TINJAUAN PUSTAKA
Takokak (Solanum torvum)
Takokak (Solanum torvum) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika
Serikat dan Hindia Barat, namun sudah dikenal lama oleh masyarakat Indian mulai dari Meksiko sampai Brasil dan sekarang sudah menyebar di seluruh daerah tropis di dunia. Tanaman ini dikelompokkan dalam kerajaan Plantae, divisi Magnoliophyta, klas Magnoliopsidae, bangsa Solanales, suku Solanaceae, marga
Solanum, nama jenis Solanum torvum. Takokak dikenal dengan nama yang
berbeda di beberapa tempat, seperti terong pipit (Sumatra), poka, terongan, cepoka, congbelut, cokowana, pokok (Jawa), dan takokak (Sunda) (Hutapea 2000).
Gambar 1 Tumbuhan Takokak (Solanum torvum)
Secara morfologi, tanaman takokak merupakan tanaman perdu dengan tinggi kurang lebih 2 meter. Batang berbentuk bulat, berkayu, bercabang, berduri, percabangannya simpodial, berwarna putih kotor. Daun tunggal tersebar, berbentuk bulat telur, bertepi rata, ujungnya meruncing, berpangkal runcing dengan panjang 27-30 cm, lebar 20-24 cm, pertulangan menyirip, ibu tulang berduri, hijau. Bunganya majemuk, berbentuk bintang, bertajuk, waktu kuncup berbintik ungu, kelopaknya berbulu, bertajuk lima, runcing dengan panjang kurang 5 mm, berwarna hijau muda, memiliki lima benang sari, panjang tangkai kurang lebih 1 m, panjang kepala sari kurang lebih 6 mm, berbentuk jarum,
berwarna kuning, panjang tangkai putik kurang lebih 1 cm, kepala putik berwarna hijau dan putih. Buah berbentuk buni, bulat, masih muda berwarna hijau dan menjadi jingga bila sudah tua. Bijinya pipih, kecil, licin, berwarna kuning pucat. Akar berbentuk tunggang, berwarna kuning pucat (Stevanie 2007).
Takokak banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Khasiat tumbuhan ini di antaranya untuk mengobati sakit lambung, sakit gigi, katarak, tidak datang haid, wasir atau ambeien, radang payudara, influenza, panas dalam, pembengkakan, bisul, koreng, sakit pinggang, asam urat tinggi, keropos tulang, jantung berdebar-debar, menetralkan racun dalam tubuh, dan melancarkan
sirkulasi darah (Hembing 2006). Kusirisin et al. (2009) melaporkan bahwa
takokak secara tradisional digunakan sebagai pengobatan alternatif pada diabetes.
Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal (80-120 mg/dl), yang biasa disebut hiperglikimia, akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut atau relatif. Insulin merupakan hormon yang secara alami di dalam darah dan penting dalam penyediaan energi dalam sel agar dapat berfungsi.
Secara etiologi diabetes melitus dibagi menjadi empat kelompok, yaitu diabetes melitus tipe 1, tipe 2, tipe spesifik akibat kelainan genetik, dan akibat kehamilan. Namun yang banyak diderita adalah diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit diabetes melitus yang tergantung dengan insulin. Tipe ini sangat tergantung dengan insulin dari luar tubuh untuk
menurunkan kadar glukosa darah karena sel-β pankreas penderita tidak memiliki
kemampuan untuk memproduksi insulin. Peristiwa ini terjadi akibat rusaknya
sel-β pankreas akibat proses autoimun tubuh atau serangan virus. Diabetes mellitus
tipe 2 merupakan penyakit diabetes melitus yang tidak tergantung dengan insulin. Penyakit jenis ini diasumsikan bahwa penderita mampu memproduksi insulin
tetapi kerja insulin tidak maksimal (The Expert Committee on the Diagnosis and
Inhibitor α-Glukosidase
Senyawa yang dapat menghambat kerja katalisis enzim disebut dengan inhibitor. Senyawa ini merupakan bagian dari modulator enzim yang memberikan efek negatif terhadap kerja katalisis enzim. Terdapat dua jenis inhibitor, yaitu
yang bersifat reversible dan irreversible. Inhibisi reversible merupakan jenis
inhibisi enzim yang tidak merusak gugus fungsi dari enzim tersebut, hanya
menghambat proses katalisis. Jenis inihibisi reversibel dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu competitive, noncompetitive, dan uncompetitive. Jenis inhibisi kedua adalah
inhibisi irreversible. Jenis inhibisi ini merupakan inhibisi yang dapat merusak
struktur atau gugus fungsi dari enzim sehingga enzim tersebut menjadi tidak aktif. Mekanisme inhibisi ini merupakan mekanisme yang dimiliki oleh obat-obat tertentu seperti obat kanker (Stryer 2000). Proses inhibisi ini dapat membantu penderita diabetes melitus untuk mengurangi kadar gula darah yang tinggi dengan cara menghambat kerja enzim yang berperan membantu penyerapan karbohidrat,
yaitu enzim α-glukosidase.
