• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. MINYAK KAYU PUTIH (CAJUPUT OIL)

Menurut Ketaren (1990), minyak kayu putih adalah hasil penyulingan dari daun kayu putih segar dan ranting (terminal branchlet) dari beberapa spesies Melaleuca. Minyak kayu putih merupakan minyak atsiri (Esential oil) disebut juga ethereal atau volatile oil yaitu minyak yang mudah menguap dan memiliki bau khas, yang diperoleh dari tanaman tersebut. Beberapa jenis spesies yang mampu menghasilkan minyak kayu putih komersial antara lain

Melaleuca leucandendron LINN., Melaleuca cajeputi Roxb., Melaleuca

viridiflora Gartn. dan Melaleuca minor Sm.

Minyak atsiri berasal dari daun minyak kayu putih yang diperoleh melalui proses penyulingan. Daun yang digunakan adalah daun yang berasal dari tanaman muda (tidak lebih dari 6 bulan) sebab kandungan minyaknya lebih tinggi. Pemalsuan minyak kayu putih banyak sekali terjadi dan umumnya dilakukan dengan penambahan minyak tanah atau bensin (Heyne, 1985).

Warna minyak kayu putih adalah hijau bening, yang disebabkan karena tembaga dari ketel-ketel penyulingan minyak kayu putih dan senyawa organik yang kemungkinan adalah klorofil. Warna hijau minyak atsiri disebabkan karena tembaga, maka warna tersebut dapat dipisahkan dengan minyak kayu putih aslinya dengan menggunakan larutan asam tartarat pekat. Namun apabila warna hijau tersebut disebabkan karena klorofil atau bahan organik lainnya, maka minyak itu dapat dipucatkan dengan menggunkan karbon aktif. Proses rektifikasi juga dapat mengeliminasi warna. Namun demikian, rektifikasi minyak kayu putih tidak dilakukan di daerah-daerah produksi.

Menurut James (1989) warna minyak kayu putih bervariasi, dari tidak berwarna, kuning sampai hijau dengan aroma champor yang aromatik dan rasa champor yang pahit, mengandung 10% senyawa kristalin

fenolic,5-dimetil-4,6-di-o-metilfloroasetopinon. Senyawa ini dianggap memiliki daya antiseptik menurut Guenther (1990).

Minyak kayu putih kadang-kadang dicampur dengan asam lemak atau dengan kerosen oleh petani produsen atau pedagang perantara. Bau minyak kayu putih sedemikian kerasnya sehingga saat dilakukan penambahan kerosen atau asam lemak, minyak kayu putih tersebut tidak menunjukkan perubahan bau. Uji sederhana yang digunakan oleh pedagang pribumi adalah dengan cara mengocok minyak kayu putih di dalam botol. Jika terbentuk busa dan gelembung-gelembung udara yang naik ke permukaan tidak segera hilang, hal ini menandakan bahwa adanya penambahan kerosen atau bensin kedalamnya.

Unsur yang mengandung aroma kemungkinan terbentuk dari hijau daun (chlorophyl). Unsur tersebut bersatu dengan glukosa menciptakan glukosida yang disalurkan ke seluruh tubuh tumbuhan. Di tempat tertentu, khususnya bunga, tumbuhan menghasilkan zat penawar (enzim) yang menyerbu glukosida sehingga mengakibatkan terciptanya minyak atsiri. Komponen penyusun minyak kayu putih dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komponen Penyusun Minyak Kayu Putih

No. Komponen Rumus Molekul Titik Didih (oC)

1 Cineol C10H18O 174-177 2 Terpineol C10H17OH 218 3 Pinene C10H18 156-160 4 Benzaldehyde C6H5O 179,9 5 Limonene C10H16 175-176 6 Sesquiterpene C15H24 230-277 Sumber : Ketaren, 1990

Menurut Budavari (1989) minyak kayu putih mengandung 50-60% sineol, L-pinene, terpineol, valeric, butyric, benzoic dan aldehid lainnya. Komponen-komponen fenol ini memiliki titik didih yang cukup tinggi sehingga tidak volatil ketika pengalami proses pemasakan.

