• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oseanografi Selatan Selat Makassar

Secara umum massa air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Samudra Pasifik bagian utara dan selatan bergerak menuju Samudra Hindia. Perairan Selat Makasar dan Laut Flores dominan dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik Selatan. Massa air yang mengalir melewati perairan Indonesia oleh (Gordon et al.,1994) melalui dua jalur utama, yaitu:

1. Jalur barat, massa air mengalir melalui Laut Sulawesi dan lapisan dalam Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Samudra Hindia sedangkan sebagian besar lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Samudra Hindia melalui Selat Ombai dan celah Laut Timor (Timor passenge)

2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut Banda. Massa air dari Laut Banda akan mengalir mengikuti dua rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan celah Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia.

Menurut Wyrtki (1961) perairan Timur Indonesia memiliki tipe massa air yang dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu :

a) North Pacific Subtropical Water (NPSW)

Massa air North Pacific Subtropical Water yang berada di Maluku, Laut Sulawesi dan melewati Selat Makassar hingga ke Laut Flores. South Pacific

Subtropical Water - SPSW yang melewati Laut Halmahera dan masuk ke Laut

Seram dan menyebar hingga ke Laut Banda dan Arafura. North Pacific

Subtropical Water Samudra Hindia pada musim barat hanya ditemukan di

Laut Sawu dan Laut Timor.

Massa air North Pacific Intermediate Water terbawa oleh arus Mindanao memasuki Laut Sulawesi melewati Selat Makassar hingga ke Laut Flores, kemudian massa air ini menyebar ke Laut Banda bagian selatan dan masih ada sisa-sisanya yang terlihat di celah Laut Timur dan celah Laut Arafura.

c) Deep Water

Massa air Deep Water berasal dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia dengan laju massa air yang lambat karena melewati cekungan Indonesia.

Berdasarkan hasil observasi dan pemodelan menurut Umasangaji (2006) mengindikasikan bahwa sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar (kedalaman sill 650 m). Selanjutnya kontribusi Arlindio dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat Lifamatola (kedalaman sill 1940 m), Arlindo bergerak ke luar menuju bagian timur Samudera India melalui selat sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m).

Berdasarkan musim, Perairan Indonesia yang berlaku dua musim, yaitu musim timur (Southeast Monsoon - SEM) dan musim barat (Northwest Monsoon - NWM). Menurut Illahude dan Gordon (2006) menjelaskan selama musim timur (SEM) dari Agustus - September dengan kondisi perairan dingin pada lapisan dalam ( ᶿ/S) adalah 34.63 psu dengan suhu 2 o

C, sedangkan kondisi air permukaan hangat di Laut Seram dan Utara Banda ( ᶿ/S) dengan gradien salinitas 0.4 dengan suhu 26 oC dan perairan Makassar adalah 29 oC. Laut Timor memiliki suhu yang lebih dingin di lapisan dalam meningkat 4 oC (1400 m) yang berasal dari Samudra Hindia, sedangkan di Laut Maluku dengan suhu 6 oC merupakan karakteristik air dari Antarctic Intermediate Water melalui lapisan dalam Utara Pasifik. Pada musim barat (NWM) dengan ciri suhu permukaan rata-rata lebih hangat pada 3 oC jika dibandingkan dengan musim timur. Kondisi salinitas perairan berkisar antara 34.1 - 34.5 psu, diman salinitas permukaan Laut Banda lebih tinggi, sedangkan Selatan Makassar yang lebih rendah (31.1 psu) dan mencapai 35.1 psu di Laut Timor. Jenis massa air dari NPSW dengan Smax pada

musim timur lebih rendah 0.2 yang dilemahkan oleh musim barat. Pada saat bersamaan dengan Berkurangnya Smax pada aliran Arlindo terlihat percampuran vertikal yang kuat pada musin barat.

Suplai massa air dari Laut Jawa (Java Sea Water - JSW) terhadap pengenceran, fluks bahang dan air tawar di South Equatorial Current Samudra Hindia oleh Atmadipoera et al., (2009) menjelaskan kontribusi massa air JSW pada lapisan permukaan dengan salinitas yang lebih tawar yang melemahkan kontribusi massa air NPSW dilapisan termoklin. Massa air JSW digerakkan ke sisi timur perairan oleh arus muson permukaan dikarenakan percampuran diapycnal yang kuat. Massa air ini keluar ke Samudra India melalui Selat Lombok, Ombai dan Timor dengan phase lag antara satu dan lima bulan, sehingga salinitas tawaar di permukaan dan termoklin di Samudra Hindia bagian timur dimukan di awal musim timur antara bulan April dan akhir bulan September.

