• Tidak ada hasil yang ditemukan

Domba Barbados

Domba barbados berasal dari Kepulauan Karibia, tepatnya di Pulau Barbados, yang merupakan hasil persilangan antara domba afrika dengan domba daerah dingin (Suparyanto 1999). Domba ini merupakan domba tipe rambut dengan tujuan produksi daging, bobot badan dewasa betina 35-50 kg dan jantan 50-80 kg dan pertambahan bobot badan 104-109 g/hari (Rastogi 2001). Pada kondisi pakan yang baik, domba barbados beranak pertama kali pada umur 12-13 bulan, sedangkan pada kondisi pakan yang kurang baik pertama kali beranak dicapai pada umur 14-15 bulan, dengan frekuensi kelahiran anak kembar berkisar antara 56-71% (Suparyanto 1999). Domba barbados yang disilangkan dengan domba priangan memiliki bobot lepas sapih 26.63±6.83 kg/induk, bobot lepas sapih individu untuk jantan adalah 15.09±1.97 kg/ekor dan untuk betina 12.96±1.58 kg/ekor (Rahmat et al. 2007).

Domba barbados yang digunakan pada studi adalah domba barbados hasil persilangan dengan domba sumatera dengan komposisi genetik 50% domba barbados dan 50% domba sumatera. Domba ini biasa dikenal dengan domba Barbados Cross (BC) atau domba barbados silangan. Pola perkawinan domba persilangan barbados adalah disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Pola perkawinan domba persilangan barbados (BC) (Subandriyo et al. 1996). X Barbados Blackbelly (B) 100% Sumatera (S) 100% X Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S

(a) (b)

Gambar 3 (a) Domba barbados peranakan penelitian (BC); (b) Domba barbados asli di Pulau Barbados

Domba Komposit Sumatera

Domba komposit sumatera atau domba sei putih adalah salah satu domba bentukan baru dari Balai Penelitian Ternak, Badan Litbang Pertanian, Ciawi- Bogor yang memiliki beberapa keunggulan. Keunggulan tersebut ialah dapat dikawinkan sepanjang tahun dan beradaptasi dengan baik pada pakan sederhana. Domba komposit sumatera adalah domba unggul hasil persilangan antara bibit domba lokal Sumatera dengan bibit domba St. Croix asal Virgin Islands, Amerika Serikat dan domba barbados blackbelly asal Bardados Islands. Penelitian pembentukan domba komposit sumatera telah berlangsung dua dekade lebih hingga menghasilkan domba yang dapat dikembangkan dalam kondisi pemeliharaan semi intensif (BPATP 2008).

Gambar 5 Pola perkawinan tiga genotipe domba pembentuk domba komposit sumatera (Subandriyo et al.1996)

Jenis domba ini memiliki ciri berupa pola warna bulu beragam, seperti putih, cokelat, belang atau ada yang berpola warna barbados blackbelly. Domba komposit sumatera memiliki PBBH yang baik (101 gram/hari), dan jumlah anak sekelahiran sama dengan dengan domba lokal yakni 1.5 ekor, bobot lahir 2.2 kg, bobot sapih 10.3 kg, bobot 48 minggu 22.0 kg, umur beranak pertama 18 bulan, dan produktivitas induk 21.3 kg/th (BPATP 2008).

Domba komposit sumatera saat ini banyak dikembangkan di perkebunan di Sumatera Utara, NAD, dan Riau. Perkebunan yang sering digunakan adalah perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet dengan sistem integrasi. Hal yang menarik adalah domba komposit sumatera yang diberikan solid sawit pada penggembalaan integrasi perkebunan sawit memiliki pertambahan bobot badan harian mencapai lebih dari 100 g/hari. Banyak manfaat integrasi seperti biogas, pupuk organik, sumber pakan alternatif, pengendali gulma dll (Tiesnamurti 2009). St. Croix (H) 100% Sumatera (S) 100% Barbados Blakbelly (B) 100% Sumatera (S) 100% X X St. Croix Cross (HS) (50%H, 50%S) St. Croix Cross (HS) (50%H, 50%S) Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S X X St. Croix Cross (HS) (50%H, 50%S) Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S Komposit Sumatera (KS) (25%H, 50%S, 25%B) Komposit Sumatera (KS) (25%H, 50%S, 25%B) X X Komposit Sumatera (KS) (25%H, 50%S, 25%B) Perkawinan silang Perkawinan silang

