• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Eleusine indica (L.) Gaertn

Dalam dunia tumbuhan rumput belulang termasuk ke dalam kingdom : Plantae; divisio : Spermatophyta; subdivisio : Angiospermae; kelas : Monocotyledoneae; ordo : Poales; famili : Poaceae; genus: Eleusine. Deskripsinya yaitu merupakan rumput semusim berdaun pita, membentuk rumpun yang rapat agak melebar dan rendah. Perakarannya tidak dalam tetapi lebat dan kuat menjangkar tanah sehingga sukar untuk mencabutnya. Berkembang biak terutama dengan biji, bijinya banyak dan kecil serta mudah terbawa (Nasution, 1983). Tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun dan tiap tanamannya dapat menghasilkan hingga 140.000 biji tiap musimnya (Lee dan Ngim, 2000).

E. indica tumbuh merumpun dari pusat akar yang memiliki sistem perakaran serabut. Pangkal daun berwarna putih terang berbentuk roset, dapat tumbuh dengan panjang mencapai 0,7 m, terdapat bulu-bulu halus pada daun. Rumput lulangan ini juga memiliki membran ligula dengan tepi yang bergerigi. Di ujung batang terdapat malai dengan cabang 3- 7 cabang, benih tersusun dengan corak seperti pucuk rebung pada tiap cabang malai. Satu tanaman dapat memproduksi benih sampai dengan 50.000 benih. Dengan keadaan demikian, kegagalan dalam pengendalian gulma ini dapat meningkatkan kuantitas benih gulma ini pada seed bank yang tersimpan dalam tanah (Breeden, 2010).

Rumput belulang, berasal dari Afrika lalu menyebar ke daerah-daerah tropis, sub tropis, dan beberapa wilayah di dunia termasuk Afrika, Asia, Asia Tenggara, Australia, dan Amerika. Gulma ini dapat tumbuh dengan subur dengan cahaya matahari penuh dan juga dapat tumbuh di lahan marginal. Batang, daun,

6

dan biji tumbuh mendatar di tanah yang berbentuk roset sehingga tidak dapat di siangi dengan mudah. Bunga memiliki 2-6 cabang dengan panjang 4- 15 cm (Willcox, 2012).

Rumput belulang adalah rumput menahun yang tangguh karena dapat tumbuh pada tanah lembab atau tidak terlalu kering dan terbuka atau sedikit ternaungi. Berkembang biak dengan biji, karena biji yang banyak, ringan, dan berukuran kecil sehingga mudah terbawa angin atau alat-alat pengolahan pertanian. Daerah penyebarannya meliputi 0-600 m diatas permukaan laut. Pada perkebunan kelapa sawit, gulma ini dapat menimbulkan masalah pertumbuhan pada TBM- 1. Gulma ini juga dijumpai pada tanah kosong, di pinggir jalan, di taman dan pekarangan rumah (Nasution, 1983).

Masalah Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit

Pengelolaan perkebunan merupakan investasi jangka panjang yang memerlukan jumlah tenaga kerja dan biaya besar. Untuk memperoleh pertumbuhan dan produksi tanaman yang baik, diperlukan usaha pemeliharaan tanaman secara intesif. Berbeda dengan hama dan penyakit tanaman, pengaruh yang diakibatkan oleh gulma tidak terlihat secara langsung dan berjalan lambat. Namun, secara akumulatif kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Untuk memenuhi kebutuhan unsur hara, air, sinar matahari, udara, dan ruang tumbuh, gulma mampu berkompetisi kuat dengan tanaman perkebunan (Barus, 2003).

