2.1 Sumber Bising
Bunyi adalah rangsangan yang diterima oleh telinga karena getaran media elastis. Sifat bunyi ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi bunyi adalah jumlah gelombang bunyi yang lengkap yang diterima oleh telinga setiap detik (Anizar, 2009:155).
Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu. Di sektor industri, bising berarti bunyi yang sangat mengganggu dan membuang energi (Ridwan Harrianto, 2010:130).
Sumber bising dapat diidentifikasikan jenis dan bentuknya. Kebisingan yang berasal dari berbagai peralatan memiliki tingkat kebisingan yang berbeda-beda dari suatu model ke model lain. Proses pemotongan seperti proses penggergajian kayu merupakan sebagian contoh bentuk benturan antara alat kerja dan benda kerja yang menimbulkan kebisingan. Penggunaan gergaji bundar dapat menimbulkan tingkat kebisingan antara 80-120 dB (Sihar Tigor B.T., 2005:4).
Menurut Tarwaka, dkk., (2004:39), sumber kebisingan di perusahaan biasanya berasal dari mesin untuk proses dan alat lain yang dipakai untuk melakukan pekerjaan. Contoh beberapa sumber kebisingan di perusahaan baik dari dalam maupun dari luar perusahaan seperti: (1) generator; mesin diesel untuk pembangkit listrik; (2) mesin produksi; (3) mesin potong, gergaji, serut di
perusahaan kayu; (4) ketel uap atau boiler untuk pemanas air; (5) alat yang menimbulkan suara dan getaran seperti alat pertukangan; (6) kendaraan bermotor dari lalu lintas dll.
2.2 Kebisingan
Suara ditempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya kerja (occupational hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu atau tidak diinginkan secara fisik (menyakitkan pada telinga pekerja) dan psikis (mengganggu konsentrasi dan kelancaran komunikasi) yang akan menjadi polutan bagi lingkungan, sehingga kebisinbgan didefinisikan sebagai polusi lingkungan yang disebabkan oleh suara (Sihar Tigor B.T., 2005:6).
Pengertian kebisingan menurut Sartilo Wirawan Sarwono (1995:92), kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki yang sifatnya subjektif dan psikologik. Subjektif karena bergantung pada orang yang bersangkutan. Secara psikologik bising adalah penimbul stres karena sifatnya yang mengganggu.
2.2.1 Jenis Kebisingan
Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar, yaitu kebisingan tetap dan kebisingan tidak tetap (Sihar Tigor B.T., 2005:7).
2.2.1.1 Kebisingan tetap
Kebisingan tetap dapat dipisah menjadi dua jenis yaitu : 2.2.1.1.1 Kebisingan dengan frekuensi terputus
Kebisingan ini berupa nada murni pada frekuensi yang beragam, contohnya, suara kipas, suara mesin (Gambar 2.1).
Gambar 2.1: Mesin Ganset
(Sumber: Sihar Tigor B.T., 2005:4) 2.2.1.1.2 Broad band noise
Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan nada murni), misalnya gergaji sirkuler, katub gas, dan lain-lain.
2.2.1.2 Kebisingan tidak tetap dibagi menjadi : 2.2.1.2.1 Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)
Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu, misalnya mesin tempa di perusahaan.
2.2.1.2.2 Intermittent noise
Intermittent noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan pada mesin diperusahaan.
2.2.1.2.3 Impulsive noise
Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara berintensitas tinggi (memekakan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat sejenisnya.
2.2.2 Pengukuran Kebisingan
Pengukuran ada yang hanya bertujuan untuk pengendalian terhadap lingkungan kerja namun ada juga pengukuran yang bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tenaga kerja yang bersangkutan (Anizar, 2009:167).
Bunyi diukur dengan satuan yang disebut desibel, dalam hal ini mengukur besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan desibel diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh manusia sampai tingkat bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada telinga manusia. Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, C. Skala yang terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA (Anies, 2005:93).
