• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS PETERNAKAN IPB

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Siklus Hidup Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

Taksonomi merupakan cabang biologi yang berkaitan dengan penamaan dan pengelompokan bentuk kehidupan yang beragam (Cambell et al., 2000). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989), sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Saturniidae Genus : Attacus Spesies : Attacus atlas

Ulat sutera liar (Attacus atlas) adalah salah satu serangga nokturnal yang berukuran besar, memiliki sayap hingga berukuran 30 cm, dan banyak ditemukan di wilayah Asia seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia (Butterfly Arc, 2003). Daerah penyebaran A. atlas hampir meliputi seluruh Indonesia diantaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Awan, 2007) karena daya adaptasi terhadap lingkungan tropis, hewan ini dapat melakukan perkawinan pada lingkungan yang tidak terlalu dingin (suhu minimal 150C) dan tidak terlalu kering (kelembaban minimal 50%) (Butterfly Arc, 2003). Hasil penelitian Mulyani (2008), suhu dan kelembaban dalam ruangan selama pemeliharaan larva A. atlas adalah 24- 280C dan 46-78%. Kondisi ini sesuai untuk pemeliharaan maupun pengokonan.

Menurut Pustekkom (2005), A. atlas merupakan serangga holometabola, yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Tahapan dari daur serangga yang mengalami metamorfosis sempurna adalah telur – larva – pupa – imago. Peigler (1989) menerangkan tentang siklus hidup hewan ini sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur sampai Imago (Sumber : Awan, 2007)

Awan (2007) menyatakan bahwa siklus hidup A. atlas yang diberi pakan daun sirsak dan daun teh memiliki kesamaan dengan yang dilaporkan Peigler (1989), kecuali pada lama setiap siklus. Siklus larva ulat sutera liar yang diberi pakan daun teh terdiri dari enam tahapan atau stadium yang disebut dengan instar. Instar satu berlangsung selama 4-6 hari ditandai dengan kepala berwarna hitam, instar dua selama 4-6 hari mulai ditutupi serbuk putih, instar tiga sampai instar empat 4-6 hari dengan perubahan yang terjadi yaitu terdapat warna merah di bagian lateral segmen tubuhnya, instar lima selama 7-8 hari tubuhnya mulai gemuk dan instar enam mencapai 10-12 hari terdapat bintik-bintik berwarna hitam di bagian dorsal toraks.

Larva instar enam membutuhkan waktu paling lama dibandingkan dengan instar lain. Hal ini disebabkan pada instar enam, larva akan memasuki stadium pupa dan akan mengokon yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium yang lain (Awan, 2007). Masa inkubasi telur A. atlas yaitu 10-12 hari, lama periode pupa adalah 20-26 hari, kemunculan imago betina dan jantan masing-masing adalah 23-26 hari dan 20-25 hari (Awan, 2007). Menurut Kalshoven (1981) dalam Awan

4-6 hari 10-12 hari 4-6 hari 4-6 hari 4-6 hari 7-8 hari 10-12 hari 20-26 hari

(2007), stadium telur berlangsung selama 1-4 minggu, larva 40-75 hari, sedangkan pupa 4-10 minggu. Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 63-82 hari (Awan, 2007).

Morfologi Telur

Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang telah kawin maupun yang tidak dan telur yang dapat menetas menjadi larva adalah telur yang dibuahi oleh imago jantan. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur yang steril yang tidak dapat menetas menjadi larva. Telur memiliki kerabang yang halus dan biasanya diselimuti cairan berwarna kemerahan hingga cokelat yang berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting (Awan, 2007).

Bentuk telur A. atlas adalah oval dan agak datar atau gepeng, bentuk khas yang dimiliki oleh semua famili Saturniidae (Peigler, 1989). Awan (2007) menyebutkan bahwa ciri-ciri telur A. atlas secara umum berwarna putih kehijauan dan dilindungi oleh suatu cairan berwarna kemerahan hingga cokelat. Ngengat betina menghasilkan telur dengan jumlah ratusan yang diletakkan secara individu atau berkelompok yang terdiri atas 3-10 butir dengan masa inkubasi telur antara 7-13 hari (Adria dan Idris, 1996).

