• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

2 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kerapu Sunu

Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis di ekosistem terumbu karang, perairan berlumpur, dan hutan bakau termasuk dalam family Serranidae. Dunia internasional dikenal dengan nama grouper, trout, rockcod, hinds, sea

basses dan coral reef fish. Terdapat 15 genus dan mencakup 159 spesies

(Heemstra dan Randal 2005; Tucker 1999). Genus Cromileptes, Plectropomus

dan Epinephelus merupakan 3 genus komersial yang telah berhasil dibudidayakan

(Kordi 2001; Ahmad 2002). Tersebar luas di Fasifik barat mulai Jepang bagian selatan sampai pulau Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australia bagian selatan serta laut India bagian timur. Di Indonesia banyak ditemukan di wilayah Perairan

Rumusan Masalah

Kabupaten Kolaka merupakan pintu gerbang bagian barat Sulawesi Tenggara dengan luas wilayah ± 6.914.94 Km2. Terdapat 15 Kecamatan 10 diantaranya terletak pada wilayah pesisir. Luas laut 15.000 Km2 dengan panjang garis pantai 295,875 Km yang terbentang dari Kolaka bagian Utara sampai Kolaka bagian Selatan. Jumlah penduduk wilayah ini secara keseluruhan sebanyak 243,246 jiwa, yang bermukim pada wilayah pesisir sebanyak 74.882 jiwa (DKP 2011). Berdasarkan hal tersebut Kabupaten Kolaka dapat dikategorikan sebagai Kabupaten pesisir. Salah satu sumber daya ikan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah ikan kerapu sunu. Hasil laporan dinas perikanan Kabupaten Kolaka menyebutkan produksi komoditi perikanan tangkap kerapu mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2011 sebanyak 45%. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan pengendalian sumber daya yang mengakibatkan terjadinya penurunan stok ikan.

Penambahan jumlah unit upaya secara langsung akan memberikan tekanan terhadap sumber daya dan ekosistem. Dampak nyata yang ditimbulkan dalam kurun waktu tertentu akan terjadi penurunan biomassa atau stok disebabkan menurunnya daya dukung lingkungan yaitu sumber makanan dan ruang habitat. Penurunan jumlah hasil tangkapan, ukuran dan perubahan fishing ground

merupakan bukti terjadinya tekanan terhadap sumber daya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka yang ingin dikaji adalah memberikan saran tentang pengelolaan stok sumber daya ikan kerapu yang berkelanjutan di perairan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Kerangka perumusan masalah dapat dilihat secara lengkap pada lampiran 2.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian bertujuan mengkaji pertumbuhan, hasil tangkapan maksimum lestari, laju eksploitasi dan reproduksi ikan kerapu sunu. Manfaat penelitian diharapkan menjadi dasar dalam pengelolaan ikan kerapu sunu di perairan Kabupaten Kolaka.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Kerapu Sunu

Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis di ekosistem terumbu karang, perairan berlumpur, dan hutan bakau termasuk dalam family Serranidae. Dunia internasional dikenal dengan nama grouper, trout, rockcod, hinds, sea

basses dan coral reef fish. Terdapat 15 genus dan mencakup 159 spesies

(Heemstra dan Randal 2005; Tucker 1999). Genus Cromileptes, Plectropomus

dan Epinephelus merupakan 3 genus komersial yang telah berhasil dibudidayakan

(Kordi 2001; Ahmad 2002). Tersebar luas di Fasifik barat mulai Jepang bagian selatan sampai pulau Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australia bagian selatan serta laut India bagian timur. Di Indonesia banyak ditemukan di wilayah Perairan

Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara (Heemstra dan Randall 2005).