Enzim α-glukosidase merupakan enzim dari golongan hidrolase. Enzim ini
berfungsi mengkatalisis reaksi akhir dari proses penyerapan karbohidrat di usus.
Enzim ini mengkatalisis hidrolisis ikatan α-1,4 sehingga menghasilkan α
-D-glukosa (Stuart et al. 2004). Terhambatnya kerja enzim α-glukosidase
menyebabkan berkurangnya glukosa yang diserap oleh usus sehingga berkurangnya sumber glukosa yang masuk ke dalam aliran darah. Peristiwa ini mampu membantu menurunkan keadaan hiperglikemia sehingga penderita diabetes dapat mengatur kadar glukosa darahnya. Saat ini banyak obat-obat yang
dibuat untuk menghambat (inhibitor) kerja α-glukosidase.
Beberapa obat inhibitorenzim α-glukosidase dapat ditemukan dengan mudah
seperti, acarbose, miglitol, dan voglibose. Namun, saat sekarang banyak
penelitian yang telah melaporkan bahwa banyak ekstrak tumbuhan yang
berkhasiat sebagai inhibitor α-glukosidase. Salah satu penelitian melaporkan
bahwa asam triterpen yang diisolasi dari daun Lagerstroemia speciosa mampu
menjadi inhibitor α-glukosidase (Wenli et al.2009). Selain itu, beberapa ekstrak
tumbuhan asal Meksiko yang mengandung kaempferol seperti Cecropia
depressa dapat menghambat kerja α-glukosidase secara in vitro dan in vivo (Cetto et al. 2008).
(a) (b) (c)
Gambar 2 Struktur Molekul Acarbose (a), Miglitol (b), Voglibose (c)
Ekstraksi dan Fraksinasi Senyawa Metabolit Sekunder
Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut. Secara umum ekstraksi dilakukan
secara berturut-turut mulai dengan pelarut nonpolar (n-heksana) lalu dengan
pelarut yang semi polar (etil asetat atau dietil eter) kemudian dengan pelarut polar (metanol dan air). Dengan demikian akan diperoleh ekstrak kasar yang mengandung berturut-turut senyawa nonpolar, semi polar dan senyawa polar. Markham (1988) menyatakan bahwa komponen yang terbawa pada proses ekstraksi adalah komponen yang berpolaritas sesuai dengan pelarutnya.
Ekstraksi terdiri dari tahap penghancuran sampel, maserasi, penyaringan dan evaporasi. Penghancuran bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel sehingga meningkatkan kontak antara bahan dan pelarutnya. Maserasi adalah proses perendaman sampel dalam pelarut dengan waktu tertentu sehingga senyawa dalam sampel larut dalam pelarut tersebut. Evaporasi dilakukan untuk menguapkan pelarut sehingga ekstrak dapat terpisah dengan pelarutnya dan dilakukan pada
30-40 oC untuk mengurangi kerusakan senyawa aktif pada suhu tinggi. Hasil
ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah bahan alam, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel serta kondisi dan lama penyimpanan sampel.
Fraksinasi adalah proses pemisahan komponen dalam suatu ekstrak menjadi kelompok senyawa yang memiliki kemiripan karakteristik secara kimia (Rouessac & Rouessac 2007). Proses fraksinasi biasanya menggunakan kromatografi kolom, dalam pemisahan dengan kromatografi kolom ini suatu pelarut pengelusi akan
dialirkan secara kontinu melalui kolom dan komponen demi komponen dari campuran yang pada akhirnya akan keluar dari kolom dapat dikumpulkan.
Kromatografi kolom dilakukan dalam sebuah kolom yang diisi dengan fase diam yang berpori. Cairan digunakan sebagai fase gerak untuk mengelusi sampel keluar melalui kolom, sampel yang ditempatkan di dalam kolom akan terpisah dan digambarkan sebagai pita. Sampel akan bergerak ke bawah dengan bantuan fase gerak dan terpisah jika kekuatan interaksi antara komponen dengan fase diam berbeda, komponen-komponen akan terpisah sebagai sebuah pita.
