industri logam, pelumas,
emulsifier, deterjen, gliserin, kosmetik, bahan peledak, produk-produk farmasi
dan food protective coating (Deptan 2005).
Amina Sekunder Rantai Karbon Panjang
Senyawa amina sekunder aromatik maupun yang berbentuk siklik banyak terdapat di alam. Banyak sekali senyawa amina sekunder yang memiliki aktivitas biologis yang menarik oleh karena itu secara khusus amina sekunder menjadi
farmakopore, yang sangat penting dalam hal penemuan senyawa aktif biologis yang banyak digunakan dalam penemuan obat-obatan (Salvatore et al. 2001).
Amina sekunder alifatik rantai karbon panjang bukan senyawa yang biasa berada di alam. Tetapi amina sekunder dengan unsur aromatik atau siklik yang mendominasi, seperti senyawa-senyawa golongan alkaloid dan flavonoid. Dengan demikian, untuk memperoleh amina sekunder alifatik rantai karbon panjang hanya dapat diperoleh dengan jalan sintesis menggunakan berbagai macam metode yang mungkin. Beberapa metode sintesis amina sekunder alifatik pada rantai-rantai pendek yang telah dilakukan diilustrasikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Metode sintesis amina rantai karbon pendek atau siklik (Salvatore et al. 2001)
Walaupun sintesis amina sekunder sangat penting karena kegunaannya yang luas, tetapi dalam prosesnya masih banyak permasalahan yang sering timbul. Antara lain kebutuhan kondisi reaksi yang cukup ekstrim, pemurnian produk, hasil yang rendah, dan atau permasalahan selektivitas (Salvatore et al. 2001). Oleh karena itu, setiap permasalahan dapat dijadikan acuan dalam pemilihan metode sintesis pada setiap tahapan sintesis, dan pada akhirnya dapat dirumuskan suatu desain untuk sintesis amina sekunder rantai panjang yang mudah dilakukan dengan hasil yang tinggi.
Kegunaan Amina Sekunder Rantai Karbon Panjang
Gervajio (2005) menyebutkan beberapa kegunaan amina rantai panjang dan turunannya, antara lain:
1. Alkohol dan amina rantai panjang disebut-sebut sebagai bahan dasar oleokimia, karena senyawa-senyawa tersebut sangat penting dalam pembuatan senyawa turunan berupa oleokimia. Proses-proses lanjutan dari bahan-bahan dasar oleokimia tersebut dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti esterifikasi, etoksilasi, sulfasi, dan amidasi. Produk-produk oleokimia yang dihasilkan disebut sebagai oleokimia turunan.
2. Amina rantai panjang dan turunannya mewakili senyawa nitrogen yang paling penting yang berasal dari asam lemak. Di antara turunan alkil amonia yang lain, senyawa-senyawa tersebut memiliki konstanta ionisasi paling besar. Senyawa tersebut memiliki sifat kationik, basa, aktif secara biologis, dan terabsorpsi secara kuat terhadap berbagai permukaan karena memiliki potensi terabsorpsi yang tinggi. Senyawa turunan amonia dengan sifat fisikokimia demikian memiliki bidang aplikasi yang luas dalam berbagai industri seperti bahan pelembut, katalis transfer fasa (PTC), biosida, zat aktif sanitasi untuk mengontrol pertumbuhan alga dalam pengolahan air, bahan untuk membantu pengapungan bijih dalam penambangan (flotasi), inhibitor korosi yang efektif, dan pelumas dalam pengeboran.
3. Senyawa turunan amina rantai panjang yang lain adalah oksida amina rantai panjang, yang diperoleh dari reaksi amina rantai panjang dengan suatu peroksida. Oksida-oksida amina rantai panjang banyak diaplikasikan sebagai bahan pembuatan shampo karena memiliki sifat-sifat daya pembersih dan pembentuk busa yang baik selain itu cukup lembut untuk kulit.
4. Amina rantai panjang sekunder dan tersier asimetrik adalah bahan dasar untuk pembuatan mineral lempung, suatu amina rantai panjang yang dimodifikasi dengan logam. Aplikasi produk ini cukup luas mulai dari industri petroleum sampai pembuatan biosida dan algasida.