Tabel 1 Produktivitas bangsa domba murni dan hasil persilangannya*

Uraian S H HS BC KS

PBB (g/hr) 42.7 95.2 69.6 90.31 101

Bobot Lahir (kg) 1.33 2.19 1.82 1.97 2.45

Bobot Sapih (kg) 6.9 7.2 9.6 10.3 10.6

Jumlah anak sekelahiran (ekor) 1.54 1.60 1.56 1.49 1.5 Keterangan: *Pola dan akronim genotipe persilangan disajikan pada Gambar 5; Sumber BPATP

(2008) dan Suparyanto (1999).

Domba komposit sumatera memiliki beberapa keunggulan: (1) Produktivitas lebih tinggi daripada domba lokal sumatera (±40% lebih tinggi) dengan laju pertumbuhan yang tinggi, tetapi jumlah anak per kelahiran, interval beranak, dan mortalitas anak yang relatif rendah (2) Adaptasi yang baik terhadap lingkungan termasuk resisten terhadap parasit internal (3) Karkasnya lebih besar, dengan kualitas pakan yang baik, rata-rata bobot hidup domba jantan muda adalah 20 kg pada umur 7 bulan dan 30 kg pada umur 11 bulan (4) Wolnya lebih sedikit daripada domba lokal sumatera, domba lokal ekor tipis dan domba priangan.

Pertambahan Bobot Badan dan Metanogenesis

Pertumbuhan pada ternak dikategorikan menjadi dua proses yang saling berkesinambungan, yaitu pertumbuhan sebelum kelahiran (pre-natal) dan pertumbuhan setelah kelahiran (post-natal). Pertumbuhan post-natal terdiri atas periode pertumbuhan sebelum penyapihan dan setelah penyapihan (Aberle et al.

2001). Proses pertumbuhan pada ternak 75% terjadi hingga umur satu tahun dan 25% pada saat ternak mencapai dewasa. Pertumbuhan setelah periode sapih (post- weaning) memiliki hubungan kuat dengan bobot sapih dan efisiensi pakan.

Metanogenesis secara tidak langsung berhubungan dengan produktivitas ternak ruminansia. Bakteri metanogen akan memproduksi gas metana sehingga akan menurunkan energi yang didapat untuk produksi daging. Penurunan energi bruto domba yang banyak memiliki populasi bakteri metanogen dapat mencapai 15% sehingga penurunan PBBH (Johnson et al. 1991). Penggunaan ekstrak tumbuhan (plant secondary metabolite) yang mengandung saponin, tanin, organosulfur, minyak esensial (essential oil), flavanoid, dan bioaktif tanaman lain (seperti ekstrak etanol dan metanol) dilakukan untuk menghambat terjadinya metanogenesis oleh bakteri metanogen dan memperbaiki performa dengan peningkatan proporsi propionat sehingga PBBH naik (Patra & Saxena 2010).

Komposisi Tubuh

Komposisi tubuh adalah suatu nilai yang menunjukkan proporsi dari komponen penyusun tubuh, antara lain air, protein, dan lemak. Komposisi tubuh sangat dipengaruhi oleh spesies, tingkat kegemukan, atau bobot tubuh temak (Parakkasi, 1981). Komposisi tubuh domba disajikan dalam.

Komposisi tubuh yang diukur dengan teknik menginjeksikan tracer (dilution technique) ke dalam tubuh ternak yang dilaporkan oleh beberapa peneliti disajikan dalam Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa komposisi tubuh sangat bervariasi bergantung pada umur dan bobot tubuh. Komposisi tubuh dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yaitu bobot potong, umur potong, bangsa, dan jenis kelamin. Bobot potong merupakan peubah yang paling berpengaruh pada komposisi tubuh (Berg & Butterfield 1976).