Tanaman perkebunan mudah terpengaruh oleh gulma, terutama sewaktu muda. Apabila pengendalian gulma diabaikan sama sekali, maka kemungkinan besar usaha tanaman perkebunan itu akan rugi total. Pengendalian gulma yang tidak cukup pada awal pertumbuhan tanaman perkebunan akan memperlambat

pertumbuhan dan masa sebelum panen

Gulma memberi tempat hidup bagi hama atau penyakit sebagai inangnya, yang dapat sangat merugikan bagi kelangsungan hidup tanaman budidaya. Gulma dapat juga secara langsung memberikan suatu nilai yang negatif karena tumbuh dengan semena-mena di hampir seluruh permukaan tanah kosong, lahan perumputan ternak, di semua ruang antara tanaman perkebunan, pertanian, kehutanan, daerah lansekap, di pinggir jalan atau dapat muncul ditengahnya, ditepian sungai, dan semuanya itu akan membutuhkan energi yang berupa dana dan tenaga untuk mengendalikannya (Moenandir, 1993).

Gulma dapat merugikan tanaman pertanian karena bersaing dalam mendapatkan unsur hara, cahaya matahari, air dan ruang. Beberapa jenis gulma sering menjadi inang hama dan penyakit tanaman tertentu atau megandung zat allelopati yang dapat merugikan tanaman utama. Gulma yang terlalu rapat dapat mempersulit pekerjaan di kebun seperti panen, menyemprot, dll (Djojosumarto, 2008).

Gulma sebagai tumbuhan seperti halnya tanaman budidaya, maka kebutuhan untuk pertumbuhannya, perkembangannya dan reproduksinya akan saling mempunyai kesamaan. Persaingan untuk cahaya, air, nutrisi, dan ruang dapat terjadi padanya. Gulma merupakan suatu masalah penting dalam segi gangguan pada pertumbuhan tanaman secara ekonomis (Moenandir, 1993).

Glifosat

Nama Umum : Glifosat

8 Rumus Bangun :

(Kegley et al., 2010).

Glifosat adalah salah satu bahan aktif dari herbisida golongan organofosfor, yang diproduksi oleh Monsanto Co.USA tahun 1971. Bentuk fisiknya berupa bubuk (powder), berwarna putih, mempunyai bobot jenis (BJ) 0,5 g/cm3 dan kemampuan larut dalam air 1,2% (Wardoyo, 2001).

Glifosat adalah herbisida pasca tumbuh yang non-selektif yang memiliki spektrum yang luas dalam mengendalikan pertumbuhan gulma karena lebih dari 180 jenis gulma yang dapat dikendalikan oleh herbisida glifosat. Pada tanaman, mode of action dari glifosat berupa menipisnya sintesa biomolekul esensial dari jalur asam shikimic, reduksi energi dalam pembentukan adenosin 5-triposphate dan pengalihan karbon dalam pembentukan PEP (Phopoenolpyruvate) sehingga terjadi akumulasi yang berlebihan pada asam shikimic (Kaundun et al., 2008).

Satu-satunya mode of action herbisida yang menghambat asam amino aromatik adalah glifosat. Tergantung pada produk, glifosat dapat diformulasikan sebagai amonium, diamonium, dimetilamonium, isopropilamin, dan/atau garam potasium. Meskipun terdapat perbedaan formulasi garam, yang terpenting adalah mengetahui bentuk formulasi garam yang tidak mempengaruhi gulma, tetapi setidaknya dapat mengindikasi cara produk glifosat ini diformulasikan. Glifosat merupakan non-selektif herbisida secara umum, dan dapat sangat merusak atau membunuh setiap jaringan tanaman hidup yang mengalami kontak langsung.

Bagaimanapun, glifosat dapat digunakan secara selektif pada tanaman resisten glifosat, termasuk jagung, kedelai, kapas, dan kanola. Seperti inhibitor ALS, glifosat dapat menghambat sintesis asam amino (Armstrong, 2008).

Herbisida glifosat digunakan sebagai pre-planting pada pertanaman, pada areal tanpa tanaman (uncropped area) dan sebagai semprotan terarah pada perkebunan atau hutan. Herbisida ini dengan cepat diabsorbsi oleh banyak spesies dan sangat mobil di dalam jaringan phloem. Gejala yang dihasilkan: khlorosis dan nekrosis. Di dalam tumbuhan, herbisida glifosat menghambat kerja enzim 5-enol pyruvyl shikimate-3-phosphate synthase (EPSP synthase) sehingga mengganggu pembentukan asam-asam amino aromatik seperti phenylalanine, tryptophan dan tyrosine (Holt, 1993).

