• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tomat (Lycopersicum esculentum)

Tomat adalah salah satu sayuran yang sangat dikenal masyarakat. Tomat memiliki ciri khas rasa yang unik sehingga digemari banyak orang. Cita rasa yang khas ini dapat menambah kelezatan berbagai macam masakan dan minuman. Tanaman tomat tergolong dalam tanaman semusim (berumur pendek, kurang dari 1 tahun). Penanamannya perlu ditopang dengan ajir dari turus bambu agar tidak roboh dan tumbuh secara vertikal karena tanaman tomat berbentuk perdu dengan panjang mencapai kurang lebih 2 meter (Jones 2008).

Tomat memiliki akar tunggang yang tumbuh menembus ke dalam tanah dan akar serabut yang tumbuh menyebar ke samping tetapi dangkal. Berdasarkan sifat perakarannya ini, tomat akan tumbuh baik di lahan yang gembur dan porous. Batang tomat berbentuk segi empat hingga bulat, lunak tapi cukup kuat, berbulu atau berambut halus dan di antara bulu-bulu itu terdapat rambut kelenjar. Batangnya berwarna hijau, pada ruas-ruas batang mengalami penebalan dan pada ruas bagian bawah tumbuh akar-akar pendek. Daun tomat berbentuk oval, berwarna hijau dan merupakan daun majemuk ganjil yang berjumlah 5 sampai 7. Daun majemuk tumbuh berselang-seling atau tersusun spiral mengelilingi batang tanaman. Bunga tanaman tomat berukuran kecil dan berwarna kuning cerah. Bunga tomat merupakan bunga sempurna dan tumbuh dari cabang yang masih muda. Buah tomat memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi tergantung pada jenisnya. Buah tomat yang masih muda berwarna hijau, bila sudah matang akan berwarna merah. Tomat dapat tumbuh pada tempat dengan ketinggian 0 sampai 1250 m di atas permukaan laut, suhu optimal pada siang hari 230C dan pada malam hari 170C, menyukai tanah dengan derajat keasaman netral terutama yang mengandung humus, gembur, sarang dan berdrainase baik (Jones 2008).

Tomat sangat bermanfaat bagi tubuh karena mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan. Sebagai sumber vitamin, tomat kaya akan vitamin C yang berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh serta mengobati berbagai penyakit, seperti sariawan. Tomat juga kaya akan vitamin A yang dapat mencegah dan mengobati xeropthalmia pada mata, zat besi

(Fe) yang bermanfaat dalam pembentukan sel darah merah, serat yang dapat membantu penyerapan makanan dalam pencernaan serta kaya akan kalium (K) yang dapat menurunkan tekanan darah tinggi (Jones 2008).

Gambar 1 Total produksi tomat di Indonesia tahun 2000-2010 Sumber: Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id)

Tanaman tomat merupakan salah satu komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak diusahakan secara komersial di Indonesia. Sampai saat ini produksi tomat di Indonesia masih reIatif rendah yaitu 6,30 ton/ha dan pengembangannya masih terpusat di Pulau Jawa (BPS 2012). Jaya (1997) menyebutkan bahwa penyebab menurunnya produksi adalah kurang tersedianya tomat varietas unggul yang mempunyai produksi tinggi, buah berkualitas baik, lahan yang cukup, teknik budidaya yang tepat dan tahan terhadap gangguan hama dan penyakit.

Layu Bakteri (Bacterial Wilt)

Layu bakteri adalah penyakit yang paling merusak pada tomat. Penyakit ini tersebar luas di daerah tropis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purwanto dan Tjahjono (2001), gejala layu bakteri adalah tanaman muda yang terinfeksi akan segera mati, sedangkan tanaman tua menunjukkan daun layu, menguning, kerdil dan akhirnya mati (Gambar 2a). Tanaman tomat yang

0 200000 400000 600000 800000 1000000 20002001200220032004200520062007200820092010 P rod u k si tot al tom at (t on /tahu n ) Tahun

terinfeksi akan membentuk akar adventif di sekitar pangkal batang (Gambar 2b). Akar adventif akan lebih banyak muncul apabila penyakit berkembang pada lingkungan yang kurang mendukung, yaitu suhu rendah, virulensi rendah, resistensi tanaman yang kurang (McCarter 2006). Jaringan pembuluh batang dan akar akan mengalami pembusukan, berwarna coklat tua sampai hitam. Akar juga akan berwarna coklat bila tanaman sudah mengalami layu permanen (McCarter 2006).