Beberapa jenis kerapu telah diidentifikasi berdasar pada morfologi yang berbeda-beda tiap jenisnya termasuk bentuk tubuh, ukuran sirip, bentuk kepala, jumlah jari-jari sirip, gurat sisik, dan gill raker. Beberapa jenis kerapu dewasa dengan ukuran besar pola pewarnaan cukup untuk membedakan spesies tertentu. Spesies yang hidup di perairan dalam memiliki pola pewarnaan lebih kemerahan dibanding spesies yang tertangkap di perairan dangkal. Jenis kerapu yang bisa diidentifikasi diantaranya kerapu sunu yaitu, badan ikan memanjang tegap, kepala dan badan serta bagian tengah dari sirip berwarna abu-abu kehijau-hijauan, cokelat, merah, atau jingga kemerahan dengan bintik-bintik biru yang berwarna gelap pada pinggirnya. Bintik-bintik pada kepala dan bagian depan badan sebesar diameter bola matanya atau lebih besar. Bentuk ujung sirip ekor ikan kerapu sunu rata ujung sirip tersebut terdapat garis putih adapun pada sirip punggung terdapat duri sebanyak 7-8 buah. Laju pertumbuhan kerapu sunu bervariasi menurut kelas umurnya. Awal kehidupan laju pertumbuhan kerapu sunu berlangsung cepat, yaitu 0,81 mm/hari dalam waktu 6 bulan sudah mencapai ukuran panjang total 14 cm. Pada stadia larva ikan ini termasuk jasad pemakan plankton perubahan sifat menjadi karnivora terjadi sejak mencapai stadia juwana. Menjelang dewasa ikan ini tergolong jenis ikan predator yang memangsa ikan-ikan kecil, udang, dan cumi-cumi.

Ikan ini termasuk hermaprhodite protogynous, yaitu proses deferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina ke fase jantan atau memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan setelah mencapai ukuran tertentu (Effendie 2002; Widodo 2006). Perubahan kelamin terjadi pada saat panjang total ikan berukuran antara 42-62 cm, dan untuk mencapai dewasa membutuhkan waktu 2-3 tahun dengan berat >2,5 kg (Elevati dan Aditya 2001). Kerapu sunu merupakan komoditas ekspor yang harganya cukup tinggi. Dua jenis kerapu sunu yang berharga tinggi dan terdapat di Indonesia yaitu P. leopardus

(leopard corral trout) dan P. maculatus (barred cheek corral trout). Spesies kerapu dari genus Plectropomus yang dapat dibudidayakan dan memiliki nilai jual cukup tinggi adalah ikan kerapu sunu atau kerapu merah (Plectropomus

leopardus). Harga jenis leopardus hidup mencapai sekitar US$ 30-50/kg pada

tahun 2010. Jenis ini banyak dibudidayakan karena pertumbuhannya lebih cepat dari jenis ikan kerapu lainnya, benihnya mudah diperoleh dari alam (penangkapan) dan pemijahan dalam bak.

Larva dan ikan kerapu muda hidup di perairan pantai dengan dasar pasir berkarang atau padang lamun dengan kedalaman 0,5–3,0 m. Telur dan larva bersifat pelagis sedangkan yang muda dan dewasa bersifat demersal dan beruaya ke perairan kedalaman 7–40 m pada siang dan sore hari (Tampubolon dan Mulyadi 1989). Beberapa spesies hidup pada kedalaman 100-200 m bahkan sampai kedalaman 500 m, tetapi umumnya ikan kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m (Philip dan Randall 1993). Perairan dengan parameter lingkungan yang umum yaitu temperatur 24–31 0C, salinitas 30–33 ppt, kandungan oksigen terlarut >3,5 ppm dan pH 7,8–8,0 cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu (Setiadi dan Tridjoko 2001; Lembaga Penelitian Undana 2006).

Kebiasaan makan ikan kerapu termasuk jenis ikan karnivora dan makan dengan cara menggerus targetnya yaitu ikan tembang, teri, belanak, crustasea, dan cephalopoda. Termasuk ke dalam predator yang dominan dan tergolong ikan buas, hidup soliter, dan menetap (sedentary). Umumnya ikan karang merupakan jenis ikan yang menetap atau relatif tidak berpindah tempat dan pergerakannya mudah dijangkau (Utojo et al. 1999). Umumnya ikan karnivora mempunyai gigi untuk menyergap, menahan, dan merobek mangsa. Jari-jari insang sebagai penahan, memegang, memarut dan menggilas mangsa. Mempunyai lambung benar dan palsu, usus pendek, tebal dan elastis (Yeeting et al. 2001;Effendie 2002).