Gambar 2. Telur Attacus atlas

Telur yang belum menetas dapat disimpan pada suhu ruang, tetapi suhu untuk penyimpanan telur tidak boleh kurang dari 150C. Telur dapat menetas setelah 7 hari telur diletakkan oleh induknya (Butterfly Arc, 2003). Telur pada umumnya diletakkan secara individu ataupun kelompok seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Larva

Ulat sutera liar (A. atlas) termasuk hewan polivoltin (memiliki lebih dari tiga generasi per tahun), artinya hewan ini dapat hidup sepanjang tahun dan termasuk serangga polifagus yang artinya dapat memakan banyak jenis tanaman serta dapat berada pada berbagai tanaman inang. Serangga ini dapat mengkonsumsi 90 golongan tumbuhan dari 48 famili yang bisa dimakan (Peigler, 1989). Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) memakan daun sirsak, jeruk, dadap, alpukat, teh, cengkeh, mangga dan berbagai pohon berkayu keras lainnya (Kompas, 2004).

Hewan ini mengalami stadium larva dimulai dari instar satu hingga instar enam. Pergantian kulit (molting) adalah tanda pergantian masa instar. Pergantian kulit dilakukan pada saat pertumbuhan larva telah mencapai maksimal yang ditandai dengan larva tidak aktif makan dan lebih banyak diam. Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula dinding tubuh, kepala, lapisan-lapisan kutikula trakea, usus depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui anusnya (Borror et al., 1992).

Larva akan berganti kulit beberapa kali pada saat-saat tertentu karena ukuran larva yang bertambah besar. Kulit larva yang lama mengeras dan tidak mungkin lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan larva selanjutnya sehingga perlu berganti kulit seperti terlihat pada Gambar 3 (Butterfly Arc, 2003). Menurut Awan (2007), kulit yang baru terbentuk tidak tertutup oleh tepung putih tetapi tepung putih ini akan semakin menebal dengan bertambahnya umur tipe instar. Pada setiap instar memiliki ciri-ciri, ukuran dan perilaku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan larva.

Gambar 3. Ulat Sutera Liar saat Molting

(Sumber : Setiorini, 2009)

Instar satu dimulai saat penetasan telur hingga larva mengganti kulit pertama, dengan ciri-ciri kepala berwarna hitam, bagian dorsal scolus berwarna kuning pucat tanpa serbuk putih dan bagian ventral larva hitam kehijauan. Instar dua dicirikan oleh scolus ditutupi serbuk putih, kepala berwarna kecoklatan, dan bagian ventral larva masih berwarna hijau gelap. Instar tiga memiliki ciri-ciri hampir sama dengan instar dua hanya saja ukuran tubuh lebih besar dan panjang, bubuk putih dan bercak merah di bagian lateral segmen mendominasi warna larva, kepala berwarna merah kecoklatan (Awan, 2007).

Pada awal instar empat terlihat ciri-ciri sebagai berikut: warna bagian dorsal dan ventral larva hijau kebiruan, kepala berwarna kehijauan bercak merah di bagian lateral segmen ketiga, segmen keempat dan segmen kedelapan sampai dengan segmen kesepuluh, warnanya memudar menjadi kekuningan, di akhir instar bagian dorsal ditutupi serbuk putih. Instar lima memiliki ciri yang hampir sama dengan instar keempat, hal yang membedakan hanya pada ukuran tubuh yang semakin besar, gemuk dan kokoh. Instar enam merupakan tahapan terakhir stadium larva. Larva pada instar enam memiliki ciri-ciri pada awal instar tubuh berwarna hijau cerah dengan bintik-bintik berwarna hitam di bagian dorsal toraks dan di sekitar anal, gerakan lebih lamban, tubuh gemuk dan kokoh, aktivitas makan tinggi karena pada tahapan ini larva mengumpulkan cadangan makanan sebanyak-banyaknya sebelum membentuk kokon dan menjadi pupa. Menjelang instar enam berakhir, bagian tubuh dominan berwarna putih di bagian dorsal, hijau kekuningan di bagian ventral dan lateral. Larva kurang aktif makan, cenderung bergerak ke sudut-sudut untuk siap mengokon (Awan, 2007). Perubahan stadium larva dapat dilihat pada Gambar 4.