Pada tumbuhan, glifosat mengganggu jalur asam shikimic melalui penghambatan sintesis enzim 5-enolpyruvylshikimate-3-fosfat (EPSP). Hasil kekurangan produksi EPSP menyebabkan penurunan asam amino aromatik yang penting untuk sintesis protein dan pertumbuhan tanaman. Glifosat diserap di daun dan batang tanaman dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman. Berkonsentrasi dalam jaringan meristem. Tanaman yang terkena glifosat akan menunjukkan terhambatnya pertumbuhan, kehilangan warna hijau, kerutan atau malformasi daun, dan kematian jaringan. Kematian tanaman dapat terjadi 4 – 20 hari (Miller et al., 2010).

Glifosat menghalangi aktivitas suatu enzim yang digunakan oleh tanaman untuk membuat asam amino penting. Tanpa asam-asam amino, tanaman tidak bisa membuat protein yang dibutuhkan untuk berbagai proses pertumbuhan,

10

mengakibatkan kematian tanaman. Glifosat merupakan herbisida yang berspektrum luas, sehingga membunuh sebagian besar jenis tanaman (Cox, 2004).

Glifosat bekerja menghambat metabolisme tanaman dan beberapa hari setelah penyemprotan, tumbuhan jadi layu, kuning dan mati. Herbisida Glifosat juga mengandung bahan kimia yang membuat herbisida untuk menempel pada daun sehingga glifosat dapat bergerak dari permukaan tumbuhan ke dalam selnya tumbuhan (Lang, 2005).

Kehilangan glifosat di dalam tanah dapat dikarenakan glifosat yang bebas di dalam larutan tanah (tidak teradsorpsi lempung dan tidak membentuk kelat), dapat terdegradasi oleh mikroorganisme yang tahan terhadap perlakuan glifosat seperti halnya Agrobacterium radiobacter di dalam larutan tanah. Glifosat yang terbawa oleh air infiltrasi ke luar kolom tanah, akan langsung berhubungan dengan udara bebas dan sinar matahari, sehingga glifosat dapat terdegradasi oleh mikroorganisme yang masuk lewat udara bebas atau mikroorganisme yang ikut terbawa oleh air (Wardoyo, 2006).

Resisten Herbisida

Resistensi herbisida dilaporkan pertama kali melawan terhadap 2,4-D (kelompok Fenoksi) pada tahun 1957 di Hawaii. Pada tahun 1968, laporan resistensi herbisida ditetapkan pertama kali pada alang-alang Senecio vulgaris yang melawan terhadap herbisida triazin yang telah didokumentasikan. Resistensi pertama kali pada 2,4 – D pada tahun 1945, dalapon pada tahun 1953, atrazine pada tahun 1958, picloram pada tahun 1963, trifluralin pada tahun 1963, diclofop pada tahun 1977, trialate pada tahun 1962, chlorsulfuron pada tahun 1982, dan glifosat pada tahun 2003 (Chaudhry, 2008).

Gulma yang resisten terhadap herbisida bukan suatu keunikan. Gulma resisten herbisida adalah suatu daya tahan genetik dari populasi gulma yang bertahan terhadap pemberian dosis herbisida yang dianjurkan untuk mengendalikan populasi gulma. Beberapa pengendalian dapat meningkatkan resitensi terhadap herbisida. Resisten dapat muncul karena penggunaan herbisida yang sama atau penggunaan herbisida yang memiliki mekanisme kerja yang sama secara berulang-ulang (Mathers, 2002).