Penggunaan minyak kayu putih sebagai obat-obatan dan wangi-wangian dapat dilakukan secara langsung ataupun digunakan sebagai bahan baku dalam industri obat dan wewangian (Ketaren, 1990). Menurut Dharma (1985), kayu putih (berupa simplisia maupun minyak) dipakai sekurang-kurangnya di 23 negara dan tercantum dalam daftar prioritas WHO mengenai simplisia yang paling banyak dipakai di dunia.

Minyak kayu putih adalah obat yang amat disenangi sebagai obat luar untuk sakit mulas, sakit kepala, sakit gigi, sakit telinga, kejang dan kaku pada kaki, berbagai jenis nyeri, encok, masuk angin, penyakit kulit, luka baru serta luka bakar (Dharma, 1985). Selain sebagai obat luar, minyak kayu putih digunakan pula sebagai obat dalam (internal). Menurut Guenther (1990), khasiatnya sebagai obat oles bagi penderita sakit kepala kemungkinan disebabkan karena memiliki cooling effect. Sebagai obat internal, minyak tersebut berfungsi sebagai anthelmintic (obat cacing) dan terutama efektif sebagai obat demam. Minyak kayu putih digunkan pula sebagai ekspektoran dalam kasus laryngitis dan bronchitis.

B. PERMEN

High Boiled sweets (hard candy) mencakup produk lollipop,

medicated sweets, permen berisi ditengahnya, permen kacang, candy canes.

High Boiled sweets mempunyai tekstur yang keras, penampakan yang jernih

dan biasanya terdiri dari komponen dasar sukrosa dan sirup glukosa serta bahan-bahan lain yang dapat ditambahkan untuk memberikan rasa dan penampakan yang lebih baik (Jackson, 1995). Menurut Slater (1986), boiled

sweets pada dasarnya adalah merupakan campuran dari gula, sirup glukosa

atau sirup gula invert, air, flavor dan pewarna. Menurut Jackson (1995), komponen mayor yang digunakan di dalam industry konfeksioneri adalah gula pasir (sukrosa) atau gula bit.

High Boiled sweets dengan kandungan total solid sebanyak 97%

memberikan tekstur yang baik dan memberikan umur simpan yang optimal, akan tetapi jika semua hanya terdiri dari sukrosa maka akan menjadi lewat

jenuh, sehingga karbohidrat ini menjadi tidak stabil. Masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan campuran sukrosa dengan sirup glukosa (Dziedzic, 1984). Sirup glukosa yang digunakan dapat meningkatkan viskositas dari permen sehingga permen tetap tidak lengket dan mengurangi migrasi molekul karbohidrat. Permen yang jernih dapat dihasilkan dengan kandungan air yang rendah dan penambahan sirup glukosa yang akan mempertahankan viskositas yang tinggi. Selain gula sebagai bahan dasar, isomalt, lactitol, maltitol atau hidrolisat pati yang terhidrogenisasi dapat pula digunakan sebagai substitusi (Jackson, 1995).

Menurut Dziedzic (1984), produksi high Boiled sweets dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu open pan, vacuum cooker dan continues

cooker. Setiap metode mempunyai perbedaan dalam hal perbandingan antara

sukrosa dan sirup glukosa yang digunakan untuk mendapatkan hasil yang optimum dan mencegah kristalisasi sukrosa.

Menurut Jackson (1995) dua masalah yang dapat terjadi pada hard

candy adalah stickiness dan graining. Stickness terjadi karena meningkatnya

kadar air sebagai akibat penggunaan gula invert, sehingga permen lebih bersifat higroskopis. Masalah ini diatasi dengan mengunakan sukrosa dan sirup glukosa. Tetapi rasio antara sukrosa dan sirup glukosa perlu disesuaikan karena kesalahan rasio dapat menyebabkan graining (mengkristal). Tetapi penyimpanan pada suhu dan RH tinggi tetap menimbulkan masalah kelengketan dan graining, karena permen menyerap air, sehingga RH penyimpanan harus dijaga agar tidak lebih dari 45%. Hard Candy diharapkan tidak lengket atau tidak mengkristal ketika diterima oleh konsumen, maka ketepatan formula dan pengontrolan proses sangat penting.