Aktivitas reproduksi terjadi dalam satu pemijahan massal (spawning

agregation) yang melibatkan puluhan hingga puluhan ribuan individu (Sadovy

2005). Pemijahan massal adalah kelompok spesies yang sama berkumpul untuk tujuan pemijahan dimana densitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan dilokasi agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Utojo et al. 1999). Umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ini menjadi target bagi aktivitas penangkapan (Sadovy 2005). Eksploitasi pada lokasi pemijahan massal akan berimplikasi terhadap ekologi reproduksi. Individu yang lebih tua dan berukuran besar lebih rentan terhadap penangkapan menyebabkan proporsi jantan menurun dalam populasi. Individu muda yang belum memiliki pengalaman melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal akan menghilangkan lokasi pemijahan tersebut. Namun jika lokasi pemijahan masih berfungsi akan mengganggu keberhasilan pemijahan sebab penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma (Grandcourt et al. 2005).

Catalano dan Allen (2010) menyatakan dalam siklus hidup spesies ikan reproduksi dan rekruitmen merupakan hal yang sangat penting dan kritis sebab proses ini melibatkan perpindahan antar wilayah dan beberapa spesies melakukan migrasi ke daerah pemijahan utama. Umumnya populasi ikan rentan terhadap dampak aktivitas penangkapan di daerah pemijahan (spawning ground) dan di daerah pengasuhan (nursery ground) daerah tersebut stok induk dan juvenil melimpah.

Sistematika ikan kerapu sunu menurut FAO (2005) sebagai berikut : Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata Class : Pisces Sub class : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidea Famili : Serranidae Sub famili : Epinephelinae Genus : Plectropomus

Spesies : Plectropomus leopardus

Nama dagang : Spotted coralgrouper, spotted coraltrout, viele saintsilac, mero con pintas, mero de coral, coral cod, jin hou, sai sing

Gambar 1 Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) (FAO 2005)

Tingkat Kematangan Gonad

Tahapan penting pada siklus reproduksi ikan adalah proses pematangan gonad yaitu tahapan perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad dan bobot ikan akan mencapai maksimum sesaat sebelum memijah kemudian menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Menurut Effendie (2002) pertambahan bobot gonad betina pada saat stadium matang gonad mencapai 10–25% dan jantan 5-10% dari bobot tubuh. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. Romimohtarto dan Juwana (2001) menyatakan kematangan gonad ikan dicirikan dengan perkembangan diameter rata-rata telur dan pola distribusi ukuran telurnya.

Perkembangan gonad ikan secara garis besar dibagi atas dua tahap perkembangan utama yaitu tahap pertumbuhan gonad sampai ikan mencapai tahap dewasa kelamin dan tahap pematangan produk seksual. Perkembangan gonad ikan betina (ovarium) terdiri atas beberapa tingkat yang dapat diamati secara mikroskopis dan makroskopis. Secara mikroskopis perkembangan telur diamati untuk menilai perkembangan ovarium antara lain tebalnya dinding indung telur, keadaaan pembuluh darah, inti butiran minyak, vesikula dan kuning telur. Pengamatan secara makroskopis perkembangan ovarium dengan mengamati warna indung telur, ukuran butiran telur, dan volume rongga perut ikan.

Umumnya ikan kerapu betina setelah melakukan satu kali pemijahan akan mengalami proses diferensiasi gonad dari fase betina ke fase jantan (hermaprodit

protogyni) proses perubahan tersebut yaitu jaringan ovarium mengkerut kemudian

jaringan testesnya berkembang. Menurut Effendie (2002) dan Widodo (2006) ikan kerapu memulai siklus reproduksinya sebagai ikan betina fungsional kemudian berubah menjadi ikan jantan fungsional. Daur hidupnya masa juvenil hermaprodit, masa betina fungsional, masa intersex, dan masa terakhir adalah jantan fungsional. Perkembangan ikan kerapu yang bersifat hermaprodit protogyni dapat diamati secara morfologi. Melalui perkembangan perubahan oogenesis, dapat dibagi menjadi 10 kelas yaitu kelas 1 adalah gonad yang tidak masak ; kelas 2, 3 dan 4 adalah tahap perkembangan masak gonad pada ikan betina. Tahap perkembangan jantan pada kelas 7, 8, 9 dan 10 (Tan dan Tan 1974). Klasifikasi perkembangan gonad ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Tahap perkembangan gonad ikan kerapu