Instar I Instar II Instar III

Instar IV Instar V Instar VI Gambar 4. Larva Attacus atlas Instar I-Instar VI

(Sumber : Wikipedia, 2008)

Pada instar enam diakhiri saat larva mulai merajut kokon untuk selanjutnya memasuki periode pupa. Larva instar enam membutuhkan waktu paling lama dibandingkan dengan instar yang lain yaitu berlangsung selama 10-12 hari. Hal ini disebabkan pada instar enam akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium yang lain (Awan, 2007).

Perubahan stadium larva menjadi pupa dalam metamorfosis serangga membutuhkan waktu yang cukup lama karena terjadi pertumbuhan dan perubahan dari organ tertentu, terjadi proses pengumpulan dan penimbunan cadangan makanan sebagai sumber energi guna mendukung perubahan dari pupa menjadi imago, karena dalam stadium pupa tidak terjadi aktivitas morfologi berikutnya (istirahat), sekresi protein sutera. Hampir seluruh rongga tubuh larva instar terakhir dipenuhi oleh kelenjar sutera. Ulat sutera menggunakan sebagian besar protein yang dikonsumsinya selama stadium larva untuk mensintesis sutera cair (Awan, 2007). Kokon

Pembentukan kokon dimulai ketika larva instar enam mulai mengeluarkan cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun yang akan digunakan untuk melekatkan kokon (Gambar 5). Serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan

mengering, bagian ini biasanya disebut dengan floss. Setelah menguatkan daun agar tidak jatuh saat daun sudah mengering, larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut, bagian ini yang dipintal menjadi benang disebut sebagai kulit kokon tanpa floss. Pembentukan kokon dilakukan larva hingga terbentuk kokon sempurna (kokon utuh) yaitu floss dengan kulit kokon (Gambar 6). Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon karena bagian kokon yang menghadap ke atas biasanya terdapat lubang (Awan, 2007).

Gambar 5. Proses Pengokonan Ulat Sutera Liar (A. atlas) (Sumber : Setiorini, 2009)

Tempat yang nyaman bagi ulat sutera untuk membuat kokon dapat memudahkan ulat dan memerlukan sedikit serat-serat sutera untuk menempelkan floss pada daun. Oleh karena itu, sisa serat sutera yang akan digunakan untuk

Ulat sutera liar (A. atlas) instar enam (10-12 hari)

Tingkah laku ulat sutera liar (A. atlas) instar enam

yang akan

mengokon

Ulat sutera liar (A. atlas) yang mulai merajut serat sutera

Ulat sutera liar (A. atlas) yang telah tertutup oleh serat sutera (kurang dari 6 jam)

Kokon dan pupa ulat sutera liar (A. atlas) (20-26 hari) Ngengat ulat sutera

liar (A. atlas) (jantan) yang sudah keluar dari kokon (20-25 hari)

membuat kokon masih cukup banyak sehingga bobot kulit kokon yang dihasilkan tinggi (Mulyani, 2008). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), persyaratan utama untuk tempat pengokonan adalah sebagai berikut: kuat, struktur cocok untuk mengokon, mampu mengontrol kelembaban, memberi kemudahan untuk memperlakukan larva pada waktu mengokon. Hasil penelitian Sakinah (2008) menunjukkan bahwa alat pengokonan berupa kotak berdaun, kotak tanpa daun, silinder berdaun dan silinder tanpa daun yang dicobakan terhadap ulat sutera liar (Attacus atlas) tidak berpengaruh terhadap bobot kokon segar, bobot pupa, bobot kulit kokon utuh, bobot floss, bobot kulit kokon tanpa floss, panjang kokon dan diameter kokon. Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap sebagian besar peubah, kecuali pada bobot floss dan diameter. Pada bobot kulit kokon utuh, bobot kokon segar, bobot pupa, bobot kulit kokon tanpa floss dan panjang kokon, jantan lebih rendah daripada betina.

Pembentukan kokon biasanya dimulai pada sore hari. Larva akan menutup seluruhnya kurang dari 6 jam. Larva yang telah tertutup ini masih terus merajut kokon hingga kokon tersebut terbentuk sempurna. Hal ini terlihat pada kokon yang masih tipis. Setelah kokon terbentuk sempurna, larva akan berdiam diri beberapa saat kemudian mempersiapkan metamorfosa dari larva menjadi pupa. Tahap pupa merupakan tahap yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago (Awan, 2007).

