• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakultas Kedokteran Hewan

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas

Taman Rekreasi Margasatwa (TRMS) Serulingmas terletak di hutan kota Banjarnegara yang dihijaukan sejak tahun 1994. Taman ini berada kurang lebih satu kilometer dari pusat kota Banjarnegara dan terletak tidak jauh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banjarnegara (PNRI 2007). TRMS Serulingmas diresmikan pada tanggal 21 Agustus 1997 oleh Jenderal TNI Susilo Sudarman, ketika menjabat sebagai Ketua Paguyuban Seruan Eling Banyumas (Serulingmas). Pendirian TRMS Serulingmas bertujuan sebagai sarana rekreasi yang sehat bernuansa edukasi, riset, dan konservasi. TRMS Serulingmas pada awalnya merupakan obyek wisata yang dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Tingkat II Banjarnegara dengan nama Taman Rekreasi Ki Ageng Selamanik. Selanjutnya pada tahun 1997 diganti nama menjadi Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas yang masih menjadi nama sampai saat ini. TRMS Serulingmas kini dikelola oleh Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara (Serulingmas 2009).

Lebih dari 100 satwa berada di TRMS Serulingmas yaitu singa Afrika, harimau Benggala, gajah Sumatera, buaya, orang utan, dan berbagai jenis burung serta kera (Sumarwoto 2009). Jumlah satwa yang tercatat saat ini di TRMS Serulingmas adalah ± 161 satwa. Satwa-satwa tersebut terdiri dari 21 spesies burung, 21 spesies mamalia, dan 5 spesies reptil (Serulingmas 2009). Selain dapat melihat berbagai jenis satwa langka, pengunjung juga dapat menikmati berbagai fasilitas yang terdapat di tempat ini. Fasilitas-fasilitas yang ada di TRM Serulingmas meliputi kolam renang, taman bermain anak-anak, dan berkeliling taman dengan naik gajah tunggang (Sumarwoto 2009)

Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius)

Unta adalah spesies hewan berkuku genap yang banyak terdapat pada daerah yang beriklim kering. Hewan ini ada dua jenis, yaitu unta punuk satu (C. dromedarius) yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika bagian utara serta unta punuk ganda (C. bactrianus) yang berasal dari daerah gurun di Asia bagian

timur. Unta punuk satu memiliki klasifikasi sebagai berikut. kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Camelidae, genus Camelus serta spesies Camelus dromedarius (Naumann 1999).

Gambar 1 Unta punuk satu (C. dromedarius) jantan yang dipelihara di TRMS Serulingmas

Unta punuk satu (C. dromedarius) atau lebih dikenal dengan unta arab memiliki karakteristik tubuh sebagai berikut: leher panjang yang melengkung, dada yang sempit, kakinya panjang dan ramping, bibir atas membelah, nostril hidung dapat menutup, bulu matanya panjang, dan mempunyai punuk berjumlah satu (Gambar 1). Punuk ini berisi lemak yang dibatasi dengan jaringan fibrosa dan berfungsi sebagai cadangan makanan pada saat dibutuhkan. Ukuran punuk ini bervariasi sesuai dengan status gizi unta. Punuk akan menjadi lebih kecil dan condong ke salah satu sisi di saat kondisi kelaparan. Kaki unta mempunyai bantalan (pad) yang sangat cocok untuk berjalan di atas pasir. Pad ini mudah terluka jika terkena batu tajam serta tidak cocok untuk berjalan di jalan yang licin dan berlumpur (Naumann 1999, Huffman 2004).

Unta punuk satu (C. dromedarius) mempunyai kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap lingkungan gurun yang sangat ekstrim. Mata unta dilengkapi dengan dua lapis bulu mata, sehingga bisa melindungi dari pasir maupun debu. Selain itu, saat badai pasir hidung unta dapat menutup sehingga pasir atau debu tidak bisa masuk ke lubang hidung. Unta mempunyai kemampuan untuk mempertahankan air dalam tubuhnya melalui berbagai jalan. Air di dalam tubuh akan tetap terjaga meskipun suhu tubuh unta berfluktuasi antara 34 0C hingga 41,5 0C, maupun suhu lingkungan yang naik, karena unta tidak berkeringat.