Kelas Keterangan

1 Ovari tidak matang didapatkan oocyt tingkat 1 dan 2 bila tidak terdapat Jaringan yang mengkerut menunjukkan belum pernah terjadi pemijahan 2 Betina dengan ovary matang beristerahat terdapat oocyt tingkat 1, 2,

dan 3, mungkin terdapat jaringan mengkerut sisa pemijahan dulu

3 Betina matang aktif kebanyakan oocyt tingkat 3 dan 4 dan secara morfologi ovary berkembang mudah dikenal

4 Betina pasca pemijahan kelas ini susah didapatkan

5 Transisi sukar dikenal dari luar gonad terlihat mengkerut dan didalamnya kosong jaringan mengkerut banyak didapatkan pada bagian tengah

6 Testes tidak matang hampir sama dengan kelas sebelumnya banyak didapatkan kerutan

7 Testes menuju masak didapatkan kelompok kantung spermatogonia spermatocyt 1 dan 2

8 Testes masak banyak spermatocyt 1 dan 2 didapatkan pula sperma di dalam kantung

9 Testes masak sekali banyak didapatkan spermatozoa di dalam kantung spermatocyt tingkat awal sangat jarang

10 Testes pasca pemijahan kantung sperma umumnya kosong

Sumber : Tan dan Tan (1974)

Pertumbuhan

Mempelajari permasalahan pertumbuhan pada disiplin perikanan sering diucapkan sebagai usaha untuk menghubungkan sebuah peubah yang mencirikan suatu individu (panjang atau bobot spesies) dengan umur dari spesies tersebut. Sejak tahun 1975 dipelopori oleh Henderstrom dari Swedia banyak para ahli dibidang perikanan berikutnya mencoba mengungkapkan teknik-teknik untuk menduga umur ikan. Beberapa karakteristik yang pernah diungkapkan adalah sebaran frekuensi panjang, percobaan bertanda (tagging dan marking), sisik, batu telinga (otolith), bagian tutup insang (opercular), tulang punggung (vertebra), sirip (fin rays) dan sebagainya. Hubungan antara pendugaan umur dengan kecepatan pertumbuhan sangat erat dan memainkan peranan penting dalam dinamika populasi ikan (Boer dan Aziz 2007).

Pertumbuhan ikan merupakan perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) persatuan waktu baik individu, stok, dan komunitas. Sebagian besar individu ikan akan tumbuh sepanjang hidupnya sehingga pertumbuhan merupakan salah satu aspek biologi ikan yang dipelajari secara intensif. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya sulit dikontrol seperti keturunan (genetik), jenis kelamin (sex), umur, jumlah ikan, jenis makanan, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu suhu dan makanan (Effendie 2002). Pertumbuhan yang cepat dapat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai (Hernandez dan Seijo 2003). Menurut Vrijenhoek (1998) faktor genetik yang terbentuk dalam spesies,

jumlah pakan, temperature, dan siklus hormonal dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan.

Model Von Bertalanffy adalah model yang umum digunakan dalam kajian stok ikan yaitu panjang badan sebagai fungsi dari umur. Parameter-parameter yang sering digunakan yaitu panjang infinitif ( ) merupakan panjang maksimum secara teoritis, koefisien pertumbuhan (K), dan t0 yaitu umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Pilling et al. 1999). Model ini menjadi dasar dalam biologi perikanan digunakan sebagai sub model untuk model yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai dinamika populasi ikan (Sparre dan Venema 1999). Pendugaan parameter pertumbuhan metode yang umum digunakan adalah metode anatomik dan analisis frekuensi panjang. Analisis frekuensi panjang bertujuan menentukan umur terhadap kelompok umur-umur tertentu dan memisahkan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran. Analisis frekuensi panjang lebih umum digunakan untuk ikan tropis sebab tidak memerlukan keahlian khusus dalam pengumpulan data dan memerlukan waktu yang singkat sehingga biayanya lebih murah.