C. SUKROSA

Sukrosa merupakan senyawa kimia yang termasuk dalam golongan karbohidrat, memiliki rasa manis, berwarna putih, bersifat anhydrous dan larut dalam air. Pada suhu 20oC, kelarutannya dalam air mencapai 67.7% w/w (Nicol, 1982). Menurut Jackson (1995), sukrosa adalah disakarida, dapat

berubah menjadi dua molekul monosakarida, yang diketahui sebagai dekstrosa (alfa-D-glukosa) dan laevulose (beta-D-fruktosa). Garam-garam mineral yang terdapat dalam gula komersial dapat berfungsi sebagai penghambat perubahan sukrosa menjadi gula-gula invert.

Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam, yaitu sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pengawet, pembentuk citarasa, sebagai substrat bagi mikroba dalam proses fermentasi, bahan pengisi dan pelarut (Nicol, 1982).

Peningkatan kadar sukrosa akan meningkatkan kekentalan. Menurut Jackson (1995) penambahan asam dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi sukrosa yang tereduksi, sehingga menyebabkan produk menjadi lengket. Penggunaan sukrosa dalam pembuatan hard candy umumnya sebanyak 50-70% (Lawrence, 1991).

D. SIRUP GLUKOSA

Sirup glukosa merupakan bahan yang sering digunakan didalam berbagai industri seperti konfeksioneri, pengawet, frozen desserts dan minuman (Mc Donald, 1984). Menurut Jackson (1995), sirup glukosa bukan merupakan produk yang murni tetapi merupakan campuran dari glukosa, maltosa dan dekstrin.

Pernyataan untuk kandungan glukosa dan sirup, umumnya digunakan

dextrosa equivalent atau sering disingkat DE (Maiden, 1970). Secara

komersial DE adalah kandungan gula pereduksi yang dinyatakan sebagai persen dekstrosa terhadap padatan kering. DE tidak menyatakan kandungan glukosa yang sebenarnya dari produk tetapi berhubungan dengan kandungan gula pereduksi dari semua jenis gula yang terdapat dalam produk (Maiden, 1970).

Menurut Bernard (1989), sirup glukosa dengan nilai DE yang rendah akan mempunyai viskositas yang tinggi dan kemanisan yang rendah. Sirup glukosa mempunyai sifat higroskopis yang rendah sehingga dapat digunakan sebagai pelindung pada hard candy. Menurut Dziedzic (1984), sirup glukosa

yang umum digunakan adalah 42 DE baik yang dihasilkan dengan asam maupun kombinasi asam-enzim.

E. MINYAK PEPPERMINT

Minyak peppermint adalah flavor yang sudah popular dan sering digunakan di dalam industri konfeksioneri, popularitas minyak peppermint

disebabkan oleh sudah semakin banyaknya penelitian-penelitian tentang berbagai jenis tanaman yang menghasilkan minyak peppermint dan perkembangan cara-cara destilasi dan pemurnian dari minyak tersebut. Minyak peppermint yang sekarang beredar adalah minyak peppermint dalam bentuk campuran, dan untuk industry konfeksioneri biasabya menggunakan minyak peppermint yang memberikan harum bunga lembut (Bernard, 1989).

Minyak peppermint termasuk flavor alami yaitu flavor yang terdapat pada daun-daunan, diperoleh dengan cara mikrobiologi atau secara fisik yaitu ekstraksi, destilasi atau pemekatan (Jackson, 1995). Kegunaan minyak

peppermint cukup luas, biasanya dicampur dengan minyak Spearmint dan

juga bisa dicampur dengan flavor-flavor yang umum seperti minyak

Eucalyptus, Methyl salicylate dan Anethole (Wright, 1991).

F. CAJUPUT CANDY

Cajuput candy termasuk ke dalam produk konfeksioneri. Produk

konfeksioneri adalah produk makanan yang mengandung gula sebagai komponen utamanya. Komponen lain seperti gum, pektin, gelatin, starch, susu, mentega atau lemak lainnya dan cokelat memberikan tekstur khusus (Lawrence, 1991). Suhu dan waktu pemanasan berperan dalam menghasilkan rasa, tekstur dan flavor produk akhir (Lawrence, 1991).