Adaptasi unta terhadap lingkungannya sangat baik, sehingga hewan ini dapat bertahan hidup meskipun kehilangan lebih dari 30% air tubuhnya (Naumann 1999).

Penyebaran unta punuk satu yaitu di daerah gurun Afrika utara serta Asia barat. Selain itu terdapat pula di kawasan Australia bagian tengah, di daerah Australia tengah ini juga merupakan kawasan kering. Peta penyebaran unta dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta penyebaran unta punuk satu (Huffman 2004)

Sistem pencernaan unta punuk satu termasuk ke dalam pseudo ruminant

atau ruminansia tidak sejati karena hanya memiliki tiga bagian lambung saja. Bagian pertama memiliki struktur seperti rumen yang terbagi menjadi bagian kanan dan kiri. Lambung bagian pertama ini tersusun dari otot yang kuat dan kelenjar mukus. Pada bagian ini pakan dicampur dengan air dan mukus yg dihasilkan oleh kelenjar mukus. Lambung bagian kedua juga sering disebut

honeycomb. Bagian ini mirip dengan struktur retikulum pada hewan ruminansia. Lambung bagian kedua juga tersusun atas kelenjar yang menghasilkan mukus. Lambung bagian ketiga disebut sebagai lambung kelenjar. Lambung kelenjar ini mirip dengan abomasum pada ruminansia dan lambung monogastrik hewan lainnya (gambar 3A). Usus halus unta memiliki panjang kurang lebih 40 meter.

Bentuk sekum dan kolon hampir sama dengan sapi yaitu membentuk gulungan spiral atau sering disebut ansa spiralis coli (gambar 3B). Panjang sekum dan kolon ini kira-kira 19.5 meter (Mukasa-Mugerwa 1981).

Gambar 3 Sistem pencernaan unta punuk satu A. bagian-bagian lambung (1. lambung bagian pertama sebelah kiri, 2. lambung bagian pertama sebelah kanan, 3 & 4. kantung air, 5. esofagus, 6. lambung bagian kedua, 7. lambung bagian ketiga, 8. duodenum) B. usus halus dan usus besar (9. usus halus, 9a. yeyunum, 9b. ileum, 10. sekum, 11. kolon asendens, 12. kolon desendens, 13. rektum) (Modifikasi Mukasa-Mugerwa 1981)

Saluran pencernaan merupakan habitat sebagian besar cacing parasitik. Cacing parasitik yang ditemukan pada saluran pencernaan unta punuk satu sebagian besar sama dengan cacing parasitik pada hewan domestik laennya seperti sapi dan domba. Contoh cacing parasitik yang ditemukan pada lambung bagian ketiga unta yaitu: Haemonchus contortus, Teladorsagia circumcincta serta

Trichostrongylus axei. Di bagian usus halus sering ditemukan T. colubriformis, Monieza benedeni dan M. expansa. Pada bagian usus besar unta sering ditemukan

Oesophagostomum venulosum, O. columbianum, Trichuris ovis, dan T. globulosa

(Taylor et al. 2007)

A B

a 9b

Unta punuk satu mempunyai masa kawin antara bulan Mei hingga Oktober. Masa kebuntingan unta sekitar 12-13 bulan dan biasanya bunting anak tunggal. Anak unta akan disusui hingga umur 18 bulan. Unta mulai kawin pada umur 3-4 tahun. Umur hewan ini dapat mencapai 40-50 tahun (DEWHA 2009).

Cacing Parasitik

Parasit merupakan suatu organisme yang hidupnya menumpang pada organisme lain (inang definitif). Parasit dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang berada di luar atau permukaan tubuh inang, sedangkan endoparasit adalah parasit yang berada di dalam tubuh inang (Dyah 2008).

