• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Teori Inovasi Pertanian

Dalam komunikasi pembangunan pertanian, message atau pesannya haruslah berupa teknologi pertanian. Teknologi pertanian adalah segala sesuatu yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian dan pengkajian pertanian untuk membantu pengembangan pertanian secara umum (Dilla, 2007). Secara umum teknologi (inovasi) pertanian dapat berupa produk (varietas benih), pengetahuan (knowledge) maupun alat dan mesin pertanian. Ketiga jenis teknologi pertanian ini memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga membutuhkan penanganan strategi penyampaiannya kepada petani dengan tahapan dan teknik yang berbeda pula (IRRI, 1998 dalam Dilla, 2007).

Menurut Rogers (2003), inovasi adalah gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang, maka ide tersebut adalah inovasi untuk orang tersebut. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Secara umum, dalam konsep teori difusi inovasi, terdapat lima karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi tingkat adopsi seseorang secara individu, yaitu: (1) Relative advantage (keuntungan relatif), (2) Compatibility (kesesuaian), (3)

Complexity (kerumitan), (4) Trialability (kemungkinan dicoba), dan (5)

Observability (kemungkinan diamati). Kekurang-ajekan dalam mengukur tingkat kerumitan suatu inovasi, dikritisi oleh Leeuwiss (2004) dengan mengganti indikator tersebut dengan less complexity. Berikut ulasan lebih detil tentang kelima ciri inovasi tersebut.

Relative advantage adalah derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik daripada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestise sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan faktor penting. Semakin besar keuntungan relatif inovasi yang dapat dirasakan, tingkat adopsi inovasi juga akan menjadi lebih cepat.

Compatibility adalah derajat dimana inovasi dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dilakukan atau konsisten dengan nilai–nilai yang berlaku, pengalaman- pengalaman terakhir dan kebutuhan adopter (pengadopsi). Ide yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai dan norma sistem sosial tidak akan diadopsi secara cepat sebagaimana inovasi yang sesuai.

Less complexity adalah derajat kemudahan inovasi untuk dipahami dan digunakan. Ide-ide baru yang lebih sederhana untuk dipahami akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang mengharuskan adopter mengembangkan keahlian dan pemahaman baru.

Trialability adalah derajat kemudahan inovasi untuk dicoba pada keadaan sumber daya yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba pada sebagian tahapan penanaman secara umum akan lebih mudah dan cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat diuji-cobakan dalam skala yang lebih kecil.

Observability adalah derajat kemudahan inovasi untuk dilihat dan disaksikan hasilnya oleh orang lain. Kemudahan dalam melihat hasil inovasi oleh seseorang akan memudahkannya dalam mengadopsi inovasi.

Difusi Inovasi dan Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Pertanian Teori utama yang mendasari penelitian survai ini adalah teori difusi inovasi Rogers (2003) tentang proses pengambilan keputusan inovasi pertanian, yang beberapa kasus sudah digunakan oleh misi teknik Taiwan di Indonesia yang merupakan suatu konsep dan fenomena sosial sehingga perlu merumuskan hubungan antar konsep yang sudah dibangun dan meneliti saluran-saluran komunikasi dari tahap knowledge, persuation, decision, implementation sampai confirmation.

Menurut Rogers (2003) pada kondisi-kondisi awal ada empat peubah yang mempengaruhi, yaitu praktek kegiatan sebelumnya, kebutuhan yang dirasakan/masalah-masalah yang dihadapi, kebaharuan/ide-ide yang baru, dan norma sistem sosial.

Penelitian ini salah satunya akan lebih menekankan pada norma sistem sosial yang menurut pengamatan awal mempunyai pengaruh cukup kuat. Sistem sosial memiliki pengaruh yang cukup penting dalam difusi ide-ide baru. Inovasi dapat diadopsi (adopted) atau ditolak (rejected) oleh seseorang sebagai anggota dari sebuah sistem atau keseluruhan sistem sosial, dimana keputusan adopsi ditentukan oleh keputusan bersama atau oleh kekuasaan. Dari dua hal tersebut, Rogers (2003) membagi keputusan inovasi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Optional innovation

inovasi yang dila anggota lainnya d individu kemungki individu.