Konsekuensi dari pemakaian herbisida yang sama (sama jenis bahan aktif atau sama cara kerja) secara berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu areal maka ada dua kemungkinan masalah yang timbul pada areal tersebut; yaitu terjadi dominansi populasi gulma resisten herbisida atau dominansi gulma toleran herbisida. Pada suatu populasi gulma yang dikendalikan menggunakan satu jenis herbisida dengan hasil memuaskan, ada kemungkinan satu individu dari sekian juta individu yang diberi herbisida memiliki gen yang membuat individu tersebut kebal terhadap herbisida tersebut. Individu yang kebal tersebut tumbuh normal dan menghasilkan regenerasi, sejumlah individu yang juga tahan terhadap herbisida yang sama pada aplikasi herbisida berikutnya. Demikian seterusnya secara berulang-ulang, setiap pengaplikasian herbisida yang sama akan mematikan individu-individu yang sensitif dan meninggalkan individu-individu yang resisten. Jumlah individu-individu yang resisten tersebut pada suatu ketika menjadi signifikan dan menyebabkan kegagalan dalam pengendalian (Purba, 2009).

Resisten herbisida bukan karena lemahnya pengaruh herbisida. Terkadang gulma yang resisten dapat bertahan pada aplikasi herbisida berdosis tinggi

12

daripada dosis yang direkomendasikan. Dengan memahami implikasi dan proses evolusi dari resisten herbisida, pengendalian gulma yang tepat dapat digunakan untuk meminimalisasi akibat dari gulma yang resisten terhadap herbisida dan menunda terjadinya peningkatan kasus resisten (Preston et al., 2008).

Resisten terhadap herbisida merupakan kemampuan suatu tumbuhan untuk bertahan hidup dan berkembang meskipun pada dosis herbisida yang umumnya mematikan spesies tersebut. Pada beberapa negara, biotip gulma yang resisten herbisida terus mengganggu aktifitas para petani. Biotip adalah populasi dengan spesies yang memiliki “karakteristik yang luar biasa” dari spesies pada umumnya, karakteristik yang luar biasa itu dapat berupa ketahanan/resistensi spesies terhadap suatu herbisida. Munculnya resistensi herbisida pada suatu populasi merupakan suatu contoh terjadinya evolusi gulma yang sangat cepat (Hager dan Refsell, 2008).

E. indica yang resisten terhadap glifosat ditemukan di pertanaman kapas USA Mississippi pada tahun 2010. Sebelum penemuan ini, telah ada dua kasus resistensi untuk biotip ini di dua region lainnya yaitu di perkebunan buah-buahan di Malaka dan di Teluk Intan, Perak, Malaysia pada tahun 1997 dimana diketahui bahwa E. Indica pada wilayah ini telah mengalami resisten berganda (multiple resistance) serta di perkebunan kopi di Colombia, Caldas pada tahun 2006 (Heap, 2012).

Jumlah total biotip yang resisten semua jenis herbisida adalah 372 biotip di dunia, 200 spesies (116 dikotil dan 84 monokotil) terdapat pada lebih dari 570.000 daerah. Jumlah total biotip yang resisten parakuat adalah 25 spesies, resisten glifosat ada 21 spesies, dan yang resisten glufosinat ada 2 spesies di

seluruh dunia dan sisanya adalah resisten terhadap bahan aktif herbisida lainnya (Heap, 2012).

Variasi dalam pengendalian gulma tertentu dengan herbisida yang sama dapat berkaitan dengan perbedaan aplikasi herbisida, tipe tanah, tingkat hilangnya herbisida dari biosfer, kedalaman dan waktu perkecambahan biji, iklim, dan banyak faktor lainnya daripada intraspesifik variasi pada toleransi gulma terhadap herbisida. Jika resistensi dicurigai, tentunya penting untuk membandingkan daya racun kedua biotip yang dicurigai resisten dan biotip yang lebih umum yang peka

pada lahan yang sama, rumah kaca, atau dalam kondisi laboratorium (Lebaron dan Gressel, 1982).

Gulma-gulma yang resisten Glisin/Glifosat, yaitu Amaranthus palmeri, Amaranthus tuberculatus, Ambrosia artemisiifolia, Ambrosia trifida, Chloris truncate, Conyza bonariensis, Conyza canadensis, Conyza sumatrensis, Digitaria insularis, Echinochloa colona, Eleusine indica, Euphorbia heterophylla, Kochia scoparia, Lollium multiflorum, Lollium perenne, Lollium rigidum, Parthenium hysterophorus, Plantago lanceolata, Poa annua, Sorghum halepense, Urochloa panicoides (Heap, 2012).

