• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Lahan Kering Masam

Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani (2006) lahan kering dikelompokan menjadi dua yaitu lahan kering tidak masam dan lahan kering masam. Lahan kering di Indonesia umumnya bereaksi masam. Lahan masam memiliki ciri sifat pH rendah (asam), kapasitas tukar kation, kejenuhan basa (KB), dan C-organik rendah, kandungan alumunium tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan unsur biotik rendah (Suprapto, 2001).

Alumunium merupakan mineral yang banyak dikandung oleh tanah pada saat kondisi kekeringan. Alumunium berinteraksi dengan komponen organik dan anorganik tanah, pada umumnya terjadi pada pH kurang dari 5.5 (Soemartono, 1995). Kelarutan Al meningkat pada tanah bereaksi masam. Kelarutan Al yang tinggi dapat meracuni tanaman kedelai. Tanaman kedelai memerlukan P lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti gandum dan jagung. Cekaman kahat P biasanya terjadi pada fase awal pertumbuhan tanaman yaitu akar-akar tanaman kurang berkembang sehingga tidak mampu menyediakan seluruh kebutuhan P. Fosfor dapat diikat kuat oleh Al dan Fe pada tanah masam sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Daun-daun tua pada kedelai yang kahat P sering menampakkan warna ungu karena terjadinya akumulasi antosianin (pigmen ungu). Masalah lain yang sering muncul di lapangan adalah toksisitas mangan (Mn) serta kahat Ca. Tokisistas pada tanaman kedelai ditandai dengan rusaknya (terganggunya) sistem perakaran. Berbeda dengan Al, toksisitas Mn terjadi pada bagian atas tanaman. Pengecilan, pengeringan, dan karat daun merupakan gejala toksisitas Mn pada kedelai (Atman, 2006).

Pengaruh Kekeringan terhadap Morfologi dan Hasil Kedelai

Keragaman toleransi tanaman kacang-kacangan terhadap cekaman kemasaman lahan ditunjukkan oleh tinggi tanaman, panjang dan bobot kering akar, ukuran biji, dan hasil biji atau polong. Tanaman kacang-kacangan yang tercekam kemasaman lahan tumbuh lebih pendek, ramping dengan perakaran pendek dan tidak lebat, biji berukuran lebih kecil dan hasil lebih sedikit dari tanaman normal (Trustinah et al., 2008).

Adaptasi tanaman pada cekaman kekeringan yaitu dengan mengurangi luas permukaan daun untuk mengurangi transpirasi yang ditunjukkan dengan penurunan bobot kering (BK) tajuk serta menyerap air lebih tinggi (sistem perakaran air panjang) (Hamim et al., 1996; Hapsoh et al., 2004). Sumarno (2005) menambahkan, gejala yang muncul saat tanaman dalam kondisi kekeringan yaitu daun berwarna kuning kecoklatan, bunga yang terbentuk minimal dan jumlah polong juga minimal.

Tanaman kedelai yang mengalami cekaman kekeringan pada stadia vegetatif menunjukkan pertumbuhan lambat dan daun sempit serta buku batang yang pendek sehingga penampilan tanaman akan kerdil, cepat berbunga, defisiensi unsur hara baik makro maupun mikro dan potensi hasil hasil yang rendah. Cekaman kekeringan pada waktu pembungaan menyebabkan kerontokan bunga, cekaman pada stadia pembentukan polong akan menyebabkan jumlah polong yang terbentuk turun jumlahnya dan terjadi kerontokan, serta cekaman kekeringan pada stadia pengisian polong menyebabkan penurunan jumlah polong isi dan jumlah biji per tanaman (Hapsoh et al., 2004). Cekaman kekeringan pada stadia pengisian polong juga menyebabkan penurunan ukuran biji (Borges, 2005). Selain itu, cekaman kekeringan dilaporkan mempercepat pembungaan dan umur panen (Jusuf et al., 1993).

Tanaman kedelai yang toleran di tanah masam akan memberikan hasil yang tinggi dengan pertumbuhan akar lebat dan dalam sehingga tanaman lebih tinggi. Sebaliknya, tanaman kedelai yang peka di tanah masam pertumbuhan akar lebih pendek, ringan, tanaman pendek, hasil biji lebih sedikir dan ukuran biji lebih kecil (Trustinan et al., 2008).