Desain Lintas Amida-Amina Primer
Sintesis amina sekunder dapat dilakukan menggunakan desain lintas amida- amina primer, merupakan serangkaian metode sintesis yang diperoleh dari studi literatur. Metode-metode sintesis yang terlibat di dalamnya bukanlah temuan yang baru, akan tetapi penggunaan bahan-bahan dengan rantai karbon yang lebih panjang tentunya akan memberikan pengaruh pada jalannya reaksi antarreaktan dan mungkin memberikan hasil yang berbeda.
Keuntungan dari desain lintas tersebut ada pada kesederhanaan metode, karena sebagian langkah sintesis serupa dengan langkah-langkah sebelumnya, hal ini memudahkan penanganan di laboratorium. Alat dan bahan yang dibutuhkan dapat dengan mudah tersedia di laboratorium. Keuntungan lainnya, hampir setiap langkah sintesis yang dilaporkan (menggunakan bahan-bahan dengan rantai karbon pendek) memberikan hasil tinggi.
Ada beberapa desain sintesis yang dirancang sebelumnya tetapi tidak dipilih karena hambatan yang susah ditangani dan memerlukan biaya cukup besar. Salah satu contoh desain lintas aldehida-amina primer, pada tahap oksidasi alkohol menjadi aldehida menggunakan katalis pyridinium chlorochromates (PCC) memberikan hasil samping kerak yang susah dibersihkan. Karena hal ini akan menambah biaya, maka desain ini selanjutnya tidak digunakan.
Desain sintesis amina sekunder lain yang tidak dapat digunakan dalam laboratorium sederhana adalah metode konversi asam lemak menjadi aldehida rantai panjang secara langsung (Rao et al. 1967). Dalam metode tersebut dibutuhkan suatu reaktor dengan suhu reaksi yang cukup ekstrim sampai -70°C.
Sintesis Amina Sekunder Lintas Amida-Amina Primer
Untuk memperoleh amina sekunder dengan rantai karbon genap melalui lintas amida-amina primer dapat ditempuh tahapan-tahapan sesuai skema pada Gambar 3. Dimulai dari asam lemak sebagai bahan dasar, melewati intermediat amida-amina primer sampai tahapan reduksi ke amina sekunder.
Asil klorida dapat dibuat dengan berbagai cara, salah satunya dengan mereaksikan asam karboksilat dengan tionil klorida (Furniss et al. 1989; Greeves
fosfor pentaklorida, tetapi penggunaannya terbatas untuk asam karboksilat aromatis. Cara yang pertama lebih menguntungkan karena hasil samping akan menguap dan tidak mencemari produk yang diperoleh. Kelebihan tionil klorida dapat dipisahkan dari campuran hasil reaksi dengan cara distilasi, dengan demikian diperoleh asil yang lebih murni.
R O O Cl S Cl O R O S O O Cl H H Cl- Cl- R O S O O Cl H + R O S O O Cl H Cl- R Cl O SO2 HCl Cl- R O S O O Cl H +
Gambar 2. Mekanisme preparasi asil klorida dengan SOCl2
Mekanisme preparasi asil klorida dengan SOCl2 dan asam karboksilat
diberikan pada Gambar 2. Tionil klorida adalah spesies elektrofilik pada atom sulfur yang mengikat dua atom klorin dan satu oksigen. Atom pusat sulfur dapat diserang oleh ikatan pi gugus karbonil pada karboksilat dan membentuk suatu intermediat tak stabil yang sangat elektrofilik. Intermediat tidak stabil bersifat elektrofilik cukup kuat untuk bereaksi dengan nukleofil lemah Cl- dan dihasilkan asil klorida, sulfur dioksida, dan hidrogen klorida. Tahapan ini terjadi secara irreversibel karena SO2 and HCl berupa gas yang dapat langsung menguap dari
R Cl O H2N H R N 2 O H Cl- H R NH2 O H Cl- R NH2 O HCl HCl H2N H NH4Cl
Gambar 3. Mekanisme preparasi amida primer
Preparasi amida primer dapat dilakukan dengan metode Furniss et al. (1989), dengan mereaksikan asil klorida dengan larutan amonia encer pada kondisi dingin dengan tekanan atmosfer memberikan hasil yang cukup baik. Mekanisme reaksi dimulai dari serangan pasangan elektron bebas NH3 pada
karbonil menghasilkan intermediat tak stabil. Eliminasi ion klorida dan pelepasan proton dari atom oksigen seperti pada mekanisme Gambar 3, memberikan produk amida primer.