Gambar 6. Kokon Attacus atlas

(Sumber : Indrawan, 2007)

Pupa mengalami organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala, dan struktur reproduksi. Selama tahapan pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila

dalam proses ini mengalami gangguan maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan dapat menyebabkan kematian (Awan, 2007). Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain itu, kokon berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar pupa tetap sesuai dan menjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa.

Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips silindris, ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna cokelat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan basah, dengan bantuan pengaruh sinar matahari, gerakan angin, lama kelamaan kokon akan menjadi lebih kuat dan lebih kering (Awan, 2007). Warna kokon bervariasi dari orange hingga cokelat tua, tetapi biasanya berwarna cokelat muda, tekstur permukaan kesat dan terkadang mengkerut, panjang kokonnya 5-9 cm (Peigler, 1989). Jepang menyukai benang dari serangga jenis ini karena lebih lembut dari benang ulat sutera murbei (Sari, 2007). Serangga ini mampu menghasilkan serat sutera yang memiliki banyak keistimewaan, yaitu warna yang eksotik, benang yang panjang, lembut, tidak mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa gatal, dan antibakteri (Sutera Indonesia, 2004).

Penilaian kualitas kokon dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kualitatif dapat dilakukan menurut hasil pengamatan secara langsung seperti persentase kokon cacat, warna kokon, dan penampilan kokon. Penilaian kuantitatif dapat dilakukan melalui hasil pengamatan terhadap uji visual dan uji laboratorium. Uji visual (kualitas kokon) yaitu: penurunan bobot tubuh saat mengokon, bobot kokon, bobot kulit kokon dan persentase kulit kokon. Uji laboratorium (kualitas filamen) meliputi bobot filamen, panjang filamen dan daya urai kokon (Mulyani, 2008).

Kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutera pada fase metamorfosa (proses pembentukan pupa) yang terdiri dari kulit kokon dan pupa. Bobot kokon segar adalah bobot kokon yang tidak lagi mengandung floss. Bobot kokon terdiri dari bobot kulit kokon dan bobot pupa. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dipandang dari segi reeling kokon (kemampuan filamen diurai dari kokon). Kokon berisi pupa betina biasanya lebih berat daripada kokon berisi pupa jantan. Hal ini

terkait dengan ukuran imago betina yang lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan (Atmosoedarjo et al., 2000).

Karakteristik kulit kokon yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Kulit Kokon yang Berasal dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

Keterangan : SB : Simpangan Baku

Min-Max : Nilai minimum-maksimum (Sumber : Baskoro, 2008)

Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus pupa. Selebihnya mengandung sedikit malam (wax), lemak, karbohidrat, abu, dan zat warna. Bobot kulit kokon yaitu bobot kokon tanpa pupa dan floss. Jika bobot kulit kokon lebih besar, berarti banyak mengandung benang sehingga baik untuk bahan pemintalan karena benang yang dihasilkan lebih panjang dan lebih berat. Menurut Indrawan (2007), semakin berat kulit kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kokon karena serat sutera yang dihasilkan akan semakin banyak. Bobot kulit kokon ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperatur dan kelembaban selama pemeliharaan.

No Parameter Nilai

Rataan ± SB Min-Max

1 Bobot Kulit Kokon Utuh (BKKU) (g/kokon) 0,68 ± 0,24 0,2-1,86

2 Bobot Floss (BF) (g/kokon) 0,18 ± 0,05 0,04-0,38

3 Persentase Bobot Floss (PBF) (%) 27,61 ± 6,12 8,91-57,41

4

Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss

(BKKTF) (g/kokon) 0,50 ± 0,2 0,14-1,65

5

Persentase Bobot Kulit Kokon

Tanpa Floss (PBKTF) (%) 72,39 ± 6,12 8,91-57,41 6 Panjang Kokon (PK) (cm) 5,33 ± 0,52 3,37-6,81 7 Diameter : • 1/4 bagian anterior (D1) (cm) 2,30 ± 0,25 1,6-2,98 • Medial (D2) (cm) 2,61 ± 0,23 1,94-3,4 • 1/4 bagian posterior (D3) (cm) 2,17 ± 0,22 1,5-2,91 8 Lingkar : • 1/4 bagian anterior (L1) (cm) 6,87 ± 0,73 2,94-8,82 • Medial (L2) (cm) 8,18 ± 0,71 4,91-10,02 • 1/4 bagian posterior (L3) (cm) 6,42 ± 0,62 4,92-8,33

