• Tidak ada hasil yang ditemukan

Content Based Image Retrieval (CBIR) Content Based Image Retrieval (CBIR) merupakan suatu pendekatan untuk masalah temu kembali citra yang didasarkan pada informasi yang terkandung di dalam citra itu sendiri seperti warna, bentuk, dan tekstur dari citra (Rodrigues & Araujo 2004). CBIR terdiri atas beberapa tahap yaitu praproses, ekstraksi ciri, pengindeksan dan penemuan kembali citra. Gambar 1 menunjukkan diagram CBIR.

Gambar 1 Diagram CBIR. Ekstraksi Ciri

Ekstraksi ciri adalah proses mengambil ciri-ciri yang terdapat pada citra. Pada proses ini objek di dalam citra mungkin perlu dideteksi seluruh tepinya, lalu dihitung properti-properti objek yang berkaitan sebagai ciri. Beberapa proses ekstraksi ciri mungkin perlu mengubah citra masukan sebagai citra biner, melakukan penipisan pola dan sebagainya.

Praproses Ekstraksi Fitur Pengindeksan Indeks Basis Data Praproses Ekstraksi Fitur Pencarian Indeks Pengukuran Kemiripan

Citra Kueri Citra Basis Data

Peng in d ek sa n ( o ff -li n e ) P en em u an Ke m b ali Cit ra ( on -li n e )

2 Ekstraksi ciri diklasifikasikan ke dalam tiga

tingkat yaitu low-level, middle-level dan high-level. Low-level feature merupakan ekstraksi ciri berdasarkan isi visual seperti warna dan tekstur, middle-level feature merupakan ekstraksi tiap objek dalam citra dan mencari hubungannya, sedangkan high-level feature merupakan ekstraksi ciri berdasarkan informasi semantik yang terkandung dalam citra (Osadebey 2006).

Ekstraksi ciri morfologi merupakan salah satu bagian dari CBIR untuk informasi morfologi pada citra. Proses ini bisa dilakukan dengan pendekatan ekstraksi ciri dasar dan turunan dari morfologi citra helai daun.

Menurut Vailaya (1996), empat pendekatan yang digunakan dalam menganalisis tekstur adalah analisis statistik, geometrik, berbasis model dan pemrosesan sinyal. Pendekatan secara statistik dilakukan dengan mengukur karakteristik tekstur seperti kehalusan dan keteraturan. Pendekatan secara geometrik adalah mengorganisasikan komponen citra primitif (titik, garis, lingkaran) untuk mendapatkan adanya kemungkinan hubungan struktural. Sementara, pendekatan berbasis model mengasumsikan model citra dasar untuk mendeskripsikan dan menyintesis tekstur. Pendekatan pemrosesan sinyal menggunakan analisis frekuensi dari citra untuk menggolongkan tekstur.

Salah satu bagian dari CBIR untuk mendapatkan informasi tekstur pada citra adalah ekstraksi ciri tekstur. Proses ini bisa dilakukan dengan pendekatan secara statistik yaitu co-occurrence matrix.

Ekstraksi Ciri Morfologi

Wu et al (2007) telah mendeskripsikan ciri morfologi daun yang dapat diekstrak dari citra helai daun. Ciri tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu ciri dasar dan ciri turunan.

Ciri dasar citra helai daun ada lima, yaitu: 1 Diameter (D), yang didefinisikan sebagai jarak terpanjang antara dua titik pada tepi daun. Panjang diameter bisa sama atau berbeda dengan panjang tulang daun primer (physiological length). Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diameter helai daun.

2 Physiological length (Lp) adalah jarak antara ujung dan pangkal daun (panjang tulang daun primer).

3 Physiological width (Wp) adalah jarak terpanjang dari garis yang memotong tegak lurus physiological length yang dibatasi tepi daun. Hubungan keduanya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Hubungan antara physiological length dan physiological width. 4 Leaf area (

A

) adalah perhitungan jumlah piksel dari daerah yang dilingkupi tepi daun pada citra yang telah dihaluskan. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Leaf area.