Perakitan Varietas Kedelai Toleran Tanah Masam

Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan budidaya kedelai di lahan kering masam adalah relatif rendahnya tingkat kesuburan tanah (pH rendah, kandungan hara makro, dan bahan organik rendah), cekaman kekeringan (akhir musim hujan (MH-II), gangguan hama, gulma dan penyakit tanaman (Arsyad et al., 2007). Kondisi seperti ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Salah satu cara untuk mengatasi masalah cekaman kekeringan adalah dengan memperbaiki genotipe tanaman agar toleran terhadap cekaman (Soemartono, 1995).

Arsyad et al. (2007) menyatakan bahwa program perakitan varietas kedelai adaptif lahan masam diarahkan untuk mendapatkan varietas yang berdaya hasil tinggi dan memiliki sifat agronomis yang diinginkan seperti umur lebih pendek (80 – 82 hari) dan berukuran biji besar (13 – 14 g/100 biji). Upaya perbaikan untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan adaptif pun saat ini sudah banyak dilakukan. Untuk mendapatkan varietas unggul baru dapat ditempuh melalui program pemuliaan tanaman. Salah satu teknik yang digunakan adalah induksi mutasi dengan perlakuan fisik iradiasi sinar Gamma. Teknik ini cukup efesien dalam menciptakan keragaman populasi (Husnil et al., 2006).

Mutasi merupakan perubahan yang terjadi pada materi genetik sehingga menyebabkan perubahan ekspresi. Mutasi dapat terjadi baik pada tingkat pasangan basa, tingkat satuan DNA atau bahkan terjadi pada tingkat kromosom (Jusuf, 2001). Tujuan pemuliaan mutasi adalah 1) untuk memperbaiki satu atau beberapa karakter khusus dari suatu kultivar/galur, 2) untuk membentuk penanda morfologi (warna, rambut, braktea, dan lain-lain), 3) untuk membentuk galur mandul jantan yang berguna bagi pembentukkan kultivar hibrida, 4) untuk mendapatkan karakter khusus dalam genotipe yang telah beradaptasi (Herawati dan Setiamihardja, 2000).

Bahan fisik yang dikenal sebagai penginduksi mutasi antara lain sinar ultraviolet, sinar X, dan sinar Gamma. Radiasi sinar Gamma merupakan radiasi ionisasi yang dapat menembus sel-sel dan jaringan dengan mudah (Pai, 1999).

Sinar Gamma mempunyai kemampuan penetrasi yang cukup kuat ke dalam jaringan tanaman. Penggunaan radiasi sinar Gamma dalam perakitan kultivar kedelai merupakan salah satu cara guna mendapatkan varietas unggul dan berdaya hasil tinggi (Herawati dan Setiamihardja, 2000).

Pengembangan kedelai toleran tanah masam yang berdaya hasil tinggi diawali dengan melakukan seleksi terhadap galur-galur hasil mutasi yang telah dilakukan oleh para pemulia IPB pada tahun 2009. Tetua galur yang digunakan adalah varietas Argomulyo. Keragaman genetik dari galur tersebut diperoleh dari induksi mutasi dengan meradiasi benih kedelai menggunakan sinar Gamma yang bersumber dari Cobalt-60. Dosis yang digunakan adalah 50, 100, 150, dan 200 Gy. Perlakuan induksi mutasi tersebut menghasilkan generasi M1 (Diana, 2012). Generasi M1 adalah generasi yang berasal dari biji yang mendapatkan perlakuan mutagen baik mutagen fisik maupun kimia (Idris, 2009). Diperoleh 4 populasi hasil iradiasi yang dikembangkan sampai M4 dengan seleksi pedigree untuk karakter agronomi. Pada generasi M5 dilakukan seleksi untuk toleransi terhadap kekeringan di rumah plastik dan terpilih 50 galur putatif mutan. Hasil seleksi pada M5 kemudian dilakukan penanaman dilahan optimum sehingga didapat benih M6. Kelima puluh benih M6 kemudian ditanam di lahan kering bertanah masam di Kecamatan Natar, Lampung Selatan dan diseleksi 25 galur paling toleran (Diana, 2012). Galur-galur tersebut untuk selanjutnya perlu dilakukan pengujian daya hasil untuk mendapatkan galur-galur yang berdaya hasil tinggi dan adaptif di tanah masam. Pembentukan genotipe kedelai toleran tanah masam ini bertujuan untuk memperbaiki karakter agronomi dan kualitas hasil kedelai sehingga sesuai dengan kondisi agroekologi yang diinginkan (Arsyad et al., 2007).