2. Collective innovat

sebuah inovasi yan sosial/kelompok. mengkonfirmasi te 3. Authority innovat

sebuah inovasi ya sebuah sistem yang

Proses keputus unit pengambil keputus inovasi, penentuan mengadopsi atau m keputusan yang suda keputusan inovasi terj

Gambar 1. Taha Kelima tahapa Tahap pertama, pen

Kondisi Awal: 1. Kegiatan sebelumnya 2. Kebutuhan yang dirasakan/masalah 3. Kebaharuan ide (innovativeness)

4. Norma sistem sosial

Karakterist Keputusan: •Karakterist ekonomi •Peubah ind •Perilaku ko

ation-decisions. Pilihan untuk mengadopsi atau dilakukan oleh seseorang secara bebas terha

dalam sebuah sistem sosial. Dalam kasus ungkinan dipengaruhi oleh norma dan jaringan kom

nnovation-decisions. Pilihan untuk mengadopsi yang dilakukan oleh konsensus antara anggota

. Seluruh unit dalam sistem sosial bi i terhadap keputusan yang dibuat oleh sistem sos

nnovation-decisions. Pilihan untuk mengadopsi yang dilakukan oleh beberapa orang yang rel ang memiliki kekuasaan, status atau keahlian tekni putusan inovasi adalah proses yang dilakukan oleh

putusan lainnya mulai dari pencarian informasi a n sikap terhadap inovasi, pembuatan ke menolak, penerapan ide baru, dan konfi udah diambil. Rogers (2003) menggambarkan

erjadi dalam lima tahapan (Gambar 1).

ahapan proses keputusan inovasi (Rogers, 2003) pan proses keputusan inovasi memiliki cir engetahuan (knowledge) terjadi pada saat

Saluran-Saluran Komunikasi 1.Mengadopsi 2.Menolak istik Pengambil an: eristik sosial individu

u komunikasi Persepsi mengenai karakteristik inovasi:

Relative advantage Compatibility Complexity Trialability Observability u menolak sebuah rhadap keputusan us ini, keputusan n komunikasi antar

dopsi atau menolak ota sebuah sistem biasanya harus sosial tersebut. dopsi atau menolak

relatif sedikit dari n teknik.

oleh seseorang atau si awal dari sebuah eputusan untuk konfirmasi terhadap kan bahwa proses

, 2003)

ciri yang khusus. t seseorang atau

Melanjutkan adopsi Mengadopsi kemudian Tidak melanjutkan Melanjutkan menolak

pengambil keputusan lainnya diterpa informasi mengenai keberadaan sebuah inovasi dan memperoleh pemahaman mengenai bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Tahap kedua, bujukan (persuation) terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya merasakan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap inovasi. Tahap ketiga, keputusan (decisions) terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya melakukan kegiatan yang mengarah pada sebuah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Tahap keempat, penggunaan (implementation) terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya menentukan untuk menggunakan ide baru tersebut. Tahap yang kelima, konfirmasi (confirmation) terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan mencari penegasan kembali terhadap keputusan inovasi yang telah dibuat yang kemungkinannya dapat mengubah keputusan yang telah dibuat jika diterpa informasi yang berlawanan terhadap inovasi.

Hasil review teori difusi inovasi Roger tersebut menyatakan bahwa dalam proses introduksi teknologi, teori difusi inovasi secara khusus dapat mempengaruhinya dalam tiga proses. Pertama, mengingat adopsi merupakan hal yang kompleks, maka proses pembangunan sosial merupakan hal yang pertama harus dilakukan. Kedua, setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda berkaitan dengan teknologi yang dapat mempengaruhi proses adopsi. Ketiga/terakhir, keberhasilan pelaksanaan adopsi teknologi harus memperhatikan dengan serius berbagai hal yang berkaitan dengan aspek kognitif, emosi dan konteks.

Sumberdaya Manusia Pertanian

Sumberdaya Manusia adalah kekayaan lembaga/institusi yang menjadi faktor penentu keberhasilan aktivitas lembaga. Program yang cemerlang atau sarana prasarana yang canggih tidak akan memberikan manfaat yang berarti bagi lembaga apabila tidak didukung oleh ketersediaan SDM yang berkualitas. Sebagai manusia, SDM memiliki pikiran, perasaan dan perilaku tertentu yang melandasi motivasi, sikap, loyalitas, pemahaman peran, komitmen, dan kepuasannya dalam bekerja (Istijanto, 2008).