Kromatografi lapis tipis digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofob. Sebagai fase diam digunakan senyawa yang tak bereaksi seperti silika gel atau alumina. Silika gel biasa diberi pengikat yang dimaksudkan untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat yang biasa digunakan adalah kalsium sulfat. Fase diam KLT yang digunakan biasanya silika gel. Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf berjangka antara 0.00 dan 1.00, dan hanya dapat ditentukan dua desimal. Rf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h) yang menghasilkan nilai 0 sampai 100 (Harvey 2000).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat-alat ekstraksi, neraca analitik, penguap putar, pipa kapiler, alat-alat kaca, spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu Pharmaspec 1700 double beam), spektrofotometer inframerah
(FTIR vector 33 Bruker Company, Ettlingen Germany) dan mikroplat reader.
Bahan-bahan yang digunakan meliputi daun dan buah takokak yang berasal
dari Balitro Bogor, n-heksana, etil asetat, metanol, pereaksi uji flavonoid,
alkaloid, triterpenoid, steroid, saponin, tanin,KLT preparatif, enzim α-glukosidase
(Sigma G 3651-250UN), p-nitrofenil α-D-glukopiranosida (PNG) (Sigma N
1377-5G), Serum Bovine Albumin (SBA), tablet akarbosa (Bayer, Jakarta-Indonesia), dan HCl 2 N.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dimulai dari pengambilan sampel Solanum torvum
Swartz di Balitro Bogor, Bagian tanaman lalu dipisahkan antara daun dan buah. Setelah itu daun dikeringkan dan dibuat dalam bentuk serbuk, sedangkan buah tanpa dikeringkan terlebih dahulu dan dilakukan penentuan kadar air. Serbuk daun diekstraksi dan buah dalam kondisi basah dihaluskan dengan mesin penggiling, kemudian diekstraksi secara bertingkat dengan cara maserasi dimulai dengan
pelarut non polar (n-heksana) kemudian diekstraksi kembali dengan pelarut semi
polar (etil asetat), dan terakhir diekstraksi dengan pelarut polar (metanol dan air). Semua ekstrak yang dihasilkan diuji fitokimia, kemudian dilakukan uji aktivitas
α- glukosidase. Penentuan eluen terbaik dilakukan dengan menggunakan
kromatografi lapis tipis, ekstrak teraktif dipisahkan dengan kromatografi kolom
diperoleh fraksi teraktif. Kemudian dilakukan pemisahan lebih lanjut dengan kromatografi lapis tipis preparatif untuk mendapatkan fraksi teraktif. Hal ini
bertujuan untuk mendapatkan senyawa inhibitor α-glukosidase, karakterisasi dan
identifikasi senyawa dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis, dan FTIR, serta uji kualitatif untuk menentukan golongan senyawanya. Prosedur
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1−3.
Preparasi dan Ekstrak Sampel
Daun takokak berwarna hijau dikeringkan terlebih dahulu hingga kadar air kurang dari 10%. Hasil pengeringan tersebut digiling sampai berbentuk serbuk. Sedangkan untuk buah takokak yang berwarna hijau langsung dibuat serbuk dengan mesin penggiling tanpa dikeringkan terlebih dahulu. Sampel daun dan buah takokak diekstraksi secara bertingkat dengan cara maserasi dimulai dengan
pelarut nonpolar (n-heksana) dan ampas yang diperoleh kemudian dimaserasi
kembali dengan pelarut semi polar (etil asetat) dan terakhir ampas dimaserasi dengan pelarut polar (metanol dan air). Semua ekstrak yang diperoleh disaring dengan menggunakan kertas saring dan dipekatkan dengan penguap putar pada
suhu 40 oC kemudian rendemen tiap ekstrak dihitung.
Penentuan Kadar Air
Cawan porselin dikeringkan pada suhu 105 oC selama 30 menit. Setelah itu,
didinginkan dalam eksikator. Sebanyak masing-masing 3 g serbuk daun dan buah takokak dimasukkan ke dalam cawan porselen yang berbeda dan dipanaskan
dalam oven pada suhu 105 oC selama 3 jam. Setelah itu, cawan diangkat dan
didinginkan dalam eksikator selama 30 menit. Cawan dengan serbuk daun dan buah takokak ditimbang hingga bobot konstan.