Uji Daya Hasil

Daya hasil adalah karakter kuantitatif yang menjadi target pemuliaan tanaman (Roy, 2000). Pengujian daya hasil dilakukan terhadap galur-galur terbaik hasil seleksi pada generasi tertentu. Galur-galur harapan yang telah melalui tahap pengujian daya hasil (pendahuluan, lanjutan dan multilokasi) dan menunjukkan

keragaan yang lebih unggul dibandingkan dengan varietas pembanding serta stabil dapat diusulkan untuk dilepas sebagai varietas baru (Arsyad et al., 2007).

Pengujian daya hasil pada umumnya dibagi menjadi tiga tahap, yaitu a) uji daya hasil pendahuluan (UDHP), b) uji daya hasil lanjutan (UDHL), dan uji multilokasi (UML). Pada tahap pengujian daya hasil pendahuluan ini diperlukan galur sebanyak mungkin agar peluang untuk mendapatkan galur yang hasilnya tinggi cukup besar (Sumarno, 1982). Uji daya hasil pendahuluan dimaksudkan untuk mengevaluasi untuk yang pertama kali beberapa galur atau varietas yang akan diujikan di suatu daerah baru (Tulus, 2011). Pengujian daya hasil pendahuluan ini dilakukan pada 2 – 3 lokasi dengan 2 ulangan per lokasi, selama 1 – 2 musim. Dalam pengujian daya hasil varietas unggul yang ada perlu diikutkan sebagai pembanding. Galur yang rata-rata hasilnya lebih tinggi daripada varietas pembanding dapat dilanjutkan pengujiannya ke pengujian daya hasil lanjutan (Sumarno, 1982).

Pada tahap pengujian daya hasil lanjutan galur yang diuji antara 15 – 30 galur termasuk varietas unggul pembanding. Jumlah lokasi sekurang-kurangnya 4 lokasi, dalam waktu 2 – 4 musim tanam. Tahap uji multilokasi ini hanya 5 – 10 galur harapan saja yang perlu diuji. Tujuan pengujian pada uji multilokasi ini adalah untuk mengetahui daya adaptasi dari galur-galur harapan yang akan dilepas sebagai varietas unggul baru (Sumarno, 1982). Ukuran petak percobaan pada pengujian daya hasil pendahuluan lebih kecil ( 6 – 8 m²) dari pada pengujian daya hasil lanjutan,sementara ukuran petak percobaan pada uji multilokasi berkisar antara 10 – 15 m² (Arsyad et al., 2007).

Pendugaan Parameter Genetik

Ragam genetik suatu populasi sangat penting dalam program pemuliaan tanaman, oleh karena itu pendugaan besarannya perlu dilakukan. Ragam yang diukur dari suatu populasi untuk karakter tertentu merupakan ragam fenotipe. Ragam fenotipe sebenarnya terdiri dari ragam genetik, ragam lingkungan serta interaksi antara ragam genetik dan ragam lingkungan (Syukur, 2005). Keragaman

fenotipe adalah keragaman yang dapat diukur langsung dari karakter yang dapat diamati. Keragaman genotipe adalah keragaman yang tidak dapat diukur langsung pengukurannya, pengukurannya dapat diduga melalui analisis ragam (Roy, 2000).

Keragaman genetik disebabkan oleh perbedaan nilai genotipe suatu populasi dinyatakan dengan koefisien keragaman genetik (KKG). Nilai koefisien keragaman genetik membantu pengukuran diversitas genetik pada suatu sifat dan melengkapi cara dalam membandingkan keragaman genetik di dalam sifat-sifat kuantitatif (Kasno et al., 1983). Nilai koefisien keragaman genetik (KKG) dibagi menjadi tiga kategori yaitu sempit ( 0 – 10%), sedang (10 – 20%), dan luas (> 20%) (Alnopri, 2004).