Helminthologi merupakan cabang ilmu endoparasit yang mempelajari tentang cacing khususnya cacing parasitik. Cacing dibagi dalam tiga filum yaitu Platyhelminthes, Nemathelminthes serta Acanthocephala. Filum Platyhelminthes terdiri dari dua kelas, yaitu Cestoda dan Trematoda sedangkan filum Nemathelminthes hanya ada satu kelas yaitu Nematoda. Ketiga kelas inilah yang sering menjadi parasit pada hewan maupun manusia. Filum Acanthocephala jarang dibahas karena jarang menimbulkan masalah pada hewan domestikasi. 1. Cestoda Parasitik

Cestoda termasuk filum Platyhelminthes. Cacing ini lebih dikenal dengan sebutan cacing pita. Beberapa spesies cestoda merupakan parasit pada hewan dan manusia. Cestoda merupakan cacing yang struktur tubuhnya sederhana (Kusumamihardja 1995). Kelas Cestoda dibagi dalam dua ordo yaitu Cyclophyllidea dan Pseudophyllidea. Ordo Cyclophyllidea dibagi ke dalam tujuh famili yaitu Taeniidae, Anoplocephalidae, Dilepididae, Davaineidae, Hymenolepididae, Mesocestoididae serta Thysanosomidae. Adapun ordo Pseudophylliea hanya memiliki satu famili yaitu Diplhyllobothriidae. Beberapa contoh cestoda yang penting diantaranya genus Taenia dan Echinococcus dari famili Taeniidae, genus Monieza dari famili Anoplocephalidae serta genus

a. Morfologi Cestoda

Cestoda memiliki ciri-ciri morfologi tubuh memanjang yang pipih dorsoventral, panjang beruas-ruas, tidak memiliki saluran pencernaan, dan tidak memiliki rongga tubuh. Badan Cestoda terdiri dari kepala, sejumlah segmen dan di antara kepala dan segmen terdapat leher. Setiap segmen biasa disebut proglotida. Pada bagian kepala cestoda terdapat dua hingga empat batil hisap dan pada beberapa jenis cestoda dilengkapi rostelum atau kait (Gambar 4). Badan cestoda dilapisi dengan tegumen yang merupakan alat penyerapan utama pada cacing pita (Kusumamihardja 1995, Taylor et al 2007).

Sistem syaraf cestoda tersusun dari beberapa ganglion, sedangkan sistem ekskresinya terdiri dari sel api atau solenosit dan saluran ekskresi utama. Disebut sebagai sel api karena memiliki silia yang bergerak menyerupai nyala api (Levine 1977). Cestoda merupakan cacing yang bersifat hermafrodit atau memiliki organ kelamin ganda. Dalam setiap segmen biasanya terdapat satu atau dua pasang alat kelamin jantan dan betina (Gambar 4) (Kusumadiharja 1995). Perkawinan cacing cestoda dapat terjadi dalam satu segmen maupun perkawinan silang antar segmen (Taylor et al 2007).

Gambar 4 Morfologi cestoda a. kepala dengan kait dan batil hisap, b. skema segmen cestoda dengan dua alat kelamin (hermafrodit) (Hosie 2000) a b Rostelum kait Batil hisap ovarium Lubang kelamin uterus testis Sauran ekskretoris

b. Siklus Hidup Cestoda

Siklus hidup cestoda adalah secara tidak langsung atau memerlukan satu atau lebih inang definitif. Cestoda dewasa secara umum ditemukan dalam usus halus inang definitif dan telurnya akan dikeluarkan bersama tinja. Telur cestoda sangat khas yaitu terdapat embrio heksakan yang diselimuti dengan dua lapis membran (Gambar 5). Telur yang termakan oleh inang antara akan menetas karena bereaksi dengan sekresi saluran pencernaan. Telur yang menetas disebut

oncosphere, akan melakukan penetrasi di mukosa usus untuk dapat mencapai pembuluh darah, pembuluh limfe maupun di rongga tubuh pada invertebrata.