Sill dan Slope Region

Topografi atau bentuk dasar laut dapat dibagi ke dalam batuan utama, relief-relief menengah, dan mikro relief (Neumonn dan Pearson, 1966). Relief utama membedakan antara abysal dan daratan tinggi, pegunungan bawah laut, pegunungan isolat, dan trences laut dalam (Shipek, 1961 dalam Neumonn dan Pearson, 1966), fitur ini diukur secara horisontal dipuluhan dan ratusan kilom atau lebih, dan secara vertikal dalam ribuan m. Relief menggambarkan antara fitur seperti bukit, lembah, saluran, tanggul, selokan, bank, dan jurang yang menjadi bagian dari relief bantuan. Topografi membagi kedalaman ambang kritis yang mengatur pertukaran massa air antar-cekungan dalam laut Indonesia yang dapat diperkirakan dengan membandingkan profil suhu di kedua sisi topografi barrier.

1.

Kedalaman Sill utama antara Laut Utara Pasifik dan laut dalam Indonesia (Gordon et al. 2003) adalah:

2.

Sangihe Ridge membentang dari Sulawesi Mindanao, yang membatasi akses air yang mendalam untuk Laut Sulawesi dan Selat Makassar;

3.

Laut Halmahera dengan kedalaman Sill mengendalikan akses air Pasifik Selatan ke Laut Indonesia ; dan

Profil dasar laut seperti disajikan pada Gambar 2, secara umum menggambarkan lantai dasar utama lautan yang termasuk di antaranya berupa gunung bawah laut, parit, busur pulau, dan cekungan. Berdasarkan ketetapan Biro Hidrografi Internasional (1953), dan pendefinisian berdasarkan dari Sverdrup, Johnson, dan Fleming (1942), Shephard (1963), dan Dietrich et al., (1980 ) dalam Stewart, 2008) menetapkan nama dan penjelasan dari bentuk dasar lautan. 1)

Basin yang merupakan kolam-kolam terdalam dari dasar lautan memiliki bentuk

lebih kurang seperti lingkaran atau oval. 2) Canyons (Ngarai) yang relatif sempit, alur-alur yang dalam dengan lereng curam, memotong di landasan kontinen dan lereng, dengan dasar miring terus ke bawah. 3) Continental shelves adalah zona yang berdekatan dengan benua (atau sekitar pulau) dan membentang dari batas air terendah dengan kedalaman biasanya sekitar 120 m, dimana ada tanda atau lebih tepatnya lereng yang curam ke kedalaman yang besar. 3) Continental Slopes adalah declivities ke arah laut dari tepi ke yang lebih mendalam. 4) Plains yang datar, landai atau daerah tingkat hampir dari lantai-laut, seperti dataran abisal. 5)

Long Ridges, berupa peningkatan lantai-laut yang sempit dengan sisi yang curam

dan topografi kasar, dan 6) Seamounts yang terisolasi atau relatif terisolasi dengan ketinggian 1000 m atau n lebih tinggi dari dasar laut dan dengan puncak wilayah kecil. 7) Sills adalah bagian rendah dari punggung memisahkan cekungan laut dari satu sama lain atau dari dasar laut yang berdekatan. 8) Trenches adalah parit panjang, sempit, dan depresi mendalam dari dasar laut, dengan bagian samping yang relatif curam.

Gambar 2. Skematis utama dari gambar dasar laut (Stewart, 2008).

Roberts dan Wood (1979) dalam simulasinya yang memodifikasi topografi di Ridge Greenland-Skotlandia. Mereka menemukan bahwa perubahan ini memiliki dampak yang signifikan terhadap lokasi pembentukan massa air, transportasi massa air yang besar di atas punggung bukit dan transportasi panas ke lintang tinggi. Kehadiran ambang (sill) mempengaruhi pertukaran antara laut marjinal dan laut terbuka, dan memiliki dampak pada pembentukan air lebat yang terjadi di laut marjinal. Walin et al. (2004) menemukan bahwa kedalaman ambang mengatur volume dan transportasi panas antara dua cekungan, jika ambang lebih besar transportasi juga besar. Batas aliran kedalaman ambang ke dalam kolom air dingin dan bahwa ini adalah aliran baroklinik berubah menjadi lereng (slope) barotropik saat ini sementara mengelilingi cekungan. Secara eksplisit peran dinamis ambang merupakan kelas marjinal laut konvektif yang terpisah dari cekungan laut besar seperti fitur topografi (Stewart, 2003).