Pada pengukuran ini dapat digunakan alat “Sound Level Meter” (Gambar 2.3). Alat tersebut dapat mengukur intensitas kebisingan antara 40-130 dB(A) pada frekuensi antara 20-20.000 Hz. Sebelum dilakukan pengukuran harus dilakukan countour map lokasi sumber suara dan sekitarnya. Selanjutnya pada waktu pengukuran “Sound Lever Meter” di pasang pada ketinggian ± (140-150 m) atau setinggi telinga (Tarwaka, dkk., 2004:39).
Gambar 2.3: Sound Level Meter (Sumber: Havis Setiawan, 2011:1)
Menurut Suma’mur P.K (2010:118), maksud pengukuran kebisingan
adalah:
1. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan.
2. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi intensitas kebisingan.
2.2.3 Faktor pengaruh pendengaran pekerja
Tidak semua kebisingan dapat mengganggu para pekerja. Hal tersebut tergantung dari beberapa faktor, diantaranya adalah (Slamet Riyadi, 2011:12) 2.2.3.1Intensitas Bising
Nada 1000 Hz dengan intensitas 85 dB, jika diperdengarkan selama 4 jam tidak membahayakan. Intensitas menentukan derajat kebisingan.
2.2.3.2Frekuensi bising
Bising dengan ftrekuensi tinggi lebih berbahaya dari pada bising dengan intensitas rendah.
2.2.3.3Masa Kerja
Semakin lama berada dalam lingkungan bising, semakin berbahaya untuk kesehatan, misalnya stres kerja.
2.2.3.4Sifat Bising
Bising yang didengarkan secara terus menerus lebih berbahaya dibandingkan bising terputus-putus.
2.2.3.5Usia
Orang yang berusia lebih dari 40 tahun akan lebih mudah stres akibat terpapar bising ditempat kerja.
2.2.4 Efek Kebisingan
Menurut Depkes RI (2003:36), kebisingan di tempat kerja menimbulkan gangguan. Gangguan tersebut dapat dikelompokkan secara bertingkat sebagai berikut:
2.2.4.1 Gangguan fisiologis
Gangguan fisiologis yaitu gangguan yang mula-mula timbul akibat bising, dengan kata lain fungsi pendengaran secara fisiologis dapat terganggu. Pembicaraan atau insruksi dalam pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas sehingga dapat menimbulkan ganguan lain misalnya kecelakaan, pembicaraan terpaksa berteriak, selain memerlukan ekstra tenaga juga dapat menambah kebisingan.
2.2.4.2 Stres
Gangguan fisiologis semakin lama bisa menimbulkan stres. Suara yang tidak dikehendaki juga dapat menimbulkan gangguan jiwa, sulit konsentrasi, dan lain sebagainya.
2.2.4.3 Gangguan patologis organis
Gangguan kebisingan yang paling menonjol adalah pengaruh terhadap pendengaran atau telinga yang dapat menimbulkan ketulian yang bersifat sementara hingga permanen.
2.2.5 Hubungan Kebisingan dengan Kesehatan
Hubungan utama dari kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengar yang menyebabkan ketulian progresif. Mula-mula kebisingan pada pendengaran adalah sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah dihentikan kerja di tempat bising ( Suma’mur P.K, 1996:61).
Menurut A.M Sugeng Budiono (2003:100), hubungan kebisingan terhadap kesehatan pekerja adalah, (1) stres; (2) tekanan darah naik; (3) pusing; (4) denyut jantung bertambah; (5) menggaggu konsentrasi.
2.2.6 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Menurut Suma’mur P.K, 2009:129, Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari dan 5 (lima) hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu. NAB kebisingan adalah 85 dB(A), NAB kebisingan tersebut merupakan ketentuan dalam Kepmenker RI Nomor: Kep-51/Men1999 (Tabel 2.1).
Tabel 2.1: Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Pemajanan per Hari Intensitas Kebisingan dalam dBA 8 4 2 Jam 1 85 88 91 94 30 15 7,5 3,75 Menit 1,88 0,94 97 100 103 106 109 112 28,12 14,06 115 118 7,03 3,52 1,76 Detik 0,88 0,44 121 124 127 130 133 0,22 0,11 Tidak Boleh 136 139 140 (Sumber: Herry Koesyanto dan Eram T.P., 2005:35)
2.2.7 Pengendalian Kebisingan
Adapun cara untuk pengendalian kebisingan. Ada tiga cara, diantaranya adalah:
2.2.7.1 Pengendalian Administratif
2.2.7.1.1 Menetapkan peraturan tentang rotasi pekerjaan
Merupakan salah satu pengendalian administratif untuk mengurangi akumulasi dampak kebisingan pada pekerja.