Persentase kulit kokon merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dan bobot kokon. Kualitas atau nilai mutu kokon akan semakin baik jika persentase bobot kulit kokon terhadap bobot kokon utuh semakin besar. Begitu pula dengan bobot floss kualitas atau nilai mutu kokon akan semakin baik jika persentase bobot floss terhadap bobot kokon utuh semakin kecil (Atmosoedarjo et al., 2000). Awan (2007) melaporkan hasil penelitiannya tentang kualitas kokon A. atlas yang diberi pakan daun sirsak adalah sebagai berikut bobot kokon isi pupa 6,47±0,8 (g/kokon) dan bobot kulit kokon 1,15±0,3 (g/kokon) sedangkan kualitas kokon A. atlas yang diberi pakan daun teh yaitu bobot kokon isi pupa 7,00±1,5 (g/kokon) dan bobot kulit kokon 1,29±0,3 (g/kokon). Nilai ini berhubungan erat dengan persentase filamen kokon. Pada B. mori, persentase kulit kokon berkisar antara 18% sampai 22% (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Indrawan (2007), kisaran bobot kokon utuh yang dihasilkan oleh larva yang dipelihara pada tanaman pakan senggugu adalah 5,849±0,378 g dan persentase kulit kokonnya sebesar 9,828±1,475%.

Faktor yang dapat mempengaruhi bobot kulit kokon antara lain kualitas pakan, kondisi lingkungan, jenis tanaman inang dan adanya parasit yang menginfeksi larva sehingga dapat mempengaruhi kondisi ulat sutera dan hasil suteranya. Persentase kulit kokon yang dihasilkan oleh larva yang diberi pakan daun teh sebesar 18,22% (Awan 2007). Hasil penelitian Baskoro (2008) yang mengamati kulit kokon yang berasal dari perkebunan teh di Purwakarta memperlihatkan bahwa bobot kulit kokon A. atlas paling banyak berada pada kisaran antara 0,32-0,49 g (30,8%) sedangkan bobot floss A. atlas paling banyak berada pada kisaran antara 0,17-0,20 g (30%) dan bobot floss yang dihasilkan sebesar 0,18±0,05 g/kokon.

Pupa

Stadium pupa merupakan stadium yang penting dalam metamorfosis dari larva menjadi imago, dapat dilihat pada Gambar 7 (Lee, 2007). Pupa telah sempurna apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga antar isi kokon dengan kokon, sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berbentuk larva. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan pupa. Larva yang siap berpupasi memiliki tingkat kepekaan terhadap gangguan yang meningkat, jadi apabila larva mendapat gangguan akan menyebabkan kegagalan dalam penyelesaian pembuatan kokon bahkan kemungkinan besar akan

menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, stadium pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna (Awan, 2007).

Masa pupasi adalah masa pembentukan pupa atau kepompong. Suhu dan kelembaban lingkungan yang optimal saat pembentukan kokon, masa pupasi dan perkawinan imago yaitu berkisar antara 26-290C. Jika suhu lebih dari 300C atau kurang dari 260C, maka dapat menyebabkan imago yang keluar akan menjadi cacat, tubuhnya kerdil, sayapnya patah dan tidak bisa mengembang. Secara fisiologis imago tersebut tidak bisa melakukan aktivitas lain, seperti terbang, berkopulasi, dan sulit bertelur (Awan, 2007).