5 Leaf perimeter (P) adalah perhitungan jumlah piksel yang terdapat pada tepi daun (keliling). Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 5.

3 Gambar 5 Leaf perimeter.

Ciri turunan daun ada dua belas, yaitu:

1 Smooth factor adalah rasio antara area citra helai daun yang dihaluskan dengan 5x5 rectangular averaging filter dan area citra helai daun yang dihaluskan dengan 2x2 rectangular averaging filter. Ciri ini untuk mengukur keteraturan tepi daun. Semakin teratur tepi daun, nilainya semakin mendekati 1. Sebaliknya, semakin tidak teratur tepi daun, nilainya semakin mendekati 0.

2 Aspect ratio adalah rasio antara physiological length dan physiological width. Persamaannya dapat dilihat pada Persamaan 1.

p W

p L

(1)

Ciri ini untuk memperkirakan bentuk helai daun. Jika bernilai kurang dari 1 maka bentuk helai daun tersebut melebar. Jika bernilai lebih dari 1 maka bentuk helai daun tersebut memanjang. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Aspect ratio.

3 Form factor, digunakan untuk mendeskripsikan perbedaan antara daun dan lingkaran Ciri ini untuk mengukur seberapa bundar bentuk helai daun tersebut. Nilai form factor dapat dilihat pada Persamaan 2.

2 4 P A

(2) 4 Rectangularity, mendeskripsikan kemiripan antara daun dan empat persegi panjang. Rumusnya diberikan pada Persamaan 3.

A p W p L (3) 5 Narrow factor adalah rasio antara diameter dan physiological length. Ciri ini untuk menentukan apakah bentuk helai daun tersebut tergolong simetri atau asimetri. Jika helai daun tersebut tergolong simetri maka bernilai 1, jika asimetri maka bernilai lebih dari 1. Nilainya dapat dicari menggunakan Persamaan 4.

p L

D

(4) 6 Perimeter ratio of diameter. Ciri ini untuk mengukur seberapa lonjong daun tersebut. Persamaannya dapat dilihat pada Persamaan 5.

D P

(5) 7 Perimeter ratio of physiological length and physiological width. Rumusnya diberikan pada Persamaan 6.

) (Lp Wp

P

(6)

8 Vein features. Persamaannya dapat dilihat pada Persamaan 7, 8,9,10, dan 11.

a. Rasio antara area helai daun yang telah dikurangi dengan radius satu piksel dan area daun awal.

A

A

v1

(7) b. Rasio antara area helai daun yang telah dikurangi dengan radius dua piksel dan area daun awal.

A

A

v2

(8) c. Rasio antara area helai daun yang telah dikurangi dengan radius tiga piksel dan area daun awal.

A

A

v3

(9) d. Rasio antara area helai daun yang telah dikurangi dengan radius empat piksel dan area daun awal.

A

A

v4

4 e. Rasio antara area helai daun yang telah

dikurangi dengan radius empat piksel dan area helai daun yang telah dikurangi dengan radius satu piksel. 1 4 v v

A

A

(11) Co-occurrence Matrix

Menurut Osadebey (2006), co-occurrence matrix menggunakan matriks derajat keabuan adalah untuk mengambil contoh secara statistik bagaimana suatu derajat keabuan tertentu terjadi dalam hubungannya dengan derajat keabuan yang lain. Matriks derajat keabuan adalah suatu matriks yang elemen-elemennya mengukur frekuensi relatif kejadian bersama dari kombinasi level keabuan antar pasangan piksel dengan hubungan spasial tertentu.