Laju Eksploitasi

Potensi penangkapan ikan tahunan sebesar 6,7 juta ton untuk keseluruhan perairan Indonesia yang terdiri dari 2 juta ton untuk zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI) dan 4,7 juta ton bagi perairan laut teritorial (zona 12 mil laut) (Dahuri 2002). Sumber daya ikan demersal Indonesia terdiri dari banyak jenis dan menyebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan, namun potensinya berbeda dari satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dahuri (2002) menyatakan dari 12 wilayah pengelolaan perikanan beberapa lokasi tingkat pemanfaatannya telah melebihi atau mendekati potensi lestarinya, seperti Selat Malaka dan Laut Jawa (> 100%), laut Banda (82,19%) serta Selat Makassar dan Laut Flores (70,50%). Mallawa (2006) mengungkapkan 5 wilayah pengelolaan sumber daya demersal telah mengalami kelebihan tangkap (over exploited) yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda dan Samudera Hindia dan 3 wilayah pengelolaan masih rendah tangkap (under exploited) yaitu Laut Cina Selatan, Laut Seram, dan Samudera Pasifik dan satu wilayah tangkap penuh (fully exploited) yaitu Laut Arafuru. Potensi penangkapan ikan menurun secara cepat mulai dari perairan pantai menuju laut lepas.

Sumber daya ikan termasuk dalam sumber daya hayati yang dapat diperbaharui (renewable resource) namun juga bersifat dapat rusak (depletable

resource). Perubahan populasi ikan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu

rekruitmen, pertumbuhan, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan. Populasi tertutup (closed population) yaitu tidak ada emigrasi dan imigrasi maka faktor utama yang mempengaruhi peningkatan dari populasi hanya rekrutmen dan pertumbuhan (Sparre dan Venema 1999). Pada habitat yang tidak dimanfaatkan populasi akan tumbuh mendekati daya dukung (carrying capacity) habitat tersebut (Sanchez 2000). Populasi ikan dihabitat tersebut akan didominasi ikan-ikan yang berumur tua dan lebih besar jika dibandingkan dengan ikan-ikan yang berada pada populasi di habitat yang ada kegiatan penangkapan. Pengurangan jumlah ikan karena penangkapan akan mengakibatkan turunnya biomassa di bawah daya

dukung habitat dan meningkatkan kesempatan tumbuh bagi ikan-ikan kecil (Sparre dan Venema 1999).

Penangkapan yang terus menerus dari suatu stok ikan yang berukuran besar atau sedang memijah dapat menurunkan karakteristik genetik yaitu kelainan bentuk atau perilaku. Keragaman genetik dari populasi dapat dipengaruhi sehingga menurunkan ketahanannya dalam menghadapi variasi dan perubahan lingkungan (Vrijenhoek 1998). Hurtado et al. 2005; Nelson 2007 menyatakan ciri populasi yang mengalami eksploitasi tinggi adalah perubahan komposisi ukuran ikan menjadi lebih kecil sehingga secara signifikan akan berpengaruh terhadap hasil reproduksi. Ikan berukuran besar memiliki potensi produksi yang lebih besar dibandingkan ikan yang berukuran kecil. Eksploitasi dengan skala besar menyebabkan perubahan struktur ikan. Nelayan cenderung menangkap ikan yang berukuran besar daripada ikan yang berukuran kecil. Akibatnya populasi ikan akan didominasi oleh ikan ukuran kecil yang mengalami kematangan gonad lebih awal (Effendie 2002). Sanchez (2000) menyatakan penangkapan yang berlebihan akan menurunkan ukuran dan umur ikan pada populasi tersebut.

Laju eksploitasi didefenisikan sebagai suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup dengan kata lain laju eksploitasi adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik karena kematian alami maupun penangkapan. Menurut Pauly (1984) laju eksploitasi (E) merupakan rasio antara mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z). Mortalitas penangkapan dapat diperoleh setelah mortalitas total (Z) dan mortalitas alami (M) diketahui. Mortalitas penangkapan (fishing

mortality rate) merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort)

mencakup jumlah, jenis ikan, efektivitas alat penangkapan dan waktu yang digunakan untuk melakukan penangkapan. Mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy yaitu K dan Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu pula sebaliknya. Pauly (1984) menyatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan, panjang maksimum teoritis, dan laju pertumbuhan. Laju mortalitas total dapat diestimasi menggunakan metode Beverton-Holt berbasis data panjang (Sparre dan Venema 1999). King (1995) menyatakan laju mortalitas total merupakan hasil penambahan dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Eksploitasi optimal dari suatu stok ikan terjadi jika mortalitas penangkapan sebanding dengan mortalitas alaminya sehingga laju eksploitasi optimal (E) = 0,5. Sumberdaya dikatakan mengalami penangkapan lebih (overfishing) jika laju exsploited >0,5 dan under exploited bila penangkapannya < 0,5.