Soeparno (1992) menyatakan bahwa nutrisi, umur, dan bobot tubuh merupakan faktor yang saling berhubungan erat, dan dapat secara bebas atau secara bersama mempengaruhi komposisi tubuh ternak atau karkas. Variasi komposisi tubuh sebagian besar didominasi oleh variasi bobot tubuh, dan sebagian kecil dipengaruhi oleh umur dan bobot potong.

Metode Pendugaan Komposisi Tubuh

Menurut Nonaka (2002) ada dua cara untuk mengetahui komposisi tubuh ternak yaitu cara langsung dan cara tidak langsung. (1) Cara langsung (direct method), yaitu dengan memotong ternak dan kemudian memisahkan dan menimbang daging dan lemaknya. Cara ini adalah yang paling akurat, namun dalam pelaksanaannya, biaya dan tenaga kerja menjadi faktor pembatas. Ada tiga macam cara yang termasuk dalam cara tidak langsung (indirect method), yaitu metode bobot karkas, metode kesetimbangan energi dan protein, dan metode injeksi. Metode bobot jenis karkas masih dilakukan dengan memotong ternak dan kemudian diceburkan ke dalam kolam untuk kemudian dihitung bobot jenisnya. Bobot jenis inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan perbandingan komposisi daging dan lemak ternak. Cara ini banyak digunakan pada ternak babi dan mempunyai akurasi yang sangat tinggi. Kendala cara ini adalah biaya tinggi, ternak tidak dapat digunakan berulang kali (sebuah cara yang biasa digunakan untuk mengetahui perbedaan komposisi tubuh berdasarkan fase pertumbuhannya).

Pada metode kesetimbangan energi dan nitrogen (protein) kita dapat mengetahui pembongkaran protein atau lemak tubuh serta dapat menghitung deposisi yang terjadi. Keuntungan metode ini adalah ternak dapat digunakan berulang kali, murah, akan tetapi diperlukan banyak tenaga dalam pengerjaannya terutama dalam pengumpulan feses dan urine, sehingga sulit dilaksanakan pada jumlah ternak yang besar. Pada metode menginjeksikan (tracer dilution technique) ke dalam tubuh ternak, konsentrasi tracer akan berkurang karena beredar (melalui darah) ke seluruh tubuh sesuai dengan bobot dan komposisi tubuhnya. Teknik ini yang paling sederhana, karena hanya menggunakan sampel darah, sedikit tenaga kerja, penggunaan ternak dapat dalam jumlah besar dan berulang kali, biaya jauh lebih rendah dan mempunyai akurasi yang cukup tinggi.

Teknik penyuntikan tracer ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa proporsi protein konstan, sementara lemak dan air tubuh berhubungan terbalik. Dari pemikiran ini maka apabila air tubuh dapat diketahui maka komposisi lemak dan daging dapat ditentukan. Tracer yang sering digunakan dalam metode ini ada tiga, yaitu tritium, deuterium, dan urea. Dari ketiga traser tersebut, traser urea sangat mudah didapat, mudah, dan analisisnya hanya membutuhkan alat spektrofotometer. Apabila gagal dapat segera diulang karena dalam waktu sekitar dua hari pengaruh urea yang disuntikkan akan menghilang. Urea yang disuntikkan akan memasuki pool tubuh, oleh karena akan terjadi pelarutan (pemerataan) urea dalam tubuh dan terjadi perbedaan antara urea sebelum dan sesudah penyuntikan.

Berdasarkan basil penelitian Astuti dan Sastradipradja (1999) pendugaan kandungan air, lemak, dan protein tubuh domba priangan dengan teknik "urea space" menunjukkan tingkat akurasi yang tinggi dengan r masing-masing 0.95; 0.98 dan 0.96 sedangkan hasil penelitian Panaretto dan Till (1963) diperoleh r masing-masing 0.99; 0.93 dan 0.98.