Seleksi dilakukan atas fenotipe tanaman, oleh karenanya perlu ada alat pengukur untuk mengetahui apakah penampilan fenotipe tersebut lebih dipengaruhi oleh peranan faktor lingkungan atau oleh faktor genetik. Alat pengukur tersebut adalah nilai duga heritabilitas yaitu nilai perbandingan antara ragam genotipik dengan ragam keseluruhan (ragam total), dimana ragam total adalah ragam genotipik ditambah dengan ragam lingkungan (Miller, 1989). Heritabilitas merupakan suatu tolak ukur yang bersifat kuantitatif menentukan perbedaan penampilan suatu karakter disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan sehingga akan diketahui sejauh mana sifat tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya (Bari et al., 1982).

Heritabilitas terbagi menjadi dua yaitu heritabilitas arti luas (h²bs) dan heritabilitas arti sempit (h²ns). Heritabilitas arti luas adalah proporsi relatif ragam genetik terhadap ragam total (ragam genetik ditambah ragam lingkungan). Heritabilitas arti sempit adalah proporsi relatif ragam aditif terhadap ragam total (Roy, 2000). Heritabilitas arti luas yaitu untuk menduga seberapa besar pengaruh lingkungan terhadap ekspresi gen pada suatu karakter sedangkan heritabilitas arti sempit ialah untuk menduga seberapa besar sifat aditif diturunkan pada generasi selanjutnya (Falconer dan Mackay, 1996).

Nilai heritabilitas secara teoritis berkisar dari 0 sampai 1. Nilai 0 ialah apabila seluruh variasi yang terjadi disebabkan oleh faktor lingkungan sedangkan nilai 1 apabila seluruh variasi disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian

nilai heritabilitas akan terletak antara kedua nilai ekstrim tersebut (Welsh, 1991). Stansfield (1983) membagi nilai heritabilitas menjadi tiga kategori yaitu nilai heritabilitas tinggi (h² > 50%), heritabilitas sedang (20% < h² <50%), dan nilai heritabilitas rendah (h² < 20%).

Uji korelasi merupakan pengujian untuk mengetahui hubungan keeratan antara dua peubah. Koefisien korelasi adalah koefisien yang menggambarkan keeratan hubungan linier antara dua peubah. Nilai r yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan bahwa semakin erat hubungan linier antara kedua peubah tersebut. Nilai korelasi positif maupun negatif berada pada taraf sangat nyata (P < 0.01), taraf nyata (0.01 < P < 0.05), dan taraf tidak nyata (P > 0.05) (Gomez dan Gomez, 1995).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2012 di Dusun Bandungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah, Kementrian Pertanian Republik Indonesia, Bogor. Pengamatan komponen hasil dan hasil dilakukan di Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan pada penelitian ini adalah 15 galur mutan M8 yang merupakan hasil seleksi berdasarkan ukuran biji pada M7 dan 2 varietas pembanding yaitu Argomulyo sebagai sumber tetua dan Tanggamus sebagai pembanding varietas toleran tanah masam. Galur-galur tersebut adalah M100- 29A-42-14, M100-33-6-11, M100-46-44-6, M100-47-52-13, M100-96-53-6, M150-29-44-10, M150-7B-41-10, M150-69-47-2, M150-92-46-4, M200-13-47-7, M200-39-69-4, M200-37-71-4, M200-58-59-3, M200-93-49-6, M200-93-49-13.

Pupuk yang digunakan adalah 50 kg Urea/ha, 150 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, inokulan Rhizobium SP dengan dosis 250 g/40 kg benih, insektisida karbofuran 3G dengan dosis 2 kg/ha, dan pestisida dengan bahan aktif tiametoksam, dan kloroantranilipol dengan dosis 100 g/L.