Laju eksploitasi merupakan bagian dari populasi yang ditangkap selama periode waktu tertentu (1 tahun). Populasi yang tidak dieksploitasi mortalitasnya mencakup mortalitas alami yang terdiri dari proses-proses seperti pemangsaan, penyakit, dan kematian melalui perubahan drastis dari lingkungan. Populasi yang di eksploitasi mortalitas totalnya terdiri dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Perbedaan mortalitas alami dan mortalitas total yaitu mortalitas total berdasarkan pada wilayah penangkapan dan alat tangkap sedangkan mortalitas alami berdasarkan pada wilayah (Carlson et al. 2008).

Tangkapan Maksimum Lestari

Tingkat upaya penangkapan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tertinggi dicirikan oleh Fmsy dan hasil tangkapannya dicirikan oleh MSY

(Maximum Sustainable Yield) yaitu jumlah atau berat tangkapan maksimum yang

dapat diperoleh dari suatu stok sumber daya ikan tanpa mempengaruhi reproduksinya dan rekruitmen dimasa depan. Sparre dan Venema (1999) mengungkapkan tangkapan maksimum dapat diperoleh tanpa mempengaruhi produktivitas stok ikan dalam jangka panjang. Ungkapan dalam jangka panjang digunakan karena seseorang dapat memperoleh hasil yang tinggi dalam tahun tertentu lalu serentak meningkatkan upaya penangkapan tapi diikuti dengan hasil yang makin berkurang pada tahun-tahun berikutnya karena sumber dayanya telah ditangkap (Gambar 2).

Hasil tangkapan

MSY

FMSY Upaya penangkapan Gambar 2 Tujuan dasar pengkajian stok ikan (Sparre dan Venema 1999)

Usaha perikanan tangkap memanfaatkan sumber daya hayati perikanan yang dapat pulih. Sumber daya tersebut dapat dieksploitasi pada tingkat tertentu tanpa menimbulkan dampak negatif. Eksploitasi yang lebih besar melalui penambahan upaya seperti penambahan jaring dan kapal tidak akan meningkatkan hasil tangkapan namun sebaliknya akan menurunkan stok ikan. Gordon (1957) in Clark (1985) menjelaskan kondisi perikanan bebas tangkap adalah kondisi siapa saja dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan tanpa ada pembatasan. Kondisi perikanan akses terbuka tingkat upaya penangkapan akan meningkat sedangkan keuntungan yang diperoleh akan sama dengan nol.

Pendugaan model MSY umumnya menggunakan model surplus produksi melalui estimasi besarnya kelimpahan biomassa dan potensi dari satu jenis atau kelompok sumber daya. Metode yang sederhana dan murah karena hanya membutuhkan data tentang hasil tangkapan atau produksi. Surplus produksi didasarkan pada asumsi bahwa setiap spesies ikan setiap tahunnya akan menghasilkan jumlah berlebih (surplus) yang dapat ditangkap dan jika ditangkap sebanyak surplus yang dihasilkan maka sumber daya tersebut akan tetap lestari. Tujuan penggunaan model surplus produksi untuk menentukan tingkat upaya optimum yaitu suatu upaya yang menghasilkan suatu hasil tangkapan yang

maksimum dan lestari. Metode ini banyak digunakan di daerah perairan tropis karena dalam penggunaanya model ini hanya menggunakan hasil tangkapan per upaya (CPUE). Umumnya menggunakan metode produksi surplus dari Schaefer dan Fox yang menitik beratkan pada perbandingan hasil tangkapan yang dihubungkan dengan intensitas penangkapan.

PengelolaanSumber Daya Perikanan

Pengelolaan sumber daya perikanan memang dihadapkan pada suatu sistem yang kompleks yang timbul baik dari sistem sumber daya alam maupun interaksi antara sistem sumber daya alam dengan aspek manusia. Cochrane (2002) menjelaskan pengelolaan sumber daya perikanan didefenisikan sebagai proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi. Penguatan regulasi atau undang-undang yang mengatur aktivitas perikanan dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan perikanan. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan sumber daya perikanan harus memperhatikan semua aspek yang berhubungan dengan sumber daya tersebut sebab seluruh dinamika alam dan intervensi manusia mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi sumber daya perikanan tersebut sepanjang waktu.

Keputusan pengelolaan atau eksploitasi yang dilakukan dimasa lalu akan

Dokumen terkait