Oncosphere yang telah tumbuh disebut metacestoda dan jika termakan oleh inang definitif, skoleks akan menempel pada mukosa usus dan berkembang hingga dewasa untuk menghasilkan telur (Gambar 6) (Taylor et al 2007).

Cestoda sering sekali menimbulkan masalah pada hewan maupun manusia. Kasus kecacingan oleh cestoda juga dilaporkan pada unta diantaranya oleh Banaja dan Gandhour (1994) yang melaporkan jenis cacing cestoda yang paling sering menyerang C. domedarius di Riyadh Arab Saudi adalah Moniezia expansa, M. benedeni, Avitellina centripunctata, Stilesia vittata. Sementara itu Anwar dan Hayat (1999) melaporkan kasus kecacingan oleh cestoda di Pakistan disebabkan oleh M. expansa, M. benedeni serta S. globipunctata. Begitu juga Mohammed et al (2007) menemukan kasus kecacingan oleh cestoda yang disebabkan oleh

Moniezia sp di Nigeria

Gambar 5 Morfologi telur Taenia spp. dengan embrio heksakan (anak panah) (CDC 2010a)

Gambar 6 Siklus hidup Taenia saginata dan T. solium pada manusia (CDC 2010a)

2. Trematoda Parasitik

Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes. Trematoda sendiri dibagi menjadi dua sub kelas yaitu Monogenea dan Digenea. Sub kelas yang menimbulkan masalah bagi vertebrata adalah Digenea. Sub kelas Digenea dibagi ke dalam 15 famili. Beberapa contoh yang sering menimbulkan masalah kesehatan pada hewan diantaranya Fasciola sp., Paramphistomum sp. dan

Schistosoma sp. Jenis Fasciola sp. dan Schistosoma sp. merupakan cacing yang bersifat zoonosis (Taylor et al 2007).

a. Morfologi Trematoda

Trematoda biasa disebut sebagai cacing daun karena bentuknya oval seperti daun, tubuhnya pipih dorsoventral, tidak bersegmen, memiliki dua batil hisap yaitu batil hisap anterior yang terletak di anterior tubuh dan batil hisap ventral yang terletak di sepertiga badan bagian bawah. Cacing daun dilapisi tegumen pada bagian luar tubuhnya yang berfungsi sebagai pembungkus badan dan merupakan struktur yang dinamis secara faali dan bertanggung jawab dalam

memasukkan makanan (Kusumamihardja 1995). Trematoda mempunyai alat pencernaan yang sederhana meliputi mulut, faring, esofagus serta sepasang saluran usus (Gambar 7). Trematoda pada umumnya bersifat hermafrodit kecuali famili Schistosomatidae (Taylor et al 2007). Sistem ekskresi trematoda adalah sel api (sel ekskresi berupa kantung yang mengumpulkan sisa-sisa metabolisme) dan hanya memiliki susunan syaraf yang sederhana (Levine 1977).

Gambar 7 Morfologi trematoda dengan dua batil hisap, saluran pencernaan dan dua alat kelamin (hermafrodit) (Tubitak 2002)

b. Siklus Hidup Trematoda

Sub kelas monogenea mempunyai daur hidup secara langsung sedangkan sub kelas Digenea tidak langsung atau memerlukan inang antara untuk daur hidupnya. Telur trematoda Digenea biasanya dikeluarkan melalui feses dan urin dengan ciri khas yaitu terdapat operculum pada salah satu kutubnya (Gambar 8a). Sub kelas Digenea merupakan trematoda yang paling sering menyerang pada hewan ternak maupun satwa liar. Trematoda dewasa biasanya ditemukan pada saluran empedu serta saluran pencernaan (Taylor et al 2007). Telur Schistosoma

mempunyai ciri khusus yang agak berbeda dibandingkan telur trematoda pada umumnya, yaitu terdapat spina yang menjadi dasar identifikasi telur Schistosoma