Pembangunan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu kesisteman, dengan melibatkan seluruh sumberdaya pembangunan yang ada.

Dengan demikian, salah satu subsistem yang terpenting dari pembangunan pertanian adalah "manusia pertanian" (SDM pertanian), sebagai pelaku utama pembangunan, yang merupakan motor penggerak sekaligus pelaksana kegiatan- kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian dan perdesaan. Sumberdaya manusia pertanian secara umum terdiri atas aparatur pemerintah dan masyarakat tani. Termasuk dalam jajaran aparatur pemerintah untuk SDM pertanian adalah dari pengambil kebijakan level menteri sampai kepada petugas lapangan yaitu para penyuluh pertanian. Adapun masyarakat tani adalah petani dan keluarganya (Deptan, 2005).

Aparatur pertanian dipandang bukan hanya sebagai tenaga kerja, tetapi sebagai SDM yang menempatkan aparatur pertanian sebagai manusia seutuhnya yaitu mahluk ciptaan Allah SWT yang ditakdirkan menjadi khafilah di bumi ini. SDM adalah konsep manusia sebagai subyek atau pelaku di muka bumi atau manusia sebagai pemimpin di muka bumi. Dengan konsep ini manusia diharapkan memiliki ilmu dan bermartabat tinggi. Jadi pada hakekatnya pengembangan SDM termasuk menuntut ilmu adalah diwajibkan bagi setiap manusia manakala ingin menjadi manusia seutuhnya atau subyek di muka bumi ini. Secara garis besar ada dua jenis SDM pertanian yaitu: (1) SDM yang bekerja di sektor pertanian dan (2) aparatur pertanian yang melayani mereka.

Aparatur atau SDM pertanian diharapkan dapat menjadi fasilitator, motivator dan dinamisator pembangunan pertanian agar terjadi gerakan pembangunan pertanian oleh petani, pengusaha pertanian dan pedagang pertanian sebagai subyek dalam pembangunan pertanian itu sendiri. Secara status, aparatur pertanian dibedakan menjadi dua. Pertama, aparatur Departemen Pertanian Pusat yang secara hierarkis dan pembinaan karirnya berada langsung di bawah tanggung jawab dan kewenangan Departemen Pertanian. Kedua, aparatur pertanian daerah, yang secara administrasi dan pembinaan karir sepenuhnya tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah. Departemen Pertanian berkewajiban hanya dalam pembinaan kemampuan teknis aparatur pertanian daerah.

Sumberdaya manusia pertanian yang unggul berarti selain memiliki kemampuan teknis juga harus memiliki soft skill yang memadai. Sejalan dengan hal tersebut, Departemen Pertanian, menurut Suryana (2005) telah menetapkan

misi pembangunan pertanian di antaranya adalah mewujudkan birokrat yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi. Oleh karena itu, baik dalam pembinaan maupun perekrutan sumberdaya pertanian Departemen Pertanian sebagai aparatur pemerintah diarahkan tidak hanya pada kecerdasan intelektualitas, namun juga kecerdasan emosional dan spiritual.

Pemberdayaan Petani

Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan dan psikologi komunitas. Oleh karena itu, pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan dapat diamati pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di tingkat komunitas pemberdayaan berarti proses peningkatan kontrol kelompok-kelompok terhadap konsekuensi- konsekuensi yang penting bagi anggota kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al., 1984 dalam Melkote, 2002). Di tingkat individu, Rappaport (1987) dalam Melkote (2002) mendefinisikan pemberdayaan sebagai “perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau pengaruh pribadi dan kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual, kekuasaan politis, hukum legal.” Isu pemberdayaan dalam pembangunan selama ini, lebih banyak diatasi di tingkat individu daripada di tingkat kelompok atau komunitas.

Mengingat penyuluh/pemberdaya masyarakat sebagai pelaku utama dalam komunikasi pembangunan harus mampu beradaptasi dengan lingkungan wilayah kerjanya, maka budaya organisasi yang jelas perlu dikembangkan, misalnya menjunjung nilai (value) berkomunikasi secara asertif, dialogis dan konvergen; mengemban tugasnya secara seimbang, adil dan beradab; berpikir/berorientasi global dalam mengelola sumberdaya lokal; hari esok harus lebih baik dari hari ini, dan sebagainya.

Pendampingan/penyuluhan/pemberdayaan masyarakat yang berkiprah di dunia usaha, kewirausahaan yang semakin modern tidak terhindar dari tuntutan kebutuhan untuk mengembangkan kompetensi para pendamping/penyuluh sesuai dengan perkembangan tuntutan kebutuhan sasaran pendampingan/penyuluhan komunikasi pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan penetapan standar kompetensi bagi seorang penyuluh, agar kinerja penyuluhan dapat diprediksikan arahnya, dijamin kompetensi dan kinerjanya.

Kompetensi diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan (standar). Pengertian ini sejalan dengan Gilley dan Enggland (1989) yang menyatakan bahwa kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan tugasnya. Spencer dan Spencer (1993) menyatakan bahwa kompetensi itu harus ada “Kriteria Pembanding” (criterion

reference) untuk membuktikan bahwa sebuah elemen kompetensi mempengaruhi

baik atau buruknya kinerja seseorang. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa kompetensi merupakan karakteristik dasar seseorang yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia.

Kebutuhan kompetensi bagi penyuluh/pemberdaya setidaknya disusun berdasarkan dua hal, yaitu: (1) kebutuhan pembangunan masyarakat, dan (2) kebutuhan kompetensi berdasarkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pendamping/ penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat.

Pengertian Kewirausahaan

Kewirausahaan adalah usaha kreatif yang dibangun berdasarkan inovasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru, memiliki nilai tambah, memberi manfaat, menciptakan lapangan pekerjaan, dan hasilnya berguna bagi orang lain (Soegoto,2009).

Adapun kewirausahaan menurut instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 1995 adalah semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi atau memperoleh keuntungan lebih besar (Sekneg, 1995). Wira, berarti: utama, gagah, berani, luhur, teladan, ksatria atau pejuang, Swa berarti: sendiri, Sta adalah: berdiri. Kalau digabungkan maka wiraswasta berarti sifat-sifat keberanian, keutamaan dan keteladanan dalam mengambil resiko yang bersumber pada kemampuan diri sendiri.

Soesarsono (1996) lebih menekankan pada aspek wira, yang berarti sikap mental ksatria sehingga tercakup sikap mental yang mulia dan agung, serta berbudi luhur. Seseorang yang hanya menekankan pada sikap usaha bisa saja

menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun dengan sikap wira, maka seorang wirausahawan akan melakukan usahanya dengan penuh kehormatan. Seseorang yang memiliki sikap mental wirausaha adalah gambaran seorang yang ideal karena kemampuannya mengejawantahkan sikap wira dalam pemenuhan kebutuhan dan kehidupannya. Kewirausahaan sesungguhnya mencakup beberapa unsur penting yang satu dengan lainnya saling terkait dan tidak lepas dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: 1. Unsur kognitif (daya pikir)

2. Unsur psikomotorik (keterampilan) 3. Unsur afektif (sikap mental)

4. Unsur intuitif (kewaspadaan).

Keberhasilan hanya akan tercapai apabila pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental positif dilebur menjadi satu. Banyak pengusaha menyatakan bahwa keberhasilannya dalam dunia bisnis adalah karena kuatnya daya intuisinya. Satu hal yang tidak dapat diajarkan adalah passion, seperti bagaimana Wayne Huizenga mengendarai truk sampah ketika mengawali bisnis Waste Management

(Soesarsono, 1996).

(Dinsi, 2004) dalam bukunya Jangan Mau Seumur Hidup Menjadi Orang Gajian, yang mengajarkan untuk melawan kebiasaan tradisional yang sudah mapan di dalam pikiran kita serta mengubah paradigma lama yakni setelah kita lulus bekerja sebagai pegawai seumur hidup berubah menjadi paradigma baru yaitu menjadi seorang wirausahawan. Demikian juga Zimmere dan Scarborough (2002) menyebut seorang pencipta kerja atau seorang wirausahawan sebagai seorang pahlawan.