Beberapa tindakan pencegahan harus sesuai dengan keadaan untuk pencegahan atau manajemen resisten pada gulma termasuk rotasi herbisida, rotasi tanaman, rotasi cara pengendalian gulma (secara mekanis, penggunaan bioherbisida, tumbuhan penutup, dan menggunakan benih yang bersih), dan menurunkan tekanan seleksi. Menurunkan tekanan seleksi dengan aplikasi herbisida dosis rendah dapat mempermudah berkembangnya resisten non-target. Dosis sedang (menengah) seharusnya cukup untuk mengendalikan individu yang

14

memiliki tingkat resistensi rendah. Hal ini juga penting untuk mengenal mekanisme kerja dan resistensi agar dapat memilih beberapa pilihan manajemen (Alla dan Hassan, 2008).

Seed bank

Seed bank adalah propagul dorman dari gulma yang berada di dalam tanah yaitu berupa biji, stolon dan rimpang, yang akan berkembang menjadi individu gulma jika kondisi lingkungan mendukung (Fenner,1995). Pada tanah tanpa gangguan, menurut Fenner (1995) seed bank berada pada kedalaman 2-5 cm dari permukaan tanah, tetapi pada tanah pertanian, seed bank berada 12-16 cm diatas permukaan tanah (Santosa et al., 2009).

Seed bank (biji dalam tanah) biasanya berasal dari biji-biji yang jatuh dari tumbuhan induknya pada waktu atau tahun-tahun sebelumnya, jika ada dari luar areal hanya sedikit. Pola tanam, sistem budidaya dan pengendalian gulma pada beberapa tahun sebelumnya menentukan spesies gulma mana yang berbunga dan memberikan kontribusi terhadap cadangan biji (seed bank ) gulma dalam tanah (Moenandir, 1993)

Tanah yang mengandung biji-biji gulma yang setiap saat dapat berkecambah yang dihasilkan dari tahun-tahun sebelumnya. Biji-biji yang dalam kondisi menguntungkan dapat berkecambah dan tumbuh menimbulkan gangguan serta berkompetisi dengan tanaman pangan disebut simpanan biji. Simpanan biji ini terdiri dari biji-biji yang umurnya berbeda-beda, beberapa diantaranya berada dalam kondisi dorman, siap menghadapi kondisi yang menguntungkan untuk perkecambahan dan sebagian lagi siap menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan. Pada umumnya biji-biji yang berada pada lapisan olah (sampai

kedalaman 25 cm) yang perlu mendapat perhatian yang khusus dalam kaitannya dengan pengelolaan gulma (Gulshan and Altaf, 2012).

Gulma dapat berkembang biak secara vegetatif maupun generatif dengan biji yang dihasilkan. Pembiakan melalui biji banyak dilakukan oleh gulma semusim dan beberapa gulma 2 tahunan, pada kondisi yang tidak menguntungkan biji yang mengalami dormansi yang merupakan sifat penting untuk mempertahankan dan melestarikan hidup gulma. Biji dorman dapat berkecambah apabila faktor pertumbuhan seperti gas, temperatur dan cahaya terpenuhi (Setyowati et al., 2005)

Kedalaman pembenaman dari biji- biji gulma juga berpengaruh pada laju perkecambahannya. Kedalalaman pembenaman memberikan jumlah perkecambahan yang berbeda. Pemunculan kecambah berkurang sekitar 75 % bila pembenaman biji gulma hanya 0,5 cm. Sehingga biji gulma akan berkecambah baik bila berada diatas permukaan tanah, mungkin hal ini karena pengaruh cahaya. Bila terkena cahaya langsung biji gulma akan berkecambah dua kali lipat. (Moenandir, 1993).