(Gambar 8b). Telur yang keluar dari inang definitif akan tumbuh menjadi larva bersilia yang disebut sebagai mirasidium. Mirasidium akan mencari inang antara (siput) sebagai tempat untuk pertumbuhan selanjutnya menjadi sporokista. Sporokista tumbuh menjadi redia dan bermigrasi ke hepatopankreas yang

Batil hisap ventral testis usus

ovarium

vitelaria uterus

Batil hisap anterior

faring

kemudian tumbuh menjadi larva, disebut serkaria. Serkaria ini mempunyai ekor yang berfungsi untuk berenang di air menuju rumput. Serkaria yang melepaskan ekornya dan membentuk kista disebut sebagai metaserkaria. Serkaria dan metaserkaria adalah larva infektif bagi trematoda, jika larva masuk ke dalam inang definitif, larva akan tumbuh menjadi trematoda dewasa (Gambar 9) (Taylor

et al 2007).

Gambar 8 Telur trematoda dengan operculum (a) dan telur Schistosoma sp yang memiliki spina (b) (CDC 2010b)

Gambar 9 Siklus hidup trematoda (Fasciola hepatica) (CDC 2010b)

a b

operkulum

a

Trematoda merupakan cacing yang paling banyak menimbulkan masalah pada hewan ruminansia. Trematoda ini juga sering menimbulkan masalah pada unta punuk satu. Beberapa contoh kasus kecacingan pada unta punuk satu yang ditimbulkan oleh trematoda diantaranya telah dilaporkan oleh Banaja dan Gandhour (1994) di Jeddah Arab Saudi akibat infestasi F. gigantica dan S. bovis. Infeksi F. gigantica lebih sering dibanding S. bovis. Di Pakistan juga temukan kasus kecacingan oleh trematoda pada unta punuk satu, seperti dilaporkan oleh Anwar dan Hayat (1999) bahwa unta punuk satu di Pakistan yang terinfeksi cacing trematoda mencapai 4,3 %. Infeksi trematoda ini meliputi Parampistomum cervi, Carmyierius spatious dan Gastrothylax crumenifer.

3. Nematoda Parasitik

Kelas nematoda termasuk dalam filum Nemathelminthes. Memiliki lima Superfamili. Contoh nematoda yang biasa menyerang ruminansia diantaranya

Trichuris spp, Cooperia sp dan Trichostrongylus sp. (Taylor et al 2007). a. Morfologi Nematoda

Gambar 10 Morfologi nematoda a. jantan dengan testis dan spikula (kiri), betina dengan ovarium (kanan), b. penampang mulut nematoda (Hosie 2000)

Badan nematoda berbentuk gilig meruncing pada kedua ujungnya. Cacing ini tidak bersegmen dan memiliki kutikula yang tebal. Jenis kelamin pada kebanyakan nematoda terpisah, biasanya ukuran jantan lebih kecil dari pada betina (Kusumamihardja 1995). Sistem saraf nematoda terdiri dari sejumlah

a b bibir rahang spikula Papila kelamin ovarium mulut

ganglia dan syaraf. Sistem ekskresi berupa alat ekskresi maupun osmoregulasi. Cacing ini tidak memiliki rongga badan sejati sehingga disebut pseudoseloma. Nematoda juga tidak mempunyai sistem peredaran darah dan sistem pernafasan (gambar 10) (Levine 1977).

b. Siklus Hidup Nematoda

Siklus hidup dari nematoda ada dua yaitu langsung dan tidak langsung. Stadium infektif nematoda dapat berupa telur maupun larva tergantung kepada jenis nematodanya. Nematoda yang memiliki siklus langung diantaranya jenis