Cajuput candy tergolong kedalam jenis high boiled sweets (hard

candy) mempunyai tekstur yang keras, penampakan yang jernih dan biasanya

terdiri dari komponen dasar sukrosa dan sirup glukosa serta bahan-bahan lain yang dapat ditambahkan untuk memberikan rasa dan penampakan yang lebih

baik (Jackson, 1995). Campuran falvor dengan perbandingan minyak kayu putih dengan peppermint (100 : 14,2) sebanyak 0.9% ditambahkan kedalam adonan permen pada suhu kurang sedikit dari 140oC dan adonan permen tersebut berada didalam wadah pemasak yang terbuat dari stainless steel, merupakan hasil yang disukai atau terpilih (Halimah, 1997).

Penelitian Halimah (1997) menyatakan bahwa cajuput candy memiliki flavor top note yang baik, karena kesan pertama yang diberikan telah mencirikan karakteristik flavor itu sendiri, tetapi campuran flavor tersebut kurang dapat bertahan lama pada permen. Oleh karena itu cajuput candy

kemudian disempurnakan melalui penelitian Kindly (1997) yang mencari campuran komponen flavor yang tepat, baik dengan mengubah perbandingan maupun dengan penambahan komponen lain sehingga menjadi flavor yang lebih baik.

Berdasarkan hasil uji hedonik, yang dianilisan secara statistika, ternyata ada 3 buah komposisi formula yang terpilih yaitu formula 1 yang terdiri dari minyak kayu putih 0.5% (v/w) + peppermint 0.2% (v/w) dengan skor kesukaan rasa 6.4 (agak suka menuju suka), formula 2 yaitu minyak kayu putih 0.5% (v/w) + peppermint 0.2% (v/w) + menthol (50% propilen glikol ) 0.2% (v/w) + maltol (50% propilen glikol) 0.1% (v/w) dengan skor kesukaan rasa 6.35 (agak suka menuju suka), dan formula 3 yaitu minyak kayu putih 0.7% (v/w) + peppermint 0.2% (v/w) dengan skor kesukaan rasa 5.8 (netral menuju agak suka) (Kindly, 1997).

G. KARIES GIGI

Karies gigi (kativasi) adalah daerah yang membusuk di dalam gigi, yang terjadi akibat suatu proses yang secara bertahap melarutkan email

(permukaan gigi sebelah luar yang keras) dan terus berkembang ke bagian dalam gigi. Di dalam mulut, bakteri, sisa makanan, dan saliva menyatu membentuk plak yang menempel pada gigi. Plak mulai menyatu dengan gigi sekitar 20 menit setelah makan, jika plak tidak dibersihkan secara rutin maka

akan timbul karies. Karies gigi yang tidak tertangani akan menghancurkan struktur internal gigi dan memicu keropos gigi (Kapner, 2003).

Proses karies gigi berawal ketika bakteri normal pada rongga mulut beraktivitas dan berkumpul disekitar gigi membentuk masa lengket berwarna krem yang dikenal sebagai plak (Wikipedia, 2006). Bakteri yang membentuk plak ini kemudian menghasilkan asam laktat yang dapat menyebabkan demineralisasi (melarutnya) email gigi. Asam laktat ini dihasilkan dari proses fermentasi karbohidrat (Todar, 2002). Demineralisasi adalah proses yang berjalan dinamis, apabila kondisi asam ternetralkan dengan adanya mineral penting dari saliva, obat kumur, pasta gigi maka remineralisasi dapat muncul dan memperbaiki kondisi gigi yang mengalami karies (Wikipedia, 2006).

Karies gigi berkaitan erat dengan S. mutans karena bakteri ini merupakan penyebab munculnya plak pada hewan dan manusia. Karies gigi mulai dikaitkan dengan S. mutans setelah sukrosa menjadi salah satu komponen pangan pada diet manusia. Bakteri dapat menghasilkan H2S, NH3, toksin, enzim dan antigen lain yang dapat menimbulkan efek radang. Menurut Loesche (1986) diyakini bahwa S.mutans bertindak sebagai inisiasi infeksi dan berperan pada terjadinya lesio dini pada gigi.