Metode Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal dengan 3 ulangan. Galur harapan kedelai yang terdiri dari 15 galur dan 2 varietas pembanding adalah sebagai perlakuan sehingga terdapat 51 satuan percobaan. Penanaman dilakukan pada petak berukuran 2 m x 2 m dengan jarak tanam 30 cm x 15 cm.

Model aditif linier rancangan percobaan yang digunakan menurut Steel Torrie (1993) adalah:

Yij = μ + αi +ßj + εij Keterangan :

Yij = Respon galur/varietas ke-i terhadap ulangan ke-j µ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh galur/varietas ke-i ßj = Pengaruh ulangan ke-j

εij = Galat percobaan pada galur/varietas ke-i, ulangan ke-j

Pelaksanaan

Penelitian dilakukan pada akhir musim kemarau (MK-I) dengan kondisi non optimum (tanpa kapur). Sebelum diolah dilakukan analisis tanah berupa pH, Al3+, dan KTK. Hasil analisis tanah yang diperoleh adalah pH 5.01, Al3+ 0.05 cmolc/kg, dan KTK 18.62 (Lampiran 6 ).

Pengolahan tanah dilakukan dua minggu sebelum tanam yaitu pembajakan. Luas petak percobaan adalah 2 m x 2 m, diantara petakan dibuat saluran drainase. Jarak antar petak dalam setiap ulangan adalah 0.5 m dan jarak antar ulangan 1 m.

Penanaman dilakukan dengan cara tugal dengan kedalaman antara 2 – 3 cm. Kedelai ditanam 2 benih/lubang sebelum tanam benih kedelai dicampur dengan inokulum rhizobium dan pada saat menanam benih kedelai diberi perlakuan insektisida karbofuran secukupnya untuk mencegah serangan lalat bibit. Jarak tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 cm x 15 cm, terdapat 13 baris dan 7 lajur untuk masing-masing petak percobaan.

Seluruh jenis pupuk yang terdiri dari 50 kg Urea/ha, 150 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha diberikan pada waktu yang bersamaan yaitu pada satu minggu setelah tanam (MST) dengan cara ditugal pada kedalaman kurang lebih 7 cm dan jarak 7 cm dari lubang tanam. Penyulaman dilakukan pada umur 1 MST.

Penyiangan gulma dilakukan secara intensif setiap minggu dengan cara manual (fisik) terutama pada fase vegetatif tanaman. Pengendalian hama dan penyakit tanaman (HPT) dilakukan dengan pemberian insektisida karbofuran saat penanaman dan penyemprotan dilakukan secara intensif disesuaikan dengan populasi hama yang tinggi.

Pengamatan

A. Pengamatan pada setiap satuan percobaan meliputi:

1. Umur berbunga dihitung saat 50% populasi galur/varietas sudah mulai muncul bunga.

2. Umur panen dihitung saat 95% polong dalam populasi galur/varietas menunjukkan warna kuning kecoklatan, sudah mulai mengering, dan daun berwarna kuning kecoklatan atau telah gugur.

3. Bobot biji per petak (g/4 m²), yaitu hasil bobot total biji kering panen tiap petak percobaan.

B. Pengamatan terhadap keragaan karakter agronomi dan hasil dilakukan pada 10 tanaman sampel dimasing-masing satuan percobaan. Pengamatan meliputi: 1. Tinggi tanaman (cm), yaitu dihitung pada saat panen. Tinggi tanaman diukur

dari pangkal akar pada permukaan tanah sampai titik tumbuh.

2. Jumlah cabang produktif, yaitu jumlah total cabang pada batang utama yang menghasilkan polong.

3. Jumlah buku produktif, yaitu jumlah total buku yang terdapat pada batang utama dan cabang pada batang utama yang menghasilkan polong.

4. Jumlah polong berisi per tanaman, yaitu jumlah polong bernas tiap tanaman. 5. Jumlah polong total, yaitu jumlah polong berisi dan polong hampa.

6. Persentase polong isi (%), yaitu persen hasil bagi antara jumlah polong berisi dengan jumlah polong total.

7. Jumlah biji per polong, yaitu rata-rata jumlah biji tiap polong per tanaman. 8. Bobot 100 biji (g), yaitu menimbang bobot 100 biji kering per tanaman.