2.2.7.1.2 Menetapkan peraturan bagi pekerja tentang keharusan untuk beristirahat dan makan
Peraturan ini menetapkan pekerja untuk beristirahat dan makan ditempat khusus yang tenang dan tidak bising. Apabila tempat istirahat tersebut masih terdapat dalam lokasi kebisingan, maka untuk tempat tersebut perlu dilakukan penanganan lebih dalam (pengurangan kebisingan).
2.2.7.1.3 Melakukan pemasangan tulisan bahaya
Tindakan ini dilakukan sebagai suatu perhatian pada titik yang mempunyai potensi kebisingan, misalnya dituliskan pada mesin produksi yang mempunyai kebisingan yang tinggi.
2.2.7.1.4 Menetapkan peraturan tentang sanksi
Sanksi diberikan karena tindakan indisipliner bagi seorang pekerja yang melanggar ketetapan perusahaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian bahaya kebisingan (Sihar Tigor B.T., 2005:97).
2.2.7.2 Pengendalian Teknik
Mekanisme pengendalian bising dapat dilaksanakan melalui tiga arah, yaitu sumber bising, transmisi bising, dan penerima bising. Pengendalian ini dilakukan dengan cara: (Ridwan Harrianto, 2010:145).
2.2.7.2.1 Mengurangi intensitas sumber bising
Cara yang digunakan (1) memilih mesin dengan teknologi yang lebih maju; (2) memodifikasi teknologi sumber bising; (3) pemeliharaan mesin; (4) substitusi; (5) mengurangi intensitas bunyi dari komponen peralatan yang bergetar; (6) mengurangi bunyi yang dihasilkan akibat aliran gas, mengurangi tekanan dan turbulensi gas; (7) mengganti kipas pendorong yang kecil dan berkecepatan tinggi dengan yang lebih besar dan berkecepatan lebih rendah. 2.2.7.2.2 Menghambat transmisi bising
Mengurangi (1) transmisi suara melalui benda padat dengan digunakan bantalan yang fleksibel atau yang mempunyai daya pegas; (2) mengurangi transmisi bising melalui udara dengan digunakan bahan peredam suara pada dinding dan atap ruangan; (3) mengisolasi sumber bising; (4) peralatan yang dapat mengatur distribusi suara; (5) mengisolasi operator pada ruangan yang kedap suara.
2.2.7.3 Penggunaan Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri merupakan alternatif terakhir bila pengendalian yang lain telah dilakukan. Tenaga kerja dilengkapi dengan sumbat telinga (ear plug) atau tutup telinga (ear muff) disesuaikan dengan jenis pekerjaan, kondisi dan penurunan intensitas kebisingan yang diharapkan ( A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003:35).
Ear plug merupakan sumbat telinga yang paling sederhana terbuat dari kapas yang dicelup dalam lilin sampai dengan dari bahan sintetis sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan liang telinga pemakai. Sumbat telinga ini dapat menurunkan kebisingan sebesar 25-30 dB (Gambar 2.4).
Gambar 2.4: Ear Plug
Sumber: Musician Ear Plug and Ear Muff Worn, (2008:1).
Menurut Anizar (2009:174), Ear muff merupakan penutup telinga lebih baik dari pada penyumbat telinga, karena selain menghalangi hambatan suara melalui udara, juga menghambat hantaran melalui tulang tengkorak.
Penutup telinga ini dapat menurunkan intensitas kebisingan sebesar 30-40 dB (Gambar 2.5).
Gambar 2.5: Ear Muff
2.3 Stres
Secara umum dapat dikatakan, bahwa jika seseorang dihadapkan pada pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, individu yang bersangkutan mengalami stres kerja (Anies, 2005:140).