Keberadaan sill dengan kontur yang dangkal menunjukkan laju eksposur pergerakan arus yang sangat kuat, berdasarkan hasil analisa kesetimbangan nilai transportasi beberapa titik arus oleh Gordon et al. (2003) menunjukkan bahwa arus Dewakang Sill antara 7.3 – 10.7 Sv dengan kedalaman 680 m menyebabkan pasokan massa air ke laut Flores berkurang. Kedalaman suatu sill sangat efektif diamati berdasarkan dengan metode termodinamik dengan menggunakan perbandingan param suhu, salinitas dan konsentrasi oksigen pada kedua sisi pada punggung sill. Berdasarkan eksperimen numerik pada dua dimensi non hidrostatik

pada Dewakang Sill menurut Hatayama (2004) menunjukkan bahwa gelombang internal dari komponen M2 pasang surut yang dominan di wilayah sill dengan amplitudo yang cukup besar menciptakan percampuran vertikal yang kuat yang menyebabkan difusivitas vertikal maksimal mencapai nilai 6 x 10-3 m2 s-1

Percampuran (Mixing)

. Melalui eksperimen model Arlindo oleh Conkright et al. (1998) dan Gordon et al. (2003) mengamati proses pertukaran massa air vertikal antara lapisan terbuka permukaan dan massa air dalam kolom cekungan sill melalui mekanisme percampuran vertikal dengan melibatkan pengaruh sill, dimana suhu potensial dan densitas dibuat lebih ringan di lapisan dalam dari intrusi massa air permukaan.

Densitas massa air yang terakumulasi di dalam cekungan dengan lapisan yang mengalami pendinginan atau penguapan akan bergerak dan mengalir di atas ambang (sill). Peranan ambang (sill) dalam mengatur pertukaran massa air dalam suatu perairan menurut Gordon et al. (2003) dapat diperkirakan dengan membandingkan profil suhu di kedua sisi batas topografi, yang disebut

thermometric depth. Selain suhu juga dapat di perkirakan dengan salinitas atau

oksigen, tetapi secara umum profil dari suhu memiliki jangkauan yang lebih dinamis dan memberi perkiraan yang terbaik tentang kedalaman.

Massa air laut yang dinamik bergerak dalam aliran turbulen, gerak dari turbulensi dengan karakteristik yang berbeda dan menyebabkan percampuran fluida yang besar. Dominansi dari difusi turbulen dalam proses percampuran yang terjadi di laut dikarenakan adanya gradien suhu, salinitas, nutrien dan gas terlarut. Menurut Tomzack dan Godfrey (2000) massa air yang dicirikan dengan karakteristik suhu dan salinitas terjadi oleh proses di permukaan di suatu tempat, dimana terjadi pergerakan lemah dan percampuran dengan massa air lain pada saat air tersebut mengalir. Analisis pergerakan massa air akan membantu dalam mengetahui sirkulasi laut dalam.

Menurut Illahude (1999) pada umumnya penyebaran salinitas dunia di lapisan di bawah permukaan ditentukan oleh dua faktor utama yaitu pembentukan massa air (formation of water mass) dan proses percampuran (mixing) karena peredaran (circulation) dan turbulensi. Menurut Stewart (2008) bahwa kondisi

fluida yang tidak stabil di lautan dapat mengalami percampuran. Terdapat dua

jenis instabilitas di laut, yaitu instabilitas statik dan dinamik. Intabilitas statik berkaitan dengan perubahan densitas terhadap kedalaman, sedangkan instabilitas dinamik yang berkaitan dengan kecepatan dan shear arus dari suhu, salinitas dan densitas dengan gradien fluida bertingkat.