9. Bobot biji per tanaman (g), yaitu menimbang bobot biji kering tiap tanaman sampel.

Pemanenan dilakukan dengan menggunting batang bagian bawah tanaman, hal ini untuk mengantisipasi kehilangan hasil pada saat panen. Kemudian tanaman dijemur selama 2 – 3 hari sampai beberapa polongnya pecah untuk selanjutnya dilakukan perontokan polong.

Analisis Data

Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) yaitu dengan uji F pada taraf nyata 5% (Steel dan Torrie, 1993). Perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata kemudian diuji lanjut dengan uji t-Dunnet pada taraf nyata 5%. Data juga dianalisis untuk menduga nilai ragam genetik yaitu dengan pendugaan parameter genetik meliputi komponen ragam (ragam genetik, ragam fenotipik, dan ragam lingkungan) dan nilai duga heritabilitas.

a. Ragam lingkungan (σ2e) yaitu pengaruh lingkungan yang menyebabkan terjadinya perbedaan karakter yang diamati.

σ2

e = KTE, dimana KTE = KT galat (Kuadrat Tengah galat)

b. Ragam fenotipik (σ2p), yaitu hasil penjumlahan nilai ragam lingkungan dan nilai ragam genotip.

σ2

p= σ2e + σ2g

c. Ragam genetik (σ2g), yaitu pengaruh genetik terhadap penampilan dari karakter yang diamati.

σ2

g = (KT galur – KT galat)/r, dimana r = ulangan

d. Nilai duga heritabilitas arti luas (h²bs) yaitu proporsi ragam genetik terhadap besaran total ragam genetik ditambah dengan ragam lingkungan.

h²bs = σ2g/ σ2p x 100%

e. Koefisien keragaman genetik (KKG) yaitu nisbah antara akar kuadrat tengah ragam genetik dengan rataan umum, dirumuskan:

f. Hubungan antar karakter dianalisis dengan menghitung nilai koefisien korelasi Pearson. Masing-masing nilai koefisien korelasi dihitung pada taraf nyata 5% (Gomez dan Gomez, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Karakteristik dari lahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah pH 5.1 (masam), konsentrasi Al3+ 0.05 cmolc/kg (sangat rendah). Toleransi kemasaman

tanah (pH tanah) bagi kedelai adalah 5.8 – 7.0. Pada pH kurang dari 5.5 pertumbuhannya terhambat karena keracunan alumunium (Purwono dan Purnamawati, 2007). Pada penelitian kali ini, lahan percobaan tidak diberi kapur maupun bahan organik meskipun pH tanah rendah. Hal ini dikarenakan pemberian kapur akan lebih sesuai jika pH < 5 dan kejenuhan Alumunium (Al-dd) >10% (Kustiastuti dan Taufiq, 2008).

Penelitian sebelumnya yang dilaksanakan di wilayah yang sama dengan lokasi penelitian ini yaitu kecamatan Natar menunjukkan bahwa tanah yang digunakan bertekstur liat pasir dengan komposisi liat lebih tinggi dibanding dengan fraksi pasir dan terendah adalah fraksi debu. Komposisi tanah yang demikian dapat memberikan pengaruh baik untuk pertumbuhan tanaman. Kandungan bahan organik seperti C dan N, rasio C/N sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh lahan tersebut adalah lahan kering (Toyib, 2012).

Tabel 1. Iklim Bulanan Wilayah Beranti Lampung Selatan Bulan Januari- Juli 2012

Unsur iklim Satuan Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Curah Hujan mm 227.4 192.4 172.6 242.5 96.5 52.9 18.2 Hari Hujan hari 21 20 14 12 9 9 6 Kelembaban % 80 83 79 81 80 80 78 suhu Udara C 26.5 26.4 26.8 26.9 27.4 26.5 26.2 Lama

Penyinaran % 46.7 54.8 55 70.4 70.5 67.1 74.2 Sumber : BMKG Beranti, 2012

Tabel 1 menunjukkan data curah hujan wilayah Beranti yang merupakan salah satu wilayah yang berada di Lampung Selatan yang dekat dengan lokasi penelitian ini. Curah hujan di wilayah Lampung Selatan dan sekitarnya tidak

merata disemua wilayah termasuk Kecamatan Natar yang memperoleh curah hujan dapat dikatakan sedikit sehingga kondisi lahan mengalami kekeringan.