Gambar 7. Pupa Attacus atlas

(Sumber : Lee, 2007)

Pembentukan kokon pada Bombyx mori terjadi selama kurang lebih dua hari setelah larva memulai mengokon dan sekitar 24 jam kemudian larva telah berubah menjadi pupa (Tazima, 1978). Organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Menurut Chapman (1998) dalam Mulyani (2008), morfogenesis mengalami penghentian selama diapause pada telur dan pupa, yang tercermin pada konsumsi oksigen yang berkurang. Awan (2007) menjelaskan tentang calon-calon organ yang lain sudah dapat terlihat antara lain calon sayap, kepala dan abdomen. Pada saat ini calon organ tersebut masih dalam proses pembentukan organ. Pupa akan berkembang menjadi imago dan imago betina akan segera bertelur untuk meneruskan generasinya. Mulyani (2008), sebagian besar bobot kokon utuh A. atlas adalah bobot pupa (78,89%-82,19%), sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja (1,61%-1,66%) dari total keseluruhan bobot kokon A. atlas. Larva yang diberi pakan daun sirsak memiliki rata-rata bobot larva instar enam 12,04±1,26 g dan rata-rata bobot pupanya sebesar 7,589 g.

Imago

Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), tubuh imago terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen, yang semuanya ditutupi oleh sisik bertumpuk. Abdomen terdiri dari delapan segmen untuk jantan dan tujuh segmen untuk betina. Awan (2007) menjelaskan bahwa imago keluar melalui lubang di ujung anterior kokon yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, sayap belum terbentuk sempurna. Menurut Peigler (1989) imago A. atlas memiliki rentangan sayap terbesar diantara anggota Lepidoptera yang lain. Ukuran sayap bisa mencapai 25-30 cm dan sayap muka dan belakang berwarna cokelat kemerahan dengan segitiga yang transparan.

Imago merupakan ngengat dewasa yang sudah keluar dari kokon dan siap untuk bereproduksi (Gambar 8), pada saat keluar dari kokon akan segera mencari ranting, atau dahan dan akan mengambil posisi menggantung dengan abdomen berada di bawah, sehingga mudah mengembangkan sayapnya. Setelah beberapa saat sayapnya akan mulai mengembang. Sayap yang baru mengembang masih lemah dan belum dapat digunakan untuk terbang. Beberapa jam kemudian, sayap mengembang sempurna, akan segera mengeras dan cukup kuat digunakan untuk terbang. Pada stadium ini imago tidak makan dan hanya hidup dalam waktu yang singkat (Awan, 2007 dan Williams et al., 2000).

Gambar 8. Imago Attacus atlas

Imago betina biasanya lebih pasif dan mengeluarkan zat pemikat atau feromon yang dapat dideteksi beberapa kilometer oleh kemoreseptor yang berada di antena imago jantan. Jantan dan betina kawin, setelah kawin betina akan bertelur yang jumlahnya dapat mencapai ratusan. Setelah kawin baik jantan maupun betina akan mati (Williams et al., 2000). Jika tidak ada udara yang bergerak normal, maka jantan dapat mendeteksi betina (feromon) dari jarak 5 cm dan pada jarak 7 cm jantan sudah tidak dapat mendeteksi betina. Namun, jika terdapat udara bergerak maka jantan dapat mendeteksi betina (feromon) dari jarak 25-150 cm (Jacobson, 1972).

Imago jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih meruncing, memiliki antena yang panjangnya 23-30 mm, lebar 10-13 mm (seperti sisir) dan umur imago jantan 2-4 hari (Awan, 2007). Imago betina memiliki panjang antena 17-21 mm, lebar 3 mm (seperti benang tebal) (Peigler, 1989) dan umur imago betina 2-10 hari (Awan, 2007). Imago betina memiliki abdomen yang besar yang berisi telur-telur dan ukuran tubuhnya lebih besar daripada imago jantan. Imago betina mampu menghasilkan telur yang jumlahnya berkisar antara 100 sampai 362 butir. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur yang steril yang tidak dapat menetas menjadi larva (Awan, 2007).

Imago A. atlas dapat ditemui sepanjang tahun, tidak hanya pada musim- musim tertentu saja (Peigler, 1989). Berdasarkan hasil penelitian Awan (2007) yang larva ulat sutera liar diberi pakan daun teh, dari 100% (320 ekor) periode larva, imago atau ngengat yang keluar berjenis kelamin jantan terdapat 5% sedangkan yang berjenis kelamin betina terdapat 10%.

Tanaman Teh

Tanaman teh berasal dari spesies Camellia sinensis L. dan famili Theaceae,

Dokumen terkait