Panas Tubuh dan Konsumsi Nutrien

Paparan panas suhu lingkungan akan mengakibatkan penurunan bobot badan, penurunan PBBH, laju pertumbuhan, dan bentuk fisik tubuh (Marai et al. 2000). Selain itu, paparan suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan peningkatan laju respirasi, suhu tubuh, konsumsi air dan penurunan konsumsi bahan kering (Marai et al. 2007). Studi oleh Monty et al. (1991), Nardon et al. (1991) bahwa

domba st. croix, karakul, dan rambouillet mengalami penurunan konsumsi bahan kering ketika mengalami stres panas. Apabila konsumsi bahan kering menurun oleh stres panas, konsumsi protein kasar (PK), energi bruto (GE) dan energi metabolis (EM) juga akan menurun (Marai et al. 2001).

Fisiologis Pertumbuhan Domba

Perubahan fungsi kerja biologi domba yang mengalami cekaman panas lingkungan dan peningkaatan suhu tubuh dapat disebabkan oleh: (1) penurunan konsumsi dan kecernaan pakan; (2) gangguan metabolisme pada air tubuh, energi, dan keseimbangan mineral; (3) reaksi enzimatis, sekresi hormon, dan metabolit darah (Marai et al. 2007).

Termoregulasi

Termoregulasi domba erat kaitanya dengan evaporasi dan disipasi panas karena peran keringat berkurang dengan adanya lapisan bulu-bulu wol (Marai et al. 2007). Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung pada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan (Esmay 1982). Panas adalah sebuah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan temperatur. Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja (Esmay 1982). Menurut Etgen (1987), energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor intrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah sumber pakan (Scheer 1963).

Suhu Rektal

Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas (Esmay,1982). Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh atau suhu inti (core temperature) dapat dihitung pada beberapa lokasi. Lokasi yang biasa digunakan adalah rektum, karena cukup mewakili dan kondisinya stabil. Suhu inti

mendominasi penentuan suhu tubuh. Temperatur rektum dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, dan frekuensi respirasi dan temperatur tubuh berfluktuasi lebih besar saat dehidrasi. Menurut Kelly (1984), suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara suhu yang diproduksi dengan suhu yang dilepaskan. Suhu rektum sering digunakan sebagai ukuran representatif suhu tubuh (Marai et al. 2007). Suhu rektum domba pada zona nyaman adalah 38.3-39.9°C (Marai et al. 2007). Zona nyaman (thermoneutral zone)pada domba adalah 22-31°C untuk beraktivitas dan reproduksi (Yousef 1985).

Denyut Jantung

Laju denyut jantung merupakan refleksi utama dari proses homeostatis sirkulasi darah sepanjang status metabolisme yang umum (Marai et al. 2007). Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal adalah spesies, ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, rangsangan, tahap laktasi, rangsangan, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, dan temperatur lingkungan (Frandson 1992). Menurut Schmidt-Nielsen (1997), jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal. Denyut jantung domba normal menurut Duke’s (1995) adalah 60-120 denyut per menit. Cara untuk mendeteksi denyut jantung adalah dengan meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa atau pada bagian dada kiri atas (dekat lengan) dekat tulang axilla sebelah kiri dengan menggunakan stetoskop. Selama musim panas, laju denyut jantung signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan musim dingin pada domba Barki di Timur Tengah (Ismail et al. 1995). Laju denyut jantung pada waktu pagi hari (pukul 8.00) akan lebih rendah dibandingkan dengan pada siang hari pukul (15.00) (Marai et al. 2007). Respirasi

Dua fungsi utama sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah, dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi yang bersifat sekunder meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air dan pembentukan suara. Laju respirasi dapat menjadi indikator terjadinya stres panas (Habeeb et al. 1992).

Domba akan melepaskan 20% panas tubuh melalui respirasi pada suhu 12°C dan meningkat menjadi 60% dari total panas tubuh pada suhu 35°C (Thompson 1985).

Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada, dan perut (merespons kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma), observasi aktivitas respirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi berbaring akan mempengaruhi respirasi terlebih lagi pada ternak yang sedang sakit. Pengontrolan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut, disarankan untuk mengobservasi ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui similaritas pergerakan kedua sisi (Kelly1984).

Menurut Hecker (1983), laju respirasi untuk domba normal adalah 15-40 helaan/menit atau 30-80 respirasi/menit, sedangkan menurut Frandson (1992) adalah 26-32 helaan/menit = 52-64 respirasi/menit. Mekanisme respirasi dikontrol di medula yang sensitif terhadap CO2 dan tekanan darah. Jika tekanan meningkat

sedikit, pernapasan menjadi lebih dalam dan cepat (Esmay 1982). Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu ketika terpapar ke suhu lingkungan dan kelembapan relatif yang tinggi (Kelly1984).

Konsumsi pakan berdasarkan jenis nutrisi akan mempengaruhi laju respirasi pada kondisi stres panas (Bluett et al. 2001). Laju respirasi pada ternak yang terpapar suhu lingkungan yang tinggi dapat mencapai 400 respirasi/menit dan ketika terjadi penurunan menuju suhu yang rendah maka laju respirasi menjadi lebih lama durasinya pada 155-200 respirasi/menit hingga menuju laju respirasi normal dan nyaman (Marai et al. 2007). Laju respirasi akan meningkat pada siang hari (15.00; 12.00; dan 16.00) dibandingkan dengan waktu pagi hari (8.00) pada musim panas terhadap bangsa domba Mesir (Marai et al. 2008).

Emisi Gas Metana

Gas metana (CH4) merupakan salah satu gas yang menyebabkan pengaruh

gas rumah kaca atau GRK (CO2, CH4, N2O, PFC, HFC, dan SF6) sehingga terjadi

pemanasan global (Vlaming 2008). Gas metana memiliki potensi pemanasan global (PPG) 25 kali lipat dibandingkan dengan gas CO2 (Tabel 2). Sumber emisi

gas metana berasal dari alam (natural resources), manusia (anthropogenic resources), dan sinks (Reay et al. 2010). Sumber emisi metana yang berasal dari

Tabel 2 Gas rumah kaca penyebab pemanasan global*

GRK Masa aktif (tahun) PPG

CO2 (karbon dioksida) 50-200 1 CH4 (metana) 12 25 N2O (Nitrogen oksida) 114 298 PFC atau CF4 (Perfluorometana) 50000 7390 HFC atau CHF3(hidrofluorocarbon) 270 14800 SF6 (Sulphur hexaflorida) 3200 22800

Keterangan: *Sumber IPCC (2001) dan Solomon (2007); PPG (Potensi Pemanasan Global) adalah istilah untuk global warming potential (GWP) berdasarkan masa CO2 selama 100 tahun.

Gambar 6 Sumber produksi gas metana dunia (Reay et al. 2010)

perbuatan manusia terbesar dari sektor peternakan atau ruminansia. Deskripsi emisi metana berdasarkan sumber produksi disajikan pada Gambar 6.

Emisi gas rumah kaca nasional menempatkan Indonesia pada peringkat ke empat emitter gas rumah kaca (GRK) dunia karena efek kebakaran hutan dan gambut. Indonesia menempati peringkat ke-21 emitter GRK dunia apabila aspek kebakaran hutan tidak diikut sertakan. Emisi nasional GRK ditampilkan pada Tabel 3. Sektor pertanian termasuk didalamnya sektor peternakan relatif stabil dan memiliki tingkat emisi GRK yang rendah. Sektor peternakan dalam skala nasional kurang lebih memiliki tingkat emisi gas metana 1.2% secara keseluruhan. Namun demikian peran turut andil dalam pengendalian emisi sangat perlu dilakukan.