Apabila bagian batang dipotong, dari jaringan pembuluh akan keluar massa bakteri seperti lendir berwarna putih susu dan lendir lebih banyak keluar bila potongan batang diletakkan di tempat lembab. Jika potongan batang sakit dimasukkan ke dalam gelas berisi air jernih, selama beberapa menit akan terlihat benang-benang putih halus yang akan putus bila gelas digoyang dan air berubah menjadi keruh. Benang putih tersebut merupakan massa bakteri yang biasa disebut dengan oose (Purwanto dan Tjahjono 2001, McCarter 2006). Oose inilah yang membedakan tanaman yang tersinfeksi layu bakteri dengan layu akibat cendawan maupun layu akibat gangguan fisiologis (McCarter 2006).

Berdasarkan McCarter (2006) gejala penyakit layu bakteri diawali dengan layunya daun yang paling muda. Layu ini terjadi pada hari yang panas. Layu pada seluruh bagian tanaman akan terjadi bila keadaan lingkungan mendukung perkembangan penyakit. Layu akan terjadi lebih lama bila lingkungan kurang mendukung perkembangan patogen di dalam tanaman. Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan penyakit layu bakteri adalah kelembaban tanah. Kelembaban tanah ini sangat berpengaruh terhadap tingkat reproduksi dan ketahanan patogen di dalam tanah. Patogen akan berkembang dengan baik pada kelembaban tanah yang tinggi. Di lapangan, kelembaban tanah ini selalu dihubungkan dengan periode musim hujan yang terjadi pada musim tanam. Periode musim hujan yang tinggi akan menyebabkan kelembaban tanah yang tinggi pula. Selain itu, penyakit akan menjadi lebih parah pada suhu 24 - 350C. Kerdil dapat terjadi pada beberapa tanaman, akan tetapi kerdil jarang sekali terjadi (EPPO 3 Mei 2011).

Gambar 2 a. Gejala layu bakteri pada tanaman tomat; b. Gejala munculnya akar adventif (tanda panah) pada pangkal batang tanaman tomat

Patogen penyebab layu bakteri adalah Ralstonia solanacearum. Bakteri ini merupakan bakteri patogen tular tanah. R. solanacearum tersebar luas di daerah tropis, sub tropis, dan beberapa daerah hangat lainnya. Spesies ini juga memiliki kisaran inang luas dan dapat menginfeksi ratusan spesies pada banyak famili. Berdasarkan kisaran inangnya, R. solanacearum dikelompokkan menjadi 5 ras. Ras 1 menyerang tanaman tembakau, tomat dan famili Solanaceae lainnya, ras 2 menyerang tanaman pisang, ras 3 menyerang tanaman kentang, ras 4 menyerang tanaman jahe, dan ras 5 menyerang tanaman mulberry (Hayward dan Elphinstone 1994). R. solanacearum memiliki banyak ras sehingga pengendalian penyakit layu bakteri ini sulit dilakukan (Suryadi dan Mahmud 2002).

Patogen masuk ke dalam tanaman melalui luka pada akar, luka pada batang maupun melalui stomata yang menjadi lubang masuk. Patogen kemudian menuju ke sistem pembuluh tanaman. Proses pencapaian sistem pembuluh akan menjadi lebih cepat bila suhu pada saat infeksi tinggi. Setelah mencapai sistem pembuluh kemudian patogen mengkolonisasi xilem. Pada xilem, patogen bereproduksi dengan sangat cepat sehingga memblok saluran xilem. Xilem yang terblok akan menyebabkan tanaman sulit menyalurkan air dan nutrisi sehingga

tanaman menjadi layu (EPPO 3 Mei 2011, McCarter 2006). Patogen dapat menyebar melalui air irigasi, tanah yang terinfestasi, dan sisa tanaman yang telah terinfeksi (McCarter 2006).

Pengendalian Penyakit

Pengendalian penyakit layu bakteri sulit untuk dilakukan terutama layu bakteri akibat infeksi R. solanacearum ras 1. Ras 1 sulit dikendalikan karena memiliki kisaran inang yang luas. Teknik pengendalian yang pernah dilakukan adalah rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang (Hartman dan Elphinstone 1994). Di Peru, rotasi tanaman dengan jagung dapat mengurangi infeksi patogen dengan cepat. Rotasi tanaman selama 3 tahun dengan padi dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit layu bakteri dari 85% menjadi 1.5% di China. Di Indonesia juga pernah dilakukan penelitian tentang pengendalian layu bakteri dengan rotasi tanaman bukan inang dengan menggunakan padi dan jagung selama 2 tahun. Rotasi tanaman tersebut juga dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit layu bakteri (Hartman dan Elphinstone 1994). Rotasi tanaman memerlukan waktu yang lama meskipun dapat mengurangi tingkat kejadian penyakit.