Kadar air (%) = A-B x 100% A
Keterangan:
A adalah bobot sampel (g)
Ekstraksi
Proses ekstraksi bahan aktif dilakukan dengan empat jenis pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda yaitu heksana (bersifat nonpolar), etil asetat (bersifat semi polar), metanol (bersifat polar) dan air (bersifat polar). Proses ekstraksi dilakukan secara bertingkat dimulai dari pelarut heksana, etil asetat, metanol, dan air. Sebelum ekstraksi dilakukan, sampel daun yang sudah kering dijadikan serbuk dan ditimbang (± 1 kg), sedangkan buah takokak langsung dimaserasi tanpa dikeringkan terlebih dahulu dan ditimbang (± 5 kg). Kedalam sampel yang telah ditimbang ditambahkan pelarut heksana sampai terendam dan dilakukan proses maserasi selama 24 jam.
Selama proses maserasi bagian atas wadah ditutup dengan aluminium foil untuk mencegah menguapnya kandungan senyawa volatil dalam bahan dan pelarut. Setelah 24 jam, ekstrak disaring dengan menggunakan kertas saring, filtrat yang dihasilkan diuapkan dengan evaporator putar vakum hingga pelarut heksana menguap dan diperoleh ekstrak 1. Residu yang dihasilkan selanjutnya dikeringkan dan ditambah pelarut etil asetat sampai terendam dan dilakukan proses maserasi selama 24 jam. Kemudian disaring kembali dan filtrat yang dihasilkan diuapkan hingga pelarut etil asetat menguap dan diperoleh ekstrak 2. Residu yang dihasilkan selanjutnya dikeringkan dan ditambah pelarut metanol sampai terendam dan dilakukan proses maserasi selama 24 jam. Kemudian disaring kembali dan filtrat yang dihasilkan diuapkan hingga pelarut metanol menguap dan diperoleh ekstrak 3. Residu yang dihasilkan selanjutnya dikeringkan dan ditambah pelarut air sampai terendam dan dilakukan proses maserasi selama 24 jam. Kemudian disaring kembali dan filtrat yang dihasilkan diuapkan hingga pelarut menguap dan diperoleh ekstrak 4. Dari proses ekstraksi ini diperoleh ekstraksi 1 (pelarut heksana), ekstrak 2 (pelarut etil asetat), ekstrak 3 (pelarut metanol), dan ekstrak 4 (pelarut air). Diagram alir proses ekstraksi daun dan buah takokak terdapat pada Lampiran 2.
Setelah mendapatkan ekstrak, dilakukan pengukuran rendemen. Rendemen diperlukan untuk mengetahui dan membandingkan jumlah senyawa atau ekstrak yang dapat terambil oleh pelarut. Banyak ekstrak dihitung berdasarkan rumus:
Rendemen (%) = bobot ekstrak x 100% bobot bahan
Uji Fitokimia
Untuk mengetahui kandungan bahan aktif dari ekstrak dan fraksi aktif
inhibitor α-glukosidase perlu dilakukan uji identifikasi kualitatif golongan
senyawa kimia tanaman (fitokimia) yang terdapat di dalam ekstrak dan fraksi aktif tersebut. Uji fitokimia menurut Harborne (1987) meliputi uji steroid, uji tanin, uji alkaloid, uji flavonoid, dan uji saponin.
Uji Alkaloid. Sebanyak 1 g ekstrak takokak dilarutkan dengan 10 mL
kloroform dan beberapa tetes NH4OH kemudian disaring ke dalam tabung reaksi
tertutup. Ekstrak kloroform dalam tabungreaksi dikocok dengan penambahan 10
tetes H2SO4 2 M kemudian lapisan asamnya dipindahkan ke dalam tabung reaksi
yang lain. Lapisan asam ini diteteskan pada plat tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer, Wagner, dan Dragendorf yang akan menimbulkan endapan warna berturut-turut putih, cokelat, dan merah jingga.
Uji Flavonoid. Sebanyak 1 g ekstrak takokak dari masing-masing sumber ditambahkan 100 ml air panas kemudian dididihkan selama 5 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh kemudian diambil sebanyak 5 mL, ditambah dengan serbuk Mg 0.05 g, 1 mL HCl pekat, dan 1 mL amil alkohol. Campuran dikocok kuat-kuat. Uji positif ditandai dengan munculnya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol.
Uji Terpenoid dan Steroid. Uji ini menggunakan pereaksi Lieberman-Buchard. Pada pengujian ini, sebanyak 1 g ekstrak takokak dari masing-masing sumber dimaserasi dengan 10 mL dietil eter selama 1 jam kemudian disaring. Ke dalam filtratnya ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara berurutan. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Uji positif ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu untuk triterpenoid serta hijau atau biru untuk steroid.