Percampuran vertikal memerlukan energi yang besar dibandingkan percampuran horizontal. Menurut Stewart (2008) bahwa semakin besar frekuensi stabilitas maka semakin besar pula energi yang dibutuhkan untuk percampuran vertikal. Percampuran vertikal sepanjang permukaan dengan densitas konstan sangat penting karena dapat merubah struktur dari laut dalam akhirnya dapat mencapai permukaan dari lapisan tengah juga lapisan di bawahnya.

Sumber energi yang paling berperan dalam percampuran internal adalah gelombang internal (Emery et al., 2005), ditambahkan oleh Stewart (2008) mengatakan bahwa mekanisme dari percampuran internal adalah vertikal shear berupa kecepatan yang dapat menghasilkan turbulensi. Mekanisme lain dari proses percampuran internal adalah gesekan (shear) vertikal, yang diartikan jika kecepatan berubah menurut kedalaman dalam suatu perairan yang stabil, berstratifikasi, menyebabkan aliran tidak stabil apabila perubahan kecepatan berdasarkan kedalaman dan perbedaan kecepatan arus cukup besar.

Hatayama (2004) menjelaskan bahwa percampuran vertikal dengan menekankan pada sifat massa air Arlindo disebabkan oleh gelombang internal, yang terjadi adanya interaksi antara gundukan di wilayah ambang (Sill) dengan pasang surut. Difusifitas vertikal oleh percampuran yang kuat di wilayah ambang Dewakang dapat mencapai nilai maksimal 6 x 10-3 m2 s-1 dengan salinitas maksimum dan karakteritik lapisan inti termoklin Arlindo yang lemah. Implikasi dari gelombang dan massa air yang terjebak di wilayah ambang menginduksi adanya perpindahan vertikal yang besar sekitar 60 m selama satu priode pasang surut M2 yang dominan.

Banyak pencampuran di Laut Indonesia diduga terjadi pada situs-situs yang memiliki intensivitas pencampuran, dimana fluida tercampur mengalir dari lapisan yang sesuai dengan densitasnya. Beberapa pengukuran dan percobaan numerik menjelaskan bahwa pencampuran sangat bervariasi di Laut Indonesia

dengan peningkatan yang jelas di wilayah sill dan slope (Hatayama 2004). Aktivitas percampuran yang sangat kuat baik secara vertikal dan horizontal terjadi di perairan Indonesia menurut Ffield dan Gordon (1992); Ffield (1994) serta Hautala et al. (1996) menegaskan bahwa massa air dari Arlindo akan melewati beberapa hambatan topografi perairan berupa ambang (sill) seperti pada beberapa selat.

Kondisi topografi ini menjadi kontrol terhadap laju difusi turbulensi vertikal yang bervariasi dan memiliki ketinggian maksimal pada lokasi berbeda. Kekuatan percampuran yang terjadi dipengaruhi oleh variabilitas bentuk dasar perairan, kekuatan aliran, stabilitas massa air, interaksi proses fisik pada massa air berupa turbulensi, gelombang internal, dan pasang-surut internal. Interaksi antara proses fisik dan topografi dasar perairan di daerah selat menurut Gordon (1994) dan Ffield (1994) dapat mengakibatkan terjadinya fluks massa air berupa bahang (energi), partikel garam, nutrien, dan momentum secara vertikal dan horizontal. Berdasarkan hasil pengamatan Jayne et al., (2004) mengatakan bahwa sebagian besar pencampuran terjadi breaking dari gelombang internal dan akibat gesekan (shear) di dasar laut (sepanjang lereng benua, dan di atas dan sekitar seamounts, dan campuran lapisan di permukaan laut). Sebagian besar pencampuran dalam lautan didorong oleh arus pasang surut, yang menjadi turbulen ketika mereka melewati hambatan dasar aliran di laut, termasuk pegunungan tengah laut.

Munk dan Wunsch (1998) menjelaskan bahwa difusi turbulensi panas/bahang di lintang rendah menyediakan energi potensial yang mengerakkan siklus meridional dalam skala besar. Peranan percampuran secara global yang di sebabkan oleh aktivitas gelombang internal, yaitu sebagai pengangkut bahang, nutrien, gas terlarut, dan control pertukaran dari lapisan dalam ke permukaan. Percampuran turbelensi dalam lautan secara umum tidak merata/seragam, namun menurut (Simmons et al., 2004), telah terbukti merata dalam ruang dan waktu, yang pada gilirannya berdampak pada pola produktivitas biologis dan sirkulasi lautan.