Pengendalian secara kimiawi biasanya dilakukan dengan menggunakan bakterisida. Bahan kimia komersil, misalnya, antibiotik, pupuk maupun bakterisida telah diuji akan tetapi tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Perlakuan tanah dengan fumigan (kloropikrin) telah diuji dan dapat mengurangi kejadian penyakit akan tetapi pengendalian ini terlalu mahal untuk dilakukan (Hartman dan Elphinstone 1994, McCarter 2006). Antibiotik juga dapat mengurangi kejadian penyakit akan tetapi antibiotik ini dapat mempengaruhi tingkat resistensi patogen sehingga hanya efektif diawal aplikasi saja. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kejadian penyakit layu bakteri pada tomat di Mesir yang diaplikasi dengan antibiotik Streptomycin (EPPO 3 Mei 2011). Selain itu, penggunaan bahan kimia dalam pengendalian juga dapat memberikan ancaman terhadap kualitas lingkungan, menyebabkan fitotoksisitas terhadap tanaman inang, menimbulkan patogen yang mempunyai tingkat resistensi yang tinggi, dan hanya

dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit yang berada di jaringan luar tanaman (Sige 1993).

Penggunanan tanaman resisten merupakan salah satu pengendalian penyakit layu bakteri yang efektif (Hartman dan Elphinstone 1994). Akan tetapi, menurut Almoneafy et al. (2012), tingkat resistensi dari tanaman resisten tidak dapat menghasilkan hasil yang stabil dan tidak dapat bertahan lama. Selain itu, pengembangan varietas resisten juga memerlukan biaya yang mahal sehingga sulit untuk dilaksanakan (Hartmana dan Elphinstone 1994).

Salah satu pengendalian yang efektif serta ramah lingkungan adalah pengendalian biologi. Pengendalian biologi adalah pengendalian dengan menggunakan agen biokontrol untuk berkompetisi dalam mengkolonisasi inang dan untuk menghasilkan antiobiotik dalam rangka menginduksi tanaman agar tumbuh dengan baik atau untuk menghambat perkembangan patogen (Hartman dan Elphinstone 1994). Menurut Sige (1993), mekanisme pengendalian biologi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu memproduksi bahan anti mikroba (antibiosis) dan persaingan ruang dan nutrisi di tempat yang spesifik pada permukaan tanaman.

Berdasarkan bahan anti mikroba yang dihasilkan, aktivitas anti mikroba dan deteksi secara in vitro, bahan anti mikroba yang dihasilkan oleh agens biokontrol dapat dibedakan menjadi tiga yaitu antibiotik, bakteriosin, dan siderofor (Sige 1993). Antibiotik merupakan senyawa organik metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroba yang mempunyai berat molekul yang rendah dan bersifat toksin bagi mikroba lain (Lo 1998). Antibiotik dalam konsentrasi rendah sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan keefektifan metabolisme patogen. Antibiotik memiliki aktivitas dengan kisaran yang lebih luas dibandingkan dengan bahan anti mikroba lain. Adanya antibiotik ini dapat dilihat pada media yang mengandung protease. Kebanyakan antibiotik resisten terhadap protease (Sige 1993).

Bakteriosin merupakan substansi bakteri yang tidak bereplikasi dan dapat memberikan efek penghambatan terhadap organisme yang dekat kekerabatannya. Bakteriosin dapat membunuh sel patogen dengan cara melekat pada sel patogen. Setiap patogen hanya dapat ditempeli oleh bakteriosin yang tertentu saja karena

bakteriosin hanya dapat menempel pada sel patogen yang memiliki reseptor saja. Karena cara kerja yang spesifik inilah maka penggunaan bakteriosin ini dapat digunakan dalam pengendalian biologi (Sige 1993).

Siderofor adalah senyawa yang diproduksi agens biokontrol pada lingkungan yang stress besi dan berperan sebagai agen pengkhelat ion besi yang spesifik dari lingkungan. Siderofor ini dapat menghindarkan ion besi dari patogen sehingga pertumbuhan patogen dapat terhambat (Villegas et al. 2002). Agens biokontrol dapat menghasilkan siderofor bila ditumbuhkan dalam media yang rendah besi (media King’s B). Produksi siderofor dapat dilihat dengan produksi

pigmen fluorescens dan demonstrasi aktivitas antagonistik terhadap bakteri lain. Sebagai bahan anti mikroba yang dapat digunakan dalam pengendalian biologi, siderofor dapat diproduksi oleh agens biokontrol dan berperan aktif pada daerah rhizosfer tanaman (Sige 1993).