Menurut Rice (1992) dalam Anies (2005:140), seseorang dapat dikategorikan stres kerja, apabila stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi perusahaan tempat orang yang bersangkutan bekerja.
Stres sebenarnya merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan di lingkungan yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam (Pandji Anoraga, 2006:108).
Stres kerja adalah segala rangsangan atau aksi dari tubuh manusia baik yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh itu sendiri. Stres dapat menimbulkan bermacam-macam efek yang merugikan mulai dari menurunnya kesehatan sampai pada dideritanya suatu penyakit ( Tarwaka, dkk., 2004:145). 2.3.1 Sumber Stres
Ada beberapa sumber stres kerja, menurut Cooper (1983) dalam Anies (2005:141), antara lain sebagai berikut:
2.3.1.1Lingkungan kerja
Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stres dan menurunkan produktivitas kerja. Lingkungan yang kurang nyaman misalnya kebisingan, panas, sirkulasi udara kurang, membuat pekerja mudah menderita stres.
Lingkungan fisik yang berhubungan dengan stres yaitu: 2.3.1.1.1 Kebisingan
Bising merupakan gelombang suara yang dirasakan sebagai gangguan, karena sifatnya yang mengganggu secara psikologik bising adalah penimbul stres (stresor). Tidak adanya kendali pada kebisingan akan menimbulkan stres jika berlangsung lama.
2.3.1.2 Overload (Beban Kerja)
Overload dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan pekerja yang bersangkutan, akibatnya mudah lelah dan berada dalam ketegangan tinggi. Overload kualitatif, bila pekerjaan memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi.
Menurut Tarwaka, dkk., (2004:95), faktor yang berhubungan dengan beban kerja adalah
2.3.1.2.1 Faktor Eksternal
Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja. Aspek beban kerja eksternal sering disebut sebagai stressor. Yang termasuk beban kerja eksternal adalah:
Pertama, tugas-tugas (tasks). Tugas ada yang bersifat fisik seperti, tata ruang kerja, stasiun kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja dan alat bantu kerja. Tugas juga ada yang bersifat mental seperti, kompleksitas pekerjaan dan tanggung jawab terhadap pekerjaan.
Kedua, organisasi kerja. Organisasi kerja yang mempengaruhi beban kerja misalnya, lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, sistem pengupahan, kerja malam, musik kerja, tugas dan wewenang.
Ketiga, lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja adalah yang termasuk dalam beban tambahan akibat lingkungan kerja. Misalnya saja lingkungan kerja fisik (kebisingan, penerangan, getaran), lingkungan kerja kimiawi (debu, gas pencemaran udara), lingkungan kerja biologis (bakteri, virus dan parasit) dan lingkungan kerja psikologis (penempatan tenaga kerja).
2.3.1.2.2 Faktor Internal
Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri sebagai akibat adanya reaksi dari beban kerja eksternal. Reaksi tersebut dikenal dengan strain. Secara ringkas faktor internal meliputi:
1. Faktor somatis, yaitu jenis kelamin, usia, kondisi kesehatan.
2. Faktor psikis, yaitu persepsi, kepercayaan, keinginan, kepuasan, dll. 2.3.1.3 Deprivational stres
Istilah deprivational stres diperkenalkan oleh George Every dan Daniel Girdano, yaitu pekerjaan yang tidak lagi menantang atau menarik bagi pekerja. Akibatnya, timbul berbagai keluhan seperti kebosanan, ketidakpuasan dan sebagainya.
2.3.1.4 Pekerjaan
Ada pekerjaan yang berisiko tinggi dan berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerja di pertambangan, di lepas pantai, pekerja cleaning service pada
gedung pencakar langit dan sebagainya. Semua pekerjaan tersebut berpotensi menimbulkan stres.
2.3.2 Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja
Setiap aspek di pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres. Pekerja yang menentukan sejauh mana situasi yang dihadapi merupakan situasi stres atau tidak. Menurut Stephen P. Robbins, (2002,319), stres dapat dikategorikan menjadi 3 faktor yaitu:
2.3.2.1 Faktor Lingkungan Kerja
Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain dari struktur suatu organisasi juga mempengaruhi tingkat stres dalam suatu organisasi. Faktor lingkungan penyebab stres dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
2.3.2.1.1 Lingkungan kerja fisik
Aspek-aspek lingkungan kerja fisik antara lain (1) Rancangan ruang kerja; (2) Rancangan pekerjaan; (3) Bising ditempat kerja; (4) Ventilasi yang kurang.