Tabel 3 Emisi gas rumah kaca total nasional (dalam juta ton CO2 - eq)

Sektor Tahun 2005 Laju (%/th)

Energi (termasuk polusi transportasi) 369.80 5.7

Industri 48.73 2.6

Pertanian 80.18 1.1

Limbah 166.83 1.2

LUCF 674.83 fluktuasi

Kebakaran gambut 451.00 fluktuasi

Total 1991.37

Keterangan: emisi gas rumah kaca adalah total emisi CO2, CH4, N2O, PFC, HFC, dan SF6; LUCF (LandUse Change and Forestry) termasuk kebakaran hutan; sumber MOE (2009).

Tingkat emisi gas metana dari proses pencernaan sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, dan domba secara berurutan adalah 47, 61, 55, 5, dan 5 kg/ek/th dan dari manajemen kotoran 1, 31, 2, 0.22, dan 0.20 kg/ek/th (IPCC 2006). Produksi gas metana dari eruktasi atau enterik ternak lebih besar dibandingkan dengan feses atau kotoran. Produksi metana dihasilkan sebagai hasil samping fermentasi rumen yang menyebabkan berkurangnya energi bruto sebesar 2-15% (Johnson & Johnson 1995). Peran mitigasi sangat penting sebagai solusi pemanasan global dan peningkatan produksi. Upaya untuk menurunkan gas metana berdasarkan waktu penyelesainya menurut Keliher dan Clark (2010) disajikan pada Tabel 4. Penggunaan ekstrak pada tumbuhan dengan senyawa yang mengandung minyak esensial, saponin, tannin, dan organosulfur untuk meningkatkan fermentasi rumen, metabolisme protein menurunkan emisi metana (Patra & Saxena 2010).

Tabel 4 Metode pengurangan emisi gas metana enterik ruminansia

Periode waktu Metode

Singkat  Pengurangan populasi ternak

 Meningkatkan produktivitas tiap individu ternak

 Manipulasi pakan

 Modifikasi ekosistem rumen

Sedang (<10 tahun)  Modifikasi ekosistem rumen

 Seleksi hijauan beremisi rendah CH4

Lama (> 10 tahun)  Target manipulasi ekosistem rumen

 Seleksi ternak bernilai berdasarkan heritabilitas produksi CH4 Sumber: Keliher dan Clark (2010)

Gas metana adalah salah satu jenis gas rumah kaca utama yang berpengaruh pada pemanasan global. Kontribusi CH4 terhadap pemanasan global diperkirakan

sebesar 18%, nomor dua setelah CO2 (49%), kemudian CFC 14%, N2O 6%, dan

lainnya 13%. Meskipun jumlahnya di atmosfer jauh lebih rendah dibandingkan dengan gas CO2, namun gas metana memiliki kemampuan menyerap panas (radiasi

infra merah) yang dipancarkan oleh bumi 21 kali lebih tinggi dari CO2. Gas

metana memiliki waktu tinggal di atmosfer lebih singkat yaitu selama 12 tahun, sedangkan CO2 selama 100 tahun. Gas metana mampu menembus sampai lapisan

ionosfer di mana terdapat senyawa radikal O3 (ozon) yang berfungsi sebagai

pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet. Kehadiran gas metana pada lapisan ini berpengaruh pada reaksi oksidasi yang menghasilkan CO2, sehingga menurunkan kandungan O3. Jadi, metana adalah salah satu gas

yang yang menyebabkan penipisan ozon bumi (IPCC 1994).

Keseimbangan metana di atmosfer diatur melalui keseimbangan antara sumber dan saluran pembuangannya. Saluran metana yang utama adalah atmosfer yang mengandung ion hidrogen bebas pada lapisan troposfer. Metana bereaksi dengan ion hidroksil (OH) membentuk uap air dan CO2. Saluran kedua adalah

tanah yang mengandung bakteri yang dapat menyerap metana dan mengoksidasi- nya. Akan tetapi, bila konsentrasi metana melebihi hilangnya melalui kedua saluran ini maka konsentrasinya di atmosfer menjadi meningkat dan mengakibat- kan efek rumah kaca yang berlebihan dan akhirnya berpengaruh pada pemanasan global (Reay et al. 2010).