Strongylidae dan Trichostrongylidae sedangkan yang tidak langsung contohnya

Metastrongylidae dan Habronema spp. Stadium infektif larva biasanya pada stadium ketiga (L-3). Larva stadium ketiga ini berkembang dari telur yang menetas pada kondisi lingkungan yang mendukung. Jika stadium infektif berupa telur, larva yang dikandung biasanya adalah larva stadium kedua (L-2). Stadium infektif baik telur maupun larva akan masuk ke tubuh inang melalui saluran pencernaan, namun stadium infektif larva dapat aktif menembus melalui kulit. Setelah masuk ke dalam tubuh inang definitif, nematoda segera menuju dan menetap di mukosa usus dan berkembang menjadi stadium dewasa. Stadium dewasa akan mengeluarkan telur yang mempunyai tiga lapisan akan keluar besama tinja dari inang definitif (Gambar 11) (Levine 1977).

Gambar 11 Siklus hidup nematoda (Trichuris spp) pada manusia merupakan siklus langsung (CDC 2010c)

Trichuris spp merupakan nematoda yang berbentuk seperti cambuk, salah satu ujungnya tebal dan ujung lainnya panjang dan tipis seperti cemeti. Cacing ini mempunyai siklus hidup secara langsung. Telur nematoda akan berkembang di tanah hingga mengandung larva stadium 3. Telur infektif (berisi larva stadium ke 3) sangat resisten di lingkungan dan dapat bertahan beberapa bulan atau tahun. Telur infektif yang masuk ke dalam tubuh hewan akan menetas di duodenum. Larva cacing akan berkembang di dalam vili-vili duodenum. Setelah dewasa,

Trichuris akan menuju ke kolon. Cacing ini bersifat soil borne desease atau penularannya berasal dari tanah yang tercemar oleh telur infektif (Olsen 1974)

Kasus kecacingan pada unta punuk satu yang disebabkan oleh nematoda

pernah dilaporkan di beberapa tempat. Cacing Haemonchus longistipus, H. contortus, Trichuris spp, Parabonema skrjabini, Camelostrongylus mentulatus,

Trichostrongylus spp., Nematodirus spp. dilaporkan sering menyerang unta punuk satu di Saudi Arabia (Banaja dan Gandhour 1994). Selain itu musim dan keadaan tempat hidup unta juga mempengaruhi status kecacingan. Jumlah infeksi kecacingan nematoda tertinggi terjadi saat bulan Oktober hingga Januari. Kecacingan disebabkan oleh nematoda diantaranya oleh Haemonchus longistipes, H. contortus, T. ovis, T. globulosa, Trichostrongilus probolurus, C. mentulatus, Ostertagia circumcincta, Chabertia ovina dan Oesophagustomum venulosum juga pernah dilaporkan di Pakistan oleh Anwar dan Hayat (1999). Kasus kecacingan tertinggi disebabkan oleh H. contortus serta T. ovis. Sementara, Mohammed et al

(2007) juga melaporkan tentang kasus kecacingan pada unta punuk satu di Nigeria. Nematoda yang menginfeksi yaitu Trichuris sp. serta Strongylus sp. Infeksi kecacingan pada unta di Nigeria tertinggi bila dibandingkan dengan parasit lainnya yaitu mencapai 70-80%. Unta terinfeksi selama musim kering dan akan terlihat infeksi terberat pada musim hujan karena periode pertumbuhan maksimal dari nematoda terjadi pada awal musim penghujan.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilangsungkan di Taman Rekreasi Margasatwa (TRMS) Serulingmas dan di Fakultas Kedokteran Hewan. Waktu pengambilan tinja yaitu bulan Juli hingga Agustus 2009. Sementara pemeriksaan tinja dilakukan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010 di Laboratorium Helminthologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan - Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Penelitian ini menggunakan tinja yang berasal dari C. dromedarius jantan dan betina yang berumur 5-6 tahun, air, methylen blue, dan larutan pengapung (campuran gula dan garam). Alat yang digunakan antara lain saringan teh dengan ukuran lubang 075-0.9 x 0.6-0.675 mm, gelas ukur, kamar hitung McMaster, alat penghitung, tabung reaksi, modifikasi gelas Baermann, gelas objek, gelas penutup, cawan petri, mikroskop cahaya, lemari es, timbangan, pipet gelas, lembar pencatatan dan kamera digital. Alat tambahan yang digunakan di laboratorium adalah alat videomikrometer.