Streptococcus mutans mempunyai sutau enzim yang disebut glukosil

transferase di atas permukaannya yang dapat menyebabkan polimerisasi glukosa pada sukrosa dengan pelepasan dari fruktosa, sehingga dapat mensintesa molekul glukosa yang memiliki berat molekul yang tinggi yang terdiri dari ikatan glukosa alfa (1,6) dan alfa (1,3). Pembentukan alfa (1,3) ini sangat lengket, sehingga tidak larut dalam air. Hal ini dimanfaatkan oleh bakteri Streptococcus mutans untuk berkembang dan membentuk plak pada gigi. Gigi yang mengalami karies dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Karies Gigi (Wikipedia, 2006)

Enzim yang sama kemudian melanjutkan untuk menambahkan banyak molekul glukosa ke satu sama lain untuk membentuk dextran yang mana memiliki struktur sangat mirip dengan amylose dalam tajin. Dextran bersama dengan bakteri melekat dengan erat pada enamel gigi dan menuju ke pembentukan plak pada gigi. Hal ini merupakan tahap dari pembentukan rongga atau lubang pada gigi. Skema dari penguraian glukosa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Apabila proporsi S.mutans pada plak gigi mencapai 2-10% maka individu tersebut memiliki resiko yang tinggi terhadap karies gigi, sedangkan jika proporsinya kurang dari 0.1% maka resiko terhadap karies gigi kecil (Mount & Hume, 2006). Menurut Mount & Hume (2006) karies dapat diobati dengan cara : mengubah kondisi mikroflora dengan menggunakan chlorhexidine dan flouride, mengurangi konsumsi gula dan sukrosa, mengurangi jumlah makan, serta meningkatkan salivary flow.

H. Streptococcus mutans

Mayoritas bakteri rongga mulut yang terdapat di plak gigi adalah streptococci oral. Streptococci dibagi menjadi empat kelompok utama yaitu

Streprococcus mutans, Streptococcus angionosus dan Streptococcus mitis.

Kelompok Mutans streptococci terbagi lagi menjadi spesies Streprococcus mutans (serotipe c, e, f), Streprococcus sobrinus (serotipe d,g), Streprococcus

cricetus (serotipe a), Streprococcus rattus (serotipe b), Streprococcus ferrus

(serotipe c), Streprococcus macacae (serotipe c) dan Streprococcus downei

(serotipe h) (Marsh, 1999). Serotipe ini dibedakan berdasarkan karbohidrat dinding selnya dan hibridisasi DNA (Loesche, 1986, Michaek & Childers, 1990). Karakteristik grup mutan streptococcus ditunjukkan pada Tabel 2.

Streptococcus mutans pertama kali diperkenalkan oleh J. Killian

Clarke pada tahun 1924 (Wikipedia, 2006). Streptococcus mutans merupakan salah satu mikroflora normal pada tubuh manusia. Habitat utamanya adalah gigi, namun bakteri ini juga ada pada saliva, lidah, dan membran mukosa rongga mulut (Gronroos, 2000). Streptococcus mutans termasuk grup viridans sterprococci, bakteri gram positif, anaerob fakultatif, non motil, tumbuh baik pada suhu 18-400C, dan merupakan kontributor dalam pembusukan gigi (Sato, 2004).

Tabel 2. Karakteristik Grup Mutan Streptococci

Spesies Mol% G + C Serotipe Polisakarida Dinding Sel

S. mutans 36-38 c, e, f Rha, Glc

S. rattus 41-43 b Rha, Gal, Gro

S. sobrinus 44-46 d, g Rha, Glc, Gal

S. cricetus 42-44 a Rha, Glc, Gal

S. downei 41-42 h Belum diketahui

S. macacae 35-36 c Belum diketahui

S. ferus 43-45 c Rha, glc

Sumber : Gronross, 2000

Pada media perbenihan Brain Heart Infusion Broth (BHIB) bakteri ini berbentuk kokal gram positif dalam rantai, sedangkan dalam media perbenihan agar basa berbentuk batang dan kokal. Media selektif lainnya untuk Streprococcus mutans adalah TYS20B (tryphase soy with sucrose and bacitracin), GSYB (Glucose-sukrose-tellurite-bacitracin), MSB (mitis salivarius with bacitracin) dan TYCSB (tryptone-yeast extract-cystein with sucrose and bacitracin) (Jawetz, 1995). Menurut penelitian TYCSB merupakan media paling sensitive dan selektif untuk kultur Streprococcus

mutans (Wan, 2002).