Curah hujan bulanan dari bulan Maret sampai Juli 2012 mengalami penurunan. Rata-rata curah hujan per bulan, kelembaban, dan suhu udara selama penelitian berlangsung terhitung pada bulan Maret sampai bulan Juli 2012 masing-masing adalah 116.54 mm/bulan, 79.6%, dan 26.76 °C (BMKG, 2012). Tanaman kedelai dapat tumbuh dengan baik apabila curah hujan didaerah tersebut berkisar antara 100 – 400 mm/bulan (Purwono dan Purnamawati, 2007). Rendahnya curah hujan mengakibatkan kondisi lahan kedelai mengalami kekeringan sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak optimal karena proses metabolisme terganggu.

Lahan yang digunakan untuk penelitian ini berupa lahan kering masam yang sebelumnya ditanami dengan padi gogo. Pada fase vegetatif tanaman kedelai tumbuh dengan baik. Hal ini karena curah hujan cukup bagi pertumbuhan tanaman (Gambar 1). Selama pertumbuhan tanaman tidak ditemukan gejala penyakit tanaman.

Gambar 1. Kondisi tanaman kedelai pada 5 Minggu Setelah Tanam (MST)

Kendala yang dihadapi saat penanaman adalah pada awal penanaman curah hujan dilokasi penelitian tergolong rendah. Hal ini mengakibatkan daya berkecambah benih rendah. Terjadinya penurunan pertumbuhan bukan disebabkan mutu benih yang kurang baik. Penurunan viabilitas benih ini diduga karena air

kurang tersedia bagi benih sehingga proses imbibisi benih terganggu. Menurut Susanti (2011), air merupakan salah satu unsur alamiah utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhan karena air berfungsi untuk menjamin kelangsungan proses fisiologis dan biologi tanaman. Dengan demikian ketersediaan air pada fase awal pertumbuhan sangat diperlukan bagi tanaman.

Fase generatif tanaman sudah mulai berbunga sejak awal munculnya bunga pertama yaitu pada 4 MST (umur 28 hari), kemudian berlanjut memasuki tahap pengisian polong pada 6 MST. Galur-galur mutan M8 berbunga lebih cepat jika dibandingkan dengan Tanggamus (berbunga pertama pada 30 hari). Hal ini sebagai adaptasi tanaman terhadap kondisi kekeringan.

Organisme pengganggu tanaman meliputi gulma dan hama, tidak ditemui gejala penyakit pada tanaman kedelai. Hama yang menyerang tanaman kedelai adalah kepik hijau (Nezara viridula), belalang (Oxya spp.), dan kepik polong kedelai (Riptortus linearis), dan penggerek polong (Etiella zinckenella). Pengendalian hama dilakukan dengan menyemprot tanaman secara intensif yaitu pada 3 MST, 5 MST, 6 MST, 7 MST dan 9 MST.

Gambar 2. Beberapa hama yang menyerang tanaman kedelai, a) dan b) Oxya, spp., c) kepik hijau (Nezara viridula), dan d) larva penggerek polong

Faktor biotik lainnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kedelai adalah gulma. Gulma yang mendominasi disekitar tanaman adalah Boreria alata,

Boreria laevis, Digitaria sp., Ephorbia hirta. Pengendalian gulma dilakukan

secara intensif terutama pada 3 MST dan 6 MST dengan cara manual yaitu dicabut dan dibabat menggunakan kored/sabit.

Gambar 2. Beberapa jenis gulma yang dominan di lahan kedelai, a)

Boreria, sp. b) Ageratum conyzoide, dan c) Euphorbia hirta

Keragaan Karakter Agronomi

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa karakter yaitu umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku produktif, jumlah polong berisi, jumlah polong total, bobot 100 biji, bobot biji per tanaman, dan bobot per petak.

Tabel 2. Rekapitulasi Nilai Tengah, Standar Deviasi, dan Kisaran Karakter

Dokumen terkait