Metode Teknik Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil adalah tinja unta punuk satu yang masih segar atau segera setelah jatuh ke tanah. Pengambilan sampel dilakukan seminggu satu kali selama enam minggu pada pukul 10.00 WIB. Tinja diamati bentuk dan konsistensinya, kemudian disimpan dalam kantong plastik serta diberi label identitas. Berat tinja yang diambil kira-kira 5 gram dan tinja disimpan dalam lemari pendingin suhu 40 C, sampai proses pemeriksaan.

Pemeriksaan Tinja

1. Pemeriksaan Kualitatif a) Pemeriksaan Natif

Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya telur cacing. Tinja diambil dengan menggunakan tusuk gigi dan dioleskan di atas kaca obyek. air ditambahkan dan dihomogenkan. Selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali (Kusumamihardja 1995)

b) Metode Pengapungan

Metode ini berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya telur cestoda dan nematoda pada tinja. Caranya adalah sebagai berikut; tinja sebanyak 3 gram yang telah dilumatkan, diberi larutan pengapung 57 ml. Campuran tinja dan larutan pengapung diaduk dan disaring. Larutan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga penuh membentuk cembung pada permukaan tabung. Tabung reaksi ditutup menggunakan kaca penutup dan didiamkan. Setelah 10-15 menit kaca penutup diambil dan diletakkan di atas gelas obyek. Sampel tersebut diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali (Kusumamihardja 1995).

c) Sedimentasi

Metode ini bertujuan untuk pemeriksaan telur cacing trematoda. Tinja sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam gelas Baerman dan ditambahkan 57 ml air. Campuran diaduk hingga homogen dan dibiarkan 10-15 menit. Supernatan dibuang dengan hati-hati supaya endapan tidak ikut terbawa air. Air ditambahkan lagi ke dalam gelas hingga penuh, tunggu 10-15 menit kemudian supernatan dibuang kembali. Hal tersebut diulangi hingga air supernatan menjadi bersih. Endapan kemudian difiltrasi dengan filter bertingkat dengan lubang berukuran 400 µm, 100 µm, dan 40 µm. Endapan pada filter ketiga dituang ke dalam cawan petri lalu ditambah methylen blue

dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 kali dan 40 kali (Shulaw 2004).

2. Pemeriksaan kuantitatif

Perhitungan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) menggunakan metoda

McMaster dengan perhitungan TTGT tiap jenis telur. Tiga gram tinja dilarutkan ke dalam 57 mililiter larutan pengapung. Campuran tinja dan larutan pengapung diaduk, disaring dan dihomogenkan. Larutan yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet. Kamar hitung diperiksa menggunakan miskroskop dengan perbesaran 10 kali (Soulsby 1982).

Nilat TTGT diperoleh dengan rumus sebagai berikut: TTGT = �

��×

Vt Vh

Keterangan: n : Jumlah telur cacing dalam kamar hitung Vh : Volume Kamar hitung (ml)

Vt : Volume total sampel (ml) bt : Berat tinja (gram)

TTGT dengan menggunakan kamar hitung McMaster untuk telur cacing nematoda dan cestoda sedangkan untuk perhitungan telur cacing trematoda menggunakan rumus sebagai berikut (Shulaw 2004).

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif berdasarkan indentifikasi dan hasil perhitungan telur cacing. Telur yang didapat diukur panjang dan lebar kemudian dibandingkan secara morfologi terhadap telur cacing dari literatur.

Pengamatan Sistem Pemeliharaan

Pengamatan dilakukan terhadap sistem pemeliharaan unta punuk satu meliputi

Dokumen terkait