Dari mekanisme pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa dalam preparasi amida primer selalu diikuti pembentukan HCl yang harus dinetralkan dengan suatu basa dalam jumlah ekivalen yang sesuai. Karena basa yang ada hanya berasal dari amonia dalam pelarut air maka dalam reaksi harus ada sejumlah NH3
yang menetralkan HCl yang terbentuk. Reaksi lengkap yang terjadi dapat dituliskan sebagai RCOCl + 2NH3→ RCONH2 + NH4Cl.
Preparasi amida sekunder dapat dilakukan dengan metode yang serupa dengan amida primer sebelumnya, yaitu dengan mereaksikan asil klorida langsung dengan amina primer. Akan tetapi cara ini jelas merugikan karena untuk setiap mol asil klorida yang direaksikan dibutuhkan 2 mol amina primer. Satu mol amina primer bereaksi dengan asil membentuk produk sedangkan satu mol lagi akan dipakai untuk menetralkan HCl yang dihasilkan. Padahal dalam reaksi ini diharapkan seluruh amina primer akan terkonversi ke amida sekunder seluruhnya.
Lain hal dengan kasus amida primer, larutan NH3 dari segi harga murah dan
tersedia dengan mudah dilaboratorium, tidak demikian halnya dengan amina primer rantai karbon panjang.
Cara alternatif sintesis amida sekunder yang lebih baik adalah memakai metode Schotten-Baumann. Dalam prosesnya, asil klorida dan amina primer direaksikan dalam sistem pelarut 2 fasa yang tidak saling melarutkan yaitu fasa air (larutan NaOH) dan fasa diklorometan. Metode ini dapat mengatasi dua permasalahan sekaligus yaitu (1) seluruh amina primer dapat dikonversi ke amida sekunder karena peran untuk menetralkan HCl yang terbentuk telah digantikan NaOH sebagai basa yang lebih kuat (2) mencegah terjadinya reaksi asil klorida dengan OH- untuk menjadi karboksilat, karena asil klorida ada pada fasa diklorometan sedangkan OH- ada pada fasa air (Homan 1998).
Amida primer maupun amida sekunder yang dihasilkan dapat direduksi dengan berbagai cara. Salah satu metode mereduksi amida dengan kuat adalah menggunakan reduktor LiAlH4. Reduktor ini sangat kuat bahkan untuk amida
sekalipun, padahal amida (khususnya amida sekunder) merupakan turunan asam karboksilat yang paling tidak reaktif (Greeves et al. 2000). Walaupun demikian, karena daya reduksi LiAlH4 sangat kuat dikhawatirkan akan menimbulkan
masalah jika reaktan yang digunakan mengandung rantai kabon tak jenuh.
Untuk mengatasi hal yang demikian diperlukan metode dengan kondisi yang lebih lembut. Salah satu metode yang sudah pernah dilakukan adalah menggunakan katalis BH3 yang dibuat in situ dari sistem NaBH4/I2 (Prasad et al.
1992). Dari penelitian tersebut dilaporkan bahwa reagen ini hanya akan mereduksi gugus karbonil saja tanpa mengganggu gugus tak jenuh rantai karbon. Mekanisme reduksi amida dengan metode Prasad et al. (1992) diberikan pada Gambar 4.
Proses reduksi amida sekunder menjadi amina sekunder lebih sulit dilakukan dibandingkan amina primer, karena pada amina sekunder memiliki halangan sterik yang lebih besar dibandingkan amina primer. Dengan halangan sterik yang besar mungkin reagen pereduksi H- akan lebih sulit masuk pada pusat karbon elektrofilik.