Uji Saponin. Sebanyak 1 g ekstrak takokak ditambahkan ke dalam 100 mL air panas, didihkan selama 5 menit, lalu disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dikocok dalam tabung reaksi tertutup selama 10 detik, kemudian dibiarkan 10 menit. Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih stabil.
Uji Tanin. Sebanyak 1 g ekstrak takokak ditambahkan ke dalam 100 mL air panas kemudian didihkan selama 5 menit lalu disaring. Sebanyak 5 mL filtrat ditambah FeCl3 1 % Uji positif ditandai munculnya warna hijau kehitaman.
Penentuan Eluen Terbaik
Ekstrak pekat dari sampel ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering langsung dielusi dalam bejana elusi yang telah dijenuhkan oleh uap eluen pengembang. Eluen yang digunakan adalah metanol, etil asetat, kloroform, dietil
eter, diklorometana, dan n-heksana, lalu dilakukan perbandingan pada eluen yang
menghasilkan spot yang banyak dan terpisah. Eluen akan diperbaiki lebih lanjut apabila pemisahan belum baik. Noda hasil elusi diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm.
Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom (Rouessac & Rouessac 2007)
Fraksinasi dilakukan dengan pengemasan kolom untuk pemisahan 2 g
ekstrak Solanum torvum dengan diameter kolom 2 cm dan tinggi kolom 30 cm.
Ekstrak dilarutkan dalam eluen terbaik yang telah diperoleh, kemudian dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan elusi step gradient. Eluen ditampung setiap 5 mL dalam tabung reaksi dan eluat yang memiliki warna yang sama kemudian dikumpulkan dalam satu fraksi. Setiap fraksi yang diperoleh kemudian dilakukan pengujian KLT. Selanjutnya fraksi teraktif diuji dengan KLT preparatif, noda yang diperoleh kemudian dideteksi di bawah lampu UV 254 nm dan 366 nm.
Uji Aktivitas α-Glukosidase (Sugiwati et al. 2006)
Sebanyak 1 mg enzim α-glukosidase dilarutkan dalam 100 mL bufer fosfat
100 mM (pH 7.0). Kemudian ditambahkan 200 mg bovin serum albumin yang telah dilarutkan dalam bufer fosfat 100 mM (pH 7.0). Sebelum digunakan sebanyak 1 mL larutan enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan bufer fosfat (pH
7.0). Campuran reaksi terdiri atas 250 µL 20 mM p-nitrofenil α-D-glukopiranosa
sebagai substrat, 490 µL 100 mM bufer fosfat (pH 7.0), dan 10 µL larutan sampel dengan variasi konsentrasi 50, 100, 200, 400, dan 800 ppm dalam 10 µL dimetil sulfo oksida/DMSO. Campuran reaksi diinkubasi dalam penangas air pada suhu
37 oC selama 5 menit dan ditambahkan 250 µL larutan enzim kemudian
diinkubasi lagi dalam penangas air pada suhu 37 oC selama 15 menit. Reaksi
enzim dihentikan dengan penambahan 1000 µL 200 mM natrium karbonat. Hasil reaksi kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 400 nm. Tablet akarbosa (Glucobay) dilarutkan dalam bufer dan HCl 2 N (1:1) dengan konsentrasi 1% b/v sebagai kontrol positif. Endapan dikumpulkan dengan pemusingan dan supernatannya sebanyak 20 µL dimasukkan ke dalam campuran reaksi seperti pada sampel. Hasil reaksi tersebut diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 400 nm. Sampel dan kontrol positif dilakukan dua kali ulangan sebagai pembanding dengan sampel yang akan diuji. Bagan alir uji
inhibisi α-glukosidase dapat dilihat pada Lampiran 3.