2.3.2.1.2 Lingkungan kerja psikis
Beberapa lingkungan kerja psikis yang dapat menyebabkan stres antara lain (1) beban kerja fisik yang berlebihan; (2) Waktu yang terbatas dalam menyelesaikan tugas; (3) ketidakjelasan peran; (4) perselisihan antar pribadi maupun kelompok.
2.3.2.2Faktor Individual
Mencakup faktor-faktor kehidupan pribadi pekerja terutama adalah isu keluarga, masalah ekonomi, dan karakteristik kepribadian yang intern. Ada beberapa faktor individual antara lain:
2.3.2.2.1 Usia
Menurut Depkes RI (2003:15), menyebutkan bahwa usia produktif adalah antara 18-40 tahun. Semakin tua usia seseorang, semakin kecil kemungkinan keluar dari pekerjaan. Faber dalam artikel Jacinta F. Rini (2002) menyatakan tenaga kerja < 40 tahun paling beresiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan stres. Hal ini disebabkan karena pekerja berumur muda dipengaruhi oleh harapan yang tidak realistis jika dibanding dengan mereka yang lebih tua.
2.3.2.2.2 Masa kerja
Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja dari pertama mulai masuk hingga sekarang masih bekerja. Masa kerja yang rentan terhadap penyakit akibat kerja adalah pekerja yang masa kerjanya antara 2-6 tahun, semakin lama orang tersebut bekerja maka semakin lama juga mereka terpapar berbagai penyakit (Suma’mur P. K, 1996:71) .
Sedangkan pada pekerja yang berada pada lingkungan kerja dengan intensitas kebisingan yang tinggi dan dalam waktu yang lama beresiko lebih mudah stres dan mengalami kebosanan dalam rutinitas pekerjaan yang cenderung monoton (Suma’mur P.K., 1996:129). Berdasarkan teori tersebut maka kategori masa kerja dalam penelitian ini adalah:
1. Masa kerja baru : < 6 tahun 2. Masa kerja sedang : 6-10 tahun 3. Masa kerja lama : > 10 tahun 2.3.2.2.3 Kondisi Kesehatan
Kondisi sehat dapat diartikan tidak menderita salah satu atau lebih dari penyakit yaitu tidak memiliki gangguan kesehatan seperti tekanan darah tinggi,
sakit kepala, nyeri punggung dan leher, karena seseorang yang sedang menderita sakit akan mudah terpengaruh oleh efek lingkungan (Sartono, 2002:23).
2.3.3 Gejala Stres
Ada beberapa gejala stres dapat dilihat dari berbagai faktor yang menunjukkan adanya perubahan baik secara fisiologis, psikologis, dan sikap (Sutarto Wijono, 2010:122)
2.3.3.1 Perubahan fisiologis
Ditandai oleh adanya gejala seperti lelah, kehabisan tenaga, pusing, gangguan pencernaan, mulut dan kerongkongan kering, tangan dan kaki dingin berkeringat, otot sekitar leher tegang .
2.3.3.2 Perubahan psikologis
Ditandai oleh adanya kecemasan berlarut-larut, sulit tidur, napas tersengal-sengal.
2.3.3.3 Perubahan sikap
Ditandai perubahan sikap seperti keras kepala, mudah marah, tidak puas terhadap apa yang dicapai, Bingung, gelisah, sedih, jengkel, salah paham, tak berdaya, hilang semangat.
Menurut Pandji Anoraga (2006:110), gejala berat akibat stres sudah tentu kematian, gila dan hilangnya kontak sama sekali dengan lingkungan sosaial. Gejala ringan sampai sedang meliputi:
2.3.3.1.1 Gejala Badan
Gejala badan meliputi: sakit kepala, mudah kaget, keluar keringat dingin, lesu, letih, gangguan pada tidur, kaku leher belakang sampai punggung, dada rasa
panas atau nyeri, nafsu makan turun, mual, muntah, kejang, pingsan, dan sejumlah gejala lain.