R H2N O B H H H R H2N O B H H H R H2N O B H H H R H2N O B H H H R H2N O B H H H O B H H2N R H H O B H H2N R H H R NH2 H H O B H
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Sintesis amina sekunder rantai karbon genap dan intermediat-intermediat sebelumnya dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor. Sedangkan karakterisasi hasil dilakukan di Laboratorium Pangan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai dari bulan April 2005 sampai Juli 2006.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam lemak jenuh (palmitat dan stearat) dan asam lemak tak jenuh (oleat). Pelarut yang digunakan adalah akuades, THF, eter, kloroform, dioksan dan diklorometan. Untuk keperluan sintesis dan berbagai macam konversi digunakan peralatan gelas seperti labu leher tiga, yang dilengkapi dengan termometer, penangas air dan kondenser, dan pengaduk dengan hot plate. Untuk proses pemurnian digunakan seperangkat alat distilasi dan rotavapor. Selain itu juga dibutuhkan erlenmeyer, gelas piala, pipet tetes dan pipet volume, neraca analitik dan spatula. Instrumen yang digunakan untuk identifikasi dan kuantifikasi produk yang dihasilkan adalah FTIR dan HPLC.
Desain dan Sintesis Amina Sekunder
Sintesis berbagai prototipe amina sekunder rantai genap, baik rantai jenuh maupun tak jenuh, dilakukan dari asam karboksilat yang bersesuaian. Adapun desain sintesis amina sekunder yang dipilih adalah lintas intermediat amida dan amina primer. Reaksi-reaksi yang terlibat dalam desain ini cukup sederhana dan mudah dilakukan dilaboratorium dengan menggunakan peralatan gelas biasa. Pemisahan yang diperlukan juga tidak terlalu rumit antara lain dengan ekstraksi, kristalisasi dan penyaringan. Reaksi-reaksi yang berjalan cukup sederhana karena beberapa tahap sebenarnya merupakan pengulangan tahap sebelumnya, seperti terlihat pada Gambar 5.
Asam Lemak (C16:0 , C18:0 , C18:1)
Gambar 5. Tahapan konversi asam lemak ke amina sekunder dan karakterisasi intermediat dan produknya.
Preparasi Asil Klorida
Preparasi asil klorida mengikuti metode Furniss et al. (1989) dan metode
Rao et al. (1967). Kedua metode memiliki banyak kesamaan dalam prosedur,
Preparasi Asil Klorida Pemurnian
Preparasi Amida Primer Pemurnian
Preparasi Amida Sekunder Pemurnian
Reduksi Amida Sekunder Pemurnian
Reduksi Amida primer Pemurnian
HPLC FTIR
hanya berbeda pada bahan. Metode pertama diterapkan pada karboksilat rantai pendek sedangkan metode kedua sudah memakai karboksilat rantai panjang.
Tionil klorida ditambahkan secara perlahan-lahan pada masing-masing asam karboksilat (perbandingan mol SOCl2: asam karboksilat = 3:1) dalam labu leher
tiga sambil dipanaskan dalam waterbath. Labu selalu dikocok selama penambahan tionil klorida agar terjadi campuran yang sempurna. Campuran direfluks selama 30 menit sambil tetap dikocok. Kelebihan tionil klorida diisolasi dengan cara distilasi, sehingga diperoleh asil klorida kasar.
Preparasi Amida Primer
Amida primer dibuat dengan metode Furniss et al. (1989). Masing-masing asil klorida ditambahkan secara perlahan-lahan pada larutan amonia pekat dalam labu leher tiga (nisbah mol asil klorida : amonia = 1:1). Laju penambahan sedemikian rupa sampai keluarnya asap putih berhenti, labu selalu diaduk selama penambahan asil klorida. Amida yang terbentuk secara cepat terpisah, dan setelah dingin padatan disaring dan amida yang tertinggal ditransfer menggunakan filtratnya. Setelah dikering udarakan diperoleh amida primer kasar berupa padatan putih.