Persentase inhibisi = K-(S1-S0) x 100
K
K= absorban kontrol negatif
S1= absorban sampel dengan penambahan enzim
S0= absorban sampel tanpa penambahan enzim
Identifikasi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase
Identifikasi senyawa dilakukan terhadap fraksi teraktif dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan FTIR. Identifikasi spektrofotometer UV-Vis dilakukan untuk mengukur spektrum serapan dengan pelarut metanol, senyawa dalam sampel diukur pada panjang gelombang 200-700 nm. Identifikasi dengan menggunakan IR dilakukan dengan menimbang sebanyak ± 0.8000 mg sampel dihaluskan bersamaan dengan 0.2004 g KBr dalam mortar agat. Setelah dihaluskan dan bercampur, serbuk ini dimasukkan ke dalam alat pencetak pelat KBr, sehingga diperoleh serbuk lempeng yang transparan. Lempeng yang diperoleh dimasukkan ke dalam spektrofotometer IR.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penetapan Kadar Air
Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui ketahanan sampel terhadap penyimpanan. Kadar air yang baik dari suatu sampel adalah kurang dari 10% karena pada tingkat kadar air tersebut waktu simpan sampel akan relatif lebih lama dan terhindar dari pencemaran yang disebabkan oleh mikroba.
Kadar air yang diperoleh dari serbuk daun takokak dan buah takokak dalam kondisi segar yang berasal dari Balitro diperoleh masing-masing sebesar 8.83% dan 16.16%. Nilai rerata yang diperoleh artinya bahwa dalam 100 g bahan terdapat 8.83 g dan 16.16 g air. Hasil ini menunjukkan bahwa daun takokak kering dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama, sedangkan buah takokak dalam kondisi segar cukup tinggi sehingga buah takokak segar pada penelitian ini tidak baik disimpan dalam jangka waktu lama.
Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak
Metode ekstraksi yang digunakan untuk mengekstraksi sampel adalah maserasi. Adapun mekanisme metode maserasi, yaitu adanya proses difusi pelarut ke dalam dinding sel tumbuhan untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang ada dalam tumbuhan tersebut dan senyawa yang kurang tahan terhadap panas, biasanya digunakan untuk sampel yang belum diketahui sifat dan pencirian senyawanya.
Pelarut yang digunakan untuk maserasi adalah n-heksana, etil asetat,
metanol dan air. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali dengan asumsi maserasi sudah tidak efektif mengekstraksi komponen tumbuhan dalam jumlah yang berarti. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dipekatkan untuk mengetahui persen
rendemen. Pemekatan dilakukan dengan menggunakan rotary evaporator pada
suhu 40 oC untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan komponen yang
terkandung dalam ekstrak, sedangkan maserasi dengan pelarut air dipekatkan
ekstrak kasar etil asetat, ekstrak kasar metanol, dan ekstrak kasar air. Persen rendemen hasil ekstraksi dari daun takokak kering dan buah takokak segar dapat dilihat pada Tabel 1.
Penapisan Fitokimia
Pada penapisan fitokimia terhadap ekstrak n-heksana, ekstrak etil asetat,
ekstrak metanol dan ekstrak air dari daun takokak dan buah takokak teridentifikasi adanya golongan saponin, flavonoid, alkaloid, tanin, dan steroid. Hal ini ditandai dengan terbentuknya buih yang stabil setelah dibiarkan 10 menit pada uji saponin dan terbentuknya warna merah jingga setelah penambahan magnesium dan HCl pekat pada uji flavonoid. Uji alkaloid memberikan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya endapan jingga kecokelatan setelah ditambahkan pereaksi Meyer, Wagner, dan Dragendorf. Uji tanin memberikan hasil positif dengan
terbentuknya warna hijau kehitaman setelah ditambahkan FeCl3. Uji steroid
memberikan hasil positif hanya pada ekstrak etil asetat dan metanol dari daun takokak, sedangkan pada buah takokak tidak terdapat steroid. Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak daun dan buah takokak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil uji fitokimia dan hasil rendemen ekstraksi dari daun takokak kering dan buah takokak segar
Jenis ekstrak
Uji
n-Heksana Etil asetat Metanol Air
Daun Buah Daun Buah Daun Buah Daun Buah
Alkaloid − − + + + + _ _ Flavonoid − − − + + + _ + Saponin − − − − +++ +++ +++ +++ Tanin − − − − _ − ++ ++ Steroid − − + − + + _ Rendemen (%) 0.87 0.24 3.09 0.33 8.60 0.80 5.75 1.04
Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa rendemen daun takokak paling tinggi diperoleh dari hasil ekstraksi dengan pelarut metanol (ekstrak metanol). Hal ini sesuai dengan pernyataan Health dan Reineccius (1987) yang menyebutkan bahwametanol mampu mengekstraksi senyawa organik, sebagian lemak serta tanin karena metanol memiliki gugus yang mampu mengikat ekstrak polar dan non polar yang menyebabkan hasil ekstraksi metanol cukup besar.
Berdasarkan hasil uji fitokimia simplisia daun takokak kering (Tabel 1) ini