Bill Gates, pendiri Microsoft yang menjadi orang terkaya kedua di dunia adalah mahasiswa yang drop out dari Harvard University bahwa dalam banyak hal seorang entrepreneur mengandalkan intuisinya dalam mengambil keputusan, namun bukan berarti pembenaran meninggalkan pendidikan. Intuisi muncul berkat tempaan pengalaman, sedangkan salah satu sumber pengalaman adalah pendidikan (Harera & Siadari, 2007).

David McClelland dalam Ciputra (2009) berpendapat bahwa suatu negara akan menjadi makmur apabila mempunyai entrepreneur sedikitnya dua persen

dari jumlah penduduk, contoh negara Singapura tahun 2005 memiliki jumlah

entrepreneur 7,2% dari jumlah penduduknya. Pendidikan kewirausahaan

memiliki peranan penting dalam mengembangkan karakter positif secara pribadi dan juga menanamkam nilai kebaikan universal dalam masyarakat. Peranan tersebut di antaranya adalah:

1. Menstimulasi kompetensi wirausaha, meliputi mengambil inisiatif, menjadi pro-aktif, menghadapi resiko dan implementasi ide.

2. Menstimulasi kompentensi manajemen, meliputi perencanaan, pengambilan keputusan, komunikasi dan mengambil tanggung jawab.

3. Menstimulasi kompetensi sosial, meliputi kerjasama, membangun jejaring, melaksanakan peran baru.

4. Menstimulasi kompetensi perseorangan, meliputi percaya diri, motivasi untuk berprestasi, berpikir kritis dan belajar mandiri.

Pada puluhan tahun lalu pendapat yang diyakini adalah bahwa kewirausahaan tidak dapat diajarkan, namun pada dekade terakhir ini kewirausahaan telah diajarkan di sebagian dunia dan seluruh perguruan tinggi dunia. Pertumbuhan wirausahawan ini membawa peningkatan ekonomi yang luar biasa, mereka telah memperkaya pasar dengan berbagai produk berupa barang jasa yang kreatif dan inovatif (Saiman, 2009).

Pelaku Wirausaha

Richard Cantillon (1755) dalam (Harera & Siadari, 2007) yang dianggap sebagai pencetus istilah entrepreneur menyebutkan inti dari kegiatan entrepreneur

adalah menanggung resiko. Menurut Cantillon, entrepreneur adalah mereka yang membayar harga tertentu untuk produk tertentu untuk kemudian menjualnya dengan harga tidak pasti, sambil membuat keputusan-keputusan tentang upaya mencapai dan memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya, dan menerima resiko berusaha. Artinya, tidak ada jaminan esok hari akan memperoleh keuntungan. Oleh sebab itu Cantillon mengatakan bahwa entrepreneur adalah a self-emplayed person with uncertain return.

Jean-Babtiste (1810) dalam (Harera & Siadari, 2007) menyatakan bahwa

entrepreneur adalah seorang koordinator produksi dengan kemampuan

bergeraknya segala sesuatu. Di tangan seorang entrepreneur, sesuatu yang masih bersifat abstrak, bisa diwujudkan menjadi sesuatu yang dinikmati orang banyak.

Scumpeter (1942) dalam Harera dan Siadari (2007) mendefinisikan

entrepreneur sebagai seorang innovator yang kreatif . Sebagai seorang yang kreatif mereka dilihat sebagai seorang yang menyimpang secara sosial. Menyimpang karena memilih cara yang berbeda dengan orang kebanyakan, Ketika orang kebanyakan ingin menjadi pekerja di perusahaaan besar, seorang

entrepreneur justru memilih mendirikan bisnisnya sendiri. Mereka ingin berkarya dan menghasilkan yang terbaik. Mereka adalah orang-orang yang menyimpang dalam arti positif, a creative innovator (Harera & Siadari, 2007).

Menurut Longenecker et al., (2000), entrepreneur adalah seorang yang memulai atau mengoperasikan sebuah bisnis. Menurut Zimmere dan Scarborough (2002), entrepreneur adalah seorang yang menciptakan sebuah bisnis baru dengan mengambil risiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan sumber- daya yang diperlukan untuk mendirikannya.