2.3.3.1.2 Gejala Emosional
Gejala emosional meliputi: pelupa, sukar konsentrasi, sukar ambil keputusan, cemas, mudah marah atau jengkel, mudah menangis, gelisah dan pandangan putus asa.
2.3.3.1.3 Gejala Sosial
Gejala sosial meliputi: makin banyak merokok atau minum dan makan, menarik diri dari pergaulan sosial, mudah bertengkar.
2.3.4 Terjadinya Stres Kerja
Stres`timbul setiap kali karena adanya perubahan dalam keseimbangan sebuah kompleksitas antara manusia, mesin dan lingkungan. Kompleksitas merupakan suatu sistem interaktif, maka stres yang dihasilkan tersebut ada diantara beberapa komponen sistem. Demikian, stres terjadi dalam komponen-komponen fisik, salah satunya pekerjaan atau lingkungan yang bising dapat mengakibatkan ketegangan pada manusia, sehingga stres akan muncul dan banyak kondisi penghambat lain mempunyai kemungkinan yang tak terelakan sebagai penyebab stres di lingkungan kerja (Pandji Anoraga, 2006:112).
2.3.5 Efek Stres terhadap Pekerja
Stres kerja dapat berakibatkan hal-hal sebagai berikut (Sartilo Wirawan Sarwono, 1995:96).
1. Penyakit fisik yang diinduksi oleh stres yaitu penyakit jantung, hipertensi, mual, muntah.
2. Kecelakaan kerja.
3. Absen: pegawai yang sulit menyelesaikan pekerjaan sebab tidak hadir karena pilek, sakit kepala.
4. Lesu: pegawai kehilangan motivasi kerja.
5. Gangguan jiwa: seperti mudah gugup, tegang, mudah tersinggung, perubahan perilaku mudah bertengkar, kurang berpartisipasi terhadap pekerjaan.
2.3.6 Mengatasi Stres
Menurut Anies (2005:144), dalam menghadapi stres (to fight), mencakup tiga macam strategi yang mestinya dilakukan yaitu:
1. Mengubah lingkungan kerja, jika perlu dengan memanipulasi sedemikian rupa, sehingga nyaman bagi tenaga kerja.
2. Mengubah lingkungan kerja melalui persepsi tenaga kerja, misalnya dengan meyakinkan diri bahwa ancaman itu tidak ada.
3. Meningkatkan daya tahan mental tenaga kerja terhadap stres.
Menurut Sarafino (dalam Eunike R. Rustiana, 2005:63) metode untuk mengatasi stres meliputi:
2.3.6.1 Aksi langsung
Tindakan aksi langsung coping yang terpusat pada masalah, misalnya negoisasi, minta nasehat, hukum seseorang.
2.3.6.2 Pelimpahan pada orang lain
Misalnya seseorang mencari bantuan, ketentraman, dan penghiburan dari keluarga atau teman.
2.3.6.3 Pelepasan emosional
Cara dimana seseorang mengekspresikan perasaannya ketika stres. Misalnya berteriak saat marah, menangis, melucu biar tidak tegang.
2.3.6.4 Dukungan sosial ditingkatkan
Bergabung dalam masyarakat, kelompok keagamaan, kelompok remaja. 2.4 Kerangka Teori
Berdasarkan uraian di atas, dapat digambarkan kerangka teori penelitian (Gambar 2.6).
...
Gambar 2.6: Kerangka Teori
Sumber: Anies (1) (2005), Depkes RI (2) (2003), Jacinta F. Rini (3) (2002), Suma’mur P.K (4) (1996), Tarwaka, dkk., (5) (2004). Sumber Bising (5) Beban Kerja 1.Faktor Eksternal (5) 2. Faktor Internal (5) Faktor Individu 1. Usia (2) (3)(4) 2. Masa Kerja (4) 3. Kondisi (4) Kesehatan Pekerja Stres Kerja (1) Kebisingan (1)
29