Streptococcus mutans merupakan bakteri utama yang terlibat pada

pembentukan plak gigi dan karies. Streptococcus mutans melekat dengan baik pada permukaan gigi, perlekatan ini diprakarsai oleh adanya molekul adhesin bakteri yaitu glikosil transferase yang berikatan dengan reseptor inang pada permukaan gigi yaitu salivary glicoprotein (Todar, 2002). Streptococcus

mutans menggunakan sukrosa untuk memproduksi dekstran melalui enzim

dextransucrase. Dekstran melekatkan bakteri-bakteri yang berkoloni disekitar

gigi dan membentuk massa berwarna krem dan lengket yang disebut plak. Kemudian bakteri memfermentasi karbohidrat seperti sukrosa, glukosa, dan

fruktosa menjadi asam laktat. Kombinasi plak gigi dan asam laktat yang menciptakan kondisi asam pada gigi serta melarutkan email gigi memicu terjadinya karies (Mount & Hume, 2006).

Klasifikasi S. mutans menurut Bergey dalam Capuccino (1998) adalah: Kingdom :Monera Divisio :Firmicutes Class :Bacilli Order :Lactobacilalles Family :Streptococcaceae Genus :Streptococcus Species : Streptococcus mutans

Gambar 3. Streptococcus mutans (Wikipedia, 2006)

Michalek dan Mc Ghee (1982) menyatakan bahwa media selektif untuk pertumbuhan Streptococcus mutans adalah agar Mitis Salivarius, yang menghambat kebanyakan bakteri mulut lainnya kecuali Streptococcus. Penghambatan pertumbuhan bakteri mulut lainnya pada agar Milis Salivarius disebabkan karena kadar biru trypan. Di samping itu, media ini juga mengandung kristal violet, telurit dan sukrosa berkadar tinggi. Streptococcus mutans yang tumbuh pada agar Mitis Salivarius memperlihatkan bentuk koloni halus berdiameter 0,5 - 1,5 mm, cembung, berwarna biru tua dan pada pinggiran koloni kasar serta berair membentuk genangan di sekitarnya. Seperti bakteri streptococcus lainnya, bakteri ini juga bersifat gram positif, selnya berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter 1 mm dan tersusun

dalam bentuk rantai. (Michalek dan Mc Ghee, 1982). Streptococcus mutans

tumbuh dalam suasana fakultatif anaerob (Michalek dan Mc Ghee, 1982). Menurut Wan (2002) dalam keadaan anaerob, bakteri ini memerlukan 5% CO2 dan 95% nitrogen serta memerlukan amonia sebagai sumber nitronen agar dapat bertahan hidup dalam lapisan plak yang tebal. Streptococcus

mutans menghasilkan dua enzim, yaitu glikosiltransferase dan

fruktosiltransferase. Enzim-enzim ini bersifat spesifik untuk subtsrat sukrosa yang digunakan untuk sintesa glukan dan fruktan. Pada metabolisme karbohidrat, enzim glikosiltransferase menggunakan sukrosa untuk mensintesa molekul glukosa dengan berat molekul tinggi yang terdiri dari ikatan glukosa alfa (1-6) dan alfa (1-3) (Michalek dan Mc Ghee, 1982). Ikatan glukosa alfa (1-3) bersifat sangat pekat seperti lumpur, lengket dan tidak larut dalam air. Kelarutan ikatan glukosa alfa (1-3) dalam air sangat berpengaruh terhadap pembentukan koloni Streptococcus mutans pada permukaan gigi. Ikatan glukosa alfa (1-3) berfungsi pada perljfekatan dan peningkatan koloni bakteri ini dalam kaitannya dengan pembentukan plak dan terjadinya karies gigi. (Roeslan, 1988).