Adapun terminologi kewirausahaan menurut Hisrich, et al., (2008) adalah proses dinamis atas penciptaan tambahan kekayaan. Kekayaan diciptakan oleh individu yang berani mengambil resiko utama dalam hal modal, waktu, dan atau komitmen karier atau menyediakan nilai untuk berbagai barang dan jasa. Secara ringkas, kewirausahaan berarti proses penciptaan sesuatu yang baru serta pengambilan resiko dan imbal hasil.

Zimmere dan Scarborough (2002) menjelaskan bahwa bagi seorang wirausahawan, pekerjaan mereka adalah kesenangan. Memang benar bahwa menjadi orang kaya kita memiliki peluang lebih besar untuk hidup bahagia dibandingkan kehidupan dalam kemiskinan.

Longenecker et al., (2000) menuturkan bahwa setiap orang tertarik pada wirausahawan karena adanya imbalan yang kuat. Imbalan kewirausahaan dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kategori:

1. Laba, bebas dari batasan gaji standar untuk pekerjaan yang distandarisasikan. 2. Kebebasan, bebas dari pengawasan dan aturan birokrasi organisasi.

3. Kepuasan menjalani hidup, bebas dari rutinitas, kebosanan dan pekerjaan yang tidak menantang.

Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran

Dari uraian di atas dalam meningkatan kapasitas kewirausahaan petani sayur setidaknya ada tiga syarat keahlihan yaitu: technical skill, social skill, dan

managerial skill. Pada pendampingan misi teknik Taiwan di Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing petani di Indonesia, kapasitas kewirausahaan dapat ditumbuhkembangkan dengan peningkatan technical skill dan soft skill

petani melalui pola komunikasi kelompok.

Pengertian soft skill dalam literatur pembangunan menurut Patrick (1996) dalam bukunya Making College Count, menyebutkan bahwa soft skill dapat dikategorikan ke dalam tujuh area yang disebut Winning Characteristics, yaitu:

communication skills (keahlian berkomunikasi), organizational skills (keahlian dalam berorganisasi), leadership (kepemimpinan), logic (logika), effort (daya upaya/karya), group skills (kemampuan berkelompok), dan ethics (etika). Soft skill merupakan kemampuan nonteknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan. Soft skills juga dapat didefinisikan sebagai: “a sociological term for a person's "EQ" (Emotional Intelligence Quotient), which refers to the cluster of personality traits, social graces, communication, ability with language, personal habits, friendliness, and optimism that mark each of us in varying degrees.” (merupakan istilah sosiologi untuk kecerdasan emosional yang berhubungan dengan serangkaian dari sifat kepribadian, keluwesan sosial, komunikasi, kemampuan berbicara, kebiasaan pribadi, keramah-tamahan, dan optimisme yang menandakan diri kita berada dalam derajat yang beragam).

Terdapat enam komponen dalam soft skill menurut de Bono (2008), yaitu: (1) Interpersonal skills (keahlian interpersonal) terdiri atas: listening skill

(keahlian mendengarkan), assertion skill (keahlian menyatakan), dan

collaborative problem solving skill (keahlian pemecahan permasalahan secara kerja sama); (2) Team spirit (semangat untuk bekerja sama); (3) Social Grace

(keluwesan sosial); (4) Negotiation skill (keahlian bernegosiasi); (5) Business etiquette (etiket bisnis); dan (6) Behavioral traits (sifat perilaku) yang terdiri atas cara berpikir atau sikap, motivasi, dan pengelolaan waktu.

Survei dari National Association of College and Employee (NACE), USA (2002), kepada 457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang juara. Hasilnya berturut-turut adalah kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan bekerja sama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif, kemampuan beradaptasi, daya analitik, kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi, berorientasi pada detail, kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks prestasi (IP ≥ 3,00), kreatif, humoris, dan kemampuan berwirausaha. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kelompok soft skill

berada di prioritas terdepan dari kriteria kualitas penting seorang juara. Oleh karena itu, telah diakui pentingnya soft skill dalam meraih kesuksesan dalam berkarya.

Pasar kerja menganggap bahwa sumberdaya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja, tetapi juga piawai dalam aspek soft skill-nya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan di luar kemampuan

Dokumen terkait