Konsentrasi metana di atmosfer pada saat ini sudah mencapai lebih dari dua kali lipat, yaitu dari 700 ppb menjadi 1785 ppb. Meningkatnya jumlah metana di atmosfer berkaitan dengan meningkatnya populasi manusia, karena berkorelasi dengan kebutuhan pangan yang dihasilkan oleh ternak dan padi sawah. Di samping itu, juga disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi dan perusakan hutan serta lahan gambut. Meningkatnya metana di atmosfer akan berpengaruh pada perubahan iklim dan suhu global yang dikenal dengan pemanasan global (Moss 2000).

Terjadinya pemanasan global sebagai akibat dari meningkatnya gas-gas rumah kaca di atmosfer akan berpengaruh pada lingkungan dan kehidupan di

bumi. Pemanasan global diperkirakan mengakibatkan bumi lebih panas 1-2oC dibanding sekarang pada tahun 2030, dan air laut naik 5-44 cm akibat mencairnya es di kutub. Naiknya permukaan air laut membuat daratan semakin sempit dan terjadi krisis air bersih terutama di perkotaan akibat intrusi air laut. Dampak lainnya adalah meningkatknya penyakit yang ditularkan melalui nyamuk, menurunnya produktivitas pertanian akibat perubahan suhu dan pola hujan yang tidak teratur, dan punahnya sejumlah keragaman hayati akibat peningkatan suhu bumi. Oleh karena itu, mengurangi emisi metana sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup di bumi ini (Moss et al. 2000).

Mitigasi Emisi Gas Metana Enterik

Metana enterik dari ruminansia sekitar 11-17% dari metana global atau 17- 30% dari total metana antropogenik (Beauchemin et al. 2007). Teknologi menurunkan emisi gas metana enterik telah banyak diteliti, dikembangkan dan diadopsi oleh masyarakat, namun masih perlu diinventarisasi dan diseleksi untuk dapat dipilih agar dapat diterapkan pada peternakan rakyat. Mara et al. (2008) merekomendasikan beberapa teknologi alternatif untuk menurunkan produksi metana akibat fermentasi pakan di dalam saluran pencernaan, yaitu meningkatkan frekuensi pemberian pakan, meningkatkan jumlah konsentrat di dalam ransum, memilih pakan yang mengandung karbohidrat non-struktural lebih tinggi, penggunaan legum, perbaikan manajemen padang pengembalaan, penggunaan biji-bijian pada silase, memanfaatkan tanaman yang mengandung saponin dan tanin sebagai pendefaunasi protozoa di dalam rumen, dan penggunaaan feed aditif. Prinsip penggunaan feed aditif dapat dilakukan dengan berbagai macam zat kimia dengan beberapa tipe mekanisme, antar lain berdasarkan sifat toksik terhadap bakteri metanogen, seperti senyawa-senyawa metana terhalogenasi (Boccazzi dan Patterson 1995), berdasarkan pada reaksi hidrogenasi, seperti senyawa asam-asam lemak rantai panjang tak jenuh, berdasarkan senyawa- senyawa kimia yang afinitasnya terhadap hidrogen lebih tinggi daripada CO2,

seperti ion ferri dan sulfat, dan berdasarkan defaunasi atau penekanan populasi mikroba seperti senyawa saponin dan tanin (Thalib 2004; Beauchemin et al. 2007), dan bakteri asetogenik (Thalib 2008). Rata-rata penurunan persentase produksi metana (pengujian in vitro) oleh feed additive berkisar 10-40%,

bergantung pada level pemberian dalam satuan bobot feed additive per bobot substrat yang difermentasi, dan daya kerjanya sebagai inhibitor metanogenesis.

Beberapa jenis pakan lokal yang telah dicoba dan berpotensi untuk mengurangi emisi gas metana pada saluran pencernaan ternak ruminansia antara

Dokumen terkait