Misal diketahui sebuah citra Q(i,j), p(i,j) merupakan posisi dari operator, dan A adalah sebuah matriks NxN. Elemen A(i,j) menyatakan jumlah titik tersebut terjadi dengan grey level (intensitas) g(i) terjadi, pada posisi tertentu menggunakan operator p, relatif terhadap titik dengan intensitas g(j). Matriks A merupakan co-occurrence matrix yang didefinisikan oleh p. Operator p didefinisikan dengan sebuah sudut θ dan jarak d. Berdasarkan matriks A dapat dihitung nilai-nilai ciri tekstur. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Representasi co-occurrence matrix. Berikut adalah beberapa formula yang digunakan dalam penghitungan ciri tekstur. a. Energy, mengukur tingkat keseragaman

tekstur. Energi mencapai nilai tertinggi saat persebaran level keabuan konstan atau bersifat periodik. Rumusnya diberikan pada Persamaan 12.

E

i,jP(i,j)2

1 (12) b. Inverse Difference Moment mencapai nilai tertinggi saat banyak kejadian bersama dalam matriks terkonsentrasi dekat diagonal utama. Formulanya dapat dilihat pada Persamaan 13.

  i j j i j i P IDM , (, ) (13) c. Entropy, mengukur tingkat keacakan piksel. Entropi mencapai nilai tertinggi jika semua elemen dalam matriks P sama. Nilai entropy dapat dicari menggunakan Persamaan 14.

E 

i,jP(i,j)logP(i,j)

2

(14)

d. Maximum probability, menyatakan nilai frekuensi kemunculan bersama terbesar. Semakin tinggi nilainya, semakin teratur teksturnya. Rumusnya diberikan pada Persamaan 15.

max( ) ij P

MP (15) e. Contrast, menyatakan jumlah variasi lokal

yang terdapat dalam sebuah citra. Atau dengan kata lain menyatakan tingkat kekontrasan citra. Formulanya dapat dilihat pada Persamaan 16.

C

i, jij2P(i, j)

1 (16)

f. Correlation, menyatakan hubungan ketetanggaan antarpiksel. Rumus yang digunakan dapat dilihat pada Persamaan 17.

i j j i j i P j j i C , ) , ( ) )( 1 ( 2     (17)

g. Homogeneity, menyatakan tingkat kehomogenan piksel. Nilainya dapat dicari menggunakan Persamaan 18.

   i j j i j i P H , 1 ) , ( (18)

Evaluasi Hasil Temu Kembali Informasi Tahap evaluasi temu kembali citra dilakukan untuk menilai tingkat keberhasilan dalam proses temu kembali citra terhadap sejumlah koleksi pengujian. Pada tahap evaluasi dilakukan penilaian kinerja sistem dengan melakukan pengukuran recall dan precision dari proses temu kembali berdasarkan penilaian relevansinya.

Recall dan Precision

Recall dan precision merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur keefektifan dari hasil temu kembali. Recall menyatakan proporsi yang ditemukembalikan terhadap

5 seluruh materi relevan pada basis data (korpus).

Precision menyatakan proporsi materi relevan yang ditemukembalikan (Baeza-Yates dan Ribeiro- Neto 1999).

Recall dan precision diformulasikan sebagai berikut:

recall

(19)

precision

(20)

dengan Ra adalah citra relevan yang ditemukembalikan. R adalah jumlah citra relevan yang ada pada basis data. A adalah jumlah seluruh citra yang ditemu kembalikan. Rataan precision merupakan suatu ukuran evaluasi yang diperoleh dengan menghitung rata-rata tingkat precision pada berbagai tingkat recall (Baeza-Yates dan Ribeiro-Neto 1999). Uji Levene dan Uji-t

Uji Levene adalah salah satu teknik dari uji statistika yang digunakan untuk menentukan apakah ada hubungan yang terjadi pada suatu data dengan melihat nilai ragamnya (Imam 2001). Tahapan yang dilakukan yaitu:

1. Diuji apakah ragam kedua data sama atau tidak.

2. Lalu dengan uji–t, diambil suatu keputusan.

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait