• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Menurut Sumarjo et al. (2009) perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia. Manfaat dan fungsi perencanaan adalah sebagai penuntun arah untuk meminimalkan ketidakpastian, meminimalkan inefisiensi sumberdaya serta untuk menetapkan standar dan kualitas. Perencanaan yang ideal adalah perencanaan yang memenuhi tiga prinsip dasar, yaitu : partisipatif, kesinambungan dan holistik.

Perencanaan adalah bagian dari pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan adalah memilih tidakan untuk menyelesaikan permasalahan. Perencanaan terkait dengan penyelesaian masalah di masa yang akan datang sehingga berisikan tindakan yang akan dilakukan di masa datang dan dampaknya juga baru terlihat di masa depan. Tetapi hal ini tidak berarti perencanaan tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi saat ini, karena permasalahan di masa yang akan datang adalah produk dari apa yang terjadi saat ini dan pengaruh faktor luar (Tarigan, 2008).

Konsep wilayah memiliki perspektif yang luas dan kompleks, dan tidak satupun konsep yang dapat diterima secara luas. Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Kerangka klasifikasi wilayah yang dapat

menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah: (1) Wilayah homogen, (2) Wilayah sistem/fungsional dan (3) Wilayah

perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming).

Djakapermana (2010) berpendapat bahwa dalam proses pengembangan wilayah harus dipahami terlebih dahulu konsep mengenai wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi, dan ruang wilayah politik. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (deliniasi yang dibatasi oleh koordinat geografis) yang mempunyai pengertian/maksud tertentu atau sesuai fungsi pengamatan tertentu.

Batas-batas suatu daerah atau wilayah merupakan salah satu aspek yang paling diperhitungkan dalam kegiatan perencanaan. Penetuan batas-batas ini biasanya didasarkan atas berbagai hal, namun ada tiga aspek yang paling menonjol sebagai indikator penentuan batas wilayah, yaitu aspek biofisik, aspek politik dan aspek sosial ekonomi. Maka dalam hal ini, suatu kegiatan perencanaan sangat tergantung pada skala spasial atau batasan-batasan wilayahnya. Skala spasial akan menentukan level detail perencanaan suatu daerah. Disamping pertimbangan spasial, skala waktu juga sangat berpengaruh. Perencanaan yang bersifat jangka pendek lebih detail dibanding perencanaan jangka panjang (Glasson dan Marshal, 2007).

Sebagai suatu kombinasi dari seni serta kumpulan-kumpulan pengalaman dan pendekatan, kajian perencanaan dan pengembangan wilayah memiliki sifat-sifat berikut : (1) Berorientasi kewilayahan, (2) Futuristik, (3) Berorientasi publik. Sebagai ilmu yang mengkaji seluruh aspek-aspek kewilayahan, perencanaan dan pengembangan wilayah mencakup aspek-aspek sumberdaya secara keseluruhan serta interaksi dan interelasi antar wilayah. Disisi lain, sebagai bentuk perencanaan, maka bersifat futuristik, oleh karenanya analisis-analisis yang bersifat prediksi (prediction) dan peramalan (forecasting) berperan sangat penting. Konsekuensi logis dari ilmu yang sering memodelkan keterkaitan integral komponen-komponen wilayah serta banyak melakukan prediksi dan peramalan, secara tradisi kajian-kajian kuantitatif merupakan alat (tools) yang sangat penting. Walaupun falsafah-falsafah ekonomi sangat dominan mewarnai kerangka berfikir ilmu ini, namun pada praktiknya lebih menekankan keberpihakan pada publik dibanding individu-individu (private). Dalam perkembangannya, ilmu dan kajian perencanaan pengembangan wilayah secara umum ditunjang oleh empat pilar pokok, yaitu : (1) Inventarisasi, klasifikasi dan evaluasi sumberdaya, (2) Aspek ekonomi, (3) Aspek kelembagaan (institusional), dan (4) Aspek lokasi/spasial (Rustiadi et al., 2009).

Lahan Pertanian dan Permasalahannya

Menurut Sitorus (2004), sumberdaya lahan (land resource) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat. Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk

kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya lahan diperlukan dalam setiap kegiatan manusia. Penggunaan sumberdaya lahan khususnya untuk aktifitas pertanian pada umumnya ditentukan oleh kemampuan lahan atau kesesuaian lahan, dan untuk penggunaan daerah industri, pemukiman dan perdagangan ditentukan oleh lokasi ekonomi yaitu jarak sumberdaya lahan dari pusat pasar.

Lahan yang sesuai untuk pertanian di kawasan non rawa terdapat seluas 86,2 juta ha yang terdiri atas lahan yang sesuai untuk sawah 21,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 24,8 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan 39,7 juta ha. Meskipun lahan yang sesuai cukup luas, tetapi sebagian besar telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik di sektor pertanian dan non pertanian (Irianto, 2008).

Secara tabular, luas lahan pertanian di Indonesia 70,2 juta ha (BPS, 2008;

www.bps.go.id) sehingga lahan potensial (sesuai) yang tersisa sekitar 23,9 juta ha sebagai lahan pertanian cadangan. Diantara lahan pertanian seluas 70,2 juta ha tersebut terdapat lahan terlantar yang sementara belum diusahakan seluas 11,3 juta ha, sehingga total cadangan lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian diperkirakan seluas 35,2 juta ha. Namun penyebaran lahan tersebut belum diketahui, karena itu diperlukan data spasial (Irianto, 2008).

BBSDLP (2008) mendefinisikan lahan potensial untuk pertanian dan lahan tersedia untuk pengembangan pertanian. Lahan potensial untuk pertanian adalah lahan yang secara biofisik terutama dari aspek topografi/lereng, iklim, sifat fisika, kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk pertanian. Sesuai atau cocok berarti lahan tersebut secara teknis-agronomis mampu mendukung pertumbuhan tanaman dan/atau perkembangan ternak secara optomal. Jika lahan tersebut dikelola dengan baik tidak akan mengganggu kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Lahan potensial belum mempertimbangkan aspek sosial dan hukum, seperti status kepemilikan lahan dan peruntukannya, namun sudah mempertimbangkan penetapan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Lahan tersedia untuk pengembangan pertanian adalah lahan potensial (sesuai) secara fisik untuk pertanian yang saat ini belum dimanfaatkan baik untuk pertanian maupun non pertanian, yaitu lahan yang ditumbuhi oleh alang-alang atau semak belukar. Sama dengan lahan potensial, lahan tersedia juga belum mempertimbangkan status kepemilikan, baik secara adat maupun undang-undang agraria. Oleh sebab itu lahan potensial dan lahan tersedia dapat berada pada kawasan budidaya yang dapat berupa lahan basah (sistem sawah) dan

lahan kering yang sudah diusahakan, atau berada pada kawasan budidaya hutan (hutan produksi atau hutan konversi, hutan tanaman industri atau kawasan Hak Pengusahaan Hutan), baik yang dikelola Perhutani dan Perkebunan Negara maupun swasta).

Pasaribu (2007) berpendapat bahwa bidang pertanian memiliki korelasi positif dengan kedaulatan dan ketahanan pangan. Namun secara faktual terdapat beberapa permasalahan krusial dan menjadi isu serius di negara kita, yaitu antara lain: (1) Kemampuan Indonesia di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri relatif telah dan/atau sedang menurun cukup signifikan, (b) Indonesia berada dalam keadaan sedang “rawan pangan”,

bukan karena tidak ada pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia sudah tergantung dari supply luar negeri dan ketergantungannya semakin besar dan (c) Kurangnya daya dukung sektor pertanian yang komprehensif, termasuk di dalamnya ketersediaan lahan pertanian.

Masalah lahan pertanian terutama pertanian pangan diantaranya berakar dari masalah rendahnya nilai land rent lahan-lahan pertanian. Setiap jenis penggunaan lahan (pertanian dan non pertanian) memiliki nilai land rent yang berbeda. Jenis penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai kapasitas penggunaan lahan terbesar, sehingga penggunaan lahan tertentu akan dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan nilai land rent tertinggi. Demikian juga dengan penggunaan lahan pertanian, meskipun lebih lestari kemampuannya dalam menjamin kehidupan petani, tetapi hanya dapat memberikan sedikit keuntungan materi atau finansial dibandingkan dengan sektor industri, pemukiman dan jasa lainnya sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lain tidak dapat dicegah (Rustiadi dan Wafda, 2008).

Kelangkaan sumberdaya lahan bersangkut paut dengan pertumbuhan penduduk dan persaingan permintaan (competing demands) terhadap lahan. Ada kecenderungan di masyarakat negara-negara berkembang termasuk indonesia bahwa sebagian kelebihan daya beli pada golongan masyarakat berpenghasilan tinggi disalurkan dalam bentuk investasi pada lahan/tanah (Sitorus, 2004).

Alih fungsi lahan adalah sebuah mekanisme yang mempertemukan permintaan dan penawaran terhadap lahan dan menghasilkan kelembagaan lahan baru dengan karakteristik sistem produksi yang berbeda. Fenomena alih fungsi lahan adalah bagian dari perjalanan transformasi struktur ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah

perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota bagi berbagai aktifitas. Sebagai akibatnya wilayah pinggiran yang sebagian besar berupa lahan pertanian sawah beralih fungsi (konversi) menjadi lahan nonpertanian dengan tingkat peralihan yang beragam antarpriode dan wilayah (Dahuri dan Nugroho, 2004). Diperlukan sebuah aturan/regulasi yang dapat menekan dan mengendalikan laju alih fungsi lahan, sehingga lahan-lahan pertanian yang ada dapat terlindungi dari kegiatan alih fungsi.

Permasalahan tersebut semakin diperparah dengan kenyataan terjadinya konversi lahan subur pertanian dan degradasi lahan yang kian masif. Sementara keberlanjutan lahan subur yang ada tidak terjamin dan pencetakan lahan sawah baru relatif kecil. Padahal ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan conditio sine-quanon untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan (sustainable agriculture) (Pasaribu, 2007).

Menurut Krisnamurthi (2008), kedaulatan pangan adalah hak manusia, komunitas dan negara untuk mendefinisikan kebijakan pertanian, tenaga kerja, perikanan, pangan dan lahan yang sesuai secara ekologi, sosial, ekonomi dan budaya mereka. Esensi dari kedaulatan pangan diharapkan tidak memiliki ketergantungan dengan pihak lain. Untuk dapat menjamin kedaulatan pangan di indonesia, salah satu isu penting adalah ketersediaan lahan yang saat ini dianggap sudah kritis. Krisis sumberdaya lahan ini ditandai dengan turunnya kualitas lahan (pertanian), konversi lahan pertanian (yang lebih cepat dari pertambahan lahan pertanian baru), lahan per petani yang semakin sempit (fragmentasi lahan), akumulasi penguasaan lahan pada sedikit pihak, keterbatasan lahan vs peningkatan kebutuhan untuk pangan dll, dan reformasi agraria yang belum berjalan.

Sistem keterkaitan konversi lahan dengan berbagai komponen sistem ketahanan pangan nasional merupakan sistem dengan keterkaitan yang sangat kompleks. Kebijakan yang terkait dengan pengendalian konversi lahan pada sisi produksi pangan ditentukan oleh luas lahan produksi dan produktivitas lahan, sedangkan luas lahan produksi pertanian ditentukan oleh pengembangan atau pemeliharaan irigasi dan pembukaan, pencetakan lahan baru yang selanjutnya ditentukan oleh ketersediaan lahan potensial yang belum dikembangkan dan lahan pertanian kering serta kebijakan perencanaan zonasi/tata ruang/sistem keagrariaan. Ketersediaan lahan pertanian kering akan mempengaruhi kegiatan konversi lahan pertanian. Selanjutnya sistem produktivitas lahan ditentukan oleh

kapasitas SDM pertanian dan fragmentasi lahan pertanian yang selanjutnya menentukan land rent lahan pertanian dan pendapatan petani (Rustiadi dan Wafda, 2008).

Menurut Nelson (1992), pembangunan dan pertanian dapat berjalan berdampingan hanya jika kebijakan perencanaan penggunaan lahan diberlakukan dengan ketat. Kebijakan pelestarian lahan pertanian akan efektif, jika dapat mempengaruhi dan meningkatkan nilai land rent dalam empat cara, yaitu: (1) Dapat meningkatkan nilai produktif lahan pertanian, (2) Dapat menstabilkan, mengurangi, atau menghilangkan nilai konsumtif atas lahan pertanian, (3) Dapat menghilangkan nilai spekulatif lahan pertanian yang tidak efisien, yang bisa terjadi hanya jika nilai spekulatif dihubungkan dengan dampak situasi perkotaan, tidak efisiennya subsidi pembangunan perkotaan, dan kurang menghargai penyediaan barang publik sumberdaya lahan dan (4) Dapat menghilangkan sindrom kefanaan, yaitu ketidakpercayaan di kalangan petani pada sektor pertanian.