Kedalaman biji berada di tanah memberikan pengaruh yang tetap. Tumbuhnya biji-biji sebagian besar mempunyai hubungan yang negatif dengan kedalaman lebih dari 1 cm. Semakin dalam biji tertanam kemungkingan untuk berkecambah dan tumbuh menjadi semakin kecil. Munculnya biji yang paling baik jika biji-biji berada beberapa mm terbenam (Sastroutomo, 1990).

Biji gulma tersebar secara horizontal dan secara vertical di dalam profil tanah. Posisi biji secara horizontal di dalam tanah umumnya mengikuti arah barisan tanaman sedangkan distribusi secara vertikal dipengaruhi oleh pengolahan

16

tanah. Jika tanah dibajak biasanya biji tersebar pada kedalaman 4-6 inchi dibawah permukaan tanah (Menalled, 2008).

Biji-biji gulma dalam tanah/ha dapat mencapai berjuta-juta jumlahnya dan terdiri dari sekitar 50 species yang berbeda seperti yang ditemukan oleh Ogg dan Dawson (1984) dalam survainya. Hal ini dipengaruhi oleh pengolahan tanah sebelumnya maupun vegetasi-diatasnya (Moenandir, 1993).

Menurut Melinda et al (1998) biji spesies gulma setahun (annual weed spesies) dapat bertahan dalam tanah selama bertahun-tahun sebagai cadangan benih hidup atau viable seeds. Menurut Subagiya (2009) melalui kedalaman letak biji gulma dapat diketahui bagaimana besar kecilnya persaingan gulma terhadap tanaman pokok. Perlu direncanakan pola tanam yang tepat untuk mengetahui bagaimana keadaan suatu gulma dapat berkecambah dalam lingkungan yang memungkinkan (Sukman dan Yakup, 2002).

Menurut Chuah et al (2004), biji gulma dapat bertahan dalam tanah selama bertahun-tahun sebagai cadangan benih hidup atau viable seeds . Jumlah biji gulma yang terdapat dalam tanah mencapai ratusan juta biji. Karena benih gulma dapat terakumulasi dalam tanah, maka kepadatannya terus meningkat. Dengan pengolahan tanah secara konvensional, perkecambahan benih gulma yang terbenam tertunda, sampai terangkat ke permukaan karena adanya pengolahan tanah (Fadhly dan Fahdiana, 2009). Perbedaan posisi biji di dalam tanah menjadi masalah karena mengakibatkan perbedaan kemunculan gulma (Jalali, 2012).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan, karena minyak sawit mempunyai berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati lain baik dari aspek keragaman produk yang dapat dihasilkan, produktivitas, efisiensi maupun harga sehingga minyak sawit sangat kompetitif untuk memenuhi permintaan tersebut (Widjaja, 2010).

Pengembangan komoditas ekspor kelapa sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perkebunan (2015) produksi kelapa sawit di seluruh Indonesia pada tahun 2015 yaitu sebesar 30.948.931 ton dan telah mengalami kenaikan sebesar 1.604.452 ton dari tahun 2014. Kenaikan produksi kelapa sawit tahun 2015 ini terdapat hampir di semua provinsi yang ada di Indonesia (Direktorat Jendral Perkebunan, 2015).

Gulma merupakan salah satu permasalahan utama pada perkebunan kelapa sawit. Selain itu gulma juga dapat menurunkan produksi tanaman kelapa sawit. Kehadiran gulma pada perkebunan kelapa sawit dapat menjadi masalah yang besar karena membutuhkan tenaga kerja, waktu, dan biaya untuk terus menerus mengendalikan gulma. Kerugian yang ditimbulkan oleh gulma pada perkebunan kelapa sawit lebih besar (32%) dibandingkan dengan hama (18%) dan penyakit (15%). Namun, apabila tidak dilakukan pengendalian, baik secara fisik, kimia maupun biologi, maka angka kerugian bisa mencapai 69,8% (Oerke dan Dehne, 2004). Biaya pengendalian OPT termasuk sangat besar, yaitu sekitar 27.6-47,6% dari total produksi (Srinivasan, 2003 dalam Irianto dan Johanis, 2009).