Pengendalian biologi telah banyak dilakukan untuk mengendalikan penyakit layu bakteri. Agens biokontrol yang biasanya digunakan antara lain adalah R.solanacearum avirulen, Pseudomonas fluorescens, dan Bacillus subtilis. R. solanacearum avirulen yang memproduksi bakteriosin dapat mengurangi kejadian penyakit layu bakteri tomat di rumah kaca (Hartman dan Elphinstone 1994). Mutan avirulen dari R. solanacearum yang mengkolonisasi akar tanaman tomat dapat mencegah kolonisasi R. solanacearum virulen (Hartman dan Elphinstone 1994). P.fluorescens dan B. subtilis juga merupakan agens antagonis yang dapat mengendalikan penyakit layu bakteri tomat dengan efektif (Trigalet et al. 1994).

Bakteri Endofit

Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup di dalam jaringan tanaman (xilem dan floem), daun, akar, buah dan batang. Bakteri ini hidup di dalam tanaman dengan simbiosis yang saling menguntungkan. Bakteri endofit mendapatkan nutrisi dari hasil metabolisme tanaman dan memproteksi tanaman dari hama dan penyakit. Tanaman mendapatkan derivat nutrisi dan senyawa aktif yang diperlukan selama hidupnya. Bakteri endofit yang diperoleh dari bagian

dalam tanaman dapat menghasilkan sejumlah senyawa bioaktif spesifik yang sama dengan senyawa bioaktif tanaman (Ryan et al. 2007).

Penggunaan bakteri endofit dalam pengendalian biologi lebih menguntungkan dibandingkan dengan agens biokontrol lainnya. Bakteri endofit hidup di dalam tanaman inang sehingga dapat bertahan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan inang. Pertahanan ini dapat menghasilkan perlindungan yang berkelanjutan terhadap tanaman inang (Trigalet et al. 1994).

Damayanti (2010) melakukan isolasi bakteri endofit dari tanaman tomat yang berasal dari tiga tempat yaitu Bogor, Cipanas, dan Lembang. Dari hasil isolasi diperoleh sebanyak 49 isolat, 17 diisolasi dari tanaman asal Bogor, 18 isolat dari Cipanas, dan 14 isolat dari Lembang. Masing-masing bakteri endofit memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Berdasarkan uji reaksi hipersensitif (HR) diketahui bahwa terdapat sejumlah bakteri endofit yang menimbulkan reaksi negatif pada uji tersebut, seperti BC4, BC10, dan BL10. Isolat dengan kode BC4 memberikan penekanan terhadap perkembangan R. solanacearum sebesar 66,67% secara in vitro. Penekanan ini merupakan penekanan yang terbaik bila dibandingkan dengan isolat bakteri lain.

Berdasarkan hasil identifikasi dengan sekuen 16s rDNA, isolat dengan kode BC4 memiliki kedekatan dengan bakteri Staphylococcus epidermidis (Nawangsih et al. 2011). Karakter biokimia dan fisiologi dari isolat ini yaitu: 1) karakter biokimia; memiliki reaksi positif terhadap uji katalase, strach, glukosa, manitol, laktosa, maltosa, dan salicin, 2) karakter fisiologi; gram negatif, bentuk batang, tidak berspora, non motil, dapat tumbuh dalam suhu anaerob dan anaerob fakultatif, katalase positif, oksidase positif. Karakter morfologi dari BC4 yaitu: permukaan cembung, tepian rata, bentuk bulat licin, ukuran sedang, dan ciri lain

yaitu tidak lengket serta pertumbuhannya cepat pada medium King’s B

(Damayanti 2010). Berdasarkan uji in planta yang telah dilakukan oleh Damayanti (2010), S. epidermidis BC4 dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri sebanyak 60% tetapi tidak dapat memacu pertumbuhan tanaman. Sedangkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Handini (2011) di lapangan, aplikasi tungggal S. epidermidis BC4 dapat menekan kejadian penyakit sebesar 10% dan tidak dapat memacu pertumbuhan tanaman.