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Tersedianya sumberdaya lahan pertanian tanaman pangan yang berkelanjutan merupakan syarat untuk ketahanan pangan nasional. Ketersediaan lahan pertanian pangan sangat berkaitan erat dengan beberapa hal, yaitu: (1) Potensi sumberdaya lahan pertanian pangan, (2) Produktifitas lahan, (3) Fragmentasi lahan pertanian, (4) Skala luasan penguasaan lahan pertanian,

(5) Sistem irigasi, (6) Land rent lahan pertanian, (7) Konversi, (8) Pendapatan petani, (9) Kapasitas SDM pertanian serta, (10) Kebijakan di bidang pertanian (Rustiadi dan Wafda, 2008).

Pencegahan dan pengendalian terhadap adanya alih fungsi lahan terutama sawah perlu dilakukan, mengingat: (1) Konversi lahan sawah beririgasi teknis adalah ancaman terhadap upaya untuk mempertahankan swasembada pangan nasional, (2) Dari segi lingkungan dan pelestarian sumberdaya alam, ekosistem sawah ternyata relatif stabil dengan tingkat erosi yang relatif kecil, dan (3) Dari sudut pandang struktur sosial budaya masyarakat Indonesia, alih fungsi lahan sawah akan menyebabkan ketidakseimbangan hubungan sistematik antara pelaku usaha pertanian dan lahannya karena sawah merupakan pengikat kelembagaan perdesaan sekaligus menjadi public good yang mendorong masyarakat perdesaan bekerja sama lebih produktif (Sabiham, 2008).

Nelson (1992) menyatakan bahwa pembangunan dan sektor pertanian dapat berjalan berdampingan hanya jika kebijakan perencanaan penggunaan lahan diberlakukan dengan ketat. Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang PLPPB diharapkan menjadi salah satu kebijakan yang dapat mengatur tentang perencanaan penggunaan lahan, khususnya lahan pertanian pangan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009, yang dimaksud dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Undang-undang ini digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan nasional (Rustiadi et al., 2010).

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang meliputi : (1) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, (2) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan (3) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Rencana PLP2B dilakukan berjenjang, dimana rencana PLP2B nasional menjadi acuan pada perencanaan PLP2B provinsi. Sedangkan rencana PLP2B provinsi dijadikan acuan dalam perencanaan PLP2B kabupaten/Kota (Rustiadi et al., 2010).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian dan lahan cadangan yang berada di dalam dan/atau diluar KP2B ditentukan dengan menggunakan beberapa kriteria, yaitu :

 Kesesuaian lahan

KP2B ditetapkan pada lahan yang secara biofisik terutama dari aspek kelerengan, iklim, sifat fisik, kimia dan biologi cocok untuk dikembangkan pertanian pangan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan.

 Ketersediaan infrastruktur

KP2B ditetapkan dengan memperhatikan ketersediaan infrastruktur pendukung kegiatan pertanian pangan, diantaranya sistem irigasi, jalan dan jembatan.

 Penggunaan lahan aktual (kondisi existing)

Kriteria lain yang digunakan dalam menetapkan KP2B adalah dengan melihat bentuk/kondisi penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan yang merupakan bentuk alami maupun buatan manusia.

 Potensi teknis lahan

Potensi teknis lahan merupakan salah satu kriteria yang harus diperhatikan dalam menetapkan KP2B. Yang dimaksud dengan potensi teknis lahan adalah lahan yang secara biofisik, terutama dari aspek topografi/lereng, iklim, sifat fisika, kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk pertanian.

 Luasan satuan hamparan lahan

Luasan satuan hamparan lahan dalam menetapkan KP2B dilakukan dengan mempertimbangkan sebaran dan luasan hamparan lahan yang menjadi satu kesatuan sistem produksi pertanian yang terkait sehingga tercapai skala ekonomi sosial budaya yang mendukung produktivitas dan efisiensi produk.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan, disebutkan bahwa kawasan yang dapat ditetapkan menjadi KP2B harus memenuhi kriteria : (a) Memiliki hamparan lahan dengan luasan tertentu sebagai LP2B dan/atau LCP2B, (b) Menghasilkan pangan pokok dengan tingkat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan sebagian besar masyarakat setempat, kabupaten/kota, provinsi dan/atau nasional.

Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan

Rustiadi dan Wafda (2008) berpendapat bahwa dari perspektif sistem geopolitik global dan perkembangan teknologi seperti saat ini hingga beberapa dekade yang akan datang, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan tuntutan yang masih harus terus dipertahankan secara kolektif. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan mencakup tiga aspek, yaitu: (1) Ketersediaan, bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi

kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya serta aman, (2) Distribusi, pasokan pangan dapat menjangkau keseluruh wilayah sehingga

harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga, (3) Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi sesuai kaidah gizi dan kesehatan serta preferensinya.

Permasalahan utama yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan. Permintaan yang meningkat merupakan resultante dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional cukup lambat dan stagnan, karena: (a) Adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, serta (b) Stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional mengakibatkan kecenderungan pangan nasional dari impor meningkat, dan kondisi ini diterjemahkan sebagai ketidak mandirian penyediaan pangan nasional. Dengan kata lain hal ini dapat diartikan pula penyediaan pangan nasional (dari produksi domestik) yang tidak stabil (Suryana, 2005).

Menurut Sumardjo (2009), kebijakan pangan tampaknya perlu mengarah pada:

a. Terjaminnya pangan secara nasional (food availability), baik dari perspektif produksi, ketersediaan, dan distribusi, maupun diversifikasi konsumsi pangan.

b. Terjaminnya ketahanan pangan (food security) yang mampu mengatasi gejolak ketidakpastian faktor alam maupun pengaruh dari luar negeri, sehingga perlu upaya tertentu yang dapat menjamin kestabilan harga. c. Terjaminnya akses rumah tangga terhadap kebutuhan pangan (food

assesibility) sesuai daya beli sehingga menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga.

d. Terjaminnya mutu makanan masyarakat dengan konsumsi gizi yang seimbang (food quality) melalui diversifikasi tingkat produksi, pengolahan maupun distribusi.

e. Tercapainya penyediaan pangan yang aman (food safety) agar terhindar dari bahan-bahan yang merugikan lingkungan maupun kesehatan masyarakat.

Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Undang-undang ini juga menjelaskan bahwa perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

Penataan ruang adalah suatu proses yang melibatkan berbagai komponen kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan buatan yang saling berkaitan secara sistem. Penataan ruang secara prinsip harus didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan daya tampung lingkungan serta pelaksanaannya harus didukung oleh teknologi analisis yang sesuai dan memadai, sehingga dapat dicapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan subsistem (Djakapermana, 2010).

Menurut Rustiadi et al. (2009) dalam proses penataan ruang terdapat landasan penting yang harus diperhatikan sebagai falsafah, yaitu: (1) Sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (2) Menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang, (3) Disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun, (4) Upaya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik secara terencana, (5) Sebagai suatu sistem yang meliputi kegiatan perencanaan, implementasi dan pengendalian pemanfaatan ruang dan (6) Dilakukan jika dikehendaki adanya perubahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, artinya tidak dilakukan tanpa sebab atau kehendak.

Hasil dari proses perencanaan tata ruang wilayah adalah RTRW, yang selain merupakan guidance of future actions juga merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/mahluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras dan seimbang untuk mencapai kesejahteraan manusia/mahluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (Dirjen Penataan Ruang, 2003).

Undang Undang Nomor 26/2007 juga meyatakan bahwa setiap kabupaten/kota perlu menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota sebagai arahan pelaksanaan pembangunan. Sejalan dengan hal tersebut, di

dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan pertanian Pangan Berkelanjutan juga mengamanatkan bahwa penetapan KP2B merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang kawasan perdesaan di wilayah kabupaten dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan merupakan dasar dari penyusunan zonasi.

Evaluasi Kesesuaian Lahan

Masalah penggunaan lahan merupakan masalah yang kompleks, sebab itu perencanaan dan penetapan penggunaan terhadap suatu lahan harus jelas dan transparan kepada semua stakeholders dan sangat ditentukan oleh kesesuaian lahan. Analisis kesesuaian lahan berdasarkan jenis penggunaan lahan diperlukan untuk mengetahui potensi dan kendala atas lahan tersebut. Data yang objektif tentang potensi dan kendala lahan untuk dapat digunakan secara berkelanjutan (Carsjens dan Knaap, 2002).

Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses tataguna lahan. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan demikian akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan. Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya yang terdiri dari iklim, tanah,

Dokumen terkait