Mekanisme dari proses pembentukan pelapisan massa air menurut Laevastu dan Hela (1970) mengatakan bahwa beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya lapisan tercampur (mixing depth) serta di lapisan

termoklin dikarenakan adanya pengalihan bahang, percampuran oleh aktivitas gelombang, percampuran massa air secara horizontal, dan pengaruh gelombang dalam (internal wave). Peralihan bahang menyebabkan terjadinya proses pembentukan lapisan termoklin musiman, lapisan termoklin sesaat (transient), dan berpengaruh pada kedalaman lapisan termoklin. Pergerakan massa air secara horizontal (adveksi) mengakibatkan hilangnya lapisan sesaat (transient) dan mempengaruhi ketajaman pada lapisaan termoklin serta kedalaman tercampur mempengaruhi struktur lapisan termoklin dan gradien salinitas oleh aksi gelombang.

Proses pelapisan sebaran vertikal densitas kaitannya dengan suhu dan salinitas serta proses-proses yang berkontribusi terhadap stratifikasi suhu dan salinitas. Faktor seperti pola sirkulasi massa air, penguapan, curah hujan dan intrusi aliran sungai oleh Wyrtki (1962) merupakan faktor terbentuknya pelapisan dan sebaran vertikal salinitas. Menurut Sverdrup et al. (1942) bahwa proses percampuran secara vertikal (vertical mixing) dan proses pengangkatan massa air (upwelling) berpengaruh terhadap sebaran vertikal densitas dan kondisi pelapisannya. Selain itu pelapisan yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi musiman.

Adanya hubungan antara sebaran densitas secara vertikal dan pengaruhnya terhadap pergerakan massa air (Pond dan Pickard, 1983) mengatakan bahwa jika suatu fluida ringan (nilai densitas kecil) berada di atas fluida berat (nilai densitas besar), maka tidak akan ada kecenderungan massa air bergerak secara vertikal. Sebaliknya, jika fluida berat berada diatas fluida ringan, maka ada kecenderungan pergerakan massa air secara vertikal yaitu dengan turunnya massa air yang digantikan oleh massa air yang ringan di bawahnya.

Sebaran massa air dapat dianalisa berdasarkan tiga komponen utama (suhu, salinitas, dan densitas). Ketiga komponen ini digunakan untuk menelaah fenomena yang terjadi dalam perairan, seperti sumber dan pergerakan massa air serta pola stratifikasinya.

Suhu

Stewart (2008) mengatakan bahwa penyebaran suhu pada permukaan laut membentuk zona berdasarkan letak lintang. Semakin mendekati garis

Khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan meningkat, sebaliknya suhu akan semakin menurun saat mendekati kutub (lintang tinggi). Secara vertikal suhu di lautan di bagi menjadi tiga zona (Richard dan Davis, 1991) yaitu :

1.

2.

Lapisan permukaan (homogeneous layer) yang merefleksikan suhu rata-rata tiap lintang

3.

Lapisan termoklin (thermocline layer)

Lapisan permukaan atau lapisan homogen yang terbentuk karena pengadukan massa air oleh angin, arus, pasang surut. Pada laut tropis yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis, pengadukan dapat mencapai kedalaman 50-100 m dengan suhu 26-30

Lapisan dalam (deep layer) yang merefleksikan ciri khas asal massa air tiap lintang

o

C dan gradien tidak lebih dari 0.03

o

C/m. Lapisan termoklin menurut Illahude (1999) dibagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan termoklin atas (main thermokline) dan termoklin bawah (secondary

thermokline). Lapisan termoklin yang terbentuk di perairan tropis menurut Gross

(1990) dapat mencapai ketebalan antara 100 - 250 m dengan gradien suhu mencapai 0.1 oC/m. Pada lapisan dalam di daerah tropis suhu mencapai 2-4 oC. Lapisan dalam (deep layer) dapat mencapai kedalaman 2500 m dengan penurunan suhu yang lambat, dengan gradien suhu 0.05 o

Salinitas

C/100 m (Illahude, 1999).