Plant Growth Promoting Rhizobacteria

Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) adalah bakteri yang hidup di daerah rhizosfer tanaman dan dapat memacu pertumbuhan tanaman (Khalimi dan Wirya et al. (2010). Menurut Khalimi dan Wirya et al. (2010), mekanisme PGPR dalam memacu pertumbuhan yaitu: (a) mampu menghasilkan atau mengubah konsentrasi fitohormon asam indolasetat (IAA), asam giberalat, sitokinin, dan etilen atau prekursornya (1-aminosiklopropena; ACC diaminase) di dalam tanaman, (b) antagonisme terhadap mikroba fitopatogen melalui produksi siderofor, glukanase, kitinase, selulase, antibiotika, dan sianida, c) pelarut fosfat mineral dan nutrisi lainnya, d) mengatur produksi etilen pada perakaran, e) menurunkan ketoksinan logam berat. Keaktifan PGPR dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: potensi kelembaban, tekanan oksigen, suhu, pH, kandungan lempung, daya larut ion, dan tahap organik tanah (Khalimi dan Wirya et al. (2010).

Menurut Glick dan Pasternak (1998) keuntungan dari mekanisme PGPR dibedakan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Keuntungan secara langsung pada tanaman mencakup mampu memfiksasi nitrogen dan memberikannya pada tanaman; meningkatkan ketersediaan atau menyimpan besi dan fosfor dari tanah, menyediakan mineral-mineral tersebut dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tanaman; mensintesis enzim yang dapat mengatur tingkat hormon etilen tanaman; dan mensintesis fitohormon seperti auksin, sitokinin, atau giberelin yang memicu perkembangbiakan sel tanaman. Keuntungan PGPR secara tidak langsung terjadi ketika PGPR dapat mencegah pertumbuhan patogen dalam tanah yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman. PGPR menghasilkan siderofor yang dapat menghambat pertumbuhan patogen (Glick dan Pasternak 1998).

B. subtilis AB89

Isolat B. subtilis AB89 merupakan isolat bakteri koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Isolat ini digunakan untuk menghambat perkembangan bakteri patogen R. solanacearum pada tomat. Aplikasi agens biokontrol di lapangan menunjukkan

bahwa isolat AB89 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri. Bacillus subtilis AB89 positif menghasilkan siderofor setelah diinkubasi selama 3 hari (Nawangsih 2006).

Menurut Nawangsih (2006) B. subtilis AB89 memiliki kelebihan dibandingkan dengan agens biokontrol lain yang digunakan dalam pengujian antara lain yaitu: menghasilkan zone hambatan dengan diameter paling besar, menghasilkan penekanan paling tinggi terhadap keparahan penyakit di lapangan meskipun kemampuan mengkolonisasi perakaran bibit lebih rendah, mampu menginduksi aktifitas peroxidase paling tinggi, serta menghasilkan siderofor dan protease. Enzim peroksidase merupakan salah satu enzim yang berperan dalam proses ketahanan tanaman terhadap patogen (Brimecombe et al. 2001 dalam Nawangsih 2006).

P. fluorescens RH4003

Isolat P. fluorescens RH4003 merupakan isolat PGPR yang diisolasi oleh Nawangsih (2006) dan merupakan koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Isolat ini tidak

menghasilkan zona hambatan pada media NA tetapi pada media King’s B dan

CPMA –Ca2+ menunjukkan adanya zona hambatan. Luas zona hambatan

dipengaruhi oleh jenis media. Media King’s B merupakan media yang memiliki

kandungan Fe yang sangat rendah, hal tersebut sangat cocok bagi pembentukan siderofor oleh P. fluorescens. Isolat RH4003 membentuk zona hambatan pada media yang mengandung glukosa tetapi tidak pada media yang mengandung mannitol maupun dextrose. Pengujian di rumah kaca menunjukkan bahwa isolat RH4003 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri, indeks penekanan oleh isolat RH4003 yaitu sebesar 62%.

Karakter fisiologi isolat P. fluorescens RH4003 yaitu gram negatif, tidak

membentuk spora, menghasilkan senyawa floresen pada medium King’s B agar,

Levan negatif, reaksi oksidase positif, Arginine dihydrolase positif, tidak menghasilkan reaksi hipersensitif pada tembakau, tidak tumbuh pada 41 0C, tidak mencairkan gelatin, dan pertumbuhannya positif pada L-arabinosa, D-galaktosa

serta sorbitol. Produksi asam dari xylose positif, lactose negatif, glukosa positif, maltosa negatif, dan sukrosa positif lemah (Nawangsih 2006).