I. Streptococcus sobrinus

Streptococcus sobrinus adalah salah satu anggota dari grup mutan

streptococcus dan berhabitat di permukaan gigi. Bakteri ini memiliki diameter 0,5 mm, berpasangan atau berbentuk rantai. Koloni pada agar sukrosa berdiameter 1 mm, kasar, saling bertumpukkan, kadang-kadang terdapat runtuhan glukan disekitar koloni. Beberapa strain menunjukkan α hemolisis atau non hemolisis pada agar darah. S. sobrinus dapat memfermentasi manitol, inulin, dan laktosa namun bervariasi pada kemampuan memfermentasi sorbitol, melibiose, dan raffinose. S. sobrinus tidak memproduksi ammonia dari arginin serta tidak menghidrolisis eskulin. Habitat primer S. sobrinus adalah pada gigi manusia. Setelah berkolonisasi pada gigi, bakteri ini dapat terdeteksi di saliva, lidah, membran mukosa oral, bahkan gigi palsu dan peralatan kedokteran gigi (Gronroos, 2000). Hubungan

filogenetik S. sobrinus dengan bakteri streptococcus oral lainnya ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan Filogenetik Bakteri Streptococcus Oral (Gronroos, 2000)

S. sobrinus bersifat patogen pada hewan coba dan merupakan salah

satu penyebab utama karies gigi pada manusia (Sneath et al., 1986, Michael

et al., 1990). S. sobrinus umumnya ditemukan bersama-sama dengan S.

mutan. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang berbeda mengenai

keberadaan S. sobrinus. Prevalensi S. sobrinus di laporkan dalam jumlah yang sedikit, namun pada subjek spesifik prevalensinya lebih tinggi dibandingkan

S. mutan (Gronroos, 2000).

J. BIOFILM

Biofilm adalah komunitas mikroorganisme yang melekat pada permukaan organic dan non organik yang terorganisasi dalam struktur tiga dimensi, serta tertutup oleh matriks ekstraselluler (polisakarida), yang disekresikan oleh bakteri itu sendiri maupun diperoleh dari lingkungan tempat mikroorganisme tersebut tumbuh (Marsh, 1999).

Permukaan gigi biofilm oral dimulai dengan pembentukan dental plak. Dental plak adalah lapisan polisakarida semi transparan yang melekat dengan

anginosus group S. anginosus S. constellatus S. intermedius S. oralis S. mitis S. gardonii S. sanguis S. parasanguis S. vestibularis S. salivarius S. mutans S. sobrinus mitis group salivarius group mutans group

kuat pada permukaan gigi dan mengandung mikroorganisme beserta produk metabolisnya (Mount, 2005). Pembentukan dental plak sendiri dimulai dari terbentuknya pelikel pada permukaan gigi, dua jam setelah pembersihan gigi (Samaranayake, 2002). Pelikel adalah lapisan organik tipis yang tidak memiliki struktur dan melekat pada permukaan email yang terbentuk dari protein saliva (Roberson, 2002). Fungsi pelikel adalah untuk melindungi email, menurunkan friksi antar gigi, dan menyediakan matriks untuk remineralisasi email. Berbagai protein saliva yang terdapat pada pelikel adalah glikoprotein (mucin) yang berfungsi untuk mengaglutinasi bakteri dan lisozim yang melisis dinding sel bakteri. Hasil akhir dari proses ini akan mengakibatkan pelepasan peptidoglikan dari dinding sel bekteri yang akan mengaktifkan komplemen dan immunoglobulin untuk mengaglutinasi bakteri (Roberson, 2002).

Kelompok organisme pioneer pada kolonisasi awal adalah coccid dan

rods Gram positif yang kemudian diikuti oleh coccid dan rods Gram negatif

dan yang terakhir adalah flaments, fusobacteria, spirilis, dan spirochaetes (Samaranayake, 2002). Tahap selanjutnya adalah koagregasi atau koadhesi mikroorganisme baru pada bakteri yang sudah melekat sebelumnya, sehingga mengakibatkan meningkatnya keanekaragaman mikroflora plak. Kemudian bakteri-bakteri yang melekat ini akan bermultiplikasi membentuk biofilm. Fase penting lainnya dalam pembentukan plak adalah sintesa polimer ekstraselluler oleh bakteri-bakteri yang melekat yang berperan sebagai sumber makanan dan memfasilitasi agregasi atau adhesi bakteri (Marsh, 1999).

Bakteri yang telah melekat memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari biofilm dan memasuki fase planktonik pada saliva. Bakteri-bakteri pada fase ini akan memfasilitasi terbentuknya kolonisasi baru di tempat lain (Marsh, 1999). Pembentukan biofilm dapat dilihat pada Gambar 5.

Dokumen terkait