2

Eleusine indica merupakan salah satu gulma penting di areal pertanaman, terutama pada daerah tropis. Keberadaannya dapat ditemukan hampir di semua pertanaman ataupun budidaya tanaman, terutama pada areal perkebunan tanaman tahunan seperti kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Keberadaan gulma ini cukup mengganggu pada areal produksi yang meliputi tanaman menghasilkan (TM) dan tanaman belum menghasilkan (TBM) serta pada areal pembibitannya, khususnya pada main nursery. Sedangkan pada pre nursery masih dapat diabaikan karena populasinya masih dapat ditolerir (Sianturi, 2001).

Pengendalian gulma pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai teknik pengendalian termasuk diantaranya pengendalian secara manual (tenaga manusia dilengkapi dengan peralatan kecil), memanfaatkan tanaman penutup tanah (leguminous cover crop), mekanis, ekologis, solarisasi, biologis, menggunakan bahan kimia (herbisida) dan teknik budidaya lainnya. Kekurangan dari masing-masing teknik pengendalian dapat diperkecil dengan menerapkan konsep pengendalian gulma secara terpadu (integrated weed management) yaitu

memadukan cara-carapengendalian yang kompatibel satu sama lain (Purba, 2009).

Teknik pengendalian gulma yang umum dilakukan di PTPN IV Kebun Adolina adalah pengendalian manual, yaitu dengan memakai garuk dan pembabatan serta pengendalian kimiawi dengan menggunakan herbisida sistemik pada TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) dan TM (Tanaman Menghasilkan). Dengan cara kimiawi pengendalian gulma pada areal tanaman dilakukan secara menyeluruh, sehingga semua areal disemprot. Hal ini dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma pada areal pertanaman. Setelah 26 tahun

menggunakan glifosat pada areal kelapa sawit dan gulma menjadi resisten, glifosat tidak lagi efektif untuk mengendalikan E. indica. Kebun Adolina terdiri dari 9 afdeling (unit manajemen lapangan) yang luasnya 8.965,69 Ha. Berdasarkan Penelitian Syahputra (2016) diketahui bahwa pada afdeling 4 blok 10W gulma E. indica telah terjadi resistensi sebesar 63%.

Pengendalian gulma dengan herbisida dapat menimbulkan terbentuknya populasi gulma resisten atau toleran herbisida. Populasi gulma resisten-herbisida adalah populasi yang mampu bertahan hidup normal pada dosis herbisida yang biasanya mematikan populasi tersebut. Populasi resisten terbentuk akibat adanya tekanan seleksi oleh penggunaan herbisida sejenis secara berulang-ulang dalam periode yang lama (Purba, 2009).

Keberadaan gulma yang ada saat ini ditentukan oleh simpanan biji gulma dalam tanah. Biji gulma terpencar secara horizontal dan vertikal pada profil tanah dan juga memiliki penyebaran yang sangat cepat. Ukuran yang kecil membuat biji mudah terbawa oleh aliran air dan angin yang kemudian dapat menjadi simpanan biji dalam tanah suatu areal perkebunan. Biji di dalam tanah memiliki kedalaman yang berbeda-beda. Espinar (2005) menyatakan bahwa seed bank umumnya paling banyak berada di permukaan tanah, tetapi adanya retakan tanah dapat menyebabkan perubahan ukuran seed bank (seed bank size) menurut kedalaman tanah.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya biji gulma dalam tanah bervariasi antar habitat. Lahan pertanian yang digunakan secara intensif mempunyai simpanan biji di dalam tanah lebih besar dibandingkan lahan yang baru dibuka. Ditambahkan oleh Paiman et al (2010) distribusi biji gulma

4

pada berbagai kedalaman tanah tidak sama, semakin dalam lapisan tanah ternyata jumlah biji gulma semakin sedikit. Oleh karena itu agar dapat mengetahui jumlah sebaran populasi seed bank dalam tanah, maka perlu diketahui distribusi seed bank di sekitar areal penanaman.

Berdasarakan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang distribusi seedbank Eleusine indica resisten glifosat di sekitar piringan

Dokumen terkait