Kombinasi Agens Biokontrol

Agens biokontrol dapat menekan perkembangan patogen dengan satu atau beberapa mekanisme penghambatan (Lo 1998). Kemampuan suatu agens biokontrol dapat ditingkatkan dengan mengombinasikan dua atau lebih agens biokontrol. Kombinasi ini perlu diperhatikan bahwa masing-masing agens biokontrol tidak saling menghambat (Nawangsih 2006). Persyaratan agar kombinasi dua agens biokontrol atau lebih dapat bekerja secara optimal yaitu: 1) bekerja pada tempat yang berbeda misalnya pada rizosfer atau sisa-sisa bahan organik, 2) memiliki mekanisme pengendalian yang berbeda, misalnya kompetisi dan antibiosis, 3) memerlukan substrat yang berbeda, misalnya lendir tanaman dan bakteri untuk cendawan dan eksudat akar untuk bakteri kelompok pseudomonas, dan 4) kompatibel dengan lingkungan tanah serta perubahan yang terjadi karena peningkatan cara bercocok tanam (Mishra et al. 2011).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurbaya et al. (2011), kombinasi isolat NS01+S06+G06 dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit layu bakteri pada kentang sebesar 68% bila dibandingkan dengan kontrol. Penurunan tingkat kejadian penyakit ini karena kombinasi agens biokontrol tersebut bersifat sinergis satu sama lain. Selain dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit perlakuan kombinasi agens biokontrol juga dapat meningkatkan tingkat produktivitas tanaman dengan menghasilkan jumlah dan berat umbi yang lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol.

Kombinasi P. fluorescens dengan Trichoderma harzianum juga pernah diaplikasikan untuk mengendalikan penyakit busuk batang pada kacang polong oleh Mishra et al. (2011). Kombinasi agens biokontrol tersebut menunjukkan bahwa aplikasi kombinasi memberikan penekanan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal. Selain itu, aplikasi kombinasi juga lebih konsisten dalam menekan perkembangan penyakit. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Guetsky et al. (2001, 2002). Aplikasi

kombinasi antara Pichia guilermondii dengan Bacillus mycoides menunjukkan penekanan terhadap Botrytis cinerea yang lebih baik dibandingkan dengan aplikasi tunggal. Kombinasi kedua agens biokontrol tersebut juga dapat mengurangi hasil pengendalian penyakit yang bervariasi.

Aplikasi kombinasi juga tidak selalu menghasilkan hasil yang lebih bagus bila dibandingkan dengan aplikasi tunggal. Menurut Felde et al. (2006), aplikasi kombinasi juga dapat memberikan efek yang negatif terhadap pengendalian penyakit. Hal ini dapat terjadi karena mekanisme dari masing-masing agens biokontrol tidak secara langsung mempengaruhi metabolisme patogen tetapi juga mempengaruhi mekanisme sesama agens biokontrol. Misalnya, kombinasi Trichoderma dan Fusarium spp. yang tidak memberikan penekanan yang baik terhadap layu Fusarium pada pisang. Aplikasi kombinasi yang tidak memberikan hasil yang lebih bagus dari aplikasi tunggal dapat disiasati dengan aplikasi rotasi agens biokontrol yang dilakukan secara simultan (Janousek et al. 2009).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca, University Farm, Institut Pertanian Bogor pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Mei 2012.

Penyiapan Tanaman Uji

Benih yang digunakan dalam pengujian adalah varietas Arthaloka. Varietas ini dipilih karena banyak digunakan oleh petani. Sebelum dilakukan penyemaian, dipilih terlebih dahulu benih yang sehat dan tidak memiliki cacat secara morfologi. Benih yang telah dipilih kemudian ditanam pada nampan berukuran 25 cm x 35 cm. Pada setiap nampan ditanami 15 sampai 20 benih sehingga dibutuhkan masing-masing 10 nampan untuk uji penekanan kejadian penyakit dan uji pemacuan pertumbuhan. Media tanam yang digunakan dalam persemaian adalah tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Persemaian dilakukan selama 3 minggu dengan dilakukan penyiraman sesuai dengan kebutuhan bibit dan dilihat dari tingkat kelembaban tanah.

Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR

Bakteri endofit dan PGPR yang digunakan dalam penelitian merupakan koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. Bakteri endofit yang digunakan adalah bakteri endofit dengan kode BC4 dan berdasarkan penelitian Damayanti (2010), isolat dengan kode BC4 adalah isolat yang

Dokumen terkait