Beberapa faktor yang mempengaruhi sebaran salinitas permukaan lautan, yaitu evaporasi, presipitasi, suplai air tawar (run off), dan perubahan arus akibat pergantian musim. Pada perairan Indonesia menurut Illahude (1999) pada musim barat isohaline bergerak lebih ke timur dan pada musim timur isohaline bergerak lebih ke barat. Sebaran salinitas pada lapisan dalam lautan juga bervariasi seperti halnya dengan salinitas di permukaan. Variasi salinitas lapisan dalam lebih dipengaruh oleh proses percampuran (mixing) karena peredaran dan pembentukan massa air (formation of water masses).

Secara vertikal salinitas dalam perairan dibagi ke dalam tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (homogeneous layer), lapisan haloklin (halocline layer), dan lapisan dalam (deep layer). Lapisan homogen dengan ketebalan berkisar antara 50-100 m atau tergantung dari kuatnya pengadukan. Lapisan haloklin dengan

salinitas tinggi sejalan dengan bertambahnya kedalaman, lapisan ini terletak di bawah lapisan homogen hingga kedalaman antara 600-1000 m. Selanjunya lapisan dalam berada di lapisan bawah sampai dasar.

Massa air yang didominasi massa air dari Samudra Pasifik yang melewati tiga pintu utama Arlindo (Laut Sulawesi, Laut Maluku, dan Laut Halmahera) mengalami pengenceran akibat intrusi air sungai dan tingginya curah hujan sepanjang tahun. Kondisi ini menyebabkan rata-rata salinitas di perairan tropis kurang dari 34 psu. Menurut Wyrtki (1961) pada musim timur nilai salinitas kurang dari 34 psu dan pada musim barat salinitas lebih besar dari 34‰.

Densitas

Densitas (ρ) atau massa per unit volume (Steward, 2008) dalam suatu

perairan densitas dapat ditentukan nilainya dengan menghitung nilai suhu, salinitas dan tekanan. Bila suhu semakin rendah, maka densitas massa air akan meningkat. Hal ini terlihat nyata pada lapisan termoklin dimana densitas meningkat dengan cepat dan dikenal dengan lapisan pegat (discontinuity layer). Selain itu kenaikan salinitas juga dapat meningkat dengan meningkatkan nilai densitas massa air walaupun tidak sekuat pengaruh suhu. Pada lapisan pegat massa air pada lapisan atas tidak dapat bercampur dengan lapisan air di bawahnya bila gradien σt sama besar (Wyrtki, 1961).

Hubungan antara densitas dengan salinitas dan suhu (0 oC) untuk pertama yang dikemukakan oleh Knudsen (1901) dalam Neumann dan Pearson (1966). Nilai σ0= (ρs.0.0 – 1)x 103 merupakan fungsi dari salinitas yang dinyatakan sebagai berikut :

σ0 = -0.093 + 0.8149 S – 0.000482 S2 + 0.0000068 S3

Perhitungan densitas dengan ketelitian memiliki ketelitian sampai lima angka dibelakang titik (.), tetapi karena perubahan nilai densitas hanya dalam dua digit, maka para ilmuan menggunakan suatu kuantitas yang disebut sebagai sigma (Σ) yang tergantung pada nilai suhu, salinitas, dan tekanan σ(s,t,p) (Steward, 2003);

ρ(s,t,p) adalah densitas in situ yang merupakan fungsi dari suhu, salinitas, dan tekanan.

Fungsi empiris untuk menghitung sigma-t (σt) dari nilai sigma-0 (σ0) berdasarkan perhitungan fungsi D (Forch, 1902) dalam Neumann dan Pearson (1966). Fungsi D merupakan suatu fungsi yang menyatakan efek suhu dengan σ0

yang berbeda. Perhitungan hubungan suhu terhadap densitas yang dinyatakan dengan persmaan :

σt= σ0 – D

dimana D = ∆ t (perubahan suhu), sigma-t (σt) merupakan nilai densitas yang dihitung pada tekanan atmosfer (p=0 dan suhu (t-0) yang dinyatakan dalam persamaan : σt = (ρ(s,t,0) – 1)x 1000, kebalikan dari nilai densitas in situ adalah volume spesifik in situ dari nilai densitas pada tekanan (P), suhu (t) dan salinitas (s) yang dinyatakan dengan persamaan :

α

s,t,p =

Fluks Nutrien

Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, tembaga, dan vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut

Dokumen terkait