Preparasi Amida Sekunder
Preparasi amida sekunder dilakukan dengan menggunakan metode Schotten- Baumann (Homan 1998). Dalam kondisi diaduk kuat dan didinginkan dengan air- es, menggunakan labu leher tiga masing-masing asil klorida dalam CH2Cl2
diteteskan ke dalam campuran garam amina primer (nisbah mol asil:amina = 3:1), larutan NaOH 10% dan CH2Cl2. Campuran dibiarkan pada suhu ruang,
pengadukan dilanjutkan selama 18 jam. Campuran dituangkan dalam H2O dan
fase yang terjadi dipisahkan. Fase air diekstraksi dengan CH2Cl2, fase organik
dikumpulkan kemudian dicuci dengan larutan NaHCO3 10% dan H2O. Setelah
dikeringkan dengan MgSO4 anhidrat, lapisan CH2Cl2 disaring dan diuapkan
Pemurnian Amida
Pemurnian amida dilakukan dengan cara melarutkan amida kasar dalam pelarut heksana dengan kondisi refluks kemudian disaring dalam kondisi panas. Setelah pelarut heksana (filtrat) diuapkan diperoleh amida murni berupa padatan putih (Personal Communication)1.
Reduksi Amida Primer dan Sekunder
Amida primer maupun amida sekunder direduksi mengikuti metode Prasad
et al. (1992). Masing-masing amida dan NaBH4 dalam THF kering dimasukkan
ke dalam labu leher tiga sambil terus dikocok. Pada campuran ditambahkan I2
dalam THF dalam tekanan gas N2 dan kondisi 0 oC selama 2,5 jam (nisbah mol
amida: NaBH4 : I2 = 1:1:3). Setelah itu campuran direfluks selama 3 jam pada
suhu 70oC, lalu dibiarkan dingin kembali sampai 0oC, kelebihan hidrida dihilangkan dengan penambahan NaOH 3N. Lapisan organik dipisahkan dan lapisan air diekstraksi dengan eter. Lapisan organik total dicuci dengan air, air garam, dan dikeringkan dengan MgSO4 anhidrat.
Pemurnian Amina
Semua amina, primer maupun sekunder yang diperoleh, dimurnikan dengan cara menambahkan gas asam klorida pada filtrat yang mengandung amina kasar (Personal Communication)2. Garam amina-HCl yang terbentuk akan segera mengendap. Endapan yang diperoleh dipisahkan dengan cara filtrasi.
Karakterisasi Hasil Sintesis
Instrumentasi yang digunakan untuk mengkarakterisasi produk adalah seperangkat alat spektroskopi inframerah (FTIR) dan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). FTIR digunakan untuk memantau perubahan gugus fungsi dalam setiap tahap reaksi konversi yang dilakukan, mulai dari asam lemak rantai panjang sampai pada amina sekunder yang bersesuaian. Yang menjadi titik-titik pantau FTIR adalah perubahan amida primer ke amina primer, amida sekunder ke amina sekunder.
1)
Personal Communication dengan Dr Zainal Alim Mas’ud DEA tentang pemurnian amida
2)
Berbagai tahapan konversi dari asam karboksilat rantai panjang menuju amina sekunder rantai karbon genap dapat diidentifikasi menggunakan spektroskopi FTIR. Setiap perubahan gugus fungsi akan terlihat jelas pada spektra hasil dan dapat dibandingkan dengan spektra reaktan serta didukung kajian teoritis. Penggunaan alat ini cukup sederhana dan mudah ditangani dengan harga pemakaian yang tidak terlalu mahal.
Bahan-bahan yang digunakan dalam berbagai tahapan penelitian berkualitas
pro analysis maka selain reaktan dan produk utama dan sampingan tidak ada
senyawa lain yang terlibat. Karena produk samping dan pengotor yang mencemari produk dapat diperkirakan maka pemisahan dan analisisnya akan lebih mudah. Hal ini memudahkan proses identifikasi sekaligus menghilangkan keraguan akan hasil konversi.
Pemantauan secara kualitatif tujuannya hanya menjaga agar proses-proses sintesis tetap berada dalam koridor desain sintesis amina sekunder yang telah direncanakan. akan tetapi informasi FTIR tidak cukup untuk mengetahui kemurnian produk yang diperoleh. Identifikasi amina sekunder hasil sintesis secara kuantitatif dilakukan menggunakan HPLC, sehingga dapat diketahui rendemen amina sekunder yang dihasilkan pada langkah terakhir sintesis.
Analisis senyawa amina sekunder dapat dilakukan dengan cara titrasi maupun teknik-teknik kromatografi (UOP method 500-71T 1971). Metode titrasi